Sabtu, 09 Oktober 2010

Adiknya Sahabatku



Aku sedang ada jam kuliah di ruang sepuluh, lantai empat, gedung fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Jadwal sekarang adalah mata kuliah Geografi tanah. Hari ini yang masuk adalah pak Hendro. Beliau adalah asistennya Prof. Dede Rohmat, salah-satu guru besar di jurusan Pendidikan Geografi. Pak Hendro menjelaskan tentang Pedogenesis atau pembentukan tanah. Sedang asyik menikmati penjelasan pak Hendro, tiba-tiba telepon genggam (hp) yang tersimpan di saku kananku bergetar. Diam-diam aku merogoh saku, sesekali melirik pak Hendro. Ku simpan hp di atas buku tulis. Di layar hp tertulis kata “my sister”, ternyata ini adalah SMS dari adik perempuanku.

(a, wahyu-nya teh yanah,)

sejenak aku berpikir. Wahyunya teh Yanah??? Oh, teh Yanah yang rumahnya hanya dipisahkan beberapa rumah saja dengan rumahku. Tiba-tiba pikiranku berputar-putar, kemudian berhenti pada salah-satu folder yang tersimpan di otakku.

Ipul, ya, kepada Ipul-lah pikiran ini tertuju. Dia adalah saudara tuanya Wahyu, yang barusan tertulis di layar hpku. Nama aslinya adalah Saiful Basri Siregar. Bapaknya berasal dari Medan, namanya Usman Siregar. Sementara ibunya berasal dari kampung Cipacung, yang tidak lain adalah kampungku juga. Namanya adalah Yanah.

Ipul menghabiskan masa kanak-kanaknya di negeri bapaknya. Namun, ketika dia duduk di kelas tiga SD, keluarganya memutuskan untuk hijrah ke kampung ibunya. Ipul memiliki dua orang kakak, satu laki-laki dan satu perempuan. Kakak yang tertua adalah Rahmat. Sekarang dia menetap di Lampung mengikuti istrinya. Kakak yang kedua adalah Lia, tidak berbeda dengan kakaknya yang pertama, Lia menetap di tempat suaminya. Selain kakak, Ipul juga memiliki satu adik laki-laki, namanya adalah yang sudah dijelaskan di muka, yaitu Wahyu, lengkapnya Wahyu Pranata Siregar. Sekarang Wahyu duduk di kelas dua SMP.

Wahyu dan Ipul memiliki kesamaan hobi. Mereka sama-sama sangat menggilai sepak bola. Karena itu, untuk menyalurkan bakat adiknya, Ipul memasukan wahyu ke sekolah sepak bola (SSB) Anyer Pratama, SSB yang dulu menjembatani Aku dan Ipul bisa mengikuti kompetisi nasional tingkat usia di bawah delapan belas tahun.

Ada dua hal yang mengakrabkan aku dan Ipul. Pertema adalah sepak bola dan yang kedua adalah saung di bawah pohon mangga di halaman rumahku. Di saung itu kami sering mengobrolkan tentang masa depan kami. Sering kami lupa waktu jika sedang membicarakan cita-cita masing-masing.

“ Aku ingin masuk tim nasional, Ko. Aku ingin menjadi pemain sepak bola profesional,” ucap Ipul penuh semangat.

“ Mungkin, satu atau dua tahun ini, aku akan mencari klub sepak bola di sekitar daerah kita saja dulu. Aku ‘gak mau jauh-jauh dulu, kasihan ibu ‘gak ada yang jaga. Kamu tahu sendiri kan, Ko, adikku masih kelas dua SMP. Nanti, kalau Wahyu sudah besar, paling tidak sudah kelas dua SMA lah, aku berani untuk meninggalkan ibu ke luar kota,” jawab Ipul, ketika aku bertanya hendak mencari klub sepak bola dimana.

Ipul sangat menyayangi adiknya. Apapun yang Wahyu inginkan, selama itu berhubungan dengan sepak bola, jika Ipul sedang memiliki uang, Ipul pasti memenuhi permintaan adiknya. “ Aku ‘gak ingin adikku merasakan apa yang kita rasakan dulu, Ko. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana sedihnya ketika kita tidak mendapatkan sepatu manakala sepatu bola kita rusak,” Ipul membuka kenangan kami, ketika berjuang bersama-sama.
********

“ Jadi, untuk mengambil sampel tanah undisturb itu kita harus menggunakan ring sampel,” ujar pak Hendro dengan logat jawanya yang medok. Wajar, karena beliau berasal dari Yogyakarta. Pak Hendro membalikan badannya ke white board. Beliau memunggungi kami. Tangannya dengan cekatan menggambar sebuah ring sample. Bersamaan dengan itu, aku melihat layar hp lagi. Aku baca ulang SMS dari adik perempuanku.

(a, wahyu-nya teh yanah,)

Karena ada koma, aku berhenti sejenak, kemudian melanjutkan membaca terusan tulisan SMSnya.

(mati.)

APA??!! Hatiku tersentak setelah membaca lanjutan SMS dari adikku. Hanya kata itu yang tersisa, yaitu kata “mati”. Aku merasa benar-benar kaget. Aku baca ulang SMS itu.

(a, wahyu-nya teh yanah, mati.)

Innalillahi waa innalillahirooji’uun, lirihku dalam hati. Wahyu meninggal di usia semuda itu !!! memang, azal itu ditangan Allah, baik tua maupun muda, jika sudah sampai azalnya, pasti akan mati. Tapi, aku masih benar-benar merasa kaget dan tidak menyangka. Padahal, hanya sekitar dua minggu yang lalu aku dan Wahyu mengobrol perihal sepak bola. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Ipul. Dia pasti merasa terpukul karena kejadian ini.

Ada beberapa hikmah yang bisa aku ambil dari kejadian ini. Pertama, azal itu adalah takdir, ketetapan Allah Yang Maha Kuasa. Setiap orang memiliki jadwal kematian masing-masing, kapan dan dimana mereka akan meninggal. Tidak mengenal tua ataupun muda, di tempat ramai ataupun sepi, sedang berbuat baik ataupun maksiat, siang ataupun malam hari, jika waktu itu telah tiba, maka tidak akan pernah ada yang bisa mencegahnya. Begitupun dengan azalku, kapan dan dimananya? Ini masih misteri Illahi. Aku harus mempersiapkan segalanya, agar kelak, jika waktu itu telah tiba, aku sudah siap untuk menghadapinya.

Kedua, yang sedang dirasakan Ipul sekarang, setiap orang pasti pernah atau akan merasakannya. Oleh karena itu, aku harus membahagiakan keluargaku. Aku harus membahagiakan bapak, ibu, dan adik-adikku. Aku harus melakukan yang terbaik bagi mereka. Aku tidak boleh mengecewakan mereka. Aku harus membahagiakan mereka. Harus, harus, dan harus.

3 komentar:

  1. saya jadi ikut kaget baca post ini,,
    luar biasa..

    BalasHapus
  2. kalau ini cerpen, alurnya bagus, Prof.

    Semoga Allah Swt terus memberikan cinta-Nya yang takterhingga kepada almarhum..

    BalasHapus
  3. @ Teh Silmi : Alhamdulillah...
    @ Teh Nurul : Aamiin...

    BalasHapus