Selasa, 06 September 2011
Ekseutif, Bukan Eksekutif
Kebiasaanku, jika hendak mudik, sehari sebelumnya sering kali menginap terlebih dahulu di rumah uwa, di Pajajaran. Tidak terkecuali untuk mudik Ramadhan kali ini. Barusan aku tiba di rumah uwa. Setelah disambut hangat oleh uwa dan para sepupu, yang selanjutnya menyambutku adalah makanan lezat nan bergizi. Menyengaja aku berangkat dari asrama ke Pajajarannya sore menjelang magrib. Agar ketika tiba, beberapa menit setelahnya, adzan langsung berkumandang, atau aku tiba ketika adzan berkumandang, atau juga aku sampai beberapa saat setelah adzan berkumandang. Benar saja perkiraanku. Satu dari ketiga kemungkinan itu ada yang benar. Aku tiba hanya beberapa menit saja sebelum waktu berbuka puasa. Aku datang ketika uwa dan sepupu perempuanku sedang mempersiapkan makanan untuk buka di meja makan. Reflek aku pandangi meja yang penuh dengan berbagai jenis makanan itu. Dalam hati aku bergumam, perbaikan gizi.
Setelah berbuka, kami melaksanakan rutinitas seperti biasanya. Sehabis solat tarawih, aku dan uwa Yulianto mengobrol di teras depan rumah, kami duduk pada sofa warna merah. Di depan sofa itu terdapat meja kecil yang di atasnya berjejer banyak toples yang berisi bermacam-macam jenis kue kering. Sambil asik mengobrol, sesekali tanganku mondar-mandir dengan trayek toples dan mulutku. Saat obrolan kami sedang seru-serunya, aku manggut-manggut mengiyakan apa yang dikatakan oleh uwa. Sementara tangan dan mulutku masih saja tetap bekerjasama dengan sangat baik dalam menghabiskan kue-kue yang ada di hadapan mata. Ini kesempatan langka, jarang-jarang menghampiri diriku, sikat saja, pikirku.
Pada waktu yang bersamaan, uwa Lilis dan anak perempuannya, yang tidak lain adalah sepupuku, mereka sedang asik menonton tv di ruang keluarga. Kebiasaan uwa Lilis jika aku sedang ada di rumahnya adalah hampir satu jam sekali menawariku untuk makan. Selalu begitu dan begitu. Dan, jawaban yang kuberikan juga selalu sama, jika aku merasa masih kenyang. Adalah,” Muhun Wa, engkin deui we, Iko masih kenyang.”
“ Ikoooooo,” panggil uwa Lilis dari ruang keluarga. Mendengar panggilan itu aku dan uwa Yulianto menghentikan sejenak obrolan kami.
“ Iya Wa?” jawabku setengah teriak. Aku menyahut sambil tetap duduk di sofa merah.
“ Bade emam deui?” tawar uwa Lilis.
“ Muhun Wa, engkin deui we, Iko masih kenyang,” jawabku seperti biasanya. Setelah menjawab tawaran uwa Lilis, aku dan Uwa yang laki-laki melanjutkan obrolan asik kami. Jejeran toples masih tetap setia menemani kami, sang uwa dan sang keponakannya.
***
Setelah makan sahur, aku langsung meluncur menuju kamar mandi. Selesai mandi, aku mengcek kembali barang bawaanku yang tersimpan rapih di dalam tas gendongku. Niatku, untuk mudik kali ini tidak akan membawa banyak barang. Aku tidak mau repot diperjalanan dengan terlunta-lunta menjinjing tas yang berat. Namun, niat hanya tinggal niat. Uwa Lilis membekali mudikku dengan seabreg titipan. Titipan untuk keluarga yang ada di Anyer, Banten. Ingin tahu berapa banyak semua barang itu? Satu dus besar dan satu kantong plastik warna merah besar. Isi dari kedua wadah itu adalah berbagai jenis barang. Ada kue kering, sayuran, gula merah dan masih banyak lagi jenis barang yang lainnya.
Ketika sang fajar tiba. Ketika terang mulai merayap menghilangkan gelap, ketika itu aku pamitan pada Uwa dan sepupuku. Aku cuim tangan kanan mereka semua. Aku dibekali sejumlah uang oleh uwa Yulianto.
“ Buat tambah-tambah ongkos,” ucap uwa Yulianto sambil menyodorkan uang pada tanganku.
“ Iya, Nuhun Wa,” balasku sambil menerima uang itu. Aku mudik dengan diiringi lambaian tangan saudara-saudaraku itu. Aku berjalan semakin menjauhi rumah Uwa. Tas gendong menempel di punggung, tangan kanan menjinjing dus besar dan tangan kiri membawa plastik besar. Sementara wajahku, mengkerut-kerut menahan beban berat yang kubawa. Segera aku menyetop mobil angkutan umum yang menuju terminal Leuwi Panjang.
***
“ Kamana A?” tanya sesosok pria dengan badan kekar. Tubuhya dibalut seragam yang bertuliskan salah-satu nama jenis bus angkutan umum.
“ Cilegon A,” jawabku pendek.
“ Oh, Cilegon ya,” pria itu menoleh ke sekitar. Pandangannya terhenti pada sesosok pria lainnya. Tubuhnya tidak kalah kekar, namun, seragam yang membalut memiliki warna yang berbeda. “ Cuy, kadieu, ka Cilegon yoh!” beritahu pria itu pada temannya. Mendengar tawaran itu, pria satunya berlari kecil menghampiriku. Dia meminta barang bawaanku. Aku serahkan dus besar dan plastik merah padanya. Dengan entengnya dia mengangkat kedua barang itu. Dia memasukan kedua barangku itu pada begasi bus. Aku berjalan memasuki bus. Beruntung, kondisi bus masih kosong. Aku bisa bebas memilih tempat duduk yang aku inginkan. Aku memilih duduk di kursi baris ketiga yang tidak satu jejer dengan tempat duduk pengemudi. Pada posisi ini, dapat dengan leluasa aku memandangi sebuah tv yang tergantung di depan bus. Aku simpan tas gendongku di tempat barang, tepat di atas kursi yang kududuki.
Semakin lama, semakin banyak penumpang yang naik. Jika diperhatikan dari usia dan penampilannya, kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang akan mudik, sama halnya dengan diriku. Aku sedikit kaget ketika melihat seorang akhwat dengan kerudung besar masuk bus. Dia berdiri di depan melihat-lihat kursi kosong. Aku kenal dia. Dia satu organisasi denganku di lembaga dakwah kampus. Aku palingkan pandangan ke jendela. Aku melihat-lihat ke luar. Aku pura-pura tidak meliahatnya. Beruntung, ia duduk di depanku, pada kursi baris kedua yang berbeda baris dengan kursiku.
Penumpang bertambah banyak, tapi tidak memenuhi semua kursi yang ada. Aku duduk sendiri saja, hingga dapat dengan leluasa aku bergerak. Para penjual asongan bergantian menawarkan barang daganan mereka, mulai dari koran dan majalah, minuman kemasan, stroberi, sale pisang, keripik melinjo (emping), dan masih banyak lagi yang lainnya. Para penjual asongan itu turun ketika bus mulai merayap. Semakin lama, semakin jauh bus meninggalkan terminal Leuwi Panjang. Di jalan raya, bus sedikit tersendat jalannya karena macet. Namun, setelah bus masuk tol, bus melaju dengan lancar dan kencang. Perjalanan terasa nyaman. Aku duduk di dekat jendela. Sambil melipatkan kedua tangan di dada, aku pandangi perbukitan hijau sepanjang lintasan tol Cipularang.
Sang asisten pengemudi memutar lagu. Cd yang diputar adalah lagu kenangan. Musiknya merdu mendayu-dayu. Semakin membuatku dan mungkin juga penumpang lainnya merasa semakin nyaman menikmaati perjalanan ini. Aku pandangi video klip lagu yang tersaji di tv yang menggantung. Seorang perempuan cantik dengan rambut terurai lurus menyanyi-nyanyi di dalam tv itu. Aku geser pandangan ke depan pada jalan tol. Pada kaca depan bus, terdapat beberapa tulisan. Iseng-iseng, aku baca tulisan-tulisan itu. Pada sebelah atas terdapat tulisan ‘ Bandung-Merak’, dibawahnya terdapat tulisan dengan ukuran yang lebih kecil, yaitu ‘Via tol Cipularang’. Di bawahnya lagi ada tulisan yang ukurannya sedikit lebih besar dari kedua tulisan di atasnya. Rangkaian huruf itu bertuliskan ‘AC-EKSEUTIF’. Awalnya aku biasa saja. Tapi, setelah kuperhatikan lebih jauh, aku baru sadar, dan kesadaranku itu membuat bibirku tersungging senyum sendiri. Ada kesalahan ejaan disana, pada kata ‘AC-EKSEUTIF’. Ada huruf yang tidak tertuliskan disana, yaitu huruf ‘K’. Seharusnya, yang benar adalah bertuliskan seperti ini ‘ AC-EKSEKUTIF’ bukannya ‘AC-EKSEUTIF’, tapi tidak mengapa lah, mungkin yang membuat tulisan itu lupa memberikan huruf ‘K’nya. Yang jelas, aku terhibur karena kesalahan ini.
Setengah jam perjalanan, asisten sopir menagihi ongkos. Satu persatu dia datangi para penumpang.
“ Punten A,” ucap sang asisten. Dia memberikan selembar karcis padaku. Aku terima karcis itu. Aku baca, pada salah-satu tulisannya terdapat rangkaian huruf dengan tulisan ‘Rp. 65.000,- Busyet, ongkosnya naik sepeluh ribu dari saat terakhir kali aku pulang kampung. Aku rogoh dompet di saku belakang celanaku. Aku buka dompet lusuh itu. Aku ambil uang dua pecahan lima puluh ribu rupiah. Aku berikan uang itu pada sang asisten. Sang asisten memberikan uang kembaliannya padaku. Aku masukan lagi uang kembalian itu pada dompet lusuhku. Sesaat sebelum aku mengembalikan dompet pada sarangnya, hape pada saku samping celanaku bergetar, getarannya lama, sepertinya ini adalah sebuah panggilan telfon. Aku simpan dompet di jok samping yang kosong. Aku ambil hapeku. Pada layar terlihat tulisan ‘My Mother’. Benar saja, ini adalah panggilan dari ibuku. Aku angkat telfon itu. Kami mengobrol agak sedikit lama. Salah-satu topik pembicaraan kami adalah tentang makanan. Aku meminta ibu untuk memasak beberapa jenis makanan. Antara lain: tumis kangkung, sayur asem, goreng ikan asin peda, sambel terasi pedas dan menyediakan juga lalab-lalaban untuk menu buka puasa nanti. Aku rindu semua menu itu. Apalagi yang memasaknya adalah chef terbaik di dunia, siapa lagi kalau bukan ibuku.
Bus masih melaju dengan kencang, menyusuri jalan tol Cipularang.
***
Aku berdiri diantara orang-orang lain yang juga sedang menunggu mobil angkutan umum. Aku memilih berdiri agak jauh dari teteh yang aku kenal, yang tadi kami naik pada bus yang sama. Aku bersembunyi diantara orang-orang yang berdiri. Aku biarkan teteh itu naik angkot lebih dulu. Aku malu jika harus satu mobil lagi dengan dia. Jika benar kami satu mobil dan kami saling melihat satu –sama lain, aku bingung mau nyapa seperti apa dan hendak mengobrolkan apa. Lebih baik aku menghindar saja agar tidak satu angkot dengannya.
Mobil angkot berhenti di halte. Terlihat angkot itu masih kosong. Aku dan beberapa orang berdiri hendak memasuki angkot itu. Sebelum berjalan menuju mobil, aku mengcek kembali barang bawaanku. Aku kaget, benar-benar kaget, sekaget-kagetnya, ketika aku tersadar kalau dompet yang ada di saku belakangku tidak ada, hilang entah kemana. Aku periksa lagi pada semua saku celanaku. Tidak kutemukan. Aku buka-buka tas gendongku, tidak juga ditemukan dompet lusuhku itu. Aku benar-benar bingung saat itu. Untung saja masih ada sejumlah uang yang tersimpan di saku samping celanaku. Beruntung aku mendengarkan apa yang dulu pernah dinasihatkan oleh kedua orang tuaku. Jika hendak bepergian aku disarankan untuk tidak menyimpan semua uang di dompet, tapi sisihkan sejumlah uang lainnya pada kantong celana yang berbeda. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dompetku, maka akan ada uang cadangan yang mungkin berguna yang tersimpan di saku yang lain. Begitulah kurang-lebih nasihat kedua orang tuaku. Nasihat orang tua memang selalu benar. Nasihat mereka pastilah ditujukakan untuk kebaikan anak-anaknya.
Aku tidak jadi naik mobil. Aku duduk lagi pada bangku panjang di halte. Aku kecewa, kenapa dompetku bisa hilang. Padahal terdapat beberapa dokumen berharga disana. Memang, uang yang ada di dompet itu tidak begitu banyak, tapi disana ada kartu tanda pendudukku, ada kartu ATMku, ada kartu mahasiswaku, ada surat bukti pembayaran beberapa program yang aku ikuti dan beberapa dokumen penting lainnya. Aku berpikir sejenak. Apa mungkin dompetku itu tertinggal di bus yang tadi aku naiki? Aku mencoba berpetualang ke beberapa waktu yang terlewat. Aku ingat-ingat ketika aku masuk bus. Aku mengingat ketika memilih tempat duduk. Aku membayangkan saat aku tersenyum melihat tulisan di kaca depan bus. Dan aku mengingat saat ditelfon ibuku. MasyAllah, disana, iya, mungkin disana. Ketika aku hendak memasukan dompetku ke saku, saat itu tidak jadi karena ada telfon dari ibuku, dan waktu itu aku menyimpan dompetku di kursi samping yang kosong. Astagfirulloh, kenapa aku bisa lupa pada dompetku itu. Aku melihat-lihat kesekitar, barang kali bus yang tadi masih ada. Namun na’as, bus itu sudah pergi menuju terminal Merak. Tanpa banyak pikir lagi, segera aku berlari kecil menuju angkot tujuan terminal Merak. Dua barang bawaan yang ada di tangan kanan dan kiriku, tidak lagi terasa berat. Rasa ingin segera menyusul bus dan menemukan kembali dompet lusuh cintaku, mengalahkan rasa berat itu. Aku naik angkot warna merah tujuan Merak. Aku menggumamkan lafazd bismillah dalam hati, semoga Allah memudahkan.
Sepanjang perjalanan, aku hanya berharap, supaya bus yang tadi aku naiki masih ada di terminal Merak dan tidak terburu-buru untuk balik ke Bandung lagi. Tapi, kalaupun bus itu masih ada di terminal, aku pasti kesulitan menemukan busnya, karena terdapat banyak deretan bus di terminal itu. Belum lagi perusahaan bus yang tadi kunaiki tidak hanya memiliki satu armada saja, tapi memiliki banyak armada. Aku terdiam lagi. Saat ini aku hanya bergantung pada pertolongan Sang Maha Penolong, yaitu Allah Swt. Aku sangat mengharapkan uluran tanganNya.
Jalanan menuju Merak tidak seramai seperti jalanan di Bandung. Angkot merah yang kunaiki melaju dengan cepat. Kembali aku merenung, memikirkan kelalaian diriku tadi, hingga melupakan dompet di dalam bus. Kasihan aku pada dompet lusuh yang sudah begitu lama menemani perjalanan hidupku. Wahai dompetku, cintaku, aku mohon ma’af sandainya nanti aku tidak bisa menemukan dirimu lagi. Aku mohon ma’af, mungkin kita sudah tidak berjodoh lagi. Ma’afkan semua kesalahanku yang selama ini telah kulakukan pada dirimu. Ma’afkan aku wahai dompet lusuhku. Aku cinta kamu.
Angkot berhenti di terminal yang sekaligus juga pelabuhan penyeberangan kapal Merak. Aku turun dan membayarkan ongkos pada pak sopir. Sambil menenteng barang bawaanku, aku berlari-lari kecil mencari bus yang tadi kunaiki. Hilir-mudik aku mencari. Berjalan kesana kemari, layaknya seorang ibu yang sedang mencari anaknya yang hilang di tengah kota besar. Sudah cukup lama aku mencari, belum juga kutemukan bus itu. Aku lelah. Keringat mulai membasahi tubuhku. Aku ingin istirahat dulu. Aku duduk pada bangku kayu panjang yang terlihat menganggur di sekitar terminal. Aku simpan barang bawaanku tepat di hadapanku. Aku melepas lelah pada bangku kayu itu.
Sekali lagi aku teringat pada dompet lusuhku. Wahai dompet lusuhku, mungkin memang benar, kita sudah tidak berjodoh lagi. Ma’afkan aku wahai cintaku. Aku pamit untuk pulang ke rumah. Do’akan aku agar selamat sampai tujuan. Aku sayang kamu, wahai dompet lusuhku.
Setelah dirasa capekku hilang, aku beranjak mencoba mencari angkot dengan tujuan Cilegon. Aku berjalan ditengah-tengah terminal yang sangat luas ini. Sambil berjalan menuju halte angkot, aku melihat sebuah bus yang terpisah dari barisan bus-bus lainnya. Sepertinya bus itu sedang istirahat. Aku pandangi bus itu. Mobil besar itu memiliki kulit warna kuning. Jika diibaratkan sesosok manusia, mungkin bus itu ber-ras mongoloid, yang memiliki kulit kecoklatan, dan kadang juga berkulit kuning langsat. Bus itu, merupakan ras mongoloid yang berkulit kuning langsat itu. Aku membaca beberapa rangkaian kata yang ada di kaca depan bus itu. Disana tertulis tiga rangkaian kata, yang paling atas tertulis ‘ Bandung-Merak’ sebelah bawahnya tertulis ‘ Via tol Cipularang’ dan sebelah bawahnya lagi ‘ AC-EKSEUTIF’. Setelah membaca rangkaian kata itu, aku berpikir sejenak. Otakku mencernanya. Sepertinya aku tidak asing pada ketiga kalimat itu. MasyAllah, EKSEUTIF, sebuah kesalahan yang membuatku tersenyum. Sebuah rangkaian kata yang tertulis pada kaca depan bus yang tadi aku naiki. Jadi, bus yang ber-ras mongoloid itu adalah bus yang sedang kucari-cari. Tanpa banyak pikir lagi, segera aku menghampiri bus itu. Di depan bus, berdiri sesosok pria bertubuh kekar yang beberapa jam lalu membawakan barang bawaanku dan memasukannay ke begasi.
“ A.....” panggilku pada pria itu. Pria itu menoleh padaku.
“ Lho, Aa yang tadi kan?” tanya pria kekar itu keheranan.
“ Betul A,” jawabku sambil masih menenteng barang bawaan.
“ Aya naon A? Bade ka Bandung deui?” tanya pria kekar lagi.
“ Sanes A, dampet abi hilang, mungkin ketinggalan di bus ini. Abi tiasa ningalian ka lebet bus A?” pintaku pada pria kekar itu.
“ Oh mangga, mangga A,” jawab pria kekar itu ramah. Jawaban lembut itu berbanding terbalik dengan tubuhnya yang kekar berisi. Saat itu, aku mendapatkan satu lagi pembelajaran hidup, yaitu: jangan terburu-buru menilai seseorang dari penampilannya. Bisa saja orang itu terlihat jahat, padahal hatinya baik. Dan bisa pula sebaliknya. Ada orang-orang yang terlihat baik, padahal aslinya tidak. Intinya, aku harus hati-hati dalam menilai seseorang.
Aku berjalan menaiki bus. Aku melangkah menuju kursi baris ketiga yang beda jejeran dengan kursi pengemudi. Aku dekati kursi itu. Aku melihat baik-baik kursi nomer tiga itu. Pada kursi itu, tergeletak sebuah dompet lusuh warna hitam. Dompet lusuh itu, bagiku bak seorang permaisuri cantik yang sedang duduk manis di Atas singgasana sang raja. Alhamdulillah, aku temukan engkau lagi wahai dompet lusuhku. Kemana saja kau selama ini. Tahukah engkau, kalau aku sangat menghawatirkan dirimu. Cintaku, aku senang, ternyata kita masih sejodoh. Aku cinta kamu wahai dompet lusuhku. Jangan tinggalkan aku lagi ya.
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Thanks mas bro. jadi inget deui dompet nu leungit. walaupun balik lagi. tapi pada akhirnya dompet itu hilang lagi dengan cara yang lain mas bro. dompetnya diambil orang saat diriku beristirahat di kosan. naas tenan.
BalasHapusselain ekseutif, takdir yang lain yaitu bertemu kawan perempuan semasa sma di mobil angkot. kalo tidak bertemu beliau saya kebingungan betul. saya pinjam uang ke beliau, barulah melaju ke terminal merak. saat ketemu 'ekseutif' mas bro supir dan kernetnya sudah mengamankan dompetnya. jadi tidak ada di jok, tapi di tangan kernet yang baik hati. Subhanallah.
Dzikri: :-)
BalasHapus