Sore. Jam 17.05. Pada bangku beton di depan kelas
sebelas IPA. Sebuah taman kecil yang menghadap pada pohon-pohon berdaun lebat.
Hijau.
"Pak Okin, beri saya pesan," pinta Nida
setelah lama diam.
"Pesan apa?" Pak Okin bertanya balik.
Tapi masih fokus pada buku geografi kelas sepuluh di tangannya.
"Pesan untuk wanita," Nida melihat sisi
kiri wajah Pak Okin.
Pak Okin tak bereaksi. Tetap khusuk pada buku.
Pandang Nida belum lepas. Menunggu.
Pak Okin membalik kertas. Lanjut membaca halaman
berikutnya.
Nida masih menunggu. Matanya bertahan pada Pak
Okin.
Tidak ada tanggapan. Santri putri kelas sepuluh IPS
itu menyerah. Konsentrasinya kembali pada lembaran kertas di hadapannya.
Soal-soal geografi. Persiapan untuk Olimpiade tahun ini.
Pak Okin melirik ke kiri. Melihat Nida yang
menunduk menatap kertas.
"Wanita harus siap."
Nida menoleh. Beradu pandang dengan Pak Okin. Satu
detik. Dua detik. Tiga detik.
Pak Okin berpaling. Melempar wajah pada pohon-pohon
hijau di depan. Tapi Nida masih. Masih melihat Pak Okin.
"Siap untuk apa?"
Pak Okin menarik nafas. Pelan.
"Wanita akan selalu merindukan rumahnya.
Tempat dia lahir dan bertumbuh. Wanita juga pasti selalu rindu keluarganya.
Tempat dia mendapatkan mata air kasih sayang. Tapi. Suatu hari nanti, akan ada
seorang laki-laki yang datang mengetuk pintu rumah dan berbincang dengan
ayah-ibunya. Lalu memohon izin untuk membawa anak gadisnya pergi. Melangkah
jauh meninggalkan rumah dan keluarga. Untuk membangun sebuah kehidupan yang
baru."
Pak Okin menoleh pada santrinya.
"Suatu hari nanti, mungkin Nida akan menemui
hari seperti itu. Sebagai seorang wanita, Nida harus siap untuk itu."
Pak Okin melihat pohon-pohon hijau lagi. Sinar
mentari sore yang berwarna keemasan menyapu pohon-pohon yang melingkari
sekolah. Nida masih melihat Pak Okin. Lalu menunduk kembali melihat soal yang
harus dia kerjakan
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar