Sore itu, saya dan My Moon di atas motor. Dalam perjalanan dari Nurul
Fikri menuju Lembah Cikananga. Hendak menengok kolam ikan. Sepanjang perjalanan
saya mendengarkan Si Cinta latihan kultum. Sebab beberapa hari lagi dia
kebagian jatah ceramah di kelompok pengajian mingguannya (Liqo).
Motor melaju setengah cepat. Sekitar empat puluh kilo meter perjam. Gas
saya kurangi. Karena jalanan menurun panjang. Turunan terakhir sebelum tiba di
pertigaan Teuneung.
"Barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Dia akan
membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberikan rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan keperluannya," cerocos My Moon di belakang. Dia mengutip ujung
ayat dua dan awal ayat tiga surat At-Talaq. Tema yang istri saya pilih adalah
tentang pasrah.
"Serahkan semua urusan kita kepada Allah. Biarkan Dia yang
menyelesaikan dengan caraNya. Cara terbaik dariNya untuk kita," ujar Si
Cinta setelahnya.
Mendengar ucapan istri, saya teringat akan kisah lalu. Tentang sebuah
kata yang menuntun saya pada takdir terbaik. Takdir terbaik yang diberikan
Allah kepada saya. Takdir yang menjelma menjadi sesosok wanita yang saat ini
sedang duduk di belakang saya. Kata itu adalah pasrah. Sama dengan tema kultum
pilihan Si Cinta.
Saat itu saya sudah siap menikah. Dan berencana ingin segera menikah.
Hanya saja saya bingung, wanita mana yang akan saya pilih untuk menjadi teman
di sepanjang usia. Dalam diam, saya banyak memperhatikan wanita baik. Hanya
memperhatikan.
Saya menimbang. Hendak mencoba memilih. Tapi sayang. Semakin keras saya
berpikir, semakin kusut otak saya. Bingung meringkus isi kepala. Sampai
akhirnya tiba pada satu titik. Titik dimana saya serahkan semuanya kepada Sang
Maha Perkasa. Terserah Engkau, Allah. Saya pasrah.
Kemudian takdir memilih dia. Seorang wanita yang saat ini masih terus
berkata-kata demi melancarkan lidah untuk di pengajian nanti. Kisahnya sudah
saya tuturkan pada tulisan sebelumnya (red: Jodoh InsyaAllah/ jurnal no 1 dalam
catatan harian suami menyebalkan).
Motor masih melaju. Melucur mengarungi turunan panjang. Pandang saya
tertuju pada hamparan laut Selat Sunda di hadapan mata. Kaki langit barat dan
pulau besar Sumatera menjadi latar belakangnya. Mempesona.
Saya tersenyum. Teringat lagi sebuah cerita. Cerita dari istri tentang
kami, yang dia beberkan waktu malam itu. Adalah kisah tentang dia, saya, dan
sebuah kepasrahan.
***
Malam bertambah larut. Tapi lampu kamar masih benderang. Kantuk mulai
meringkus. Mata mulai meredup.
"Iiiiih. Kak Niko jangan dulu tidur. Dengerin Mun cerita," My
Moon menggoyang-goyang badan saya. Meminta ceritanya didengar. Lebih tepatnya
memaksa.
"Iya ini masih dengerin."
"Tapi itu matanya redup."
Saya memaksakan mata untuk tetap melotot. Aduh Gusti.
Si Cinta terus nyerocos. Asik bersilat lidah membuka kenangan masa di
pondok dulu. Dari satu kisah ke kisah berikutnya. Dari kisah berikutnya ke kisah
berikutnya lagi. Aduh Gusti. Kapan cerita ini akan berakhir?!
"Kak Niko masih ingat gak waktu Kak Niko boyong (selesai
nyantri)?" My Moon bertanya.
Saya mengangguk.
"Waktu Kak Niko akan pulang, dan lewat asrama akhwat, ada suara
yang bilang 'Hati-hati Kak Niko'. Ingat gak?"
Saya mengangguk.
"Yang bilang itu adalah Mun. Mun juga kaget dengan yang Mun
katakan. Kok bisa ya? Seperti ada yang mendorong untuk mengucap itu.
Teman-teman santri akhwat juga pada kaget saat dengar Mun mengucap itu."
Ujar Si Cinta.
"Selepas Kak Niko pergi, Mun masuk kamar. Ambil buku dan pulpen.
Lalu duduk di belakang pintu. Khawatir ada santri akhwat yang masuk. Mun nulis
panjang. Lupa isi lengkapnya. Yang paling diingat bagian ini: 'Lidah saya tidak
mengatakan itu. Hati juga menyangkal. Tapi kenapa air mata ini menetes saat dia
pergi? Apakah ini yang dinamakan cinta?' hehe," Si Cinta menutup
kalimatnya dengan tawa malu-malu.
Mendengar topik bagian ini, bibir saya menyeringai. Mata terbuka lebar.
Lebar yang bukan dibuat-buat lagi. Obrolan mulai menarik nih. Haha.
"Kak Niko tahu gak? Saat di pondok dulu Mun sudah suka ke Kak
Niko. Tapi Mun pendam rasa itu dalam-dalam. Sebab Mun merasa bukan siapa-siapa.
Mun merasa bukan santri yang istimewa. Selain itu, karena banyak juga santri
akhwat yang suka ke Kak Niko."
"What? Serius Mun? Kok saya gak tahu ya, hehe."
"Yeeeh, mana mungkin mereka mau bilang ke Kak Niko. Mereka
ceritanya hanya ke sesama akhwat saja. Karena hal itulah Mun mencoba memangkas
rasa Mun ke Kak Niko. Mun merasa bukan kelas Kak Niko. Sebab Kak Niko punya
kegiatan di kampus, yang pasti banyak wanita cerdas di lingkungan itu. Sebab
Kak Niko juga seorang penulis yang mungkin punya banyak teman-teman penulis
wanita cantik. Karena itulah Mun sekuat tenaga menghilangkan rasa Mun ke Kak
Niko."
"Bukan penulis. Tapi masih belajar menjadi penulis." Saya
merevisi kalimat My Moon.
"Iya. Tapi para santri tahunya Kak Niko itu penulis. Karena
tulisan Kak Niko sering nempel di Mading pondok. Selain itu, di mata akhwat,
Kak Niko itu penampilannya rapih. Menurut akhwat, hanya ada dua santri
laki-laki yang penampilannya paling rapih, yaitu Kak Niko dan Kak Agus."
"Haha. Rapih dari Hongkong."
"Ya mungkin menurut Kak Niko tidak. Tapi akhwat menganggapnya
seperti itu."
"Haha. Oke lah. Terus apa lagi?" Saya mulai penasaran dengan
cerita selanjutnya.
"Iiih. Udah ya. Mun malu," ucap Mun tersipu.
Buset dah. Giliran saya mulai menikmati cerita, eh dia malah mau
berhenti.
"Gakpapa Mun. Cerita aja. Itung-itung sebagai bank data untuk saya
tuliskan nanti. Biar kisah kita bisa saya abadikan dalam tulisan," saya
mencoba mengeluarkan jurus. Supaya Si Cinta mau bercerita lagi.
"Pokoknya waktu itu Mun bunuh rasa suka Mun ke Kak Niko. Sebab
dalam pikiran saja Kak Niko itu tidak bisa Mun jangkau. Mun pasrah. Mun
serahkan semuanya pada Yang Kuasa saja."
Saya tersenyum.
"Oya. Kak Niko tahu gak?"
"Apa?"
"Tentang mimpi yang Mun ceritakan ke Kyai. Mimpi Mun sekitar satu
tahun sebelum Kak Niko bilang ke Kyai ingin melamar Mun."
"Oh mimpi itu. Iya. Kyai sudah cerita. Tapi hanya intinya saja.
Kyai hanya bilang bahwa Mun pernah cerita bahwa dulu Mun pernah mimpi di lamar
santri ikhwan. Tapi Mun tidak katakan siapa
santri ikhwan itu. Mun baru
berani katakan bahwa Ikhwan dalam mimpi itu saya, ketika saya sudah maju."
"Hehe. Iya."
"Memang gimana lengkapnya mimpi itu?"
"Dalam mimpi itu santri sedang ngaji. Ngaji kitab Al-Hikam,"
Si Cinta mengawali kisah.
"Nanti-nanti," saya menahan cerita. "Al-Hikam?!"
Saya lanjut bertanya meyakinkan.
"Iya," jawab istri saya pendek.
"Masya Allah. Kok sama ya. Waktu saya mimpi setelah solat
istikhoroh, saya juga mimpinya sedang ngaji Al-Hikam. {Kisahnya sudah saya
tuturkan pada tulisan sebelumnya (red: Jodoh InsyaAllah/ jurnal no 1 dalam
catatan harian suami menyebalkan)}. Yang setelah mimpi itu, kemudian saya
berpasrah tentang masalah jodoh. Lalu takdir menuntun saya untuk memilih
Mun."
My Moon hanya tersenyum. Kemudian bersiap melanjutkan cerita mimpinya.
"Setelah ngaji, Kyai memberi pengumuman bahwa ada santri Ikhwan
yang akan bicara. Lalu Kyai memanggil Kak Niko untuk maju."
Saya khusuk menatap istri yang bercerita.
"Kak Niko bilang begini 'InsyaAllah saya akan memberi tahu
semuanya tentang siapa akhwat yang akan saya pilih untuk menjadi istri saya.
Dan nama akhwat itu sudah saya tulis pada kertas putih ini'. Setelah itu Kak
Niko menunjukan kertas itu pada semua santri. Mun kaget dalam mimpi itu. Karena
yang tertulis adalah nama Mun. Kemudian Kyai menyuruh Mun untuk maju juga. Lalu
Kak Niko memberikan kitab yang sampulnya berwarna biru."
"Kitab warna biru? Kira-kira artinya apa ya?"
"Belum tahu Mun juga."
"Terus?"
"Apanya?"
"Mimpinya."
"Mimpinya sudah. Dan ketika liburan Mun ceritakan mimpi ini ke
keluarga Mun. Mereka penasaran pada Kak Niko. Lalu setelah satu tahun, Kak Niko
benar-benar maju memilih Mun. Keren banget ya. Klani (kakak perempuan istri)
sampe merinding saat Kak Niko maju lho, hehe." Si Cinta tertawa renyah.
"Padahal sebelum Kak Niko maju, Mun sedang semangat-semangatnya
ngafal Al-Quran lho. Eh malah nikah. Pokoknya Kak Niko harus tanggung jawab.
Kak Niko harus bantu Mun sampe hafal 30 juz!"
"Ya dihafalin lah."
"Tapi Kak Niko hanya nyuruh Mun ngafalin doang. Tapi Kak Nikonya
gak ikut ngafal."
"Ngafal Quran itu berat. Saya gak kuat. Biar kamu saja." Saya
menutup wajah dengan selimut.
"Iiih! Buka!" Mun sekuat tenaga menarik selimut. Haha.
***
Pasrah adalah bentuk tertinggi dari sebuah kepercayaan. Setelah
berusaha sekuat hati dan tenaga, baiknya kita pasrahkan tentang hasilnya. Ada
kekuatan Maha Besar yang mengatur segalanya. Sebagai hamba, tugas kita adalah
berusaha dan berdoa saja. Sisanya biarkan itu hak Sang Pencipta. Apapun yang
kita terima, itu adalah yang terbaik dan yang utama bagi kita. Dari Yang Maha
Kuasa.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).
Oya, satu lagi. Allah tidak memberikan apa yang kita inginkan. Tapi DIA
memberikan apa yang kita butuhkan dan inginkan. Hehe.
Motor masih membelah turunan panjang terakhir sebelum masuk pertigaan
Teuneung. Si Cinta selesai berkata-kata. Dia merangkul tubuh saya dari
belakang. Lalu saya rasakan kecupan hangat di pundak sebelah kanan saya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar