Senin, 13 November 2017

Angin



"Oke. Saya pikir cukup untuk hari ini. Mari kita tutup dengan membaca Hamdalah," Pak Okin menutup bimbingan sore ini. Nida, Zulfa, dan Pak Okin melafalkan lafadz Hamdalah bersamaan.

Pak Okin mengucap salam. Dua santri bimbingannya menjawab berbarengan.

"Seleksi olimpiade kapan Pak?" Tanya Zulfa.

"InsyaAllah bulan depan."

"Yang lolos tiap mata pelajaran tiga orang kan Pak ya?"

"Iya. Makanya belajarnya harus lebih giat lagi. Saingan Zulfa tidak sedikit. Yang ikut ekskul Geografi semuanya tujuh orang. Putra dan putri. Dan yang akan mewakili sekolah kita hanya tiga orang saja. Jika Zulfa dan Nida," Pak Okin melirik Nida. "Ingin lolos, maka belajarnya harus lebih banyak dari yang lain."

Jam lima lewat lima belas. Matahari condong ke barat. Warnanya orange. Bulat. Seperti buah jeruk pontianak super matang. Langit barat mulai menjingga.

Pelan-pelan segerombol awan melintasi dan menutup matahari. Lewat celah-celah awan, sinar matahari menyelinap, menyerupai tongkat-tongkat cahaya yang menghujam bumi. Menakjubkan.

Pak Okin dan kedua santrinya masih duduk pada bangku beton di depan kelas sebelas IPA. Bangku dan meja yang terbuat dari coran semen itu menghadap pohon-pohon lebat di hamparan tanah yang lebih bawah. Puncak pohon-pohon itu sejajar dengan bukit kecil tempat biasa Pak Okin dan santrinya membedah soal-soal geografi.

Dari kejauhan, dedaunan bergerak tertabrak angin. Lambayan daun-daun itu merambat bak karpet hijau yang dikibaskan. Terus merambat menghampiri bukit kecil.

WUSSSHH

Angin membelai Zulfa, Nida dan gurunya yang sedang merapihkan buku serta kertas-kertas soal.

"Waaah. Adem bangeeet," Zulfa menikmati angin.

Pak Okin menutup sleting tas. Lalu ia gendong tas warna hitam miliknya itu.

Pak Okin menegakkan badan, menyempurnakan posisi duduknya. Tegap. Guru muda itu juga ingin menikmati angin sore.

WUUSSSSHH

"Apa itu angin?" Pak Okin bertanya. Sambil menikmati angin, ia ingin menguji ingatan santri bimbingannya tentang materi yang pernah diajarkan.

"Udara yang bergerak," jawab Nida.

"Kenapa udara bergerak?" Pak Okin lanjut menguji.

"Karena perbedaan tekanan udara di antara dua tempat yang berbeda," jawab Nida lagi.

"Lalu?"

"Udara bergerak dari tempat yang bertekanan udara tinggi menuju tempat yang memiliki tekanan udara rendah. Hukum Buys Ballot. Sang ahli meteorologi asal Belanda," papar Nida.

Pak Okin tersenyum. Kagum.

"Kenapa ada angin yang kencang dan juga ada angin sepoy-sepoy seperti angin sore ini?"

"Saya, saya, saya. Saya aja yang jawab!" Pinta Zulfa. Ia mengacungkan tangan sambil melirik Nida. Minta gantian.

Nida tidak jadi menjawab. Ia katupkan lagi bibirnya.

"Kecepatan angin bertiup berbanding lurus dengan gradien barometrinya. Semakin besar gradien barometrinya, maka semakin besar kecepatan anginnya. Hukum Stevenson. Cie cieee," Zulfa melihat Nida. "Saya juga bisa seperti Nida, hehe." Zulfa riang.

Nida tersenyum sebab tingkah Zulfa. Pak Okin juga tersenyum lebar. Hingga tampak susunan giginya.

"Apa itu gradien barometri?" Pak Okin menatap Zulfa.

"Perbedaan tekanan udara pada dua daerah. Semakin besar perbedaannya, semakin besar gradien barometrinya. Cie cieee. Hehe." Zulfa sumringah lagi. Puas dengan jawabannya.

WUUSSSHHH

Angin sepoy datang lagi. Sejuk.

"Hikmah apa yang teman-teman dapatkan setelah tahu tentang pelajaran angin ini?" Pak Okin menatap hamparan dedaunan yang bergerak.

Zulfa dan Nida melipat dahi. Hikmah? Seingat mereka, saat dulu Pak Okin menjelaskan tentang angin. Tidak ada kata hikmah yang mereka temukan.

"Hikmah?" Zulfa heran.

"Ya. Hikmah. Pelajaran hidup apa yang teman-teman peroleh dari fenomena angin?"

"Pelajaran hidup?" Zulfa melihat Nida. Demikian sebaliknya. Mereka beradu pandang.

Pak Okin melihat jam tangan. Pukul lima lewat dua puluh. Sudah sore. Sepuluh menit lagi semua santri harus sudah bersiap untuk solat magrib.

"Sekarang teman-teman bayangkan," pinta Pak Okin. Zulfa dan Nida mendaratkan penglihatannya pada Pak Okin.

"Ada dua buah tempat yang memiliki tekanan udara yang berbeda. Lokasi A tekanannya lebih tinggi dari lokasi B. Kemudian udara bergerak dari A menuju B. Karena tekanan di B rendah, maka udaranya bergerak ke atas. Setelah di atas, dia bergerak ke samping, lalu turun mengisi kekosongan udara di tempat A. Begitu terus siklusnya."

Kening Zulfa bergelombang. Matanya menyipit. Berpikir keras mencoba mahami kalimat Pak Okin.

"Itu adalah hukum alam. Sunatullah. Bisa dibayangkan sekiranya udara di lokasi A tidak mau bergerak mengisi daerah B. Maka dunia ini akan kacau."

Zulfa dan Nida mengangguk pelan. Perlahan mereka mulai memahami.

"Sekarang kita ibaratkan lokasi A itu adalah seorang manusia yang memiliki kelebihan harta . Lalu lokasi B itu adalah seorang manusia yang hartanya pas-pasan, atau mungkin misalnya kekurangan."

"Seharusnya apa yang terjadi pada permisalan ini?" Pak Okin bertanya lagi.

"A memberikan kelebihan hartanya pada B," ucap Nida pelan. Khawatir keliru.

"Benar. Harusnya seperti itu. Seumpama udara yang jika tidak mau bergerak dari A ke B. Bumi kita akan kacau. Maka sejatinya, bumi juga bisa saja menjadi tak karuhan jika si A yang memiliki kelebihan harta enggan untuk menyedekahkan hartanya pada si B yang kekurangan dan membutuhkan."

"Lalu apa yang didapatkan oleh A ketika dia mengalirkan kelebihan yang dimilikinya? Jawabannya adalah kebahagiaan hati. Sebuah rasa yang turun dari atas. Seperti angin dari lokasi B yang mengisi kekosongan udara di lokasi A. Seperti itu pula kebahagiaan yang akan dirasakan si A. Sebuah kebahagiaan yang turun tersebab do'a-do'a yang dinaikkan ke langit oleh si B setelah mendapatkan pemberian dari si A."

"Lebih jauh lagi. InsyaAllah si A akan mendapatkan ganjaran lebih yang bisa dipetik di negeri akhirat kelak."

"Nah. Itulah sedikit hikmah yang dapat kita petik dari fenomena angin ini. Masih banyak sebenarnya yang bisa kita dapatkan bila saja kita mau untuk merenungkan lebih jauh lagi. Sebagaimana sebuah ayat yang mengatakan bahwa 'sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang... sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi yang memikirkannya." Pak Okin memberikan kesimpulan.

Pak Okin melihat jam tangannya. Pukul lima lewat dua puluh lima.

"Oke. Masih ada lima menit lagi untuk perjalanan ke asrama dan persiapan magrib. Jangan lupa untuk terus semangat belajar geografinya ya."

Pak Okin berdiri. "Saya duluan ya."

Pak Okin melangkah meninggalkan Nida dan Zulfa. Terus berjalan semakin menjauh.

Nida memandang punggung Pak Okin. Matanya seakan tak mau lepas dari sosok guru pembimbingnya itu. Tidak mau. Tidak mau. Tidak mau.

Nida menunduk. Ada alunan lembut yang berdesir dalam dadanya. Berdesir lembut seperti lembutnya angin sore yang membelai hamparan dedaunan di hadapan bangku beton yang sekarang Nida duduki.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar