"Pak Okiiiiiiin!" Zulfa setengah teriak.
Pak Okin berhenti melangkah. Ia menoleh pada suara
yang menyebut namanya. Zulfa melambaikan tangan. "Tungguuu! Kita
bareng!"
Zulfa berjalan cepat menghampiri Pak Okin. Nida
kerepotan membersamai langkah Zulfa.
Jam 16.03. Tiga menit lewat dari waktu biasa
bimbingan olimpiade geografi dimulai. Sebab sedari siang tadi hujan turun. Baru
reda selepas ashar.
Ya. Beberapa hari ini hujan memang sering turun.
Sebab sudah masuk bulan Oktober. Indonesia memiliki dua musim saja. Kemarau dan
penghujan. April-Oktober adalah musim kemarau dan Oktober-April musim hujan.
Mengapa musim hujan tiba di Oktober sampai April?
Sebab pada waktu itu matahari sedang ada di belahan bumi selatan. Yang
menyebabkan daerah di selatan khatulistiwa lebih panas dari daerah di sebelah
utaranya. Sebab daerah selatan lebih panas, maka tekanan udaranya lebih rendah
dibanding utara. Karenanya angin bergerak dari utara menuju selatan. Melewati
Indonesia. Ketika angin bergerak, mereka membawa banyak uap air dari atas
Samudera Pasifik. Oleh karena itu di Indonesia sering turun hujan.
Lalu mengapa kemarau hadirnya pada bulan April
sampai Oktober? Berkebalikan dengan enam bulan sebelumnya. Pada April-Oktober
matahari sedang bersemayam di belahan bumi utara. Ini yang menyebabkan wilayah
di sebelah utara khatulistiwa lebih panas dari selatan. Kemudian angin mengalir
dari selatan ke utara melewati Indonesia. Sebelum tiba di Indonesia, angin
terlebih dulu melewati Benua Australia. Karena melewati daratan luas, maka
angin tidak dapat membawa uap air. Sebab itu Indonesia mengalami musim kemarau.
Beberapa meter Zulfa menghampiri, Pak Okin
melanjutkan langkah lagi. Kedua santrinya sudah paham. Pak Okin selalu berjalan
di depan jika mereka sedang melangkah bersama.
"Lebih baik berjalan di belakang singa
daripada berjalan di belakang wanita," kalimat yang dulu pernah Pak Okin
ucapkan pada Nida dan Zulfa. Itu adalah pesan sang guru saat Pak Okin masih
mondok di Bandung.
Zulfa dan Nida berjalan tiga meter di belakang Pak
Okin.
"Pak Okin coba lihat awan itu!" Zulfa
menunjuk langit yang mendungnya belum pergi.
Pak Okin berhenti. Melihat awan kelabu yang
ditunjuk Zulfa.
"Awan hitam yang tampak, tapi hujan adalah
maksudnya. Langit teramat malu padamu, hingga ia sembunyikan hujan di balik
awan. Cie cieee. Hehe," Zulfa menutup kalimatnya dengan tawa renyah. Ia
menirukan kata-kata Pak Okin kemarin lusa. Hanya saja Zulfa plesetkan pada
kalimat 'langit teramat malu pada bumi' menjadi 'langit teramat malu padamu'.
"Ucapan Pak Okin yang kemarin lusa itu keren
banget. Sampai sekarang saya masih ingat. Pak Okin kenapa gak coba belajar
menjadi penulis saja?" celoteh Zulfa.
Pak Okin kembali melangkah. Pelan-pelan melewati
jalan yang di samping kiri dan kanannya tumbuh segerombolan pohon bambu. Nida
dan Zulfa mengikuti.
"Pak Okin kok gak jawab?" Protes Zulfa.
"Iya, ini juga sedang belajar," jawab Pak
Okin sekenanya. Tapi tetap masih melangkah.
"Pak Okin, Pak Okin, kenapa sih akhir-akhir
ini sering pakai peci? Pak Okin sedang baca biografinya Sukarno ya, lalu
mengidolakan beliau terus ikut-ikutan gaya berpenampilannya?" Zulfa
memberikan pertanyaan double.
Nida melirik Zulfa. Ada warna sedikit risih di
wajah Nida. Tapi hanya sedikit saja. Sebab begitulah kebiasaan Zulfa. Nida
sudah terbiasa dengan keadaan itu.
"Pak Okin jawab dong."
"Iya," jawab Pak Okin singkat.
"Asiiik," Zulfa sumringah. "Pak Okin
tahu tidak jika orang yang mengidolakan seseorang itu cenderung akan mengikuti
banyak kebiasaan sang idolanya? Oya, Pak Okin tahu juga tidak jika Sukarno itu
menikah dengan murid yang pernah diajarnya, yakni Fatmawati? Pak Okin ingin
seperti itu juga ya?" Kali ini Zulfa memberikan pertanyaan paket kombo.
Pak Okin tersenyum. Geli karena pertanyaan Zulfa.
"Kalau nanti saya menikah dengan murid saya, kelamaan atuh. Belum nunggu
lulus sekolahnya. Kemudian kuliah lagi empat tahun. Nanti ketuaan
sayanya," Pak Okin menanggapi.
"Tapi mungkin saja kan ada murid yang ingin
menikah setelah lulus sekolah nanti. Siapa tahu ada yang seperti itu,
hehe." Zulfa nyengir ke arah Nida yang berjalan bersisian dengannya.
Pak Okin naik tangga. Menuju gedung kelas yang
berdiri di hamparan tanah yang lebih tinggi.
"Nida dan Zulfa suka hujan tidak?" Pak
Okin bertanya ketika menginjak anak tangga ke empat. Niat utamanya adalah untuk
mengalihkan pembicaraan.
"Kadang-kadang suka kadang-kadang tidak,"
jawab Zulfa.
"Kalau Nida?" Pak Okin menagih.
"Suka," ujar Nida pelan.
Kaki kanan Pak Okin tiba pada anak tangga terakhir.
Lanjut kembali berjalan pada hamparan paving blok menuju bangku beton di depan
kelas sebelas IPA.
"Saya sangat suka hujan. Terlebih hujannya itu
pada sore hari. Jika hujan sore turun, biasanya saya duduk sendiri di teras
memandangi rintik-rintik airnya. Menurut saya itu romantis banget."
"Romantis?" Ucap Zulfa.
"Ya." Pendek saja Pak Okin menegaskannya.
"Hujan itu rahmat. Anugerah dari Sang
Pencipta. Karenanya tanah-tanah yang terguyur menjadi subur."
"Tapi tidak semua kan?" Kritik Zulfa.
"Banjir di Jakarta misalnya."
"Sejatinya hujan itu rahmat. Membawa kebaikan
untuk penghidupan manusia. Tentang banjir yang kemudian terjadi di suatu
daerah, itu murni karena akibat dari ulah manusia itu sendiri. Diantara contoh
yang menyebabkannya adalah penebangan pohon di wilayah hulu yang mengakibatkan
berkurangnya daerah resapan air. Juga penataan ruang yang tidak ramah
lingkungan bahkan cenderung menghalangi jalan air. Lalu diperparah dengan
kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan. Tersebab ulah-ulah semacam itulah
lalu banjir terjadi."
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka
adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri," Pak Okin mengutip ayat
yang dia ingat.
"Hujan itu romantis. Saya sering berimajinasi
jika hujan itu adalah akumulasi rindu yang dirasakan samudera pada daratan.
Diam-diam samudera menyimpan rasa. Lalu ia titipkan rindunya pada uap air yang
dibawa awan. Kemudian rindu itu turun menjadi hujan. Membelai bumi yang
dirindukan. Indah nian kisah cinta semacam itu. Sebentuk cinta yang tidak
menghancurkan. Sebentuk cinta yang berkah dan mendamaikan."
Pak Okin melepas sandalnya. Mengambil kain lap yang
menggantung di depan toilet samping kelas IPS.
Pak Okin kembali. Mengenakan sandal dan lanjut
menuju bangku beton.
Pak Okin mengelap bangku beton. Mengeringkan basah
sisa hujan tadi. Nida dan Zulfa berdiri sebelahan tidak jauh dari Pak Okin.
"Kelak. Jika sudah dewasa nanti. Saat ada rasa
cinta yang menghampiri Zulfa dan Nida. Berusahalah sekuat jiwa untuk seperti
samudera. Jaga rasa cinta itu agar tetap suci."
Pak Okin mengelap bangku beton yang lain.
"Tahan saja dulu. Tidak boleh ada yang tahu
tentang isi dari bejana hati Nida dan Zulfa. Tahan saja sekuat tenaga. Jika
tidak kuat. Tetap tahan. Dan saat bejana hati tidak mampu membendung lagi.
Biarkan dia keluar dengan perlahan. Tapi tidak lewat lidah Nida dan Zulfa.
Arahkan dia agar menyelinap melalui celah di ujung mata. Tidak apa-apa. Biarkan
tetes demi tetes itu mengalir dengan perlahan. Biarlah. Biarkanlah seperti
itu."
Selesai. Semua bangku beton sudah kering. Pak Okin
menyimpan tas gendongnya pada meja beton. Lalu ia duduk di bangku beton yang
satu.
"Suatu hari nanti. Teman-teman akan paham
kalimat yang saya ucapkan tadi." Pak Okin menutup dengan sebuah senyuman.
"Hayu kita mulai bahas soal geografi lagi. Sebentar lagi seleksi sekolah
akan dilaksanakan." Pak Okin memperlihatkan gestur tangan mempersilahkan
dua santri bimbingannya untuk duduk pada bangku beton yang satunya.
Zulfa duduk. Nida juga. Ada sebuah genangan di mata
Nida. Entah itu air mata, atau cipratan air yang meloncat dari ujung daun-daun
yang tertiup angin lalu mendarat di kedua mata Nida. Entah. Entahlah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar