Nida melangkah lima meter di belakang Pak Okin.
Sedikit lebih jauh dari biasanya jika sedang ada Zulfa.
Tidak banyak percakapan dalam perjalanan pulang
sore ini. Pak Okin terus melaju. Nida mengekor di belakang. Sesekali melihat
tas yang digendong Pak Okin. Lebih banyak menunduk menatap jalan.
Nida memeluk buku hidrologi yang Pak Okin pinjamkan
sebelum bimbingan olimpiade geografi tadi selesai. Di tengah-tengah buku
terselip selembar kertas soal yang barusan telah dibahas. Soal itu titipan Pak
Okin untuk Zulfa yang hari ini izin tidak masuk karena sakit.
Pak Okin berhenti. Ia membalik badan. Nida juga
ikut menghentikan jalannya. Terlambat satu langkah. Pak Okin dan Nida berdiri
berhadapan. Empat meter jarak yang memisahkan mereka.
"Kalau sempat Nida baca semua bab untuk satu
minggu kedepan. Tapi jika tidak. Minimal Nida dahulukan yang bab perairan
darat. Karena pertemuan selanjutnya insyaAllah kita akan bahas itu," ujar
Pak Okin.
"Iya Pak," jawab Nida pendek. Lalu
menunduk pada jalan. Kedua tangannya masih memeluk buku.
"Oke. Jangan lupa soal yang tadi kasihkan ke
Zulfa ya." Pinta Pak Okin. Pak Okin menunjuk asrama tempat tinggal Nida.
"Saya duluan ya." Isyarat untuk menegaskan perpisahan mereka sore
ini.
"Iya," Nida mengangguk.
"Assalamualaikum."
"Walaikumussalam."
Pak Okin balik badan. Kembali melanjutkan
langkahnya. Nida juga lanjut berjalan. Tapi berbelok ke jalan yang berbeda
dengan yang ditempuh Pak Okin.
***
Selepas isya. Jam 20.45. Nida duduk sendiri di
saung depan asrama. Biasanya berdua dengan Zulfa. Tapi malam ini Zulfa sudah
tidur. Pemulihan setelah sakit demam kemarin lusa.
Di hadapan Nida tergeletak buku pinjaman dari Pak
Okin. Empat puluh lima menit sudah Nida mempelajari bagian materi perairan
darat. Lebih tepatnya hanya empat puluh menit. Lima menit terakhir Nida rehat.
Ia hanya diam memandang bulan separuh yang menempel di langit malam ini.
Bayangan Nida terbetot pada minggu-minggu yang telah lewat. Saat ia dan Zulfa
mendapat pelajaran tentang bulan dari Pak Okin.
"Jika boleh saya mengarang, menurut saya bulan
itu adalah sebuah lambang kesetiaan," ujar Pak Okin ketika itu.
"Kesetiaan?" Zulfa bertanya.
"Iya," Pak Okin mengangguk menegaskan.
"Bumi berputar memutari matahari dalam waktu 365 seperempat hari. Selama
waktu yang panjang itu bulan selalu mendampingi bumi. Tidak pernah lepas meski
sedetik pun. Tidak pernah."
"Selama mendampingi bumi, bulan tidak sekedar
diam dan duduk saja. Tapi ada peran yang ia lakukan."
"Peran?" Zulfa bertanya lagi.
"Saat di pesantren dulu, guru saya pernah
mengatakan bahwa diciptakannya bulan itu adalah sebagai penunjuk dan penanda
waktu. Bagi siapa? Tentunya bagi bumi. Dengan apa bulan memberitahukannya?
Adalah dengan bentuk bulan yang terus berganti pada setiap harinya."
Nida dan Zulfa diam saja saat itu. Mereka menunggu
penjelasan selanjutnya.
"Saat masuk bulan baru, bulan tak menampakkan
bentuknya. Ia bersembunyi di bawah horizon. Ia baru akan muncul setelah masuk
tanggal dua atau tiga. Wujudnya hanya segaris cahaya tipis yang melengkung.
Beberapa malam berikutnya bentuk bulan menyerupai sebuah senyuman seorang
wanita yang melengkung indah. Mempesona. Lalu beberapa malam setelahnya wajah
bulan tampak separuh. Seperti bola yang dibelah dua. Itu adalah tanda bahwa
sudah masuk malam ke tujuh atau ke delapan pada bulan itu."
Nida terkesiap. Ia kembali pada raganya malam ini.
Di saung depan asrama.
Nida melihat lagi bulan yang separuh. Terang.
Sebagai hiasan langit malam ini.
Nida ingat Pak Okin lagi.
"Saat bulan penuh. Bulan purnama. Ketika malam
lebih cemerlang dari malam-malam sebelumnya. Itu tanda bahwa sudah masuk
pertengahan bulan. Yaitu sekitar tanggal tiga belas, empat belas, atau lima
belas."
"Pada paruh kedua. Sekira enam atau tujuh
malam selepas purnama. Bulan tampak separuh lagi. Jika kita kembali umpamakan
bola yang dibelah dua. Maka pada paruh kedua ini wajahnya adalah seperti
belahan berbeda dengan wajah bulan pada paruh pertama."
"Akhir bulan. Bentuknya kembali tiada. Ia
istirahat di bawah horizon. Sedang mempercantik diri untuk menyambut hari di
bulan yang baru."
"Jika boleh saya menambahkan. Selain penunjuk
waktu. Bulan adalah hiasan pada kanvas malam. Untuk siapa? Tentunya untuk
bumi."
Ketika itu Kening Zulfa dan Nida mengkerut. Pak
Okin tersenyum mendapati itu.
"Setelah lelah sehabis kegiatan siang hari,
bumi butuh rehat di malam hari. Jika langit tidak tertutup awan, bersama jutaan
taburan bintang, bulan adalah hiburan untuk bumi. Sebagai pengantar tidur. Juga
tersebab sinar lembutnya hasil pantulan dari sinar matahari. Adalah selimut
hangat untuk bumi. Untuk bumi yang kedinginan dibelai malam."
"Waaah. Bulan setia banget ya," Zulfa
sumringah. "Cintanya bulan pada bumi pasti besar banget."
Nida tersenyum tipis.
"Mungkin saja," Pak Okin menanggapi
celetukan Zulfa. "Boleh jadi itu karena ada sebagian bumi yang menyatu
dengan bulan. Pun sebaliknya."
"Sebagian bumi? Maksudnya Pak?" Kali ini
Nida yang bertanya. Lembut suaranya.
"Menurut hipotesis yang paling dipercaya.
Bahwa pada masa pembentukan tata surya dulu. Ada sebuah benda langit seukuran
planet mars yang menabrak bumi. Nama benda langit itu adalah theia. Pasca
tabrakan. Ada sebagian materi bumi dan materi theia yang hancur dan berhamburan
ke angkasa. Yang kemudian puing-puing serpihan itu kembali tertarik oleh
gravitasi bumi lalu menyatu kembali. Pun dengan theia yang hancur parah.
Pelan-pelan benda langit itu menarik sisa-sisa material hasil tabrakan untuk
disatukan kembali. Theia kembali terbentuk meski dengan bentuk yang lebih
kecil. Juga terlahir dengan nama baru. Luna. Atau bulan. Ia terkena pengaruh
tarikan bumi. Lalu hingga hari ini, sebab gaya tarik antara keduanya. Bersamaan
dengan bumi yang berevolusi mengitari matahari. Bulan juga berevolusi memutari
bumi."
"Waaah," senyum Zulfa mengembang
mendengar penuturan Pak Okin.
"Saya boleh tanya Pak?" Nida mengangkat
tangan waktu itu.
Pak Okin mengangguk. Silahkan.
"Bulan kan memutari bumi. Dalam sebulan. Ada
satu waktu posisi bulan berada di antara matahari dan bumi. Lalu ada satu waktu
juga bumi yang berposisi di antara matahari dan bulan. Jika memang seperti itu.
Seharusnya gerhana bulan dan gerhana matahari selalu terjadi masing-masing satu
kali dalam sebulan. Tapi kenapa kenyataannya tidak? Pertanyaan saya adalah.
Kenapa bisa seperti itu Pak? Apakah ada fenomena lain yang mempengaruhi?"
Pak Okin tersenyum. Seperti senyumnya seorang anak
kecil yang baru diberikan mainan unik oleh orang tuanya. Sebuah senyum aroma
antusias. Mata Pak Okin berbinar.
"Masya Allah," Pak Okin memuji pertanyaan
Nida. Ia teringat saat kuliah dulu. Pertanyaan serupa yang pernah Pak Okin
utarakan pada dosennya di mata kuliah cosmografi dulu.
"Itu karena orbit bulan miring lima derajat
dari orbitnya bumi yang mengelilingi matahari. Karena itu, maka gerhana tidak
terjadi setiap bulan. Gerhana bulan atau matahari akan terjadi jika posisi
sejajar antara bumi, bulan dan matahari itu saat posisi bulan sedang tepat
bersinggungan dengan bidang orbitnya bumi terhadap matahari," jawab Pak
Okin. "Begitu," Pak Okin mengakhiri.
"Oooh," Zulfa manggut-manggut tanda
mengerti. Nida juga.
Nida terkesiap lagi. Kembali pada raganya yang
duduk di saung asrama. Ia masih memandang bulan separuh.
Jam 21.00.
Nida kembali melihat buku di depannya. Berniat
untuk melanjutkan bacaannya.
Nida meletakkan jemarinya pada lembar halaman
sebelah kanan. Hendak membalik untuk membaca halaman berikutnya. Namun tidak
jadi. Ada hasrat lain yang berbisik dan menyuruh Nida untuk kembali pada
beberapa halaman sebelumnya. Pada sebuah tulisan tangan yang ditulis di sebelah
judul bab baru. Bab perairan darat. Jika dihitung, entah untuk yang keberapa
kali Nida membaca tulisan pendek ini. Sebuah tulisan dengan judul
"Seumpama Air". Di sana tertulis:
(... Entah itu kala lumer, saat menjadi es, atau
ketika menguap. Dia tetap saja adalah air.
Dan seumpama air itu. Mau dikatakan atau tidak.
Dituliskan atau tidak. Mau diteriakkan atau dengan bisikan lirih. Dengan
terang-terangan atau mengendap-endap. Dia tetaplah akan sama. Adalah cinta...)
Di bawah tulisan itu. Ada dua buah hurup yang ditulis.
Huruf O dan huruf P. Inisial untuk nama Pak Okin. Okin Pratama.
Selalu setiap kali setelah membaca tulisan itu.
Nida menerawang penuh tanya. Ada misteri besar yang belum bisa ia pecahkan.
Sebuah misteri yang bercampur dengan selembar harapan. Seperti harapannya bulan
separuh di atas langit malam ini. Berharap dengan pendaran cahayanya ia bisa
menghangatkan bumi dari dinginnya malam ini.
WUSSSHH
Angin malam menerpa pohon bambu di samping saung
asrama. Daun-daun berdesir. Nida memeluk tubuhnya. Sambil kembali menatap bulan
separuh.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar