Rabu, 14 September 2011

Wanita di Bahu Kanan Jalan


Mentari berseri pagi ini. Langit mulai terang. Rembulan tampak pucat. Jalanan geger kalong masih sepi. Belum banyak orang yang memulai aktifitas. Aku hirup udara segar pagi ini. Aroma sejuk menjalar keseluruh tubuhku. Masuk melalui hidung menuju paru-paru. Jiwaku terasa nyaman.

Barusan, aku menghadiri apel pagi pada acara orientasi santri baru PPM. Beberapa waktu sebelum apel bubar, aku pamit pada kang Halim. Kang Halim adalah mudabir baru. Dia menggantikan kang Hakmal yang sekarang sudah mengajar di yayasan pendidikan Nurul Fikri.

“ Kang, saya kuliah jam tujuh, boleh pinjem kunci asrama, mau persiapan dulu,” pintaku pada kang Halim. Kang Halim merogoh saku baju kokonya, kemudian tangannya keluar bersama kunci. Kang Halim memberikan kunci itu padaku. Aku terima kunci itu, kemudian bergegas berjalan menuju asrama.

Beberapa langkah berjalan, tiba-tiba salah-satu alumni santri PPM memanggilku.

“ Niko, mau pulang ke asrama?” tanya alumni santri sambil menyalakan motor bututnya. Motor butut itu terlihat tua. Jika motor itu manusia, mungkin usianya senja sekali.

“ Ia kang,” jawabku.

“ Hayu bareng, akang sekalian pulang,” ujar alumni santri PPM yang kos-kosannya tidak jauh dari asrama Darussalam. Aku melangkah menghampiri motor butut itu, kemudian menaikinya.

Motor butut yang kunaiki berjalan terengah-engah karena harus menahan berat badan diriku dan sang pemilik. Terlihat, juragan motor konsentrasi penuh melihat jalan. Motor berbelok ke arah kanan ketika menemui pertigaan di seberang mesjid Da’arut tauhiid, kemudian kembali melaju lurus.

Aku perhatikan suasana sekitar jalanan geger kalong. Masih sepi. Gerobak-gerobak berbagai macam dagangan masih kosong tak berpenghuni, hanya beberapa saja yang sudah buka. Terlihat pemilik salah-satu gerobak sedang membersihkan gerobak kesayangannya. Tangannya dengan cekatan mengelapi setiap jengkal kotoran yang menempel. Ia terlihat serius, layaknya Hanif atau bang Afgan jika sedang bersih-bersih.

Motor butut berjalan pelan, seperti jalannya kura-kura yang dikejar-kejar orang gila kelaparan. Udara terasa semakin dingin seiring semakin cepatnya motor melaju. Pandangan ku arahkan lagi ke bahu jalan yang lain, dan terhenti manakala diriku melihat seseorang yang sedang berjalan meniti bahu kanan jalan. Seketika itu juga, seperti ada aliran listrik yang membakar seluruh tubuhku dan menghentikan aliran darahku. Jantungku seperti berhenti berdetak mendadak. Untuk sesaat mataku terkunci pada seseorang itu.

Seseorang itu berasal dari bangsa Hawa. Ia berjalan pendek selangkah demi selangkah. Tubuh gemulainya terlindungi pakaian sopan, layaknya bumi yang terlindungi lapisan ozon. Melihat penampilan itu, aku pikir tidak akan ada seorang laki-laki manapun yang memandangnya dengan nafsu. Pandangan mereka, para lelaki itu terpental sebelum memikirkan hal yang aneh-aneh.

Jilbab putih lambang kekesucian menutup kepalanya. Kemeja putih besar membalut tubuhnya, disempurnakan oleh jaket dengan dominan warna hitam. Rok hitam tergerai hingga hampir menyentuh tanah. Semua itu membuat diriku, yang sedang melihatnya terkesima. Jilbab putihnya, kemeja putih dan jaket hitamnya, serta rok hitam itu menyejukan qalbuku. Tapi sayang seribu sayang, aku terlarang untuk memandangnya berlebihan, hanya pandangan pertama yang tidak disengaja saja, yang waktunya hanya sekejap ini yang masih terma’afkan. Mataku terasa berat untuk mengalihkan pandangan darinya. Wahai dirimu disana. Jujurku, aku mengagumi dirimu.

Wahai dirimu disana, ma’afkan aku yang seperti ini. Bukan maksud hatiku ingin mengagumi, tapi apa daya, pemilik hati ini menumbuhkan benih rasa itu di hatiku, aku tidak bisa mengelaknya, ataupun menghilangkannya. Wahai dirimu disana, sekali lagi, ma’afkanlah aku yang seperti ini.

Wahai dirimu disana, ma’afkan aku jika menguping suaramu dari kicauan burung walet yang terbang bergerombol di atas asramaku pada pagi dan sore hari. Ma’afkan aku jika diam-diam memandangi wajahmu pada jingganya lembayung senja. Mohon ma’afkan diriku yang menitipkan rindu pada sinar mentari pagi yang menghangatkan jiwamu. Dan mohon ma’afkan diriku yang menjelma jadi butiran hujan yang membasahi dirimu. Mohon ma’afkan semua itu. Ma’afkanlah.

Wahai dirimu disana, jika engkau melihat dan menyadari dengan apa yang sedang kurasakan, janganlah engkau bersedih hati. Jangan khawatir dengan apa yang akan kuperbuat. insyAllah aku akan tetap diam. Diam dengan kebisuanku. Duhai dirimu disana, hanya tindakan seperti inilah yang bisa kulakukan guna meredam gejolak yang ada dalam jiwa, yaitu menumpahkan semuanya pada coretan hati. Bukan tak ingin aku berbuat lebih. Tapi, pengalaman terdahulu pada episode kehidupanku melarang diriku untuk melakukan semua itu. Aku tidak ingin jatuh pada lubang yang sama. Sungguh, aku tidak ingin lagi. Biarlah semuanya mengalir bagai segelas air yang keluar dari mata air di pegunungan. Dia berjalan melalui anak-anak sungai menuju induknya. Kemudian terus mengalir hingga tiba pada muaranya, yaitu lautan. Biarkan semuanya tetap seperti itu saja. Biarlah dia menyusuri jalan yang sudah disiapkan olehNya. Aku serahkan semuanya pada Sang Maha Pengatur segalanya. Biar Dia yang menggariskan hari esokku. Aku yakin, semua yang Dia berikan, pastilah yang terbaik untuk semua makhluknya, termasuk aku dan kamu didalamnya.

Untuk dirimu disana, izinkan aku menggunakan seberkas rindu ini, supaya terang hari-hariku. Izinkan aku menggunakan seteguk rasa ini demi menghilangkan dahagaku. Izinkan aku menggunakan selembar peta kasih ini agar aku tidak salah melangkah dan tersesat. Izinkanlah untuk itu semua.
***

Motor butut yang menggendongku terlihat serakah pada pagi ini. Dia merayap di tengah jalan geger kalong, seakan dia ingin menggunakan sendiri jalanan ini. penyebabnya mungkin karena pagi ini jalanan sedang sepi-sepinya.

Setiap detik yang bergulir, semakin mendekatkan posisi motor pada seorang wanita yang meniti bahu kanan jalan. Kini hanya tinggal beberapa meter saja posisiku dari dia. Detik berikutnya roda motor butut ini semakin maju. Kini posisi motor tua sejajar dengan wanita itu. Ingin rasanya aku menoleh ke arah kanan untuk melihat dia dari samping. Tapi aku tak sanggup. Sungguh aku tak sanggup.

Sang pengendara memutar gas motornya lebih keras. Motor tua berjalan semakin cepat. Kami melewati wanita itu. Kini kami membelakanginya. Posisiku berada di depan dia. Semakin lama motor semakin menjauh meninggalkannya. Aku tak berani melihat ke belakang. Pada pertigaan menuju asrama darussalam, motor belok kanan. Lalu menyusuri jalan yang menurun. Saat itu aku memutar kepalaku guna melihat ke belakang. Di belakang, aku dapati pertigaan jalan yang sepi. Tidak ada kendaraan ataupun manusia yang terlihat. Sepi.
***

4 komentar: