Senin, 13 November 2017

Bulan



Nida melangkah lima meter di belakang Pak Okin. Sedikit lebih jauh dari biasanya jika sedang ada Zulfa.

Tidak banyak percakapan dalam perjalanan pulang sore ini. Pak Okin terus melaju. Nida mengekor di belakang. Sesekali melihat tas yang digendong Pak Okin. Lebih banyak menunduk menatap jalan.

Nida memeluk buku hidrologi yang Pak Okin pinjamkan sebelum bimbingan olimpiade geografi tadi selesai. Di tengah-tengah buku terselip selembar kertas soal yang barusan telah dibahas. Soal itu titipan Pak Okin untuk Zulfa yang hari ini izin tidak masuk karena sakit.

Pak Okin berhenti. Ia membalik badan. Nida juga ikut menghentikan jalannya. Terlambat satu langkah. Pak Okin dan Nida berdiri berhadapan. Empat meter jarak yang memisahkan mereka.

"Kalau sempat Nida baca semua bab untuk satu minggu kedepan. Tapi jika tidak. Minimal Nida dahulukan yang bab perairan darat. Karena pertemuan selanjutnya insyaAllah kita akan bahas itu," ujar Pak Okin.

"Iya Pak," jawab Nida pendek. Lalu menunduk pada jalan. Kedua tangannya masih memeluk buku.

"Oke. Jangan lupa soal yang tadi kasihkan ke Zulfa ya." Pinta Pak Okin. Pak Okin menunjuk asrama tempat tinggal Nida. "Saya duluan ya." Isyarat untuk menegaskan perpisahan mereka sore ini.

"Iya," Nida mengangguk.

"Assalamualaikum."

"Walaikumussalam."

Pak Okin balik badan. Kembali melanjutkan langkahnya. Nida juga lanjut berjalan. Tapi berbelok ke jalan yang berbeda dengan yang ditempuh Pak Okin.

***

Selepas isya. Jam 20.45. Nida duduk sendiri di saung depan asrama. Biasanya berdua dengan Zulfa. Tapi malam ini Zulfa sudah tidur. Pemulihan setelah sakit demam kemarin lusa.

Di hadapan Nida tergeletak buku pinjaman dari Pak Okin. Empat puluh lima menit sudah Nida mempelajari bagian materi perairan darat. Lebih tepatnya hanya empat puluh menit. Lima menit terakhir Nida rehat. Ia hanya diam memandang bulan separuh yang menempel di langit malam ini. Bayangan Nida terbetot pada minggu-minggu yang telah lewat. Saat ia dan Zulfa mendapat pelajaran tentang bulan dari Pak Okin.

"Jika boleh saya mengarang, menurut saya bulan itu adalah sebuah lambang kesetiaan," ujar Pak Okin ketika itu.

"Kesetiaan?" Zulfa bertanya.

"Iya," Pak Okin mengangguk menegaskan. "Bumi berputar memutari matahari dalam waktu 365 seperempat hari. Selama waktu yang panjang itu bulan selalu mendampingi bumi. Tidak pernah lepas meski sedetik pun. Tidak pernah."

"Selama mendampingi bumi, bulan tidak sekedar diam dan duduk saja. Tapi ada peran yang ia lakukan."

"Peran?" Zulfa bertanya lagi.

"Saat di pesantren dulu, guru saya pernah mengatakan bahwa diciptakannya bulan itu adalah sebagai penunjuk dan penanda waktu. Bagi siapa? Tentunya bagi bumi. Dengan apa bulan memberitahukannya? Adalah dengan bentuk bulan yang terus berganti pada setiap harinya."

Nida dan Zulfa diam saja saat itu. Mereka menunggu penjelasan selanjutnya.

"Saat masuk bulan baru, bulan tak menampakkan bentuknya. Ia bersembunyi di bawah horizon. Ia baru akan muncul setelah masuk tanggal dua atau tiga. Wujudnya hanya segaris cahaya tipis yang melengkung. Beberapa malam berikutnya bentuk bulan menyerupai sebuah senyuman seorang wanita yang melengkung indah. Mempesona. Lalu beberapa malam setelahnya wajah bulan tampak separuh. Seperti bola yang dibelah dua. Itu adalah tanda bahwa sudah masuk malam ke tujuh atau ke delapan pada bulan itu."

Nida terkesiap. Ia kembali pada raganya malam ini. Di saung depan asrama.

Nida melihat lagi bulan yang separuh. Terang. Sebagai hiasan langit malam ini.

Nida ingat Pak Okin lagi.

"Saat bulan penuh. Bulan purnama. Ketika malam lebih cemerlang dari malam-malam sebelumnya. Itu tanda bahwa sudah masuk pertengahan bulan. Yaitu sekitar tanggal tiga belas, empat belas, atau lima belas."

"Pada paruh kedua. Sekira enam atau tujuh malam selepas purnama. Bulan tampak separuh lagi. Jika kita kembali umpamakan bola yang dibelah dua. Maka pada paruh kedua ini wajahnya adalah seperti belahan berbeda dengan wajah bulan pada paruh pertama."

"Akhir bulan. Bentuknya kembali tiada. Ia istirahat di bawah horizon. Sedang mempercantik diri untuk menyambut hari di bulan yang baru."

"Jika boleh saya menambahkan. Selain penunjuk waktu. Bulan adalah hiasan pada kanvas malam. Untuk siapa? Tentunya untuk bumi."

Ketika itu Kening Zulfa dan Nida mengkerut. Pak Okin tersenyum mendapati itu.

"Setelah lelah sehabis kegiatan siang hari, bumi butuh rehat di malam hari. Jika langit tidak tertutup awan, bersama jutaan taburan bintang, bulan adalah hiburan untuk bumi. Sebagai pengantar tidur. Juga tersebab sinar lembutnya hasil pantulan dari sinar matahari. Adalah selimut hangat untuk bumi. Untuk bumi yang kedinginan dibelai malam."

"Waaah. Bulan setia banget ya," Zulfa sumringah. "Cintanya bulan pada bumi pasti besar banget."

Nida tersenyum tipis.

"Mungkin saja," Pak Okin menanggapi celetukan Zulfa. "Boleh jadi itu karena ada sebagian bumi yang menyatu dengan bulan. Pun sebaliknya."

"Sebagian bumi? Maksudnya Pak?" Kali ini Nida yang bertanya. Lembut suaranya.

"Menurut hipotesis yang paling dipercaya. Bahwa pada masa pembentukan tata surya dulu. Ada sebuah benda langit seukuran planet mars yang menabrak bumi. Nama benda langit itu adalah theia. Pasca tabrakan. Ada sebagian materi bumi dan materi theia yang hancur dan berhamburan ke angkasa. Yang kemudian puing-puing serpihan itu kembali tertarik oleh gravitasi bumi lalu menyatu kembali. Pun dengan theia yang hancur parah. Pelan-pelan benda langit itu menarik sisa-sisa material hasil tabrakan untuk disatukan kembali. Theia kembali terbentuk meski dengan bentuk yang lebih kecil. Juga terlahir dengan nama baru. Luna. Atau bulan. Ia terkena pengaruh tarikan bumi. Lalu hingga hari ini, sebab gaya tarik antara keduanya. Bersamaan dengan bumi yang berevolusi mengitari matahari. Bulan juga berevolusi memutari bumi."

"Waaah," senyum Zulfa mengembang mendengar penuturan Pak Okin.

"Saya boleh tanya Pak?" Nida mengangkat tangan waktu itu.

Pak Okin mengangguk. Silahkan.

"Bulan kan memutari bumi. Dalam sebulan. Ada satu waktu posisi bulan berada di antara matahari dan bumi. Lalu ada satu waktu juga bumi yang berposisi di antara matahari dan bulan. Jika memang seperti itu. Seharusnya gerhana bulan dan gerhana matahari selalu terjadi masing-masing satu kali dalam sebulan. Tapi kenapa kenyataannya tidak? Pertanyaan saya adalah. Kenapa bisa seperti itu Pak? Apakah ada fenomena lain yang mempengaruhi?"

Pak Okin tersenyum. Seperti senyumnya seorang anak kecil yang baru diberikan mainan unik oleh orang tuanya. Sebuah senyum aroma antusias. Mata Pak Okin berbinar.

"Masya Allah," Pak Okin memuji pertanyaan Nida. Ia teringat saat kuliah dulu. Pertanyaan serupa yang pernah Pak Okin utarakan pada dosennya di mata kuliah cosmografi dulu.

"Itu karena orbit bulan miring lima derajat dari orbitnya bumi yang mengelilingi matahari. Karena itu, maka gerhana tidak terjadi setiap bulan. Gerhana bulan atau matahari akan terjadi jika posisi sejajar antara bumi, bulan dan matahari itu saat posisi bulan sedang tepat bersinggungan dengan bidang orbitnya bumi terhadap matahari," jawab Pak Okin. "Begitu," Pak Okin mengakhiri.

"Oooh," Zulfa manggut-manggut tanda mengerti. Nida juga.

Nida terkesiap lagi. Kembali pada raganya yang duduk di saung asrama. Ia masih memandang bulan separuh.

Jam 21.00.

Nida kembali melihat buku di depannya. Berniat untuk melanjutkan bacaannya.

Nida meletakkan jemarinya pada lembar halaman sebelah kanan. Hendak membalik untuk membaca halaman berikutnya. Namun tidak jadi. Ada hasrat lain yang berbisik dan menyuruh Nida untuk kembali pada beberapa halaman sebelumnya. Pada sebuah tulisan tangan yang ditulis di sebelah judul bab baru. Bab perairan darat. Jika dihitung, entah untuk yang keberapa kali Nida membaca tulisan pendek ini. Sebuah tulisan dengan judul "Seumpama Air". Di sana tertulis:

(... Entah itu kala lumer, saat menjadi es, atau ketika menguap. Dia tetap saja adalah air.

Dan seumpama air itu. Mau dikatakan atau tidak. Dituliskan atau tidak. Mau diteriakkan atau dengan bisikan lirih. Dengan terang-terangan atau mengendap-endap. Dia tetaplah akan sama. Adalah cinta...)

Di bawah tulisan itu. Ada dua buah hurup yang ditulis. Huruf O dan huruf P. Inisial untuk nama Pak Okin. Okin Pratama.

Selalu setiap kali setelah membaca tulisan itu. Nida menerawang penuh tanya. Ada misteri besar yang belum bisa ia pecahkan. Sebuah misteri yang bercampur dengan selembar harapan. Seperti harapannya bulan separuh di atas langit malam ini. Berharap dengan pendaran cahayanya ia bisa menghangatkan bumi dari dinginnya malam ini.

WUSSSHH

Angin malam menerpa pohon bambu di samping saung asrama. Daun-daun berdesir. Nida memeluk tubuhnya. Sambil kembali menatap bulan separuh.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar