Selasa, 04 Mei 2010

Efek Samping


Tidak semua prestasi yang seseorang raih akan membuahkan hal yang baik, bisa saja terselip sebuah efek samping yang membuat sang pembuat prestasi itu merasa tidak nyaman. Contoh nyatanya terjadi pada saya. Ketika masa ospek universitas berlangsung. Para pembina yang tidak lain adalah senior-senior saya mengadakan perlombaan menulis puisi yang bertemakan kepedulian generasi muda terhadap lingkungan. 'Tak ayal demi menanamkan benih popularitas, semua mahasiswa baru mencoba mengikuti perlombaan tersebut. Yang menang perlombaan itu pasti akan terkenal. Begitulah kurang lebih isi hati para mahasiswa baru, tidak terkecualii juga saya. Iseng-isengan mencoba mengikuti lomba menulis puisi itu, siapa tahu ketika melihat puisi saya, para juri tiba-tiba sakit mata dan memberikan nilai besar untuk puisi saya, kemudian mereka memutuskan puisi saya sebagai juara dari perlombaan ini. Begitulah hayalan saya ketika itu.

Genderang perlombaan sudah mulai dibunyikan. Semua mahasiswa baru, memeras otak demi sebuah puisi yang indah. Berbagai latar belakang dan pengetahuan yang berbeda tentunya akan membuat puisi yang dihasilkan akan berbeda-beda pula. Hal ini akan semakin membuat menarik saja kompetisi ini, ditambah lagi waktu yang diberikan panitia untuk pembuatan puisi tersebut hanya satu hari saja. " Supaya kalian tertekan, karena dengan tekananlah kalian akan berpikir kritis," begitulah alasan yang keluar dari mulut panitia.

Sehabis solat subuh, di kos-kosan teman yang lebih dulu menjadi mahasiswa, saya tumpahkan apa yang ada di hati saya ke dalam kertas putih. Kata demi kata memenuhi kertas putih itu. Suasana hati yang masih tenang dan belum tercemar oleh pikiran-pikiran lain, memudahkan saya dalam menyelesaikan puisi tersebut. Tanpa disadari, sang raja siang sudah muncul dari peristirahatannya. Bergegas saya pindahkan puisi saya ke dalam layar monitor komputer, kemudian langsung di print out. Tanpa banyak pikir lagi, saya langsung meluncur menuju kamar mandi.

Setibanya di kampus, semua puisi sudah ada di tangan pihak panitia. Giliran mereka sekarang yang pusing karena harus membaca dan menilai puisi yang jumlahnya seabreg-abreg. Kami, calon mahasiswa baru, sibuk dengan rangkaian kegiatan ospek yang lainnya.

Tidak terasa, tiga hari sudah terlewat. Hari ini adalah hari terakhir saya ospek. Semua calon mahasiswa dikumpulkan di gedung Gymnasium yang sangat luas. Kami semua duduk menghadap sebuah panggung pertunjukan. Pertunjukan demi pertunjukan di showkan. Tidak sedikit mahasiswa baru yang menyumbangkan kehebatannya, ada yang bernyanyi, ada yang menari, ada yang jugling bola sepak, dan masih banyak lagi pertunjukan yang lainnya.

Sekarang, tibalah saat yang sangat menegangkan, saat-saat dimana jantung peserta lomba menulis puisi berdetak tidak keruan. Sepasang MC berdiri di tengah-tengah panggung. Tidak jarang celotehan mereka membuat yang mendengar tertawa ringan. " Baiklah, sekarang tibalah saatnya untuk kita mengumumkan para pemenang lomba puisi yang bertemakan kepedulian kaum muda terhadap lingkungan," ucap MC laki-laki.

".... dan, pemenang pertama jatuh kepada puisi yang berjudul 'sepucuk toge'"

" Bagi yang merasa memiliki puisi berjudul 'sepucuk toge' dipersilahkan untuk naik ke atas panggung,"perintah MC wanita.

WHAT, puisi itu, puisi itu milik saya. Khawatir ada judul puisi yang sama dengan puisi yang saya tulis, saya sisir semua mahasiswa baru, takut-takut ada yang berdiri hendak naik ke atas panggung. Tidak lucu kan, seandainya saya naik ke atas panggung, tapi ternyata juaranya adalah puisi orang lain yang judulnya sama dengan puisi saya. Betapa malunya saya jika itu benar-benar terjadi. Khawatir peristiwa itu terjadi, sekali lagi saya sisir semua mahasiswa yang duduk. Ternyata, belum juga ada mahasiswa yang berdiri, apakah memang benar, puisi itu adalah puisi saya???

"...kepada saudara Niko Cahya Pratama, diharap untuk naik ke atas panggung," perintah MC wanita sekali lagi.

Oh My God, ternyata benar , itu puisi saya. Dengan tidak banyak pikir lagi saya langsung berdiri dan berjalan menuju panggung. Karena posisi duduk saya semula agak sedikit di belakang, jadi saya harus terlebih dahulu melewati ratusan, bahkan ribuan mahasiswa baru yang duduk di posisi tengah atau juga depan. Bisikan-bisikan terdengar ketika saya berjalan di antara ribuan mahasiswa baru itu.

Sesampainya di panggung, saya diminta MC untuk membacakan puisi yang saya buat. Dengan sedikit keraguan dihati, setelah butuh beberapa pertimbangan, akhirnya saya penuhi permintaan MC. Sesaat setelah saya membacakan judul dari puisi yang saya baca, secara tiba-tiba suasana gedung menjadi hening tanpa suara sedikitpun bak sedang berada di sebuah perkampungan terpencil pada jam dua belas di malam jum'at kliwon. Dengan takjim dan penuh penghayatan, saya membaca puisi. Sorakan dan tepuk tangan membahana ke seluruh penjuru gedung. Puluhan jabat tangan tertuju pada saya ketika kembali ke ruang kelas tempat jurusan saya di orientasi, baik itu dari kaum Adam ataupun kaum Hawa, dari tangannya yang kasar sampai yang halus, dari yang besar sampai yang mungil, dari yang putih sampai yang hitam, dari yang berasal dari Sabang sampai Merauke, semuanya saya rasakan. Semua macam bentuk ucapan selamat dilayangkan pada saya. Saya akhiri masa ospek ini dengan hati yang berbinar-binar. Saya sudah tidak sabar lagi untuk segera memulai ajaran baru dan membuat prestasi-prestasi yang lebih dari ini. Prestasi awal ini telah memicu saya untuk bisa berbuat lebih.
********

Niat untuk berangkat pagi gagal. Karena kamar mandi di kosan teman saya cuman ada satu, tidak sebanding dengan jumlah orang yang tinggal, yaitu tujuh orang, maka dengan berat hati, saya harus mengalah kapada juragan-juragan kosan yang kebetulan pada hari ini sedang jadwal kuliah pagi, dan konsekuensinya adalah kemungkinan besar pada hari pertama kuliah ini saya akan datang terlambat.

Bergegas saya naiki tangga menuju lantai empat. Dengan perasaan sedikit was-was saya mengetuk pintu. Saya buka. Puluhan mahasiswa sudah duduk di kursi pilihan mereka masing-masing. Beruntung dosen belum hadir. Saya berikan senyum terindah yang saya punya kepada teman-teman mahasiswa baru. Mereka membalas dengan senyuman yang bersahabat. Mata saya tertuju pada seorang mahasiswa perempuan yang mengenakan busana muslim warna hijau muda. Dia terlihat sangat anggun dan cantik. Saya melontarkan sekali lagi senyum terindah saya, namun kali ini spesial hanya untuk mahasiswa berbusana muslim hijau muda, dan gayung pun bersambut. Dia membalas senyum saya. Namun, bersamaan dengan itu, dia mengucapkan suatu kata, karena kata itu, selama satu semester penuh saya dipanggil dengan tidak menggunakan nama asli saya.

Mata kami saling memandang, "Mas Toge," ujar mahasiswa berbusana muslim hijau muda. Seisi ruangan tertawa ringan. Saya hanya bisa menggaruk-garuk kepala sembari berjalan mencari kursi kosong.



4 komentar:

  1. lanjutkan, ditunggu karya selanjutnya.
    btw toge apa?
    toge kacang merah?

    BalasHapus
  2. Bagus lah..Top markotop...
    LANJUTKAN BERKARYA!!!!!!!!!

    BalasHapus
  3. hahahhahahaa.....bodor pisan!!! tp like this lah....

    hmmmmmmm mnurut ku puisi yg dbuat ikut ditampilkan juga, supya pmbca lbih trbawa aja dlm sjak "spucuk toge" itu...hehehhehehe

    bgus!!!

    lnjutkn mas toge!!!!

    BalasHapus
  4. @ Anonim : siap, bukan kacang merah, tapi kacang ijo, he...
    @ Adli : siap bos....!
    @ NangNengNong : ^_^

    BalasHapus