Senin, 27 Juni 2011
Sebuah Do'a
“ Hati-hati dalam memanggil orang! Setiap orang tua berupaya memberikan nama terbaik untuk anak-anaknya. Jangan sakiti mereka dengan ulah kita yang memanggil anaknya dengan sebutan yang tidak-tidak. Panggilan itu adalah setengah dari do’a!” kalimat ini aku dengar ketika aku masih kecil, dari mulut siapa keluarnya, aku sudah lupa, yang jelas, aku mendengarnya waktu bermain kelereng di depan rumah salah-satu teman kecilku. Sepulang dari main kelereng itu, aku termenung sendiri pada sofa hitam di ruang tamu rumahku. Aku terbayang-bayang kalimat itu. Sejak saat itu, aku mengimani makna dari kalimat tersebut.
Jika tidak sengaja aku mendengar seseorang memanggil temannya dengan sebutan bukan nama aslinya, secara otomatis, pikiranku melayang kembali pada sebuah peristiwa di masa kecilku itu. Jika aku mengenal orang tersebut, aku bunyikan kembali kalimat itu. Namun, jika aku tidak mengenal, atau kalaupun kenal tapi tidak akrab, aku hanya bisa berdo’a semoga orang tersebut segera diberikan hidayah oleh Allah Swt.
Berkenaan dengan ini, aku punya pengalaman yang membuat keimananku semakin kuat terhadap persoalan ini. Satu tahun menganggur membuatku tidak betah. Kerjaanku hanya bengong dan bengong, atau kalau tidak, bolak-balik mengukur panjang jalan antara rumahku dan rumah teman seperjuanganku yang sama-sama tergabung di partai pengangguran. Aneh bin ajaib, rasa bosen itu membuatku ingin lagi melakukan aktifitas yang sudah lama tidak aku tekuni. Apa itu? Adalah membaca. Saat itu, aku membaca lagi. Buku yang paling sering aku baca adalah buku grammer bahasa inggris. Karena sedikit rumit, aku baca berulang-ulang, sampai aku hafal betul. Dimanapun berada, aku mencoba mempraktekan ilmu yang kudapatkan dengan mengucapkannya, karena dalam mempelajari bahasa inggris, cara terbaik adalah dengan mengucapkannya, menurut salah-satu teman yang jago bahasa inggrisnya.
Setelah aku merasa kemampuan berbahasaku numayan baik, aku mencoba mengamalkan ilmuku ini. Aku membuka kursus-kursusan di paviliun rumahku. Aku tarik anak-anak SD di sekitar rumahku sebagai muridnya. Aku tidak memungut bayaran, karena dalam hal ini, kami terapkan konsep simbiosis mutualisme, anak-anak mendapatkan ilmu, dan aku mempunyai kegiatan, juga sekaligus mengasah kemampuan berbahasaku.
Seiring berjalannya waktu, murid kursus-kursusanku bertambah banyak, tidak hanya yang tinggal di sekitar rumahku yang ikut, mereka yang rumahnya berada sangat jauh disana, dipojok kampung, berbondong-bondong mengikuti kersusanku. Aku gembira, semakin banyak saja generasi baru kampungku yang semangat belajar. Aku harap, mereka tidak merasakan pahitnya menganggur, cukup hanya diriku dan beberapa temanku saja yang merasakannya. Karenanya, aku selalu menyelipkan kalimat motivasi di akhir kelas. Mudah-mudahan semua itu masuk menghujam kedalam hati mereka.
Aku, oleh murid-muridku, oleh orang tua murid-muridku, oleh kakak dan teteh murid-muridku, oleh tetangga murid-muridku, oleh banyak orang dikampungku, dipanggil “Pak Guru”. Aku hanya tersenyum menanggapi panggilan mereka. Satu lagi, yang jelas, aku selalu menggumamkan kata “Aamiin” setiap ada yang memanggilku dengan sebutan itu. Satu orang yang paling sering memanggilku pak guru adalah Aldi. Dia murid kelas satu SD. Dia memiliki keterbelakangan mental. Rumahnya hanya dipisahkan enam rumah dengan rumahku. Setiap aku lewat depan rumahnya, hendak ke mesjid atau ke warung, atau ada keperluan lain, dia memanggil-manggilku dengan suara lantang dan berkali-kali,” Pak guru, pak guru, pak guru, pak guru,” wajahnya tersenyum manis. Pada sepedah roda tiganya, dia tertawa dan melambai-lambaikan tangannya padaku. Aku membalas lambaian tanganya. Di belakang Aldi, ibunya mendorong sepeda, dia memberikan senyum tulus padaku. Menanggapi panggilan Aldi, aku ucapkan kata aamiin dalam hati.
Aku mendapatkan sebuah kabar. Kabar itu kudengar sendiri dari mulut pak Wawan. Pak Wawan adalah guru olahraga di SD kampungku, yaitu SD N Cipacung. Dia memberitahukanku bahwa, SD kampung kami, mendapatkan predikat nilai rata-rata ujian bahasa inggris tertinggi di kecamatan Cinangka. Aku bangga ketika itu, bangga kepada muridku yang cerdas-cerdas. Di akhir obrolanku dengan pak Wawan, dia memberitahukanku, kalau bapak kepala sekolah menawariku untuk mengajar bahasa inggris. Aku ditawari menjadi guru honor. Aku kaget, percaya tidak percaya mendengar berita itu, tidak banyak pikir lagi, aku langsung menerima tawaran itu. Esoknya, statusku berubah, dari pengangguran menjadi seorang guru. Dan yang lebih membuatku gembira adalah, aku membuat bapak dan mamahku tersenyum. Senyum mereka terlihat lebih lebar dari yang sebelum-sebelumnya.
Pada salah-satu hari mengajar, di meja guru, aku pandangi para siswa sedang serius mengerjakan soal. Sesaat aku teringat sosok Aldi.
***
SATU TAHUN KEMUDIAN
Keputusan ini aku pilih dengan berat hati, butuh berjuta kali pertimbangan sebelumnya. Setelah aku bisa meyakinkan bapak dan mamahku, aku utarakan maksudku kepada bapak kepala sekolah. Alhamdulillah, beliau menyetujui keinginanku. Beliau memberikan restu untukku melanjutkan sekolah lagi. Berbekal dua tiket itu, dengan tanpa beban aku melenggang ke kota kembang. Aku kuliah. Bersamaan dengan itu, aku melepas status seorang guruku. Mudah-mudahan, keputusan ini adalah yang terbaik. Semoga ini bisa membawa kepada masa depan yang lebih baik lagi. Aamiin.
Seperti biasa, di dunia pendidikan, murid baru pasti mengecap yang namanya orientasi. Orientasi ini dimaksudkan agar calon penghuni baru dapat mengenali lingkungan dimana dia akan hidup. Jika di sekolah namanya MOS (masa orientasi siswa) atau MABIS (masa bimbingan siswa), namun, lain lagi di kuliahan, disini namanya OSPEK. Sebelum merasakan atmosfer perkuliahan yang sebenarnya, terlebih dahulu aku harus melewati jembatan ospek ini.
Banyak ilmu baru tentang dunia kampus yang kudapatkan dari petinggi universitas. Banyak rumus-rumus jitu dalam menghadapi pembelajaran di kampus dari para kakak tingkat yang baik hati. Banyak barang-barang aneh yang harus kubeli, atas perintah panitia ospek. Banyak teka-teki jenis makanan dan minuman yang harus aku dapatkan, juga atas perintah panitia. Banyak pula keisengan panitia yang diberikan kepada kami, para mahasiswa baru. Semua itu, kami jalani dengan penuh suka cita.
Pada dua hari sebelum penutupan ospek, kami, mahasiswa baru jurusan pendidikan Geografi, diberikan tugas untuk membuat sebuah puisi yang bertemakan tentang kepedulian generasi muda terhadap lingkungan hidup. Tugas ini sifatnya wajib. Bagi yang tidak mengerjakan, ada sangsi yang harus diterima. Tugas ini dikumpulkan besok, ketika penutupan ospek.
Ba’da subuh. Pada sebuah kamar kosan berukuran tiga kali dua setengah meter, milik seorang kawan lama yang sudah duluan berkuliah, aku menghadap pada sebuah komputer. Komputer itu miliknya juga. Dengan bantuan kawanku itu, aku mengetik mencoba membuat sebuah puisi. Jam setengah enam, puisi selesai kubuat. Langsung ku print out. Sebuah kertas putih bercetakkan beberapa bait puisi keluar dari printer di samping komputer. Aku lipat dua, kertas itu, kemudian kuselipkan pada bagian tengah sebuah buku tulis. Kusimpan buku itu kedalam tas gendong warna biruku. Aku langsung meluncur menuju kamar mandi.
Dan, waktu pengumuman itu tiba. Terus terang, aku tidak berharap banyak saat itu. Bagaimana tidak, kami (red: aku dan kawan lama) buat puisi itu dengan asal-asalan dan penuh canda. Banyak tawa keluar dari mulut kami ketika proses pembuatannya.
Tiba-tiba, suasana ruang auditorium fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial menjadi hening. Pandangan kami tertuju pada seseorang di depan mimbar sana. adalah seorang panitia perempuan yang akan mengumumkan pemenang tugas puisi dan beberapa tugas lainnya.
“ Puisi terbaik jatuh kepada puisi yang berjudul ‘sepucuk toge’. Bagi yang merasa membuatnya, silahkan acungkan tangannya,” ucap seorang panitia perempuan lantang. Aku bingung mendengar kalimat itu. Akupun aneh dengan diriku sendiri. Seharusnya aku gembira dengan presetasi ini. Tapi, semua itu bukan tanpa alasan. Karena aku tahu, jika aku mengacungkan tangan, aku pasti disuruh maju ke depan, dan lebih jauh lagi, aku pasti disuruh membacakan puisiku itu. Aku tidak mau. Malu.
“ Kepada yang merasa membuat puisi sepucuk toge, silahkan untuk mengacungkan tangannya!” perintah panitia perempuan sekali lagi. mendengar itu, mau tidak mau aku harus mengacungkan tanganku. Karena, walaupun tidak kulakukan, pada akhirnya, panitia pasti akan tahu, karena tepat di bawah judul puisi, tertulis sebuah tulisan ‘Oleh: Niko Cahya Pratama’. Sambil memejamka mata, aku angkat tinggi-tinggi tangan kananku. Ketika aku membuka mata, puluhan pasang mata menatap ke arahku. Jika dilihat dari tatapannya, aku bisa membaca arti dari beberapa sinar mata mereka. Ada yang kagum dan ingin mengucapkan selamat. Ada yang menyesal karena tidak mengerahkan kemampuan terbaiknya, hingga akhirnya dia terkalahkan olehku. Ada yang mencoba berjanji pada dirinya untuk tidak berleha-leha, dan akan menggunakan kesempatan kedua jika memang ada. Ada juga yang hatinya berbicara ‘Ah, itumah memang dianya aja hebat, aku ngaku, kalau dia memang pintar, dia lebih dari diriku’.
Aku maju. Langkahku terasa sangat berat. Aku bisa membaca bagaimana nasibku llima menit kedepan. Benar tebakanku, dengan lidah kelu, aku membacakan bait demi bait puisi sampai habis. Selepas itu, hadirin yang mendengar bertepuk tangan mencoba memberikan apresiasi terhadap puisiku, atau mungkin, tepuk tangan itu bukan untuk puisiku, melainkan untuk menghibur diriku karena ketidak mampuanku dalam membaca puisi. Atau apa? Aku tidak tahu? Biar hanya Allah dan mereka saja yang tahu.
“ Oke, mari kita berikan tepuk tangan sekali lagi yang lebih meriah untuk ‘mas toge’!” perintah panitia perempuan di depan mimbar. What! Mas toge! Yang benar saja. Namaku bagus-bagus begini dibilang mas toge. Apa kata orang tuaku nanti? Sontak seisi ruangan mendengung oleh bisikan-bisikan, laksana hutan bunga yang diserbu gerombolan lebah madu. Bisikan itu berbunyi ‘mas toge-mas toge’. Sejak saat itu, aku dipanggil mas toge oleh teman-teman di jurusan pendidikan Geografi.
***
Aku tidak rela dipanggil toge. Apa-apaan itu! Aku tidak ingin ketika sukses nanti menjadi toge, yang aku inginkan itu menjadi penulis. Untuk itu, aku harus mencari cara agar tidak lagi dipanggil mas toge. Siang-malam aku berfikir mencari jalan keluar. Hingga suatu hari, munculah ide yang didamba-dambakan itu. Malam hari, menjelang waktu tidur, aku melihat lemari bajuku yang terbuka. Dari luar, aku bisa melihat jelas semua isi lemari. Lemari itu memiliki tiga sekat. Pada sekat paling atas terdapat banyak lipatan kaos-kaos dan kemeja. Di sekat yang kedua adalah celana-celana, baik yang panjang ataupun yang pendek. Dan pada sekat yang paling bawah, disana ada tumpukan kertas. Kertas-kertas itu adalah kertas penting, seperti: sertifikat, kartu tabungan, dan foto kopi surat-surat penting lainnya. Pada sekat paling atas, aku melihat beberapa dasi menyelip diantara lipatan kemeja. Dasi-dasi itu aku dapatkan dari Uwa Yulianto. Detik itu, aku melihat ada lampu bohlam menyala terang di atas kepalaku.
***
Pagi yang cerah, secerah perasaanku hari ini. Aku perhatikan diriku lewat cermin berukuran empat puluh kali seratus senti meter. Rambut belah pinggir rapih. Kemeja pendek warna krem membalut tubuhku. Celana bahan katun warna hitam diikat kencang oleh sabuk pada pinggangku. Sepatu hitam mengkilat, hingga mengeluarkan sinar putih. Dasi hitam terikat erat pada kerah kemeja. Pagi itu aku tersenyum melihat penampilanku sendiri. Aku merasa, aku adalah orang yang berpenampilan paling rapih sedunia. Aku tidak sabar untuk segera ke kampus. Sungguh, aku sangat tidak sabar.
Di lorong antara ruang sepuluh dan ruang sebelas aku berjalan tegap. Aku sapa teman-teman yang sedang duduk dilantai sambil menunggu dosen datang. Mereka tidak menjawab sapaanku. Mereka hanya terbengong-bengong melihat penampilanku. Aku masuk ke ruang sepuluh. Keadaan ruang ribut ketika itu, namun tiga langkah memasuki ruangan, suasana menjadi hening seketika. Mata mereka tertuju pada diriku. Tidak ada aktifitas lain yang bisa aku lakukan selain hanya memberikan senyuman manis kepada mereka. Aku duduk pada kursi paling depan, yang ter dekat dengan meja dosen.
Esoknya, aku selalu menggumamkan beberapa kali kata “Aamiin” ketika teman-temanku memanggilku dengan sebutan “Pak Dosen”.
***
LAMPIRAN:
Sepucuk Toge
toge oh toge
malu, malu ingin meregang
meregang untuk jadi pohon yang rindang
tapi sayang seribu sayang
kau kalah bagian
dengan orang serakah di seberang jalan
tanahnya sudah jadi bangunan
seharusnya kau heran!!!
mengapa sebiji toge ‘tak dapat bagian
susahnya jadi sebiji toge
harus mencari tanah untuk hidup
kenapa orang lebih senang menanam batu bata dari pada sebiji toge???
batu bata untuk uang
pohon pohon dijadikaan uang
‘tak ayal kau hanya mendapatkan bagian
di pot pot yang usang
digantung di atas jejalanan orang
berlindung dari keringat tanah
zat hara terlibas uang
uh…….. hijau hijau hijau
kau hilang bagai bilangan exponensial
drastis turun meringis
tinggal hutan gundul bak kepala gundul
tukang panggul kayu jati
hijau hijau hijau
kapan kau kembali???
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
flash back ya kg...,
BalasHapustp knp yaa dalm crita ini terasa boring...,:( maaf yaa....
mungkin karna sbelumnya saya pernah baca cerpen kg niko tntang spucuk toge..., tp openingnya bagus!!!
teruskan...!!!!
You have one more fans brother, I always read what you've written. And I don't know I feel it's hilarious if I recall all those things in my mind.
BalasHapusAs you find yourself, the twist on this story is OK... I mean, the word that you use is so simple and flowing but has no surprise in it. No offense, I'm just expressing my point of view. Maybe, the style of your writing like... mmm description.
I don't know... Just one more phrase I'm gonna say... Keep Up Good Work!