Sabtu, 26 Maret 2016

Going Extra Miles




               Kayuhan kaki bertambah cepat. Laju sepedah semakin kencang meluncur. Kali ini sepedah kuning yang saya kemudikan melintas jalan perumahan. Sepintas saya menoleh ke sebelah kiri. Di sana ada sebuah tanah lapang seluas lapangan basket. Ada beberapa anak kecil berlari-lari. Mereka sedang memperebutkan sebuah bola. Seketika itu jari saya reflek menekan rem depan. Sepedah langsung berhenti. Sebab berhenti dadakan, roda belakang agak sedikit terangkat.

                Saya simpan kaki kanan di tanah, bermaksud agar sepedah tetap berdiri seimbang. Mengapa saya berhenti? Tujuannya hanya satu. Adalah karena sepak bola. Sebab anak-anak itu sedang bermain bola. Saya ingin nonton. Sekaligus bernostalgia. Mengenang masa kecil dulu. 

                Ingatan langsung melesat ke masa lalu. Saat usia saya sama dengan umur anak-anak yang sedang bermain bola. Di sana, di kampung saya. Di pesisir pantai barat pulau jawa. Di Selat Sunda. 

                Adalah Cipacung. Sebuah kampung kecil di kawasan wisata pantai Anyer, Banten. Tidak sedikit penduduk Serang Barat yang menyebut Cipacung dengan julukan Brazilnya Serang Barat. Mengapa? Sebab kampung kecil itu ibarat sebuah pabrik yang menghasilkan para pemain sepak bola handal. Setidaknya untuk daerah Banten. Hampir setiap generasi, ada saja pemuda Cipacung yang masuk klub sepak bola profesional yang tersebar di kota jawara itu. 

                Kala itu, saya ingin menjadi pemain di generasi saya yang mampu tembus tim profesional. Tentunya saya harus melewati tahap seleksi terlebih dulu. Saat itu, ada ratusan anak muda yang memiliki mimpi yang sama dengan impian saya. Kami harus berjuang untuk menjadi bagian dari tim PERSERANG yang jumlahnya hanya sehitungan jari tangan dan jari kaki saja. Jika ingin masuk, kuncinya hanya satu. Harus lebih hebat skill sepak bolanya dari para kompetitor. 

                Satu dari banyak kenangan yang masih saya ingat hingga hari ini adalah sebuah kalimat pembakar semangat yang diteriakan oleh pelatih. Dengan tatapan tajam, sang pelatih memandang kami. 

“Kalian harus tahu! Saingan kalian tidak hanya orang-orang yang ada di kiri dan kanan kalian saja! Saingan kalian adalah seluruh pemain sepak bola yang ada di muka bumi ini! Jika kalian ingin menjadi yang terbaik! Maka kalian harus pegang bola lebih banyak! Kalian harus latihan lebih lama dari yang lain! Going extra miles!!!!”.   

Mendengar kalimat itu. Semangat saya mendidih hingga ke ubun-ubun. Sejak hari itu saya berlatih lebih banyak dari hari-hari sebelumnya. Singkat cerita, Takdir Allah, saya menjadi bagian dari klub impian itu. Saya menjadi pemain PERSERANG. I make my drams come true

Point yang ingin saya angkat dari tulisan kali ini adalah tentang melakukan lebih. Melakukan lebih untuk mendapatkan yang lebih pula. Orang-orang besar di bidangnya masing-masing, sebelum mereka menginjakkan kakinya di puncak tertinggi hari ini, ada sesuatu yang sangat besar yang harus mereka bayarkan untuk mendapatkan semuanya. Niat yang besar. Pengorbanan yang besar. dan tentunya rintihan do’a yang besar pula. 

Sebut saja Rudi Hartono. Sang legenda hidup milik Indonesia. Dalam dunia bulu tangkis, siapa yang tidak kenal dia. Tidak hanya terkenal di Nusantara, tapi juga di seantero dunia. Bagaimana tidak. Sampai detik ini, belum ada atlet yang mampu menyamai prestasinya di ajang All England. Sebuah kompetisi bintang lima dalam olahraga bulu tangkis. Rudi Hartono menyabet juara delapan kali. Tujuh diantaranya dia raih dengan berturut-turut. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan negeri. 

Saat saya membaca kisah hidup sang legenda hidup itu. Ternyata rahasianya hanya satu. Sang Rudi Hartono kecil berlatih lebih banyak dari teman-temannya. Dia rela berangkat lebih pagi agar bisa berlatih lebih lama dari yang lain. Dan itu tidak dia lakukan hanya dalam beberapa hari saja. Tapi dilakukan sepanjang masa dia menempa diri di kawah candradimuka. Sebelum kelak keluar dari kawah dan menjelma menjadi super hero bulu tangkis yang tiada duanya. 

Apakah sudah cukup dengan kisah Rudi Hartono? Jika belum, saya akan kutip kisah agung dari seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Sebelum masuk islam, nama sahabat ini adalah Abdus Syams. Ketika sudah memeluk islam, namanya diganti oleh Rasulullah SAW, menjadi Abdur Rahman. Sebab beliau sering membawa anak kucing, maka orang-orang menjulukinya dengan sebutan Abu Hurairah.

Abu Hurairah terkenal dengan ingatannya yang sangat kuat. Terbukti beliau adalah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Hurairah masuk islam belakangan. Yaitu empat tahun sebelum wafatnya baginda nabi. Sebab itu, setelah menjadi muslim, Abu Hurairah selalu mengikuti kemanapun Rasul pergi. Dia membersamai Rasul kemana saja. Niatnya hanya satu. Ingin menyecap manisnya ilmu langsung dari manusia paling Agung, yakni Rasulullah SAW. 

Saat baginda nabi wafat, Abu Hurairah mengajarkan banyak hadits. Karena saking banyaknya hadits yang diajarkan, tidak sedikit sahabat yang heran. Pertanyaan yang terbit di pikiran para sahabat itu adalah: Mengapa Abu Hurairah banyak sekali menghafal hadits? Padahal dia masuk islam belakangan? Masih banyak sahabat yang masuk islam lebih dulu darinya

Ketika mendengar pertanyaan-pertanyan itu, ini jawaban hebat yang keluar dari mulut Abu Hurairah: Benar, saya memang masuk islam belakangan. Banyak sahabat yang lebih dulu bersyahadat dari saya. Perlu diketaui, saya adalah orang miskin. Saya tidak pandai berniaga seperti para sahabat Muhajirin. Saya juga tidak memiliki lahan, dan tidak bisa berkebun layaknya para sahabat Anshor. Karena itu saya selalu berada dekat dengan Rasul. Saya ingin lebih banyak dekat dengan baginda nabi. saya ingin meneguk manisnya ilmu dari beliau. Mungkin sebab itu saya hafal lebih banyak hadits.

Kata kunci dari jawaban Abu Hurairah adalah bahwa beliau lebih banyak bersama nabi dibanding dengan para sahabat lain. Sebab itu, lebih banyak hadits yang beliau hafal dibanding hadits yang dihafal sahabat-sahabat lain. Masya Allah.

Sekali lagi. Kuncinya adalah going extra miles. Going extra miles-nya Rudi Hartono adalah latihan lebih lama dari teman-temannya. Dan going extra miles-nya Abu Hurairah adalah kebersamaannya dengan Rasul lebih banyak dari para sahabat-sahabat lain. Kemudian, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: Lalu apa going extra miles milik kita? Mari kita gali. Agar kelak bisa berdiri di puncak yang paling tinggi. InsyaAllah.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar