"Assalamualaikum,"
saya membuka pintu.
Tidak ada
jawaban di dalam.
"Assalamualaikum,"
sekali lagi. Saya melangkah masuk rumah.
Biasanya
Si Cinta langsung menjawab salam. Lalu mencium tangan saya. Kemudian saya balas
dengan mengecup kening dan memeluknya erat. Tapi siang ini tidak. Atau mungkin
masih belum.
Saya buka
pintu kamar. Oh, ternyata Si Cinta sedang asik menggosok pakaian.
"Assalamualaikum."
"Walaikumussalam."
Istri saya menoleh. Lalu tersenyum.
"Kak
Niko, Kak Niko, tadi ada sensus," ujar Si Cinta buru-buru. Tangannya masih
terus bergeser menyetir setrikaan.
"Sensus?"
Dahi saya melipat. "Sensus penduduk?"
"Bukan.
Itu lho yang meriksa barang-barang rumah," ujar istri meluruskan.
"Oooh.
Sidak barang elektronik? Dari NF ya?" Saya jadi teringat tentang
pengumuman sidak barang elektronik yang diadakan yayasan.
"Nah
iya itu. Tadi dua orang ke sini."
"Siapa
aja? Pak Iwan ya?"
"Iya
Pak Iwan. Dan sama ibu-ibu satu."
"Siapa?"
"Mun
lupa namanya. Yang jelas ibu itu sedang hamil muda. Dan cantik."
Oke.
Sebelum saya lanjutkan cerita ini. Saya ingin berkisah dulu tentang asal-usul
munculnya kata "Mun". Begini.
Saya suka
bulan. Jika langit malam cerah. Tidak jarang saya duduk sendiri di tanah
lapang. Memeluk lutut sambil menengadah menatap bulan. Semua gundah seperti
menguap meninggalkan hati. Ya. Saya sangat suka melihat bulan.
Dalam
bahasa Inggris. Bulan adalah Moon (dibaca Mun). Karena hal ini saya panggil
istri saya Mun. Seperti saat melihat bulan. Gundah dalam hati lenyap kala saya
memandang wajah Si Cinta yang sedang terlelap tidur. Ya. Saya panggil dia Mun.
Sekali panggil, "Mun. Sekali lagi, "Mun". Bila tidak ada
sahutan, "Mun. Mun. Mumun!"
***
"Tadi
semua barang kita diperiksa," ujar Si Cinta.
"Iya.
Itu sidak barang elektronik. Untuk mengecek barang elektronik apa saja yang ada
di rumah dinas. Apakah wajar atau berlebihan dalam jenis barang dan
penggunaannya. Maksudnya baik untuk menghemat pengeluaran listrik yang lumayan
besar akhir-akhir ini."
"Oooh."
"Tadi
Pak Iwan sudah periksa semua?"
"Iya.
Tadi semua sudah diperiksa."
"Apa
saja yang diperiksa?"
"Semuanya
yang ada di sini."
"Apa
saja?"
"Ya
itu. Mmm...," Si Cinta melihat ke atas. Hendak mengingat-ingat.
"Kulkas, kipas angin, rice cooker, strikaan, laptop, hape. Mmm...,"
Si Cinta berpikir lagi. "Ya pokoknya semuanya lah."
"Apa
lagi?"
"Iiih.
Kok Kak Niko tanyanya sedetail itu sih. Pokoknya semuanya," istri saya
mulai kesal. Wajahnya menekuk. Berhasil. Justru warna wajah seperti itu yang
saya harapkan.
"Iya
apa saja? Saya ingin tahu."
"Pokoknya
semuanyaaa!"
"Iya
apa saja??"
"Kulkas,
kipas angin, rice cooker, strikaan, laptop, hape!"
"Wah.
Itu saja? Mun ada yang lupa itu. Ada sesuatu yang belum Mun tunjukan ke Pak
Iwan. Sesuatu itu sangat berharga. Lebih berharga dari semua barang yang tadi
Mun sebutkan. Sesuatu itu adalah yang paling berharga di rumah ini menurut
saya." Saya memasang wajah panik. Pura-pura panik tepatnya.
"Oh
iya? Apa?" Wajah Si Cinta penuh tanya.
"Coba
Mun tebak."
Saya
arahkan mata saya kemana-mana. Melihat barang-barang di kamar. Si Cinta ikut
melihat apa yang saya lihat.
"Apa
lagi Kak Niko?"
"Itu
adalah sesuatu yang paling berharga di rumah ini." Saya mendekati istri
saya.
"Apa?
Mas kawin? Itu kan bukan barang elektronik."
Saya
menggeleng. "Sesuatu itu lebih berharga dari apapun. Dari apapun."
Saya lebih mendekat.
"Apa?"
Saya
mendekat lagi. "Kamu."
Si Cinta
melihat saya. Satu detik. Dua detik. "Apaan sih." Kemudian dia
membuang pandang kembali ke strikaan.
"Haha,"
saya tertawa.
"Apaan
sih gak lucu!"
Si Cinta
kembali melihat baju yang dia licinkan. Ada senyum yang tertahan di bibirnya.
Ah dasar wanita. Seringkali mulut dan mimik wajah tidak serempak. Haha.
Terima
kasih Pak Iwan. Dirimu datang sidak pada waktu yang tepat. Hingga saya bisa
memanfaatkan momen ini untuk menggoda istri saya. Teringat kalimat dari Ustadz
Kholis saat masih liqo dengan beliau. Saat itu status saya masih jomblo.
"Kita
(suami-istri) hidup satu atap. Setiap hari bertemu. Setiap saat melihat
pasangan kita. Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Kebosanan pasti akan
menghampiri. Rasa bosan pasti akan menghinggapi kita. Karena hal ini. Maka
wajib bagi kita untuk menjaga kemesraan. Dan kemesraan itu harus kita ciptakan.
Dia tidak datang dengan sendirinya. Dia harus kita ciptakan. Meski dari hal-hal
kecil sekalipun." Begitu kurang lebih kata Ustadz Kholis. Demikian.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar