"Jawaban saya C. Awan cirrus," kata Nida.
"Zulfa apa?" Tanya Pak Okin.
"Sama, Pak."
"Oke. Benar," ucap Pak Okin.
"Lanjut."
Zulfa melihat kertas. Bersiap akan membaca soal
nomer delapan belas pada pembahasan soal olimpiade geografi episode sore ini.
Di tempat biasa. Pada bangku beton depan kelas sebelas IPA.
Pak Okin menengadah. Memandang langit.
"Allah!"
Zulfa tidak jadi membaca soal. Ia menoleh pada
sumber suara. Pada Pak Okin. Nida juga menoleh.
"Ada apa Pak?" Zulfa penasaran.
Dahi Nida melipat. Ada tanya di kepalanya. Kenapa?
"Lihat!" Pak Okin menunjuk wajah langit
sebelah selatan.
Nida dan Zulfa melihat langit yang ditunjuk Pak
Okin.
"Itu cirrus. Awan kategori tinggi. Adanya pada
ketinggian sekitar enam sampai dua belas kilometer. Karena ketinggiannya, awan
ini mengandung kristal es dan tidak bisa menimbulkan hujan," Pak Okin
menjelaskan.
Pak Okin menoleh pada dua santri bimbingannya. Saat
mata Pak Okin mendarat, Nida telah lebih dulu mengarahkan pandangan pada sang
guru. Nida kaget. Kelopak matanya melebar. Matanya membulat. Bergegas gadis
belia itu melempar pandangan kembali ke atas. Membersamai Zulfa yang telah
lebih dulu.
"Nida," sebut Pak Okin. Lembut.
DEBBB!
Seperti ada sebuah tinjuan yang menghantam dada
Nida.
"Coba baca soal yang tadi," titah Pak
Okin.
Nida menarik nafas. Lega.
Nida melihat soal. "Awan yang berbentuk
seperti bulu unggas. Strukturnya seperti serat. Mengandung banyak kristal es
dan tidak bisa menimbulkan hujan."
"Stop," Pak Okin memotong.
"Lihat!" Guru geografi itu kembali mengarahkan telunjuknya pada
bagian langit yang tadi. "Bentuknya seperti bulu burung. Berserat halus.
Itu awan cirrus."
"Oh iya ya, saya baru ngeh, mirip bulu burung
banget ya," takjub Zulfa.
Pak Okin mengarahkan wajah ke sudut langit yang
lain. Berharap ada jenis awan lain yang tampak. Sebab pada hari cerah, biasanya
ada beberapa jenis awan tinggi lain yang hadir.
"Nah itu!" Pak Okin menunjuk sudut langit
utara. "Itu awan cirro cumulus. Masih kategori awan tinggi. Mengandung
kristal es. Tidak bisa menimbulkan hujan. Bentuknya seperti sisik-sisik ikan
atau seperti kumpulan domba."
Pak Okin mencari lagi. Kepalanya ke kanan, ke kiri,
memutar menyisir langit. Lalu berhenti pada satu titik. Pak Okin tersenyum
lebar.
"Nida," ada jeda. "Zulfa," Pak
Okin memberi jeda lagi. "Lihat awan itu!"
Nida dan Zulfa sedikit mengangkat wajah.
"Awan yang mana Pak?" Zulfa bertanya. Kening
Nida bergelombang.
"Itu!" Pak Okin menunjuk lagi.
"Yang mana?" Zulfa bertanya lagi.
Pak Okin kembali tersenyum.
"Coba perhatikan baik-baik langit yang saya
tunjuk," jelas Pak Okin. "Apakah ada beda warna birunya dengan yang
sebelah sana?" Kini telunjuk Pak Okin tertuju pada bagian lain.
Zulfa menggaruk kepalanya yang dibalut kerudung.
Bukan sebab gatal. Tapi karena sedang berpikir. Sementara Nida diam saja. Namun
sama-sama sedang mencoba membedakan dua warna biru langit.
"Yang itu agak sedikit ada keputih-putihan
warnanya," Nida menunjuk bagian langit yang kata Pak Okin tadi ada
awannya. "Kalo yang itu birunya biru langit banget," Nida menunjuk
bagian langit pembanding.
Kedua ujung bibir Pak Okin melebar.
"Nah, itu dia. Coba sekarang perhatikan lagi
langit yang birunya agak keputihan," pinta Pak Okin.
Zulfa dan Nida melihat dengan seksama.
"Yang agak putih itu adalah awan. Namanya awan
cirro stratus. Awan tinggi. Bentuknya menyerupai kelambu. Halus dan tipis.
Biasanya, awan ini yang menyebabkan munculnya fenomena cahaya yang bulat
melingkari bulan atau matahari."
"Halo(?)" Ucap Nida. Nadanya seperti
sebuah pertanyaan.
"Cerdas," sanjung Pak Okin. Nida
tersenyum. Sangat tipis. Tipis sekali. Sebuah senyuman yang tak akan terlihat
jika hanya dengan pandangan sekilas.
"Menimbulkan hujan tidak, Pak?" Tanya
Zulfa.
"Cirro stratus tidak menimbulkan hujan."
Zulfa manggut-manggut pelan. "Bagus-bagus ya
awannya. Putih bersih. Tapi kalo saya lebih suka yang cirrus itu," Zulfa
menunjuk awan bulu unggas. "Lucu. Hehe."
"Kalo Pak Okin suka yang mana?" Tanya
Zulfa.
"Semuanya saya suka."
"Yang palingnya?"
"Setiap awan memiliki keunikan masing-masing.
Tapi jika harus memilih, saya pilih cumulo nimbus."
"Cumulo nimbus?"
"Ya."
Pak Okin diam. Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Empat detik. Lima detik. Enam detik. Tujuh detik.
"Awan yang menimbulkan hujan. Dialah cumulo
nimbus. Sebuah awan hitam tebal bergumpal-gumpal. Berjalan berarakan.
Memberikan hujan pada bumi yang dilewatinya."
"Oh awan ituuu. Seram Itumah Pak!" Sergah
Zulfa.
"Tidak," Pak Okin meluruskan. "Di
balik dugaan seram itu, sesungguhnya cumulo nimbus itu pemalu."
Zulfa tertawa.
Nida hanya tersenyum kecil.
"Sudah seperti manusia aja pemalu," kata
Zulfa.
"Benar. Mereka memiliki jiwa seperti kita.
Mereka berdzikir. Bahkan mereka jauh lebih taat pada Sang Pencipta dibanding
kita. Mereka selalu mematuhi titah Tuhannya. Berbeda dengan kita yang patuhnya
sedikit, sedangkan tidaknya jauh lebih banyak."
"Cumulo nimbus itu pemalu," Pak Okin
mengucapkan kalimat ini lagi. "Coba bayangkan langit mendung," Pak
Okin diam sebentar. "Awan hitam yang tampak. Tapi hujan adalah maksudnya.
Dia teramat malu pada bumi. Hingga sembunyikan hujan di balik awan."
Pak Okin diam mematung. Hanya menatap langit. Tidak
ada suara. Hening beberapa saat.
Masih diam. Hening.
"Pak Okin sudah punya calon belum?" Tanya
Zulfa memecah keheningan.
"Calon?"
"Iya. Calon istri? Hehe."
"Sekarang sudah masuk soal nomer berapa? Hayu
lanjut." Pak Okin kikuk.
"Jangan mengalihkan pembicaraan gitu atuh Pak.
Saya gak akan lanjut sebelum bapak jawab pertanyaan saya dulu," ancam
Zulfa.
"Belum," ucap Pak Okin singkat.
"Hayu lanjut soal berikutnya.
"Cie cieee," goda Zulfa.
Pak Okin memprogram diri untuk tetap tenang. Tetap
cool. Meski hanya tenang yang dibuat-buat.
Nida hanya menunduk menatap kertas soal. Ada senyum
di bibir tipisnya. Senyum kecil yang lebih tersembunyi dibanding senyum yang
pertama. Tidak ada yang tahu kecuali hanya sang pemilik senyum saja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar