"Oke. Saya pikir cukup untuk hari ini. Mari
kita tutup dengan membaca Hamdalah," Pak Okin menutup bimbingan sore ini.
Nida, Zulfa, dan Pak Okin melafalkan lafadz Hamdalah bersamaan.
Pak Okin mengucap salam. Dua santri bimbingannya
menjawab berbarengan.
"Seleksi olimpiade kapan Pak?" Tanya
Zulfa.
"InsyaAllah bulan depan."
"Yang lolos tiap mata pelajaran tiga orang kan
Pak ya?"
"Iya. Makanya belajarnya harus lebih giat
lagi. Saingan Zulfa tidak sedikit. Yang ikut ekskul Geografi semuanya tujuh
orang. Putra dan putri. Dan yang akan mewakili sekolah kita hanya tiga orang
saja. Jika Zulfa dan Nida," Pak Okin melirik Nida. "Ingin lolos, maka
belajarnya harus lebih banyak dari yang lain."
Jam lima lewat lima belas. Matahari condong ke
barat. Warnanya orange. Bulat. Seperti buah jeruk pontianak super matang.
Langit barat mulai menjingga.
Pelan-pelan segerombol awan melintasi dan menutup
matahari. Lewat celah-celah awan, sinar matahari menyelinap, menyerupai
tongkat-tongkat cahaya yang menghujam bumi. Menakjubkan.
Pak Okin dan kedua santrinya masih duduk pada
bangku beton di depan kelas sebelas IPA. Bangku dan meja yang terbuat dari coran
semen itu menghadap pohon-pohon lebat di hamparan tanah yang lebih bawah.
Puncak pohon-pohon itu sejajar dengan bukit kecil tempat biasa Pak Okin dan
santrinya membedah soal-soal geografi.
Dari kejauhan, dedaunan bergerak tertabrak angin.
Lambayan daun-daun itu merambat bak karpet hijau yang dikibaskan. Terus
merambat menghampiri bukit kecil.
WUSSSHH
Angin membelai Zulfa, Nida dan gurunya yang sedang
merapihkan buku serta kertas-kertas soal.
"Waaah. Adem bangeeet," Zulfa menikmati
angin.
Pak Okin menutup sleting tas. Lalu ia gendong tas
warna hitam miliknya itu.
Pak Okin menegakkan badan, menyempurnakan posisi
duduknya. Tegap. Guru muda itu juga ingin menikmati angin sore.
WUUSSSSHH
"Apa itu angin?" Pak Okin bertanya.
Sambil menikmati angin, ia ingin menguji ingatan santri bimbingannya tentang
materi yang pernah diajarkan.
"Udara yang bergerak," jawab Nida.
"Kenapa udara bergerak?" Pak Okin lanjut
menguji.
"Karena perbedaan tekanan udara di antara dua
tempat yang berbeda," jawab Nida lagi.
"Lalu?"
"Udara bergerak dari tempat yang bertekanan
udara tinggi menuju tempat yang memiliki tekanan udara rendah. Hukum Buys
Ballot. Sang ahli meteorologi asal Belanda," papar Nida.
Pak Okin tersenyum. Kagum.
"Kenapa ada angin yang kencang dan juga ada
angin sepoy-sepoy seperti angin sore ini?"
"Saya, saya, saya. Saya aja yang jawab!"
Pinta Zulfa. Ia mengacungkan tangan sambil melirik Nida. Minta gantian.
Nida tidak jadi menjawab. Ia katupkan lagi
bibirnya.
"Kecepatan angin bertiup berbanding lurus dengan
gradien barometrinya. Semakin besar gradien barometrinya, maka semakin besar
kecepatan anginnya. Hukum Stevenson. Cie cieee," Zulfa melihat Nida.
"Saya juga bisa seperti Nida, hehe." Zulfa riang.
Nida tersenyum sebab tingkah Zulfa. Pak Okin juga
tersenyum lebar. Hingga tampak susunan giginya.
"Apa itu gradien barometri?" Pak Okin
menatap Zulfa.
"Perbedaan tekanan udara pada dua daerah.
Semakin besar perbedaannya, semakin besar gradien barometrinya. Cie cieee.
Hehe." Zulfa sumringah lagi. Puas dengan jawabannya.
WUUSSSHHH
Angin sepoy datang lagi. Sejuk.
"Hikmah apa yang teman-teman dapatkan setelah
tahu tentang pelajaran angin ini?" Pak Okin menatap hamparan dedaunan yang
bergerak.
Zulfa dan Nida melipat dahi. Hikmah? Seingat
mereka, saat dulu Pak Okin menjelaskan tentang angin. Tidak ada kata hikmah
yang mereka temukan.
"Hikmah?" Zulfa heran.
"Ya. Hikmah. Pelajaran hidup apa yang
teman-teman peroleh dari fenomena angin?"
"Pelajaran hidup?" Zulfa melihat Nida.
Demikian sebaliknya. Mereka beradu pandang.
Pak Okin melihat jam tangan. Pukul lima lewat dua
puluh. Sudah sore. Sepuluh menit lagi semua santri harus sudah bersiap untuk
solat magrib.
"Sekarang teman-teman bayangkan," pinta
Pak Okin. Zulfa dan Nida mendaratkan penglihatannya pada Pak Okin.
"Ada dua buah tempat yang memiliki tekanan
udara yang berbeda. Lokasi A tekanannya lebih tinggi dari lokasi B. Kemudian
udara bergerak dari A menuju B. Karena tekanan di B rendah, maka udaranya
bergerak ke atas. Setelah di atas, dia bergerak ke samping, lalu turun mengisi
kekosongan udara di tempat A. Begitu terus siklusnya."
Kening Zulfa bergelombang. Matanya menyipit.
Berpikir keras mencoba mahami kalimat Pak Okin.
"Itu adalah hukum alam. Sunatullah. Bisa
dibayangkan sekiranya udara di lokasi A tidak mau bergerak mengisi daerah B.
Maka dunia ini akan kacau."
Zulfa dan Nida mengangguk pelan. Perlahan mereka
mulai memahami.
"Sekarang kita ibaratkan lokasi A itu adalah
seorang manusia yang memiliki kelebihan harta . Lalu lokasi B itu adalah
seorang manusia yang hartanya pas-pasan, atau mungkin misalnya
kekurangan."
"Seharusnya apa yang terjadi pada permisalan
ini?" Pak Okin bertanya lagi.
"A memberikan kelebihan hartanya pada B,"
ucap Nida pelan. Khawatir keliru.
"Benar. Harusnya seperti itu. Seumpama udara
yang jika tidak mau bergerak dari A ke B. Bumi kita akan kacau. Maka sejatinya,
bumi juga bisa saja menjadi tak karuhan jika si A yang memiliki kelebihan harta
enggan untuk menyedekahkan hartanya pada si B yang kekurangan dan
membutuhkan."
"Lalu apa yang didapatkan oleh A ketika dia
mengalirkan kelebihan yang dimilikinya? Jawabannya adalah kebahagiaan hati.
Sebuah rasa yang turun dari atas. Seperti angin dari lokasi B yang mengisi
kekosongan udara di lokasi A. Seperti itu pula kebahagiaan yang akan dirasakan
si A. Sebuah kebahagiaan yang turun tersebab do'a-do'a yang dinaikkan ke langit
oleh si B setelah mendapatkan pemberian dari si A."
"Lebih jauh lagi. InsyaAllah si A akan
mendapatkan ganjaran lebih yang bisa dipetik di negeri akhirat kelak."
"Nah. Itulah sedikit hikmah yang dapat kita
petik dari fenomena angin ini. Masih banyak sebenarnya yang bisa kita dapatkan
bila saja kita mau untuk merenungkan lebih jauh lagi. Sebagaimana sebuah ayat
yang mengatakan bahwa 'sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang... sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran Allah
bagi yang memikirkannya." Pak Okin memberikan kesimpulan.
Pak Okin melihat jam tangannya. Pukul lima lewat
dua puluh lima.
"Oke. Masih ada lima menit lagi untuk
perjalanan ke asrama dan persiapan magrib. Jangan lupa untuk terus semangat
belajar geografinya ya."
Pak Okin berdiri. "Saya duluan ya."
Pak Okin melangkah meninggalkan Nida dan Zulfa.
Terus berjalan semakin menjauh.
Nida memandang punggung Pak Okin. Matanya seakan
tak mau lepas dari sosok guru pembimbingnya itu. Tidak mau. Tidak mau. Tidak
mau.
Nida menunduk. Ada alunan lembut yang berdesir
dalam dadanya. Berdesir lembut seperti lembutnya angin sore yang membelai
hamparan dedaunan di hadapan bangku beton yang sekarang Nida duduki.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar