Senin, 13 November 2017

Matahari



September. Selepas ashar. Matahari condong ke langit sebelah barat. Cerah.

"Hari ini panas banget ya?" Tanya Zulfa. Entah kepada siapa.

Nida menoleh. Hendak meyakinkan apakah pertanyaan itu untuknya. Pak Okin juga melirik.

"Apalagi tadi siang. Di kelas gerah banget." Kali ini Zulfa memberi pernyataan. "Pak Okin dan kamu," Zulfa melihat Nida, "Merasa panas banget gak tadi siang?"

"Iya." Jawab Nida pendek. Dengan tetap melihat soal geografi di hadapannya.

"Pak Okin?" Zulfa menagih respon guru pembimbing olimpiade geografinya.

"Lumayan."

Pak Okin menutup buku tebal kumpulan soal olimpiade. Sedikit menyerongkan posisi duduk. Menghadap dua santrinya.

"Teman-teman tahu kenapa beberapa hari ini terasa lebih panas dari biasanya?" Pak Okin membuka diskusi.

Nida dan Zulfa mendaratkan pandangan pada Pak Okin. Melupakan kertas di genggaman mereka.

"Mmm. Karena banyak penebangan pohon. Terus ozon juga semakin menipis." Zulfa mengangkat kedua alisnya. Keningnya melipat. Isyarat meminta konfirmasi apakah jawabannya benar.

Sementara Nida menyipitkan mata. Masih mencoba mencari jawaban.

"Nida?" Pak Okin menagih.

Nida menggeleng pelan. Ada sedikit senyum di bibirnya.

"Jika pertanyaannya kenapa suhu bumi lebih panas dari sebelumnya, jawaban Zulfa mungkin benar."

"Lantas jawabannya apa Pak?" Zulfa memotong kalimat Pak Okin.

"Sebab posisi matahari sekarang sedang tepat di atas Indonesia."

"Oooh, di khatulistiwa ya Pak?" Zulfa menyela.

"Ya."

Nida mengambil pena. Menuliskan sesuatu di pinggir kertas soal.

"Ada dua waktu dimana matahari tepat di khatulistiwa. Yaitu bulan Maret dan September. Pada waktu itu Indonesia sedikit lebih panas dari biasanya. Terlebih di tempat yang dilewati garis khatulistiwa. Seperti di Pontianak Kalimantan Barat."

"Kenapa bisa begitu?" Tanya Zulfa. Nida mengangguk. Tanda menanyakan hal serupa.

"Itu adalah gerak semu tahunan matahari. Sebab posisi bumi miring dua puluh tiga koma lima derajat dari garis ekliptika. Pada saat bumi berevolusi, seolah pelan-pelan matahari bergerak bolak-balik dari 23,5 derajat lintang utara sampai 23,5 derajat lintang selatan."

Nida kembali menulis.

"Oooh, pantesan." Zulfa mengangguk. "Tapi kenapa panasnya panas banget ya. Kenapa tidak dikurangi dikit saja supaya di kelasnya tidak gerah banget." Zulfa menambahkan rentetan kalimatnya.

Nida menggeleng. Kedua ujung bibir Pak Okin melebar. Keduanya sudah paham betul karakter seorang santri yang barusan menggerutu itu.

"Ah memang dasar matahari." Zulfa menutup kalimatnya dengan senyum mengembang. Terselip canda dalam gerutunya.

Pak Okin kembali membuka buku tebal. Bukan ingin membaca. Tapi mencari jeda waktu untuk sedikit berpikir.

Nida dan Zulfa kembali pada soal-soal.

"Matahari itu keren ya." Ucap Pak Okin.

Zulfa menoleh pada sumber suara. Kemudian Nida juga.

"Energi pancaran matahari membuat bumi layak menjadi tempat hidup manusia. Hingga sekarang kita masih merasa nyaman tinggal di planet biru ini. Karenanya setiap pagi menjelang siang pohon-pohon bisa berfotosintesis untuk menghasilkan makanan. Lalu mereka tumbuh subur dan menghasilkan buah-buahan untuk kita makan. Karenanya juga menjadi sebab terjadinya siklus air di dunia. Bolak-balik dari laut naik ke atas lalu terbawa angin ke darat dan turun sebagai hujan untuk menyuburkan tanah tempat hidup tumbuhan yang pada ujungnya hasilnya untuk kita makan juga. Lalu air itu balik lagi ke laut lewat sungai dan selokan."

Nida lekat menatap Pak Okin.

"Masih banyak lagi peran matahari bagi kehidupan kita. Tanpa matahari, sulit membayangkan ada kehidupan di bumi. Termasuk hidup saya, Nida dan Zulfa."

Pak Okin mengakhiri kata-katanya dengan senyuman.

"Jadi matahari itu keren kan?" Pak Okin bertanya. Pertanyaan bukan untuk dijawab.

Nida melirik Zulfa. Dia paham arti tanya Pak Okin. Nida kembali menatap soal. Bersamaan dengan itu senyum terlukis di bibirnya.

"Hehe," Zulfa tertawa dingin. Sepertinya dia juga paham.

Pak Okin menggeser pandangannya dari Zulfa ke Nida. Pada waktu yang sama Nida juga melirik Pak Okin.

Segera Nida balik melihat soal. Sementara Pak Okin membuang pandang ke pohon jambu di samping bangku beton yang dia duduki.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar