Senin, 15 Agustus 2011

Merindu


Waktu itu, hal yang paling disukai ada banyak. Dua diantaranya adalah: hari minggu dan hujan deras. Jika hari minggu tiba, dengan semangat kami berisiap-siap untuk lari pagi. Pantai tujuan kami. Yang pada hari biasa kami dibangunkan ibu, hari itu berbeda, dengan sigap kami bangun sendiri. Segera mengganti baju tidur dengan kaos sepak bola, lalu dengan terburu-buru menggunakan sepatu olahraga. Dengan berbondong-bondong, aku dan teman sepermainanku berlari-lari kecil menuju pantai. Sesampainya dipantai, kami bermain pasir. Setelah cukup lelah, tubuh kami langsung diceburkan ke laut. Kami berenang dengan riang gembira. Ketawa-ketawa sampai terasa sakit kulit perut ini.

Sekitar jam delapan, kami pulang. Sebenarnya kami masih ingin menghabiskan waktu pagi ini di pantai seharian penuh. Tapi, apa mau dikata, acara kartun di tv mengalahkan hasrat kami untuk terus bermain. Kami nonton bareng di salah-satu rumah teman, atau juga dirumahku, bergantung pada kesepakatan yang telah kami obrolkan selama perjalanan pulang. Dengan keringat masih belum kering dan kaos yang dikenakan masih lembab karena air laut, kami tetap serius menyaksikan acara kartun. Ketika itu, kami masih enjoy melakukannya. Entah jika sekarang?

Kedua, jika hujan tiba, apalagi kalau deras. Tanpa banyak pikir, kami langsung melepas kaos dan celana kami, hingga kami telanjang bulat. Tidak sehelai benangpun yang menghalangi tubuh mungil kami. Kami adu lari menuju lapangan sepak bola. Selalu aku yang menang. Selalu aku yang tiba duluan ke lapangan. Mengapa? Jawabannya sangat sederhana, karena rumahkulah yang paling dekat dengan lapangan. Hamparan rumput hijau itu berada tepat di seberang rumahku. Hanya dipisahkan oleh sebuah jalan selebar tiga meter.

Kami bermain bola di lapangan luas itu, setidaknya jika dibandingkan dengan ukuran tubuh kami yang belum mencapai tinggi satu meter. Kami berebut untuk menendang bola. Berlari-lari kesana-kemari. Tidak ada kata lelah saat itu, yang ada hanyalah bersenang-senang. Tidak ada juga kata malu, karena kami belum mengenal yang namanya malu. Urat malu kami masih belum tumbuh sempurna ketika masa itu. Bahkan, yang parahnya adalah, jika ada orang lewat dan melihat kami sedang bermain bola, kami menghentikan dulu sejenak bermain bolanya. Tubuh kami dihadapkan pada orang yang sedang melihat kami itu. Kami menggoyang-goyangkan pinggul berniat mempertontonkan “titit” kami pada mereka. Banyak tanggapan dari orang yang melihat. Ada yang diam saja, ada yang ketawa, ada yang hanya tersenyum dan ada juga yang memasang wajah mual, seperti orang yang hendak muntah. Jika mereka menghilang tidak melihat kami lagi, kami berlarian lagi berebut bola. Dan jika ada lagi pendatang baru yang menonton kami, kami beraksi lagi sampai mereka kabur. Begitu terus sampai hujan reda, tepatnya sampai kami benar-benar merasa lelah.

Seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya usia, kami tidak berani lagi hujan-hujanan tanpa menggunakan penutup badan. Ketika sudah duduk dikelas tiga, yang ditutupi baru hanya bagian vitalnya saja. Kami hujan-hujanan dengan mengenakan celana dalam. Menginjak kelas empat, kami mulai menggunakan celana pendek. Kelas lima dan kelas enam, kami menambahkan penutup tubuh, kami menggunakan kaos. Dan ketika SMP, kami tidak lagi hujan-hujanan. Kami sudah mengenal yang namanya malu. Sejak saat itu, generasi kami digantikan oleh generasi setelah kami. Regenerasi berjalan dengan sangat baik. Mereka, para penerus kami, melakukan hal yang serupa ketika kami seusia mereka dulu.

Menginjak dunia SMP, kami bersekolah mulai menggunakan jasa angkutan umum. Ketika masih SD dulu, kami berangkat sekolah hanya dengan berjalan kaki saja, karena letak sekolahnya dekat. Karena sekolahnya ada di tengah-tengah kampung kami. Tapi tidak untuk saat ini. Sekolah SMP letaknya cukup jauh. Letaknya ada di dekat kecamatan. Dengan menggunakan mobil umum saja, waktu tempuhnya hampir dua puluh menitan. Yang paling kami sukai saat itu adalah, naik angkot dengan cara bergelayutan di pintu. Tidak jarang, kami dimarahi pak sopir, karena, ketika kami berebut untuk mendapatkan posisi bergelayut, ternyata, mobil angkot itu, di dalamnya masih kosong. Jika hal itu terjadi, taman-temanku segera masuk dengan raut muka yang cengengesan karen malu. Tapi, aku berbeda dengan mereka. Memang, akupun cengengesan juga ketika itu. Akupun merasa malu, apalagi jika disananya ada siswa perempuan. Yang membedakanku dengan teman-temanku adalah, jika mereka cengengesannya sambi masuk mobil, aku cengengesannya keluar dari mobil. Setelah situasi teras memungkinkan dan mobil mulai tampak penuh, segera aku sergap posisi menggelayut pada pintu angkot. Aku terenyum merayakan kemenanganku. Sambil bergelayutan, aku tersenyum memandangi teman-tamanku yang memasang wajah MUPENG (MUka PEngen melakukan yang sedang aku lakukan). Aku menang dan mereka kalah.

Saat masa SMP itu, kami mulai mencoba meninggalkan dunia kanak-kanak. Kami mencoba untuk berpikir dan berprilaku dewasa. Berpakaian tidak asal-asalan lagi. Menyisir mulai menggunakan minyak rambut. Seragam sekolah mulai disemproti wewangian. Dan yang pasti, kami mulai belajar mencari perhatian pada lawan jenis, dengan cara-cara yang kuno tentunya. Terkadang aku tersenyum sendiri jika sedang mengingat hal itu.

Hari berganti hari, hingga hanya tinggal beberapa waktu lagi kami besekolah di SMP dan sebentar lagi akan menjadi siswa SMA. Ketika masa genting itu, entah mengapa, kami jadi merindukan masa-masa SD dulu. Kami merindukan masa itu. Semuanya, tanpa terkecuali.

SMA. Adalah masa kritis untuk menentukan kehidupan kami kedepannya. Ingin seperti apa dan bagaimana kehidupan esok, biasanya ditentukan oleh kehidupan pada saat ini. Mengapa? Karena, saat ini adalah saat-saat usia kritis. Saat ini adalah penentuan jati diri seorang anak manusia. Saat ini adalah gerbang untuk kehidupan kedepannya. Saat ini, semua orang ingin menunjukan siapa dirinya. Peran lingkungan sangat dominan pada masa ini. Saat ini, godaan sedang gencar-gencarnya menyerang. Jika tidak memiliki cukup benteng diri, musnah sudah orang itu, dengan catatan jika seseorang itu tidak segera tobat.

Seperti halnya saat SMP dulu. Menjelang akhir di SMA, atau menjelang lulus sekolah, entah kenapa, perasaan rindu pada masa SMP menjangkiti hati. Bahkan tidak hanya masa SMP, masa SD juga terindukan. Rindu itu bercampur dengan sebuah penyesalan. Penyesalan mengapa dulu tidak melakukan yang terbaik. Jika saja dulu (SD dan SMP) aku tidak banyak bermain dan lebih banyak belajar? Kalau saja dulu aku tidak menyia-nyiakan kesempatan berbagai perlombaan yang ditawarkan padaku? Seandainya saja aku tidak malu-malu ketika disuruh berbicara di depan umum? Kalau saja dulu seperti ini dan seperti itu? Ah,pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu terngiang jelas di telinga. Pertanyaan yang semakin memojokan diri, karena dulu tidak melakukan yang terbaik.
***

Sekarang, sudah dua tahun lebih aku tinggal disini, disebuah kota yang berjuluk kota kembang. Sebuah kota yang sejuk nan asri. Di kota ini aku mencoba untuk menuntut ilmu, untuk bekal kehidupanku. Hiruk pikuk dunia kampus sudah mulai terasa menjemukan. Jika saja tidak membayangkan sebuah tujuan mulia ini, mungkin aku sudah kabur dan mencoba menghilang dari dunia kampus, kemudian pergi ke sebuah negeri yang aman dan damai. Tidak ada yang namanya konfik dan persaingan. Tidak ada yang namanya kebisingan. Dan tidak ada yang namanya aktifitas. Yang ada hanyalah diam dan damai. Sebuah negeri yang hanya ada dalam otakku. Negeri khayalan.

Terkadang, jika sedang termenung sendiri, kilatan masa lalu tiba-tiba mampir di kepala. Kilatan masa lalu itu tercerna dalam otak lalu turun ke hati. Sesampainya di hati, kilatan masa lalu itu menimbulkan sebuah pikiran, yang pada ujungnya membuat diri ini merindu ingin berkunjung kembali pada dunia yang telah terlewat itu. Merindu ingin menjadi anak SD lagi. Merindu ingin kembali pada masa SMP. Dan merindu ingin mampir lagi pada masa SMA. Diam diam, pertanyaan-pertanyaan yang dulu pernah ada, menyelinap kembali pada pikiran.

Sejenak aku terdiam, mencoba memikirkan peristiwa apa yang akan aku alami pada masa mendatang. Boleh jadi, suatu saat nanti, aku akan merindukan diriku hari ini, layaknya sekarang aku merindukan semua masa laluku. Mungkin, esok aku akan merindukan masa-masa belajar di kampus ini. Mungkin, aku akan merindukan teman-teman yang ada disekelilingku saat ini. Mungkin, aku akan merindukan semuanya tentang diriku hari ini. Mungkin juga, aku akan menyesali perbuatan-perbuatanku. Mungkin juga, aku akan kecewa lagi karena tidak belajar dengan rajin. Mungkin juga, semua pertanyaan yang pada akhirnya membuatku menyesal tidak melakukan yang terbaik itu akan muncul lagi dalam pikiran. Mungkin dan terus mungkin lagi. Semua itu sangat berpeluang besar menjadi sebuah kenyataan untuk esok hari. Besar sekali.

Dulu, ketika pertanyaan-pertanyaan itu muncul, yang paling aku sesalkan adalah kenapa aku tidak melakukan terbaik yang aku bisa. Jadi, agar aku tidak merasakan, atau paling tidak meminimalkan rasa penyesalan itu jika nanti pertanyaan –pertanyaan itu muncul lagi, jawabannya cukup sederhana, adalah melakukan yang terbaik pada hari ini. Memang, semua itu tidak semudah yang dibayangkan, pasti banyak ritangan yang harus aku lewati. Tapi, itulah sejumlah harga yang harus dibayarkan. Manisnya hidup itu dirasakan ketika sudah lelah berjuang. Hukum alam ini tidak bisa dipungkiri lagi kebenarannya.

Satu lagi. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar permasalahan dunia ini. Adalah kehidupan hari esok. Kehidupan dimana banyak orang yang menyesal. Kehidupan yang banyak orang ingin dikembalikan lagi ke dunia lagi. Kehidupan tempatku akan mempertanggung jawabkan semua perbuatanku selama hidup di dunia ini. Tidak akan pernah ada yang tersembunyi. Semuanya akan terlihat dengan sejelas-jelasnya, yang benar akan terlihat benar dan yang salah akan terlihat salah. Semua manusia, dari manusia pertama hingga manusia terakhir yang pernah hidup, dikumpulkan di sebuah padang yang maha luas. Tidak ada lagi yang bisa menolongku, kecuali amal yang pernah aku lakukan sendiri.

Akankah aku termasuk kedalam golongan orang-orang yang merasakan penyesalan sangat dalam itu? Atau masuk pada golongan yang sebaliknya, yaitu orang-orang bahagia, yang akan merasakan kebahagiaan hakiki di surgaNya? Semuanya bergantung pada diriku hari ini, di dunia ini. Semoga Allah SWT. menggolongkanku termasuk orang-orang yang beruntung. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar