Senin, 26 September 2011

Melihat Jaket


Setahun yang lalu. Aku memiliki keinginan untuk menjadi santri ponpes Daaruut Tauhiid (DT). Tepatnya pada program pesantren mahasiswa (PPM). Sebelum itu, aku berusaha untuk mencari informasi terkait PPM sebanyak-banyaknya. Semua informasi itu aku gali dari berbagai sumber, seperti: dari teman satu jurusan yang ikut program ini, browsing di dunia maya dan bertanya langsung ke departemen pendidikan ponpes DT. Dari sini, aku mendapatkan banyak info seputar PPM. Setelah info kudapatkan, aku langsung menghubungi orang tua di kampung guna mendapatkan restu untuk berkuliah sambil menuntut ilmu agama di PPM DT. Dan gayung pun bersambut. Niatku ini Alhamdulillah disetujui oleh ibu dan bapak.

Keinginan dari diri sudah ada. Informasi sudah didapatkan. Restu orang tua telah dikantongi. Kini hanya tinggal izin Allah saja yang menentukan apakah diriku bisa masuk PPM atau tidak. Kini tugasku tinggal dua saja, yaitu ikhtiar semampuku dalam melewati seleksi dan berdo’a kepada Allah tentunya.
***
Masih setahun yang lalu. Malam itu aku berniat untuk solat berjama’ah isya di masjid DT. Sebenarnya, kos-kosanku letaknya dekat dengan sebuah masjid, Nurul Falah namanya. Tapi, untuk malam ini, aku ingin sekali lagi merasakan atmosfer solat berjama’ah di DT. Aku merindukan hentakan suara keras imam utamanya. Suaranya keras dan pasti. Siapapun yang mendengarkannya dijamin akan merinding hatinya. Yakin.

Sekitar seperampat jam sebelum waktu adzan, aku meluncur menuju masjid DT. Aku tiba di mesjid hanya beberapa menit saja sebelum adzan. Ketika aku sampai di lantai utama masjid dan duduk pada shaf kedua yang masih tampak kosong, salah satu pengurus masjid, yang usianya masih muda, mungkin usianya hanya beberapa tahun di atasku. Dia berdiri di samping mimbar. Dia bersiap-siap untuk melantunkan adzan. Tidak lama berselang, adzan pun dikumandangkan. Jama’ah yang sudah ada di mesjid, tampak khidmat mendengarkan merdunya lantunan lafadz demi lafadz adzan. Selepas adzan selesai, kami, para jama’ah beranjak untuk mendirikan solat sunah, kemudian dilanjutkan dengan solat berjama’ah isya.

Setelah solat beres, aku turun hendak pulang lagi ke kos-kosan. Aku turun meniti anak tangga mesjid satu persatu. Melewati beberapa jama’ah yang masih sedang sibuk dengan dzikirnya masing-masing. Pada pertengahan tangga, aku dapati sebuah kotak amal yang terbuat dari kaca. Dari luar, aku bisa melihat kumpulan uang kertas yang ada di dalamnya. SubhanAllah, terdapat banyak uang di dalam sana. Dari yang pecahan kecil, sedang, sampai yang besar. Aku terus berjalan melewati kotak itu. Aku kembali menuruni anak tangga tersisa.

Sesampainya di lantai bawah, aku menghampiri tempat penitipan barang. Kurogoh sebuah kartu yang bertuliskan sebuah nomer penitipan di saku samping celana panjangku. Aku berikan kartu itu pada petugas. Dia menerima kartunya, kemudian mengambil sebuah sandal cepit butut warna biru. Sandal cepit butut warna biru itu adalah kepunyaanku. Petugas itu memberikan sandal padaku. Aku terima sandal butut kesayanganku, kemudian berjalan menuju luar mesjid sambil tangan kanan menenteng sandal.

Malam ini, jalanan geger kalong sedang ramai, hingga membuat diriku juga beberapa orang lain harus sabar menunggu untuk menyeberang jalan. Sambil menunggu kendaraan yang sedang lewat, aku membalikan badan mengarah pada mesjid DT lagi. Aku pandangi petugas penitipan barang yang terlihat sibuk karena banyak jama’ah yang hendak mengambil barang yang dtitipkan mereka. Kemudian ku arahkan pandanganku pada sebuah ruangan di lantai dasar mesjid. Ruangan itu hanya disekati oleh dinding dari kaca. Jadi, siapapun dapat dengan mudah melihat aktifitas yang dilakukan oleh orang-orang yang ada di dalamnya. Kali ini, aku dapati beberapa orang sedang duduk sila dan tangannya sedang menggenggam sebuah mushaf Al-Qur’an. Sepertinya mereka sedang tilawah. Ada juga beberpa orang yang sedang memperbincangkan sesuatu. Posisi duduk mereka melingkar. Mereka saling pandang satu-sama lain. Nampaknya mereka sedang melaksanakan mentoring. Salah-satu dari orang-orang itu terlihat sedang membicarakan sesuatu, sedangkan sisanya hanya diam memperhatikan apa yang dibicarakan. Sepertinya memang benar, mereka sedang mentoring.

Namun, yang menjadi perhatianku saat itu adalah sekelompok remaja laki-laki yang juga sedang duduk bergerombol. Mereka terlihat sedang bercanda ria. Terlihat dari gelak tawa mereka. Hampir semua dari remaja itu mengenakan sebuah jaket dengan warna merah tua. Pada bagian punggung jaket itu terdapat sebuah tulisan dengan susunan huruf arab. Aku tidak tahu apa arti dari tulisan itu. Dan di bagian depan sebelah kirinya, tertulis kecil susunan kata “ Program Pesantren Mahasisa, Daaruut Tauhiid, Bandung”. Sepertinya jaket itu adalah jaket kebersamaan program PPM yang ingin aku masuki. Para remaja laki-laki itu terlihat gagah dengan balutan jaket merah itu. Ingin sekali aku menggunakan jaket itu dan menjadi bagian dari mereka. Oh, alangkah bahagianya hati ini jika itu benar-benar terjadi.

Jalanan tampak lebih lengang. Aku melangkah guna menyeberangi jalan menuju bahu jalan sebelah kiri. Sesampainya diseberang, aku kembali melihat para remaja laki-laki di lantai dasar mesjid DT. Aku masih mendapati mereka sedang duduk bergerombol sambil saling bercanda satu sama lain. Sekali lagi aku berfikir, apakah nanti aku akan menjadi bagian dari mereka?

Lamunan itu buyar ketika pandanganku terhalangi oleh mobil-mobil yang berjalan di depanku.
***

Satu tahun kemudian, tepatnya sekarang. Jam dinding yang tertempel di kamarku menunjukan pukul enam lewat empat puluh lima petang. Jadi, kurang-lebih sekitar lima belas menit lagi waktu solat isya tiba. Segera aku dan teman satu kamarku bersiap-siap untuk menuju mesjid DT. Kami berjalan bergerombol menuju sana.

Sesampainya di mesjid DT, iqomat sudah dikumandangkan. Segera kami masuk shaf dan ambil bagian pada solat berjama’ah. Selesai solat, kami berkumpul di lantai bawah mesjid. Kami mengobrol disana. Ditengah-tengah obrolan, aku minta izin teman-teman untuk keluar mesjid duluan, karena aku hendak membeli sesuatu digerai buku yang terletak tidak jauh dari mesjid DT. Aku beranjak dan melangkah menuju luar mesjid. Aku berdiri di bahu kiri jalan, menunggu kendaraan lewat. Sambil menunggu, aku berbalik melihat teman-temanku lagi. Disana, di sebuah ruangan lantai dasar mesjid, yang kini kutahu namanya adalah “Darul Hidayah”, teman-temanku masih sedang mengobrol. Mayoritas dari mereka mengenakan jaket kebersamaan PPM. Jaket itu berwarna merah. Pada bagian punggunya tertulis sebuah tulisan arab, arti dari tulisa itu kurang lebih adalah “Dakwah Untuk Peradaban”. Pada bagian depan sebelah kiri bertuliskan “Program Pesantren Mahasiswa, Daaruut Tauhid, Bandung”.

Maha suci Allah, tanpa saya sadari, bibir ini tersenyum sendiri, seperti ada yang menarik kedua ujung bibirku. Aku tersenyum bukan karena ada sesuatu yang lucu, tapi semata-mata karena takjub dengan kekuatan sebuah impian. Setahun lalu, aku memiliki mimpi untuk bisa menjadi bagian dari remaja laki-laki yang ketika itu mengenakan jaket kebersamaan warna merah. Dan kini, detik ini, di tempat yang sama dengan tahun lalu, namun pada waktu yang berbeda, aku telah menjadi bagian dari mereka. Kini, jaket yang dulu kuinginkan, sekarang sedang membalut erat tubuhku. Sekarang aku benar-benar mengenakan jaket itu. Kini, aku telah menjadi bagian dari keluarga PPM. SubhanAllah, betapa dahsyatnya kekuatan sebuah impian jika dibarengi dengan sebuah perjuangan untuk mewujudkannya.
***

Jalanan sudah mulai lengang. Aku berjalan menyeberangi jalan, lalu meluncur menuju gerai buku. Niatku adalah akan membeli sebuah buku kecil kumpulan hadits arba’in yang disusun oleh Imam Nawawi.

“ Teh, ada hadits arba’in?” tanyaku ketika sampai di gerai buku.

“ Ada A, itu di sebelah sana,” jawab teteh penjaga gerai buku, sambil menunjuk pada salah-satu rak. Aku menghampiri rak yang ditunjukan teteh penjaga gerai. Disana bertumpuk banyak buku-buku kecil yang pada covernya bertuliskan “ Hadits Arba’in”. Aku ambil satu buku kumpulan hadits arba’in itu.

Gerai buku ini tidak terlalu luas. Ukurannya kurang lebih hanya sekitar tiga kali tujuh meteran. Rak buku yang ada, semuanya berdiri mepet pada setiap dinding. Pada bagian tengahnya, terdapat sebuah meja yang di atasnya bertumpuk banyak mushaf Al-Qur’an dan buku seputar keislaman. Pada setiap rak yang berbeda, berbeda pula buku yang dipajang. Sebelum aku membayar hadits arba’in, menyengaja aku melihat-lihat buku pada rak bagian buku fiksi. Siapa tahu ada sebuah buku bagus disana. Jika ada, dan harganya pas dikantong, maka aku akan membelinya.

Aku berdiri menghadap pada rak bagian buku fiksi. Disana berjejer banyak buku berkualitas. Mataku terkunci pada sebuah novel yang pada covernya terselip gambar bintang merah bertuliskan “Best seller”. Aku pernah baca novel itu sekitar tiga tahun yang lalu. SubhanAllah, ceritanya begitu indah. Ingin rasanya suatu hari nanti aku bisa menulis novel sehebat dan selaris novel ini. Mudah-mudahan Allah SWT, mewujudkan impianku ini, aamiin.

Mataku masih terpaku pada novel yang sedang kulihat. Aku masih terbengong sendiri, berdiri mematung di depan rak buku. Tanpa sengaja, pandanganku beralih pada jaket merah yang sedang kukenakan. Tiba-tiba berkelebat sebuah pemikiran. Setahun yang lalu aku menginginkan untuk mengenakan jaket merah ini, dan kini, aku bisa mewujudkannya. Pandanganku beralih lagi pada novel yang tadi menyita perhatianku. Tepat di samping novel itu, terdapat space kosong yang cukup untuk dipajang satu buku lagi. Aku arahkan lagi pandanganku pada novel, kemudian kembali pada jaket merah PPM. Sekali lagi, aku melihat jaket merah yang setahun lalu aku memimpikan untuk memakainya, kemudian ku arahkan lagi pandanganku pada sebuah novel terkenal, lalu pada sebuah space kosong di samping novel itu. Aku meihat jaket merah lagi, lalu kembali melihat space kosong disamping novel.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar