Senin, 13 Juni 2011

Sebuah Kisah di Masa Lalu


Jam satu siang. Langit sangat cerah. Matahari bersinar terik. Aku menyusuri sisi kiri jalan geger kalong. Jalanan dipenuhi mobil dan motor yang berebut saling mendahului. Asap kenalpot semakin memperparah kualitas udara di bumi.

Beberapa menit yang terlewat, aku mengembalikan sepeda motor milik seorang teman akhwat yang kupinjam untuk mengerjakan praktikum mata kuliah interpretasi peta topografi dan foto udara (intopu) ke Subang, tepatnya di jalan cagak. Tugasnya adalah survei ke lapangan langsung. Apakah koordinat di peta topografi yang menunjukan suatu tempat sesuai dengan keadaan di lapangan. Jadi yang harus dilakukan adalah mendatangi tempat nyatanya di lapangan. Koordinat yang tertulis di peta disesuaikan dengan koordinat sebenarnya dengan bantuan alat GPS. Apakah sama? Atau sudah berbeda? Jika berbeda, itu berarti koordinatnya telah mengalami pergeseran. Dosen pengampu mata kuliah ini mengatakan kalau koordinat yang ada di peta pasti berbeda, dikarenakan peta yang digunakan buatan tahun 60-an. beberapa jam yang lalu, beliau membuktikan kebenaran ucapannya. Aku dapati koordinat yang tertulis di peta untuk jalan cagak, memang berbeda dengan koordinat lapangan (asli) yang dibaca oleh GPS. Luar biasa. Pakar.

Aku terus berjalan. Selangkah demi selangkah. Lima puluh meter di depan terlihat lantai atas mesjid Daarut Tauhiid yang sedang direnofasi. Terlihat beberapa pekerja bangunan sedang mengerjakan sesuatu di atas sana.

“ Ko.... Niko.......” terdengan ada suara yang memanggilku. Aku menoleh ke sumber suara di seberang jalan.

“ Niko !” kudapati kawan lama melambaikan tangannya ke arahku.

“ Dzikri !” reflek aku mengucapkan nama kawan lamaku itu. Iya, Dzikri namanya. Teman, sahabat, saingan, sekaligus musuh beratku ketika masih menuntut ilmu di SMP N 1 Cinangka dulu. Dzikri menyeberang jalan menghampiriku. Kami berjabat tangan sangat erat. Kami saling memberikan senyuman. Aku melihat semangat pada sorot matanya. Dari dulu dia memang seperti itu, hidupnya selalu penuh dengan aroma kesemangatan. tidak heran, kenapa sekarang banyak prestasi yang sudah dia raih.

Sebenarnya, baru satu bulan lalu kami berjumpa. Tapi, meskipun itu seminggu yang lalu, atau kemarin sekalipun, semua itu serasa lama sekali kami tidak berjumpa. Kami laksana dua sahabat yang bertemu kembali setelah terpisah berabad-abad lamanya.

Siang itu, Dzikri mengenakan pakaian rapih. Sepatu pantopel warna hitam, celana katun hitam, kemeja panjang warna biru, dasi putih belang biru mengikat di lehernya, kemudian disempurnakan dengan gaya sisir rambut kelimisnya. Sedari dulu, aku belum pernah melihat gaya menyisir rambut Dzikri selain belah pinggir kelimis itu. Dia konsisten.

“ Gimana kabarnya Ko?” tanya Dzikri dengan suara keras, hingga membuat orang-orang disekitar kami, menoleh ke arah kami.Aku meletakan jari telunjukku di depan bibir, isyarat kepada Dzikri untuk bicara pelan saja. Dia meletakan kelima jari tangan kanan di bibirnya sambil celingukan ke sekitar. Dzikri tersenyum malu. Wajahnya sedikit memerah.

Alhamdulillah baik, Dzikri gimana? Sehat? Bagaimana kuliah?” jawabku sambil balik bertanya.

“ Sehat luar biasa Ko. Kuliah sangat lancar dan sesuai dengan keinginan. Niko sendiri, gimana kabar kuliahnya?!”

“ Lagi melemah nih Dzik, semangat sedang turun-turunnya,” jawabku lemas.

“ Kenapa?!!! Semangat lagi atuh!!!! Kemarin-kemarin saya ketemu Fauko pas pulang kampung. Sekarang dia kerja di Krakatau Steel, sebagai karyawan inti!” Dzikri menepuk pundakku.

“ Apriyadi gimana? Dimana dia sekarang?”

“ Dia jadi supervisor bagian keamanan di pelabuhan barang internasional di Cilegon!” jawab Dzikri.

Mendengar semua itu, pikiranku melayang-layang ke masa lalu. Masa-masa ketika kami (red: aku, Apriyadi, Dzikri dan Fauko) duduk dan belajar di kelas yang sama. Masa-masa kami berlomba untuk cepat-cepatan dalam menyelesaikan soal matematika yang sama. Masa-masa tangan kami berlomba cepat-cepatan mengacungkan tangan untuk bertanya. Pun masa-masa kami saling sirik dan cemburu manakala salah-satu diantara kami saling mengungguli dalam mendapatkan predikat sebagai juara kelas. Masa-masa berada di dunia anak-anak yang mencoba untuk berpikir dewasa.
***

Takdir mempertemukan kami dikelas 7D (tujuh De). Menurut penuturan para guru, kelas ini adalah kelas unggulan. Para siswa yang ditempatkan adalah siswa-siswa yang mendapatkan nilai tinggi di sekolah dasar (SD)nya.Jumlah muridnya relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelas lain. Komposisi perempuannya sedikit lebih banyak dari laki-laki. Ketika itu, Dzikri duduk di meja paling depan baris ketiga dari pintu. Fauko juga duduk di meja paling depan, tapi di baris keempat, atau baris paling ujung dari pintu. Aku dan Apriyadi duduk di meja yang sama. Meja kami hanya diselingi satu meja di belakang Dzikri. Kami duduk di meja urutan ketiga baris yang sama dengan meja Dzikri. Satu alasankenapa kami duduk satu meja, jawabannya adalah sepak bola. Iya,aku dan Apriyadisama-sama hobi bermain sepak bola.

Waktu aku masih SMP, sistem ujiannya belum menggunakan semester, tapi masih catur wulan. Jikapada semester ujiannya dua kali dalam setahun, lain lagi pada catur wulan (cawu), ujiannya dilaksanakan tiga kali dalam setahunnya. Pada cawu pertama, Dzikri menggondol rengking kesatu, rengking keduanya dipegang teman sebangkuku, Apriyadi. Aku dan Fauko sama-sama menyabet peringkat ketiga. Nilai kami sama besar.

Pada cawu kedua, kami saling berlomba lagi. Aku mencoba belajar lebih keras dari saingan-sainganku. aku mencoba belajar lebih lama, membaca lebih banyak satu lembar, latihan mengerjakan soal lebih banyak, dan datang ke kelas satu menit lebih awal dari yang lain. Aku pikir, saat itu aku adalah orang paling rajin di dunia. Namun, ketika hari yang dinanti-nanti itu tiba, aneh bin ajaib, urutan tiga besar peringkat kelas tidak berubah sedikitpun. Dzikri pertama, Apriyadi kedua, aku dan Fauko yang ketiga. Selidik-punya selidik, ternyata diam-diam, saingan-sainganku melakukan hal yang serupa dengan yang aku lakukan.

Memasuki cawu ketiga, atau cawu kenaikan kelas, aku dan Apriyadi tidak begitu giat dalam belajar mata pelajaran sekolah, hal ini karena kami lebih serius dalam mempersiapkan mengikuti kompetisi futsal antar SMP se-provinsi Banten. Hampir setiap sore kami latihat di lapangan basket yang merangkap sebagai lapangan futsal juga. Aku ditunjuk sebagai kapten tim oleh pelatih, karenanya, aku harus super konsentrasi dalam memperhatikan perkembangan tim, selain itujuga, aku harus pandai-pandai menangkap instruksi yang diinginkan sang pelatih dalam mengatur irama permainan di lapangan. Aku harus ekstra perhatian dengan kondisi psikologis rekan satu timku.

Kompetisi futsal dimulai. Tuan rumahnya adalah SMP N 1 Anyer. Tim kami pulang-pergi Cinangka-Anyer selama satu minggu. Siswa yang masuk skuad tim futsal harus ijin sekolah terlebih dahulu jika mendapatkan jadwal pertandingan pagi atau siang hari. Pertandingan demi pertandingan kami laksanakan, hingga tibalah SMPku ke babak semi final. Namun na’as, kami kalah oleh Mts N 1 Anyer pada babak ini. Juara satu kompetisi futsal ini diraih oleh Mts N 1 Anyer, juara kedua adalah SMP N 2 Kramat watu, juara ketiga SMPku, dan juara keempatnya diraih oleh tuan rumah. Prestasi ini membuat kami yang masuk skuad tim futsal SMP N 1 Cinangka dibanggakan oleh pihak sekolah. Kami diberikan bonus bebas biaya SPP selama satu catur wulan. Namun, apa yang terjadi dengan nilai rapotku? Ketika hari pembagian rapot tiba, Dzikri masih konsisten dengan peringkat pertamanya. Fauko Ro’si naik satu tingkat menjadi peringkat kedua. Apriyadi turun menjadi peringkat ketiga, sementara diriku, harus rela menjadi urutan keempat.

Kenaikan kelas. Kami sekarang duduk di bangku kelas delapan. Kami ber-empat tidak lagi satu kelas. Apriyadi 8B (delapan Be), Fauko8C (delapan Ce), aku 8E (delapan E), dan Dzikri 8F (delapan Ef). Ketika itu sistemnya sudah berganti menggunakan sistem semester, jadi ujiannya dilakukan dua kali dalam satu tahun. Meskipun tidak satu kelas, aroma persaingan masih ada dalam diri kami. Pada semester pertama, kami menggondol peringkat tertinggi di kelas masing-masing. Begitupun pada semester kedua, kami masih menjadi yang terbaik di kelas kami. Menginjak awal kelas sembilan, pada akhir upacara bendera hari senin, sepuluh orang siswa berdiri berbaris di tengah lapangan upacara. Acaranya adalah pemberian penghargaan kepada siswa yang meraih predikat siswa terbaik. Empat dari sepuluh siswa itu adalah kami, aku, Apriyadi, Dzikri dan Fauko.

De javu. Persaingan yang telah hilang muncul kembali di kelas sembilan. Kami dipertemukan kembali di kelas 9A (sembilan A). Aku mencoba mengevaluasi diri. Aku mencoba meminimalisir kesalahan-keslahan yang akan menjauhkanku dengan prestasi akademik. Aku memilih meja paling depan baris paling jauh dari pintu. Aku masih ingat, hari pertama belajar di kelas tiga. Aku berangkat dari rumah sangat pagi. Mataharipun masih berselimut di peraduannya. Sesampainya di kelas, aku dapati ketiga sainganku sudah ada di dalam kelas. Dzikri dan Fauko duduk di meja yang sama, meja paling depan baris ketiga. Apriyadi tidak mau kalah, dia juga duduk di meja paling depan baris keempat, yang kemudian menjadi mejaku juga. Mereka duduk mematung dengan tangan memegangi buku. Rupanya mereka mencoba melakukan star terbaik pada persaingan kali ini. Aku tidak mau kalah. Aku langsung duduk di samping Apriyadi dan segera membuka buku pelajaran. Keadaan hening ketika itu. Tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami sampai kelas mulai rame dengan kedatangan siswa lainnya.

Persaingan kami tidak hanya terjadi pada diri kami masing-masing, tapi merambat juga pada dua kubu besar. Kubu pertama dikomandoi Dzikri dan Fauko, bawahannya adalah siswa laki-laki di barisan meja mereka. Dan kubu kedua diotaki aku dan Apriyadi, semua yang duduk di barisan kami adalah rekan kerja kami. Persaingan semakin memuncak jika ibu atau bapak guru memulai sesi pertanyaan. Sebisa mungkin kami bertanya dan memberikan interuksi kepada rekan-rekan satu barisan untuk bertanya juga. Aku merasa puas jika barisanku lebih banyak bertanya dibanding barisan Dzikri dan Fauko, aku pasti keluar kelas dengan seutas senyum tersungging di bibirku. Pun sebaliknya, duniaku serasa gelap manakala kubu Dzikri dan Fauko yang menang. Jika diperhatikan, mungkin hal ini juga terjadi pada saingan-sainganku yang lain. Salah-satu buktinya ketika kudapati Dzikri dan Fauko berwajah muram di waktu yang berbarengan dengan tersenyumnya aku dan Apriyadi.

Waktu terus berjalan. Tibalah hari pembagian rapot. Siapa jawaranya? Lagi-lagi, Dzikri masih setia dengan nomer satunya. Aku ada perbaikan, posisiku satu kasta di bawah Dzikri, aku menyabet nomer dua. Nomer tiganya dipegang Fauko. Apriyadi ada di posisi keempat.Aku gembira waktu itu. Meskipun aku hanya menjadi nomer dua, tapi setidaknya satu tangga lagi yang harus aku naiki untuk bisa menyamai prestasi Dzikri, saingan terberatku.

Aku memulai semester dua dengan semangat dua kali lipat lebih besar, belajar dua kali lebih rajin, mengulik soal fisika dua kali lebih banyak.Namun, semua itu tidak bertahan lama, karena terjadi sebuah peristiwa besar dalam keluarga bahagiaku. Bahtera kapal yang aku tumpangi terpecah dan bocor. Kedua orang tuaku tidak lagi tidur di atap yang sama. Mereka bercerai. Aku sedih.

Setelah peristiwa perceraian itu, hidupku seperti tidak memiliki semangat lagi, bak sebuah mobil yang kehabisan bensin. Jangankan untuk belajar, berfikirpun terasa percuma. Aku merasa, meskipun aku menjadi nomer satu dari yang nomer satu, semua itu tidak ada rasanya. Semua itu tidak ada artinya. Hambar. Bagai sayur tanpa garam, tanpa penyedap, tanpa sayuran, tanpa air, tanpa tempat masak, tanpa kompor, tanpa tukang masak, pokoknya tanpa segalanya. Sejak saat itu, otakku dipenuhi dengan kebingungan. Aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan. Aku melanjutkan persaingan dengan teman-temanku tanpa gairah dan apa adanya.

Pada hari kelulusan tiba, sepuluh siswa dengan nilai terbaik berdiri di atas panggung. Medali dari logam yang bertuliskan lulusan terbaik mengalung di leher mereka. Para orang tua mereka berdiri bangga di belakang mereka.Hanya orangtuaku yang tidak hadir menyaksikan anaknya diwisuda. Lalu siapa yang berdiri di belakangku???? Dia adalah pamanku dari pihak bapak. Namun, aku tetap berusaha untuk tersenyum mencoba menghiasi kegembiraan yang dirasakan teman-temanku. Hanya saja aku tidak faham dengan arti dari senyumku ini, gembirakah? Sedihkah? Atau apa?? Mungkin, jika diibaratkan, senyumku itu tidak beda jauh dengan senyumnya monalisa pada lukisan karya Leonardo Da Vinci.

Urutan sepuluh lulusan terbaik itu: Dzikri nomer satu. Fauko nomer dua. Apriyadi nomer tiga. Aku nomer enam.

Selesai acara perpisahan, sekolah mulai sepi.Panggung tampak kosong, hanya alat musik dan sound system yang membisu disana. Aku duduk sendiri di bangku kayu di bawah pohon flamboyan dekat mesjid sekolah. Medali logam masih menggantung di leherku, dia bergoyang diterpa angin. Dzikri menghampiriku. Dia duduk disamping sebelah kananku, kemudian tangannya memegang pundakku.

“ Saya salut sama kamu Ko, saya belum tentu bisa bertahan jika mengalami hal yang sama. Oh ya, teman-teman lain sudah mengucapkan selamat pada saya Ko, bahkan ada yang sampe ngasih hadiah segala. Omong-omong kamu belum ngasih saya hadiah nih,” ujar Dzikri.

“ Saya ingin hadiah spesial dari kamu, Ko. Saya ingin hadiahnya itu adalah kamu kembali menjadi dirimu yang dulu, Niko yang penuh dengan aroma semangat, Niko yang punya banyak mimpi untuk diwujudkan, dan Niko yang menjadi sainganku. jujur, kamu adalah saingan yang paling aku takuti dibandingkan dengan saingan-sainganku yang lain.”

“ Satu lagi Ko. Saya tunggu kamu di SMA favorit di daerah kita, yaitu SMA N 1 Anyer. Kalau berani, saya tunggu kehadiranmu disana!” tantang Dzikri.
***

SMA
Tiga bulan sudah peristiwa yang menghancurkan kehidupanku terlewat. Aku mulai bisa menerima keadaan ini, meskipun hanya baru lima puluh persen. Seminggu sekali aku sempatkan untuk bertemu ibuku yang tinggal di rumah kakekku lagi.

Aku diterima di sekolah SMA favorit di daerahku, tiada bukan adalah SMA N 1 Anyer. Aku temui lagi para sahabat sekaligus sainganku, namun kami berbeda kelas. Aku 10A (sepuluh A), Apriyadi 10C (sepuluh Ce), Fauko 10E (sepuluh E), dan Dzikri 10F (sepuluh Ef). Sejak saat itu aku mencoba menata kembali hidupku yang hampir runtuh. Aku mulai hidup seperti sedia kala. Normal.

Masih jelas dalam ingatan, ulangan harian pertama adalah mata pelajaran sejarah, aku adalah satu dari dua siswa kelas sepuluh yang memperoleh nilai sempurna, siswa satunya satu kelas dengan Dzikri, dia perempuan. Selain karena itu, ada satu lagi kenapa aku bisa bergairah. Adalah seorang kakak tingkat yang cantik jelita. Namanya Wida. Dia pembina MOS (masa orientasi siswa) untuk kelasku.Semangatku mulai tumbuh lagi. Aku seperti dilahirkan kembali.

Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana kecantikan Wida, yang pasti dia benar-benar cantik. Kuakui, aku mencintai dia.Jika kuperhatikan, sepertinya dia juga menaruh hati untukku. Teringat cerita sepupuku yang berteman sekaligus satu kelas dengan Wida.

“ A Niko, tau gak, tadi ada temen Ica cerita. Dia cerita kalau di kelas bimbingannya ada seorang murid baru yang ganteng. Pas Ica tanya siapa namanya, dia bilang namanya Niko. Langsung aja Ica bilang ke dia, kalau Niko yang sedang dia ceritakan itu adalah sepupu Ica. Dia tersipu malu,” cerita Ica di salah-satu hari ketika MOS.

“ Siapa nama temen Ica itu? Cantik gak?” tanyaku penasaran.

“ Wida!”

Aku bengong percaya tidak percaya dengan apa yang diucapkan sepupuku. Tiba-tiba saja hatiku sedingin embun pagi. Sejuk menjalar keseluruh tubuhku. Hari-hariku terasa lebih berwarna dari sebelumnya.

Dengan perantara Ica, aku dekat dengan Wida, namun, Allah mentakdirkan lain. Sampai hari perpisahan kami di hari kelulusan Wida, aku tidak sempat mengungkapkan isi hatiku kepadanya. Aku tidak pernah punya nyali untuk melakukan itu. Aku malu. Lidahku kaku dan kelu jika hendak mengatakan cinta. Kisahku dengan Wida, selesai sampai disana.
***

Ketikamentariku muncul lagi. Ketika dedaunan bersemi kembali. Ketika angin pagi menyapa alam. Ketika hariku mulai cerah kembali. Namun, ketika itu juga, badai menyapaku lagi. Mamahku nikah lagi. Sayangnya, bukan dengan bapak. Mamah nikah dengan laki-laki lain. Sirna sudah harapanku untuk menyatukan orangtuaku lagi. Sungguh, aku shock ketika peristiwa itu terjadi. Aku marah, namun bingung akan dilampiaskan kemana kemarahanku ini. Aku bingung dengan diriku sendiri. Aku tak tahu apa yang harus dan akan aku perbuat pada kehidupanku. Segala sesuatu serba tidak enak. Hampa memeluk hidupku lagi.

Sejak pernikahan itu, aku belum pernah sekalipun menginjakan kaki di rumah mamah yang baru. Aku kecewa pada mamahku, seseorang yang telah melahirkanku ke dunia ini. Satu-satunya hiburan bagiku adalah sepak bola. Iya, tiada bukan selain sepak bola. Aku lebih menyibukan diri dengan olah raga yang satu ini. Aku mengikuti sekolah sepak bola di daerahku. Semua beban hidup hilang jika diriku sedang bermain sepak bola. Karenanya, agar aku selalu lupa dengan semua masalahku, sebisa mungkin aku menyeringkan bermain sepak bola. Sehari satu kali. Seminggu tujuh kali. Sebulan tiga puluh kali. Itulah caraku untuk mengusir kesepianku.

Pilihan hidupku itu membuahkan hasil. Aku terpilih menjadi salah-satu atlet untuk mewakili kecamatanku dalam kompetisi kabupaten (PORKAB). Dengan perjuangan yang gigih, kecamatanku menggondol juara ketiga pada kompetisi itu. Aku masuk koran lokal Banten, karena mencetak beberapa gol untuk timku.Dan yang lebih membanggakan lagi, aku terpilih untuk mengikuti tim seleksi salah-satu klub sepak bola besar di provinsi Banten, yaitu PERSERANG. Ada dua orang dari kecamatanku yang terpilih, yaitu aku dan teman,saingan, serta teman seperjuanganku di dunia sepak bola, adalah Apriyadi.Bersama Apriyadi, aku latihan lebih giat dan disiplin. Hampir setiap pagi kami latihan fisik di pantai, sorenya latihan permainan dengan orang-orang di kampungku yang hobi main sepak bola.

Seleksi perserang dilaksanakan satu minggu tiga kali, yaitu pada rabu sore, jum’at sore dan minggu pagi. Setiap hari itu kami harus menempuh jarak lebih dari empat puluh kilo meter, dengan naik kendaraan umum tentunya.Untung saja, pihak menejemen klub memberikan uang transport kepada setiap pemainnya, jika tidak, bisa-bisa aku dan Apriyadi membatalkan diri untuk tidak ikut seleksi karena ketiadaan ongkos.

Aku masih ingat. Minggu pagi, sekitar jam sepuluh, ketika matahari sedang bersinar terik, kami, tim seleksi berkumpul di tengah-tengah stadion Maulana Yusup, Ciceri, Serang, kandangnya klub perserang. Semua menejemen klub hadir. Mereka berdiri mengelilingi kami. Sang pelatih mengumumkan siapa-siapa saja yang akan masuk skuad tim perserang dalam mengikuti kompetisi nasional tingkat usia dibawah delapan belas tahun. Betapa bangga dan gembiranya hatiku, karena kami, aku dan Apriyadi lolos seleksi. Kami masuk skuad perserang pada kompetisi tingkat nasional.Berita itu, membuat geger kampungku. Namaku harum. Tidak sedikit anak-anak yang bermimpi menjadi pemain sepak bola profesional, memintaku untuk menceritakan rahasia keberhasilanku bisa menembus klub perserang, lebih jauh lagi bisa mengikuti kompetisi tingkat nasional. Aku sangat gembira ketika itu. Namun, kegembiraan itu sirna jika aku sedang sendiri. Badai itu belum hilang dari ingatanku.

Badai itu, menghantui hidupku lagi.
***

Di dunia sepak bola aku berhasil. Tapi tidak di akademik. Nilai-nilaiku berbalik seratus delapan puluh derajat jika dibandingkan dengan nilai-nilai semasa SMP. Nilaiku dibawah standar siswa lainnya. Tapi syukur, aku masih bisa lulus SMA. Pada hari kelulusan itu, aku masih bisa menyunggingkan sebuah senyuman. Senyuman yang kupersembahkan untuk teman, sekaligus sainganku. Langkah mereka, jauh meninggalkan diriku. Dzikri lolos seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Bandung, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia. Dia mengambil jurusan Pendidikan Fisika. Fauko Ro’si mendapatkan beasiswa penuh di Balai Latihan Kerja (BLK) provinsi Banten. Sementara Apriyadi, juga mendapatkan beasiswa sekolah keamanan di ibukota, Jakarta. Terlebih untuk Dzikri. Dia menjadi siswa dengan predikat nilai kelulusan terbaik.

Sore hari, sepulang dari acara pelepasan siswa SMA N 1 Anyer, aku diseret oleh ketiga temanku itu. Aku dibawa mereka ke halaman belakang mesjid sekolah. Pada taman itu, aku dapati dua buah galian tanah, yang satu sedalam satu meter, dan yang satunya setengah meter. Disamping lubang itu terdapat bibit pohon trembesi kecil dan sebuah cangkul .Mereka mengeluarkan benda di dalam tas masing-masing. Benda itu adalah: sebuah pulpen, secarik kertas putih dan sebuah botol kaca, lengkap dengan penutupnya.Dzikri memberikan semua jenis barang itu kepadaku. Aku bingung dengan apa yang akan mereka lakukan.

Kuperhatikan teman-temanku. Mereka sedang menuliskan sesuatu pada kertas. Mereka menatapku.

“ Tuliskan mimpi-mimpimu di kertas itu,” ucap Fauko tanpa basa-basi.

“ Sebanyak yang kamu inginkan,” tambah Apriyadi.

“ Jangan bengong! Tulis sekarang juga!” perintah Dzikri.

Aku teringat keluargaku. Aku ingat adik-adikku. Aku ingat masa laluku. Aku ingat mimpi-mimpiku yang telah lama terkubur. Aku teringat segalanya tentang hidupku. Segera aku coretkan beberapa tulisan.

“ Masukan kertas itu pada botol, lalu tutup!” perintah Dzikri.

Mereka meletakan botol-botol ke dalam lubang galian. Fauko merampas botolku, lalu menyimpannya ke lubang yang sama. Apriyadi menggenggam cangkul guna mengubur lubang itu dengan tanah. Pohon trembesi ditanam pada lubang sebelahnya.

Kami berempat berdiri menghadap ke timbunan tanah dan pohon trembesi. Beberapa saat kami terdiam tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“ Tujuh tahun dari sekarang, kita kembali lagi kesini untuk menggali lubang ini,” gumam Dzikri. Aku, Fauko dan Apriyadi mengangguk berbarengan.Kami berpisah menelusuri jalan masing-masing. Kami pulang.
***

SATU SETENGAH TAHUN KEMUDIAN
Aku menginjakan kaki di sekolahku dulu. Tujuannya adalah mengambilkan raport kenaikan kelas, adik perempuanku, Dini, yang juga bersekolah di sini, di SMA favorit ini. Menyengaja aku berangkat pagi, karena aku ingin bersilaturahmi dengan pak Amas Kusna, wali kelasku ketika duduk di kelas 12 IIS 1 (dua belas, Ilmu Ilmu Sosial, satu). Aku kangen beliau.

Sesampainya di SMA, aku segera meluncur menuju kantor guru. Pucuk dicinta ulampun tiba. Pak Amas sedang duduk sendiri pada kursi di depan kantor guru. Beliau sedang mengoperasikan hapenya yang sedang digenggam. Aku sapa beliau.

Masya Allah, Niko, anakku, apakabar kamu nak? Sudah lama kita tidak berjumpa. Kangen bapak sama kamu nak,” sambut pak Amas. Beliau berdiri menyambutku. Aku mencium tangan kanan pak Amas.

Pak Amas mempersilahkanku untuk duduk di kursi kosong sebelah kiri kursi yang tadi pak Amas duduki. Kami ngobrol panjang. Beliau menanyakan keadaanku sekarang. Kabar kelauarga. Kabar karir dan juga kabar mimpi-mimpiku.

“ Gimana kabar ibumu nak? Sudah menjalin silaturahmi lagi dengan beliau?” kenang pak Amas.

Alhamdulillah, setelah mendengarkan nasihat bapak ketika hari pelepasan itu, aku sedikit lebih membuka diri kepada mamah. Sekarang, hubungan kami baik, seperti sedia kala,” jawabku atas pertanyaan kenangan pak Amas.

“ Sekarang saya sudah bisa menerima keadaan keluarga, pak. Pada hakikatnya, semua ini terjadi atas izin Allah. Pasti ada hikmah dibalik semua kejadian yang telah menimpa saya ini. Sebagaimana apa yang bapak katakan pada saya dulu,” aku menambahkan. Kami berdua tertawa ringan.Pak Amas mengelus-elus punggungku.

Kami saling cerita lebih jauh lagi. aku cerita tentang profesiku sekarang yang menjadi guru honor di sekolah dasar di kampungku. Aku utarakan keinginanku untuk melanjutkan kuliah ke Universitas Pendidikan Indonesia.

“ Saya ingin mengukir mimpi lebih tinggi lagi pak,” ungkapku pada pak Amas. Pak Amas menanggapiku dengan sebuah senyuman yang penuh arti.

“Semua keinginanmu itu bisa terwujud nak, asalkan ada kemauan, kerja keras dan sikap pantang menyerah menghadapi kegagalan. Jika semua itu sudah dimiliki, bapak yakin, kamu dapat mewujudkan apapun cita-cita kamu, nak,” nasihat pak Amas.

“ Tapi saya agak sedikit pesimis pak. Saya menjadi ragu apabila teringat bagaimana nilai-nilai saya ketika masih di SMA ini dulu.”

Pak Amas tersenyum lagi. Beliau memegang pundakku dan lebih mencondongkan tubuhnya padaku.

“ Dengarkan baik-baik apa yang akan bapak omongkan nak. Hidup itu ibarat sebuah buku. Sampul depan adalah hari kelahiran kita, sedangkan sampul belakang adalah waktu kematian kita. Buku-buku itu ada yang tebal dan ada yang tipis. Semua itu bergantung seberapa lama jatah hidup kita. Sekotor dan sebanyak apapun coretan pada sebuah halaman, akan tetap tersedia lembaran baru yang bersih pada lembaran-lembaran berikutnya. Nah, seperti itu pula hidup kita. Sejelek apapun masa lalu kita, akan ada hari-hari baru berikutnya. Maka gunakanlah kesempatan itu untuk memperbaiki diri.”

Untuk sesaat aku terdiam. Begitu juga dengan pak Amas.

“ Begitu nak. Jika memang Niko merasa masa SMA adalah masa-masa hitam, maka jangan sampai semua itu menghantui masa depan kamu, nak. Masih ada hari esok untuk memperbaiki diri. Dan, perlu Niko ketahui, bapak yakin Niko bisa melakukian itu. Bapak tahu siapa Niko. Bapak yakin itu,” pak Amas menepuk-nepuk punggungku bermaksud memberikan suntikan motivasi lebih.

“ Terima kasih motivasinya pak. InsyAllah, mulai hari ini saya akan memperbaiki diri,” ucapku. Kami saling memberikan senyuman manis. Lagi, pak Amas menepuk-nepuk punggungku.

Kami melanjutkan obrolan dengan topik lain yang lebih ringan. Obrolan kami terhenti ketika bel masuk berbunyi. Aku masuk kelas 10 E (sepuluh E), kelas adikku. Aku duduk diantara bapak-bapak dan ibu-ibu. Hanya aku yang usianya terbilang masih muda. Aku menunggu nama adikku dipanggil guna mengambilkan raportnya.
***

Terik matahari serasa menyubit-nyubit kulitku. Jam satu siang, memang temperatur bumi mencapai puncaknya. Keadaan ini dikarenakan proses pemanasan atau penjalaran pemanasan. Jika suhu bumi hanya bergantung tunggal pada posisi matahari terhadap bumi, maka seharusnya temperatur bumi mencapai puncaknya pada jam dua belas siang. Ketika itu matahari sedang berada pada posisi titik zenitnya, atau sedang berada persis di atas ubun-ubun kepala kita. Namun, karena penyaluran radiasi matahari itu membutuhkan proses waktu, maka suhu harian tertinggi berada pada jam-jam satu atau jam dua-an.

Selepas berpisah dengan Dzikri, aku melanjutkan perjalanan menuju asrama. Di asrama, di kamar bawah yang dekat dengan lapangan futsal, tepatnya kamar nomer lima belas, terdapat empat sosok manusia tergeletak di lantai, tanpa alas kasur lipat. Mereka ketiduran di atas karpet biru. Posisi tidur mereka sumrawut. Yoga tidur tengkurep. Di depannya terdapat meja kecil yang diatasnya ada buku yang masih terbuka. Hanif tidur telentang. Posisi kepalanya tepat di bawah kaki Yoga. Sedikit saja Yoga bergerak, sepertinya Hanif akan tertendang. Iqbal lebih aneh. Dia tidur dengan posisi duduk. Punggungnya disandarkan pada tumpukan kasur lipat. Mulutnya sedikit terbuka. Sementara kang Farhan, dia tidur dengan posisi menyerupai salah-satu hurup arab, yaitu wao. Badannya mengkerut seperti pohon toge yang baru tumbuh tunasnya. Dia tidur di posisi paling pojok, nyelip di antara dinding dan lemari. Mengenaskan.
***

2 komentar:

  1. rahasia: saat SMP jujur saya penasaran gaya belajarmu ko. aku tanya ke Dini. Jawabannya, "ih da Aa (niko) mah tara belajar, ulin bae, sepakbola bae". Wait a minute!. What on earth is that?. Pikirku, tanpa belajar aja nilai ulangan matematika-mu dulu 97 (kelas 9) saat dibagikan bu Heny. Gimana kalo belajar, kandas nilaiku yang 100. hehehehe...

    Saat pisah kelas dengan Fauko, menjadi momen sengit. Kalau denger nama fauko (dulu), nyel, langsung panas. Hello. Soalnya kabarnya bagus terus, puasa senin kamis, ulangan bagus terus, wah wah keduluan terus...

    Apriyadi still had a rivalry with Fauko, it was in highschool. but, not in academic, it was in love... hehehehe...

    Ya kalo sekarang-sekarang ketemu jadi inget we masa jaya!

    terus berkarya kawan!

    BalasHapus
  2. kawan, aku hendak membicarakan sesuatu, ini pembicaraan itu : ........................................................................................................................................................................................................

    jika Dzikri masih tahu tentang diriku dan masa lalu kita, Brother pasti tahu apa arti dari titik-titik misteri di atas, semangat brother :-)

    BalasHapus