Saya
simpan kaki kanan di tanah, bermaksud agar sepedah tetap berdiri seimbang. Mengapa
saya berhenti? Tujuannya hanya satu. Adalah karena sepak bola. Sebab anak-anak
itu sedang bermain bola. Saya ingin nonton. Sekaligus bernostalgia. Mengenang masa
kecil dulu.
Ingatan
langsung melesat ke masa lalu. Saat usia saya sama dengan umur anak-anak yang
sedang bermain bola. Di sana, di kampung saya. Di pesisir pantai barat pulau
jawa. Di Selat Sunda.
Adalah
Cipacung. Sebuah kampung kecil di kawasan wisata pantai Anyer, Banten. Tidak sedikit
penduduk Serang Barat yang menyebut Cipacung dengan julukan Brazilnya Serang
Barat. Mengapa? Sebab kampung kecil itu ibarat sebuah pabrik yang menghasilkan para
pemain sepak bola handal. Setidaknya untuk daerah Banten. Hampir setiap
generasi, ada saja pemuda Cipacung yang masuk klub sepak bola profesional yang
tersebar di kota jawara itu.
Kala
itu, saya ingin menjadi pemain di generasi saya yang mampu tembus tim
profesional. Tentunya saya harus melewati tahap seleksi terlebih dulu. Saat itu,
ada ratusan anak muda yang memiliki mimpi yang sama dengan impian saya. Kami
harus berjuang untuk menjadi bagian dari tim PERSERANG yang jumlahnya hanya sehitungan
jari tangan dan jari kaki saja. Jika ingin masuk, kuncinya hanya satu. Harus lebih
hebat skill sepak bolanya dari para kompetitor.
Satu
dari banyak kenangan yang masih saya ingat hingga hari ini adalah sebuah
kalimat pembakar semangat yang diteriakan oleh pelatih. Dengan tatapan tajam,
sang pelatih memandang kami.
“Kalian
harus tahu! Saingan kalian tidak hanya orang-orang yang ada di kiri dan kanan kalian
saja! Saingan kalian adalah seluruh pemain sepak bola yang ada di muka bumi
ini! Jika kalian ingin menjadi yang terbaik! Maka kalian harus pegang bola
lebih banyak! Kalian harus latihan lebih lama dari yang lain! Going extra
miles!!!!”.
Mendengar kalimat
itu. Semangat saya mendidih hingga ke ubun-ubun. Sejak hari itu saya berlatih
lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Singkat cerita, Takdir Allah, saya menjadi
bagian dari klub impian itu. Saya menjadi pemain PERSERANG. I make my drams
come true.
Point yang
ingin saya angkat dari tulisan kali ini adalah tentang melakukan lebih. Melakukan
lebih untuk mendapatkan yang lebih pula. Orang-orang besar di bidangnya
masing-masing, sebelum mereka menginjakkan kakinya di puncak tertinggi hari ini,
ada sesuatu yang sangat besar yang harus mereka bayarkan untuk mendapatkan
semuanya. Niat yang besar. Pengorbanan yang besar. dan tentunya rintihan do’a
yang besar pula.
Sebut saja
Rudi Hartono. Sang legenda hidup milik Indonesia. Dalam dunia bulu tangkis,
siapa yang tidak kenal dia. Tidak hanya terkenal di Nusantara, tapi juga di seantero
dunia. Bagaimana tidak. Sampai detik ini, belum ada atlet yang mampu menyamai
prestasinya di ajang All England. Sebuah kompetisi bintang lima dalam olahraga
bulu tangkis. Rudi Hartono menyabet juara delapan kali. Tujuh diantaranya dia
raih dengan berturut-turut. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan negeri.
Saat saya
membaca kisah hidup sang legenda hidup itu. Ternyata rahasianya hanya satu. Sang
Rudi Hartono kecil berlatih lebih banyak dari teman-temannya. Dia rela
berangkat lebih pagi agar bisa berlatih lebih lama dari yang lain. Dan itu
tidak dia lakukan hanya dalam beberapa hari saja. Tapi dilakukan sepanjang masa
dia menempa diri di kawah candradimuka. Sebelum kelak keluar dari kawah
dan menjelma menjadi super hero bulu tangkis yang tiada duanya.
Apakah sudah
cukup dengan kisah Rudi Hartono? Jika belum, saya akan kutip kisah agung dari
seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Sebelum masuk islam, nama sahabat ini adalah
Abdus Syams. Ketika sudah memeluk islam, namanya diganti oleh Rasulullah SAW,
menjadi Abdur Rahman. Sebab beliau sering membawa anak kucing, maka orang-orang
menjulukinya dengan sebutan Abu Hurairah.
Abu Hurairah
terkenal dengan ingatannya yang sangat kuat. Terbukti beliau adalah seorang
sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Hurairah masuk islam
belakangan. Yaitu empat tahun sebelum wafatnya baginda nabi. Sebab itu, setelah
menjadi muslim, Abu Hurairah selalu mengikuti kemanapun Rasul pergi. Dia membersamai
Rasul kemana saja. Niatnya hanya satu. Ingin menyecap manisnya ilmu langsung
dari manusia paling Agung, yakni Rasulullah SAW.
Saat baginda
nabi wafat, Abu Hurairah mengajarkan banyak hadits. Karena saking banyaknya
hadits yang diajarkan, tidak sedikit sahabat yang heran. Pertanyaan yang terbit
di pikiran para sahabat itu adalah: Mengapa Abu Hurairah banyak sekali
menghafal hadits? Padahal dia masuk islam belakangan? Masih banyak sahabat yang
masuk islam lebih dulu darinya.
Ketika mendengar
pertanyaan-pertanyan itu, ini jawaban hebat yang keluar dari mulut Abu
Hurairah: Benar, saya memang masuk islam belakangan. Banyak sahabat yang
lebih dulu bersyahadat dari saya. Perlu diketaui, saya adalah orang miskin. Saya
tidak pandai berniaga seperti para sahabat Muhajirin. Saya juga tidak memiliki
lahan, dan tidak bisa berkebun layaknya para sahabat Anshor. Karena itu saya
selalu berada dekat dengan Rasul. Saya ingin lebih banyak dekat dengan baginda
nabi. saya ingin meneguk manisnya ilmu dari beliau. Mungkin sebab itu saya hafal
lebih banyak hadits.
Kata kunci
dari jawaban Abu Hurairah adalah bahwa beliau lebih banyak bersama nabi
dibanding dengan para sahabat lain. Sebab itu, lebih banyak hadits yang beliau
hafal dibanding hadits yang dihafal sahabat-sahabat lain. Masya Allah.
Sekali lagi. Kuncinya
adalah going extra miles. Going extra miles-nya Rudi Hartono
adalah latihan lebih lama dari teman-temannya. Dan going extra miles-nya
Abu Hurairah adalah kebersamaannya dengan Rasul lebih banyak dari para
sahabat-sahabat lain. Kemudian, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: Lalu
apa going extra miles milik kita? Mari kita gali. Agar kelak bisa
berdiri di puncak yang paling tinggi. InsyaAllah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar