Jika aku
ditakdirkan bertemu orang baru. Seseorang atau beberapa orang melihatku dengan
pandangan heran. Jika ada teman bicara, mereka saling berbisik. Sesekali
melihat diriku ditengah-tengah bisikan itu. Setelah itu tersungging senyuman.
Senyuman yang penuh dengan tanya. Paling tidak pertanyaan yang aku ajukan
sendiri pada hatiku. Ada apa ini? Kenapa mereka seperti itu? Mereka saling
berbisik satu sama lain, melihatku, lalu menyunggingkan senyuman. Aku
bertanya-tanya.
Namun, belakangan ini aku tahu
jawabannya. Jawaban dari berjuta pertanyaan yang mengendap di kepalaku. Adalah
suaraku. Suaraku yang terbilang kecil untuk ukuran usia, jenis kelamin, serta
tinggi dan berat badanku.
“ Suaranya kaya suara wanita,” bisik
orang-orang yang baru mengenal diriku. Bisikan itu dia gumamkan pada teman di sampingnya.
Tidak jarang, aku mendengarkan bisikan itu.
“ Lucu. Suaranya kecil,” ujar
orang-orang baru lain.
Ia, memang seperti itulah adegan
yang sering terjadi ketika aku berkenalan dengan orang baru.
“ Dulu, saat kita pertama bertemu,
satu hal yang paling menarik perhatianku adalah suaramu, Ko. Ketika itu suaramu
terbilang sangat aneh untuk seorang laki-laki. Tapi, lama-kelamaan, seiring
berjalannya waktu dan semakin seringnya intensitas pertemuan kita, suaramu itu
menjadi tidak aneh lagi, mungkin karena keseringan dengar kali ya?” ungkap
beberapa orang teman pada sesi curhat-curhatan tentang memori perkenalan kami
dulu. Redaksi kalimatnya ada sedikit yang berbeda, tapi intinya tetap sama.
Beberapa adegan yang hingga saat ini
masih tergambar jelas di tempurung kepalaku adalah sebagai berikut:
Pertama. Saat itu aku berjalan
dengan tergesa-gesa. Alasannya adalah jam kuliah pagi sudah masuk. Hari itu aku
masuk jam tujuh. Sementara jam di hape menunjukan angka tujuh lebih sepuluh. Hari
itu jadwal kuliah padat, bergerendel dari pagi hingga menjelang ashar. Aku
belum sempat sarapan. Beruntung, di depan gerbang menuju kampus, disana ada
yang jualan roti kukus. Segera aku menghampiri gerobak itu. Penjualnya seorang
ibu setengah baya.
“ Rotinya satu Bu,” pintaku.
Si ibu masih sedang membereskan
beberapa peralatan dagangnya. Tanpa melihat diriku, sang ibu bertanya balik, “
Rasa apa Neng?”
WHAT! NENG!? Aku dipanggil “Neng”. Aku
mengernyitkan dahi.
“ Rasa apa Neng?” tanya ibu sekali
lagi. Kali ini sambil melihat ke arahku. Betapa terkejutnya si ibu saat
menyadari sesosok makhluk yang berdiri di hadapannya memiliki kumis dan janggut
tipis. Wajah si ibu mengkerut layaknya kerupuk yang tersiram air. Si ibu lalu
tersenyum.
“ Aduh, punten atuh nya A. Dikira ibu, si Aa teh, awewe,” ujar si ibu
dibumbui senyuman permohonan maaf.
Si ibu melayaniku. Aku memberikan
sejumlah uang. Kemudian meluncur menuju kampus.
Kedua. Saat itu aku sedang pusing.
Istilah kerennya, aku sedang galau. Bagaimana tidak? Tugas numpuk, menunggu
segera dikerjakan. Uang makan menipis. Alhasil, beberapa waktu kebelakang, aku
tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Dua minggu sudah aku tidak mencuci baju.
Pakaian di lemari habis. Hanya tinggal satu saja yang bersih. Itupun sedang aku
kenakan. Mau tidak mau, aku harus segera mencuci.
Galauku semakin menjadi-jadi. Aku
dihadapkan pada sebuah cabang pilihan yang sulit. Satu cabang menghendakiku
untuk segera mencuci segunung pakaian kotor. Tapi, konsekuensinya tugas
tertunda penyelesaiannya. Sedangkan dikumpulkannya esok hari. Cabang lainnya
mengharuskanku segera menyelesaikan tugas, dengan konsekuensi, esoknya aku
harus rela mengenakan kaos dengan aroma yang numayan menyengat hidung.
Akhirnya aku berjudi. Keduanya akan
aku kerjakan bersamaan. Tugas tetap dikerjakan. Mencuci baju juga aku
laksanakan. Namun, untuk urusan mencuci, aku gunakan jasa laundri. Walaupun
uang semakin menipis saja, yang penting tugas beres dan esok hari baju sudah
bersih dan wangi. Perkara uang, itu bisa dipikirkan lagi nanti.
Aku jejalkan tumpukan pakaian kotor
pada kantong plastik ukuran jumbo. Aku berlari menuju tempat laundri dekat
asrama.
Pintu laundri terbuka. Aku masuk
sembari mengucapkan salam. Di dalam, tak kutemui penjaga seorangpun.
“ Permisi !” ucapku dengan suara
sedikit mengeras.
Setelah beberapa lama, akhirnya ada
sahutan juga, “ Iya Teh, tunggu sebentar ya,” seseorang menjawab dari dalam.
Masya
Allah, sekalinya ada sahutan, aku dipanggil teteh. Saat pemilik laundri
menyadari bahwa ia salah tebak, secara reflek matanya melotot. Bibirnya nyengir kuda. Dengan malu-malu, sang
pemilik laundri melayaniku. Satu langkah aku keluar laundri, sayup-sayup kudengar
tawa yang ditahan-tahan.
Ketiga. Saat itu aku sedang ada
jadwal di SMM (super mini market). Ketika itu aku masih menjadi karyawan freelance. Numayan, mengisi waktu luang
disela-sela kuliah, itung-itung sedikit meringankan pundak orang tua.
Saat itu aku sedang mengamati
pajangan barang. Tak sengaja kudapati seorang ibu terlihat sedang bingung
mencari sesuatu. Mendapati itu, aku langsung menghampirinya.
“ Permisi Bu, ada yang bisa
dibantu?” tawarku.
Sang ibu masih sibuk melihat-lihat
barang. Tatapannya fokus pada pajangan.
“ Kalau madu di sebelah mana ya
Mbak?”
Aku ajak sang ibu untuk mengikutiku.
Aku meluncur menuju pajangan madu. Sang ibu mengikuti dari belakang. Mengenai
bagaimana raut wajah dan gumaman yang keluar dari hati sang ibu aku tidak
mengetahuinya.
***
***
Belum selesai. Masih ada satu lagi
pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Memori ini terjadi beberapa tahun lalu.
Ketika aku masih tergabung dalam skuad klub sepak bola PERSERANG. Satu dari
beberapa klub terbaik di Banten.
Saat itu sedang berlangsung
kompetisi nasional tingkat usia dibawah 18 tahun. Kompetisi itu berlangsung di
Pandeglang, salah-satu kabupaten yang ada di Banten. Kompetisi berlangsung
selama dua minggu. Karenanya, selama waktu itu, klub perserang menyewa sebuah
hotel di dekat alun-alun Pandeglang. Namanya adalah “Hotel Paranti”. Sebuah
hotel yang terhitung baik menurutku.
Di hotel itu, kami, para pemain,
diperlakukan bak seorang raja. Semua kegiatan diatur sedemikan rupa, agar
kondisi para pemain tetap bugar saat berkompetisi nanti. Pola makan diatur.
Menunya super bergizi. Kami diberikan banyak vitamin. Disediakan juga tukang
pijat profesional, yang sewaktu-waktu bisa digunakan jasanya saat badan terasa
pegal.
Suatu pagi. Saat itu hari Minggu.
Setelah melaksanakan latihan pagi di lapangan alun-alun, kami bersih-bersih
diri. Jam sembilan kami sarapan dengan menu super nikmat dan bergizi. Selepas
itu, aku dan dua orang rekan satu timku jalan-jalan mencari udara segar ke
halaman depan hotel. Kami sepakat untuk duduk santai di depan studio radio
paranti fm. Saat itu sedang berlangsung siaran on air. Dari luar studio, kami
mendengarkan sambil mengobrol ringan. Tanpa diduga sebelumnya, seorang kru
radio menghampiri kami. Dia tahu jika kami adalah pemain perserang. Untuk itu,
kru itu meminta kami bertiga untuk menjadi bintang tamu pada siaran on air itu.
WAW, sebuah tawaran menarik menurutku saat itu. Aku yakinkan kedua temanku.
Mereka menyetujui. Akhirnya, kami masuk studio siaran.
Studionya berukuran tidak kecil,
juga tidak terlalu besar. Pada temboknya ditempel alat kedap suara, tujuannya
mungkin supaya suara di dalam studio tidak menggema. Ada komputer, mikrofon,
dan beberapa alat lain yang tidak kuketahui namanya. Satu diantaranya adalah
alat besar yang terdiri dari banyak tombol. Kami duduk pada kursi yang
berseberangan dengan sang penyiar. kami disuruh memperkenalkan diri pada para
pendengar. Setelah itu ditanya banyak pertanyaan terkait kompeisi nasional
tingkat usia dibawah 18 tahun dan juga seputar tim kami,
yaitu perserang.
Beberapa waktu berselang. Tibalah
pada sesi tanya jawab. Penyiar mempersilahkan kepada para pendengar untuk mengirimkan
SMS atau menelfon. Ketika sesi itu berlangsung, satu hal diluar dugaanku
terjadi. Bukannya bertanya tentang tema yang sedang dibicarakan, mereka malah
membicarakan tentang suaraku. Dan, mayoritas penelfon berjenis kelamin wanita.
“ Niko suaranya seksi. Aku suka,”
ungkap seorang penelfon wanita.
“ Kok bisa sih, suara kamu seseksi
itu?” tanya penelfon lain.
“ Aku suka suaramu Niko. Nanti boleh
main ke paranti ya?” pinta seorang remaja asli Pandeglang.
“ Suara kamu seksi. Aku jadi
penasaran dengan rupamu!” curhat yang lain.
Masih banyak lagi ujaran para
penelfon lain. Sang penyiar menggeleng-gelengkan kepalanya melihat diriku.
Begitupun dengan kedua rekanku. Mereka hanya tersenyum simpul mendapati sahabatnya
diperlakukan seperti itu. Aku jawab semua pertanyaan itu apa adanya. Inti dari semua
jawabanku adalah: bahwa semua yang kita miliki adalah pemberian terbaik dari
Allah yang wajib kita syukuri. Tugas kita adalah bagaimana menggunakan
pemberian terbaik itu dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita menggunakannya
untuk hal-hal yang dimurkai Sang Pemberi. Selain itu, kita juga harus fokus
pada kegunaan dan kemanfaatannya. Bukan fokus pada komentar orang tentang yang
kita miliki itu. Sebab, jika kita fokus pada pendapat manusia. Maka kita akan kecewa
saat komentarnya tidak sesuai dengan yang kita inginkan, serta tinggi hati saat
komentarnya menyanjung diri.
Sebelum penutupan, aku dan kedua
rekanku memohon untuk dido’akan oleh para pendengar, agar tim kami diberikan
yang terbaik pada kompetisi tingkat nasional tahun ini. Sesaat sebelum penyiar
menutup, dia berujar bahwa ada satu lagi SMS masuk. Pesan elektronik itu datang
dari salah-seorang remaja yang tadi menelfon. Dengan suara lantang khas seorang
penyiar radio, sang penyiar itu membacakan SMSnya.
“ Rekan-rekan paranti fm, ini masih
ada satu lagi pesan yang masuk. Lagi-lagi pesan ini ditujukan kepada pemain
perserang muda yang sedang duduk di hadapan saya. Isi pesannya sebagai berikut:
pemilik suara seksi, bagaimana, saya boleh main ke paranti kan?
Wah, wah, waaaaaah. Tampaknya sedang
ada yang penasaran nih, hehehe...” canda sang penyiar.
Mendengar itu, aku hanya bisa
melirik pada kedua rekanku. Kami saling tatap satu sama lain. Sang penyiar
menutup acara. Sebuah lagu merdu diputarkan. Lagu itu melantun dengan indah dan
harmonis.
***
***
Gua juga sering dikatain suaranya...>_<
BalasHapusTapi ya, buat apa dipikirin, yg penting kita pede dan mau nerima diri sendiri apa adanya. Nice share =)
Right...
HapusMakasih... :-)