September. Selepas ashar. Matahari condong ke
langit sebelah barat. Cerah.
"Hari ini panas banget ya?" Tanya Zulfa.
Entah kepada siapa.
Nida menoleh. Hendak meyakinkan apakah pertanyaan
itu untuknya. Pak Okin juga melirik.
"Apalagi tadi siang. Di kelas gerah
banget." Kali ini Zulfa memberi pernyataan. "Pak Okin dan kamu,"
Zulfa melihat Nida, "Merasa panas banget gak tadi siang?"
"Iya." Jawab Nida pendek. Dengan tetap
melihat soal geografi di hadapannya.
"Pak Okin?" Zulfa menagih respon guru
pembimbing olimpiade geografinya.
"Lumayan."
Pak Okin menutup buku tebal kumpulan soal olimpiade.
Sedikit menyerongkan posisi duduk. Menghadap dua santrinya.
"Teman-teman tahu kenapa beberapa hari ini
terasa lebih panas dari biasanya?" Pak Okin membuka diskusi.
Nida dan Zulfa mendaratkan pandangan pada Pak Okin.
Melupakan kertas di genggaman mereka.
"Mmm. Karena banyak penebangan pohon. Terus
ozon juga semakin menipis." Zulfa mengangkat kedua alisnya. Keningnya
melipat. Isyarat meminta konfirmasi apakah jawabannya benar.
Sementara Nida menyipitkan mata. Masih mencoba
mencari jawaban.
"Nida?" Pak Okin menagih.
Nida menggeleng pelan. Ada sedikit senyum di
bibirnya.
"Jika pertanyaannya kenapa suhu bumi lebih
panas dari sebelumnya, jawaban Zulfa mungkin benar."
"Lantas jawabannya apa Pak?" Zulfa
memotong kalimat Pak Okin.
"Sebab posisi matahari sekarang sedang tepat
di atas Indonesia."
"Oooh, di khatulistiwa ya Pak?" Zulfa
menyela.
"Ya."
Nida mengambil pena. Menuliskan sesuatu di pinggir
kertas soal.
"Ada dua waktu dimana matahari tepat di
khatulistiwa. Yaitu bulan Maret dan September. Pada waktu itu Indonesia sedikit
lebih panas dari biasanya. Terlebih di tempat yang dilewati garis khatulistiwa.
Seperti di Pontianak Kalimantan Barat."
"Kenapa bisa begitu?" Tanya Zulfa. Nida
mengangguk. Tanda menanyakan hal serupa.
"Itu adalah gerak semu tahunan matahari. Sebab
posisi bumi miring dua puluh tiga koma lima derajat dari garis ekliptika. Pada
saat bumi berevolusi, seolah pelan-pelan matahari bergerak bolak-balik dari
23,5 derajat lintang utara sampai 23,5 derajat lintang selatan."
Nida kembali menulis.
"Oooh, pantesan." Zulfa mengangguk.
"Tapi kenapa panasnya panas banget ya. Kenapa tidak dikurangi dikit saja
supaya di kelasnya tidak gerah banget." Zulfa menambahkan rentetan
kalimatnya.
Nida menggeleng. Kedua ujung bibir Pak Okin
melebar. Keduanya sudah paham betul karakter seorang santri yang barusan
menggerutu itu.
"Ah memang dasar matahari." Zulfa menutup
kalimatnya dengan senyum mengembang. Terselip canda dalam gerutunya.
Pak Okin kembali membuka buku tebal. Bukan ingin
membaca. Tapi mencari jeda waktu untuk sedikit berpikir.
Nida dan Zulfa kembali pada soal-soal.
"Matahari itu keren ya." Ucap Pak Okin.
Zulfa menoleh pada sumber suara. Kemudian Nida
juga.
"Energi pancaran matahari membuat bumi layak
menjadi tempat hidup manusia. Hingga sekarang kita masih merasa nyaman tinggal
di planet biru ini. Karenanya setiap pagi menjelang siang pohon-pohon bisa
berfotosintesis untuk menghasilkan makanan. Lalu mereka tumbuh subur dan
menghasilkan buah-buahan untuk kita makan. Karenanya juga menjadi sebab
terjadinya siklus air di dunia. Bolak-balik dari laut naik ke atas lalu terbawa
angin ke darat dan turun sebagai hujan untuk menyuburkan tanah tempat hidup
tumbuhan yang pada ujungnya hasilnya untuk kita makan juga. Lalu air itu balik
lagi ke laut lewat sungai dan selokan."
Nida lekat menatap Pak Okin.
"Masih banyak lagi peran matahari bagi
kehidupan kita. Tanpa matahari, sulit membayangkan ada kehidupan di bumi.
Termasuk hidup saya, Nida dan Zulfa."
Pak Okin mengakhiri kata-katanya dengan senyuman.
"Jadi matahari itu keren kan?" Pak Okin
bertanya. Pertanyaan bukan untuk dijawab.
Nida melirik Zulfa. Dia paham arti tanya Pak Okin.
Nida kembali menatap soal. Bersamaan dengan itu senyum terlukis di bibirnya.
"Hehe," Zulfa tertawa dingin. Sepertinya
dia juga paham.
Pak Okin menggeser pandangannya dari Zulfa ke Nida.
Pada waktu yang sama Nida juga melirik Pak Okin.
Segera Nida balik melihat soal. Sementara Pak Okin
membuang pandang ke pohon jambu di samping bangku beton yang dia duduki.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar