Jumat, 15 Maret 2019

Yang Paling Berharga


"Assalamualaikum," saya membuka pintu.

Tidak ada jawaban di dalam.

"Assalamualaikum," sekali lagi. Saya melangkah masuk rumah.

Biasanya Si Cinta langsung menjawab salam. Lalu mencium tangan saya. Kemudian saya balas dengan mengecup kening dan memeluknya erat. Tapi siang ini tidak. Atau mungkin masih belum.

Saya buka pintu kamar. Oh, ternyata Si Cinta sedang asik menggosok pakaian.

"Assalamualaikum."

"Walaikumussalam." Istri saya menoleh. Lalu tersenyum.

"Kak Niko, Kak Niko, tadi ada sensus," ujar Si Cinta buru-buru. Tangannya masih terus bergeser menyetir setrikaan.

"Sensus?" Dahi saya melipat. "Sensus penduduk?"

"Bukan. Itu lho yang meriksa barang-barang rumah," ujar istri meluruskan.

"Oooh. Sidak barang elektronik? Dari NF ya?" Saya jadi teringat tentang pengumuman sidak barang elektronik yang diadakan yayasan.

"Nah iya itu. Tadi dua orang ke sini."

"Siapa aja? Pak Iwan ya?"

"Iya Pak Iwan. Dan sama ibu-ibu satu."

"Siapa?"

"Mun lupa namanya. Yang jelas ibu itu sedang hamil muda. Dan cantik."

Oke. Sebelum saya lanjutkan cerita ini. Saya ingin berkisah dulu tentang asal-usul munculnya kata "Mun". Begini.

Saya suka bulan. Jika langit malam cerah. Tidak jarang saya duduk sendiri di tanah lapang. Memeluk lutut sambil menengadah menatap bulan. Semua gundah seperti menguap meninggalkan hati. Ya. Saya sangat suka melihat bulan.

Dalam bahasa Inggris. Bulan adalah Moon (dibaca Mun). Karena hal ini saya panggil istri saya Mun. Seperti saat melihat bulan. Gundah dalam hati lenyap kala saya memandang wajah Si Cinta yang sedang terlelap tidur. Ya. Saya panggil dia Mun. Sekali panggil, "Mun. Sekali lagi, "Mun". Bila tidak ada sahutan, "Mun. Mun. Mumun!"

***

"Tadi semua barang kita diperiksa," ujar Si Cinta.

"Iya. Itu sidak barang elektronik. Untuk mengecek barang elektronik apa saja yang ada di rumah dinas. Apakah wajar atau berlebihan dalam jenis barang dan penggunaannya. Maksudnya baik untuk menghemat pengeluaran listrik yang lumayan besar akhir-akhir ini."

"Oooh."

"Tadi Pak Iwan sudah periksa semua?"

"Iya. Tadi semua sudah diperiksa."

"Apa saja yang diperiksa?"

"Semuanya yang ada di sini."

"Apa saja?"

"Ya itu. Mmm...," Si Cinta melihat ke atas. Hendak mengingat-ingat. "Kulkas, kipas angin, rice cooker, strikaan, laptop, hape. Mmm...," Si Cinta berpikir lagi. "Ya pokoknya semuanya lah."

"Apa lagi?"

"Iiih. Kok Kak Niko tanyanya sedetail itu sih. Pokoknya semuanya," istri saya mulai kesal. Wajahnya menekuk. Berhasil. Justru warna wajah seperti itu yang saya harapkan.

"Iya apa saja? Saya ingin tahu."

"Pokoknya semuanyaaa!"

"Iya apa saja??"

"Kulkas, kipas angin, rice cooker, strikaan, laptop, hape!"

"Wah. Itu saja? Mun ada yang lupa itu. Ada sesuatu yang belum Mun tunjukan ke Pak Iwan. Sesuatu itu sangat berharga. Lebih berharga dari semua barang yang tadi Mun sebutkan. Sesuatu itu adalah yang paling berharga di rumah ini menurut saya." Saya memasang wajah panik. Pura-pura panik tepatnya.

"Oh iya? Apa?" Wajah Si Cinta penuh tanya.

"Coba Mun tebak."

Saya arahkan mata saya kemana-mana. Melihat barang-barang di kamar. Si Cinta ikut melihat apa yang saya lihat.

"Apa lagi Kak Niko?"

"Itu adalah sesuatu yang paling berharga di rumah ini." Saya mendekati istri saya.

"Apa? Mas kawin? Itu kan bukan barang elektronik."

Saya menggeleng. "Sesuatu itu lebih berharga dari apapun. Dari apapun." Saya lebih mendekat.

"Apa?"

Saya mendekat lagi. "Kamu."

Si Cinta melihat saya. Satu detik. Dua detik. "Apaan sih." Kemudian dia membuang pandang kembali ke strikaan.

"Haha," saya tertawa.

"Apaan sih gak lucu!"

Si Cinta kembali melihat baju yang dia licinkan. Ada senyum yang tertahan di bibirnya. Ah dasar wanita. Seringkali mulut dan mimik wajah tidak serempak. Haha.

Terima kasih Pak Iwan. Dirimu datang sidak pada waktu yang tepat. Hingga saya bisa memanfaatkan momen ini untuk menggoda istri saya. Teringat kalimat dari Ustadz Kholis saat masih liqo dengan beliau. Saat itu status saya masih jomblo.

"Kita (suami-istri) hidup satu atap. Setiap hari bertemu. Setiap saat melihat pasangan kita. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Kebosanan pasti akan menghampiri. Rasa bosan pasti akan menghinggapi kita. Karena hal ini. Maka wajib bagi kita untuk menjaga kemesraan. Dan kemesraan itu harus kita ciptakan. Dia tidak datang dengan sendirinya. Dia harus kita ciptakan. Meski dari hal-hal kecil sekalipun." Begitu kurang lebih kata Ustadz Kholis. Demikian.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar