Minggu, 29 September 2013

Alun-Alun Anyer (11)



                Siang di Cilegon lebih panas dari siang di Bandung. Sengatan panasnya terasa menyusup melalui pori-pori kulit. Akang mengusap dahinya yang bercucuran keringat.

                Akang duduk pada bangku panjang di halte depan mesjid agung Cilegon, bersama beberapa calon penumpang lainnya. Deretan mobil di jalan raya menyerupai iring-iringan acara karnaval. Kendaraan-kendaraan itu, yang umum maupun kendaraan pribadi, merayap mengikuti kecepatan mobil yang ada di depannya. Kendaraan roda dua lebih gesit pergerakannya. Ukurannya yang ramping membuat motor-motor itu dapat dengan mudah menyelip pada celah sempit di antara dua mobil.

                Dari kejauhan, Akang melihat mobil angkot warna silver jurusan Cilegon-Anyar. Segera Akang berdiri. Ia melangkah mendekat pada bahu jalan. Saat angkot mendekat, Akang melambaikan tangannya isyarat untuk menghentikan angkot. Mobil angkutan umum roda empat itu berhenti tepat di hadapan Akang. 

                “Karang Bolong, A?” Akang mendekat pada jendela pintu depan. Sepintas pemuda yang sudah satu tahun lebih tidak menginjakan kakinya di tanah Banten itu melirik ke bagian belakang. Baru ada dua penumpang di dalamnya.

                Muhun, A,” sopir angkot berusia sekitar akhir dua puluhan mengulum senyumnya.

                Ada warna kelegaan di wajah Akang. Akhirnya, setelah numayan lama menunggu, angkot yang dicari-cari hadir juga. Akang membuka pintu depan. Ia ingin duduk nyaman di kursi depan. Bersebelahan dengan sang pengendara.

                Angkot melaju pelan. Kecepatannya sama dengan mobil yang ada di depan dan belakangnya. 

                Laju angkot mulai menyepat setelah keluar dari kota Cilegon. Jumlah kendaraan lebih sedikit. Kondisi jalan tampak lebih lengang.

                Seorang penumpang bapak-bapak berhenti di pertigaan Krenceng dekat stasiun kereta api. Setelah transaksi dengan sopir usai, angkot silver kembali melaju. Lebih kencang dari sebelumnya.

                Penumpang satunya, seorang perempuan dengan berseragam kantoran menghentikan laju Angkot. Ia berhenti di pertigaan Ciwandan. Praktis, kini hanya tinggal seorang saja sisa penumpang. Yaitu Akang. 

                Angkot kembali berjalan. Membelah jalan raya Anyar-Cilegon. 

                Ringkon hape dengan lagu dangdut memecah kebisuan. Reflek Akang menatap sumber suara. Sorot mata Akang berhenti pada sebuah hape kecil yang tergeletak di dashboard depan sopir. Setelah itu Akang mengarahkan pandangannya pada wajah pemuda berusia beberapa tahun lebih tua darinya yang sedang memegang kendali angkot. Pada waktu yang sama, sang sopir juga menatap wajah Akang. Mereka beradu senyum. Senyum yang timbul lebih karena musik dari hape milik sang sopir.

                Sambil tetap melajukan angkotnya, sang pengemudi menerima panggilan untuknya. Sementara Akang kembali menatap ke kaca bagian depan mobil. Kembali menatap jalan.

                “Halo,” pemuda di samping Akang memberi respon. Setelahnya ia lebih banyak diam. Fokus pada jalan, juga mungkin pada kalimat yang diucapkan oleh lawan bicaranya yang entah berada di tempat mana. Sesekali sopir muda itu hanya menjawab dengan kata “Oke” dan “Oke” saja.

                “Oke. Oke,” sang sopir muda itu mengangguk setiap kali mengatakan kata “Oke”.

                “Oke,” sang sopir di sebelah Akang kembali mengangguk. “Tapi ulah sakitu teuing atuh. Tambahan saeutik lah.” Jika didengar dari ucapannya, sepertinya dia sedang melakukan penawaran pada sang lawan bicara.

                “Oke,” sopir itu mengangguk. “Oke,” dia menangguk lagi. “Masih di Ciwandan. Sakeudeung deui nyampe. Tangguan bae heula di dinya.

                “Oke, sip,” sang sopir melepas hape dari telinganya. Ia kembali meletakannya pada dashboard di hadapannya. Ia kembali fokus menatap jalan.

                Mobil masih melaju di jalan raya Cilegon menuju Anyar. Kiri-kanan jalan pemandangannya masih berupa deretan industri yang beberapa tahun terakhir ini semakin banyak bermunculan. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kondisi udara Cilegon semakin mengkhawatirkan saja.

                Punten, A. Tadi Aa bade kamana?” sang sopir muda bertanya pada Akang.

                Akang menoleh. “Karang Bolong, A.”

                Pemuda yang kedua tangannya cekatan memegang kemudi itu kembali menatap jalan. Ia seperti ingin mengutarakan sesuatu. Tapi ada rasa malu yang mengiringi. Ia tersenyum mesem.

                Punten pisan, A. Aa turuna di alun-alun Anyar bae nyah,” pinta sang sopir.

                Lha, saur Aa tadi angkot ieu langsung ka Karang Bolong?

Soalna aya nu bade nyarter angkot abdi, A. Saurna bade ka Serang. Numayan bayarana ageung,” sang sopir muda itu mencoba memberi penjelasan.

Akang diam. Ia seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Sang sopir bergantian menatap Akang juga jalan. Menunggu jawaban penumpang satu-satunya ini.

Akang berpikir. Saat ini yang naik angkotnya hanya dirinya saja seorang. Kasihan juga jika seandainya sampai Karang Bolong nanti tidak ada penumpang lagi yang naik. Beda ceritanya jika angkot ini jadi di sewa oleh pelanggannya. Mungkin uang yang akan dia dapatkan hari ini bisa lebih banyak. Pundi-pundi uang itu pasti sangat dia butuhkan untuk membiayai hidupnya. Dan mungkin hidup istri dan anaknya jika memang dia sudah memiliki kelaurga. 

Akang berpikir lagi. Sepertinya dia memang harus mengikuti permintaan sang sopir untuk berhenti di alun-alun Anyar. Sang sopir muda itu sangat membutuhkan pendapatan yang lebih besar. Toh, akan ada banyak angkot lagi di alun-alun nanti.

Akang menoleh pada pemuda di samping kanannya. “Muhun, A. Teu nanaon Abdi turun di alun-alun geh.”

Sumringah sekali sang sopir mendengar kalimat Akang. Ia mengucap terima kasih pada sang penumpangnya itu. 

Angkot masih melaju. Beberapa kilo meter lagi akan segera tiba di alun-alun Anyar.
***

Akang berjalan di trotoar jalan, di antara bahu jalan dan jajaran gerobak para pedagang kaki lima. Kondisi udara alun-alun Anyar tidak berbeda jauh dengan yang di Cilegon. Gilasan ban kendaraan di jalan melambungkan debu-debu yang sedang istirahat di kulit jalan. 

Akang mengelap dahinya yang berkeringat. Ia tetap melangkah menuju mobil angkot yang sedang menunggu penumpang. Angkot itu masih sedang ngetem di jalan depan mesjid agung Anyar. 

Sepuluh meter menuju angkot yang diam itu, langkah Akang terhenti. Penyebabnya adalah seorang pria setengah baya bertubuh sedikit kurus dan dengan rambut yang sudah penuh oleh uban. Pria itu mendekatkan wajahnya pada jendela pintu depan angkot. Sepertinya dia sedang menanyakan trayek angkot itu. beberapa detik setelahnya, pria berpakaian rapih dan berambut putih itu masuk angkot.

Akang buru-buru membalikan badannya. Ia kembali melangkah. Hanya saja kali ini untuk menjauhi angkot yang di dalamnya ada seseorang yang sangat dia kenal. Pria setengah baya itu adalah gurunya saat masih bersekolah di SMA N 1 Anyar dulu. Dia adalah bapak Hikmat. Seorang guru fisika yang terkenal dengan kegarangannya saat di luar kelas, namun berubah menjadi super menyenangkan kala di dalam kelas. Ya, itulah gambaran tentang bapak Hikmat yang masih tersimpan jelas di kepala Akang. 

Akang merasa malu seandainya dia satu angkot dengan sang guru itu. Jika benar-benar bersua, pasti akan ada obrolan di dalamnya. Nah, karena hal itulah Akang merasa segan. 

Akang menoleh ke belakang, angkot itu belum juga berangkat. Pelan-pelan ia terus melanjutkan langkahnya. Entah kemana tujuannya. Yang penting Akang harus jauh-jauh pergi dari angkot itu.

Sepanjang langkah hati Akang terus berkecamuk. Kini sang akal sehat yang sedari tadi tertidur di otaknya mulai bangkit. Ia mencoba mengimbangi pikiran kerdil yang menguasi kepala Akang. 

Kenapa saya harus malu untuk bertemu dengan bapak Hikmat? Memang apa kesalahan yang pernah saya perbuat hingga harus begitu? Tidak ada kan? Lantas, jika tidak ada, untuk apa juga saya harus malu? Justru itu akan mencerminkan kepribadian saya yang lemah mental. Sang akal sehat bertubi-tubi mengeluarkan argumennya.

Kenapa saya harus malu? Padahal jarang sekali kesempatan ini munculnya. Padahal kesempatan ini merupakan sebuah kesempatan yang sangat baik. Kesempatan baik untuk bersilaturahim dengan sang guru yang telah banyak memberikan saya ilmu. 

Kenapa malu? Kenapa harus malu untuk melakukan kebaikan? Boleh jadi, saat ini sedang ada setan yang menyelinap ke dalam otak saya. Makhluk terlaknat itu mencoba membisikan kepada hati untuk tidak melakukan sebuah kebaikan. Sebuah kebaikan untuk bersilaturahim dengan bapak Hikmat.   

Sang akal sehat mulai mampu menguasi keadaan. Pikiran kerdil kini benar-benar telah menjadi kerdil. Akang menghentikan langkah. Tanpa banyak pikir lagi, ia kembali membalikan badan, lalu kembali berjalan menuju angkot yang masih diam. Kembali melangkah menuju bapak Hikmat. Akang akan bersilaturahim dengan sang guru fisik yang sudah lama sekali tidak berjumpa.

Langkah Akang tegap. Langkah Akang yakin. Tidak secuilpun rasa ragu mengikuti. Bismillahirrahmannirrahim. Untuk apa malu dalam hal kebaikan? Kerdil sekali jika tidak jadi melakukan kebaikan hanya karena rasa malu! Kerdil sekali!
***

“Karang Bolong, A?” Akang mendekat pada jendela.

Muhun, A,” jawab bapak sopir yang usianya mendekati senja.

Sebenarnya kursi depan kosong, dan Akang akan nyaman jika duduk di sana. Namun, ada hal lain yang lebih baik dari sekedar rasa nyaman. Yakni silaturahim. Inilah sesungguhnya niat utama Akang kenapa naik angkot ini. 

Akang masuk lewat pintu samping. Ia bergabung dengan beberap penumpang yang sudah ada di dalam. Akang duduk tepat di hadapan bapak Hikmat yang sedang khusuk menatap layar hape di tangannnya. 

Assalamu’alaikum, Pak,” sapa Akang. Ia lebih mendekatkan wajahnya ke arah bapak Hikmat.

Bapak guru berambut putih itu menoleh. Satu detik terbengong. Detik berikutnya matanya membulat. “Akang. Wa’laikumussalam.” Bapak Hikmat sumringah. Akang menyalami tangan bapak guru di depannya.

“Gimana kabarnya? Sudah lama kita tidak ketemu?” bapak Hikmat mengusap-usap pundak sang murid. Akang memberi senyum.

“Baik, Pak. Bapak gimana? Sehat?”

Alhamdulillah baik, baik,” bapak Hikmat melepas tangannya dari pundak Akang. “Kenapa sekarang tidak pernah main ke sekolah lagi?”

Akang nyengir. “Mudah-mudahan kedepan bisa silaturahim lagi ke sekolah, Pak.”

“Iya, iya, harus itu,” bapak Hikmat manggut-manggut. “Oya, kapan Akang lulus?” tambah bapak guru berbadan sedikit kurus itu.

Alhamdulilah Akang sudah wisuda, Pak.”

“Lho, kapan? Kenapa tidak ngasih tahu Bapak?”

“Setelah wisuda Akang tidak sempat main ke sekolah, Pak. Kemudian setahun kemarin Akang ikut program pemerintah untuk mengajar selam satu tahun di daerah terpencil,” Akang menjelaskan.

“Oooh,” bibir bapak Hikmat membulat.

Kedua ujung bibir Akang melebar.

“Terus sekarang Akang ngajar dimana?”

Akang nyengir. “Belum, Pak,” jawab Akang pendek. Sebenarnya masih ada kalimat yang ingin Akang utarakan. Namun kalimat itu tertahan di tenggorokannya. 

Alhamdulillah jika belum,” ujar bapak Hikmat.

Akang melipat dahi karena kalimat bapak guru di depannya. Alhamdulillah?
 
“Tahun depan bapak Suroso akan pensiun. Jadi sekolah kita sedang membutuhkan guru kimia baru. Besok Akang datang kesekolah ya,” terang bapak Hikmat semangat sekali.

“Besok ke sekolah? Untuk?” Akang harap-harap cemas.

“Mengajar kimia.”

Wajah Akang sumringah tidak percaya. Matanya membulat menatap bapak Hikmat. Apakah ini sungguhan? Hatinya bertanya-tanya. 

“Ngajar kimia, Pak?”

“Ia. Akang jadi guru di sekolah kita.”

Allahu Akbar! Duhai bapak Hikmat, sesungguhnya kalimat inilah yang tadi ingin Akang keluarkan. Kalimat inilah yang tadi tersendat di kerongkongan Akang. Sudah lama sekali sebenarnya Akang ingin mengajar di SMA N 1 Anyer. Mengajar di almamaternya dulu.

“Besok Akang bawa lamarannya, Pak?

“Sudah tidak perlu. Kita langsung wawancara aja.”

SubhanaAllah! Kenapa bisa semudah ini Yaa Allah? Semuanya terjadi diluar batas pemikiran Akang. Terima kasih Duhai Allah.

Ingatan Akang tiba-tiba melayang pada kejadian beberapa menit yang lalu. Menuju ketika hatinya berkecamuk untuk naik angkot yang sama dengan bapak Hikmat atau tidak. Dengan mengingat memori itu, Akang sangat bersyukur karena akal sehatnya mampu mengalahkan pemikiran kerdilnya. Akang sangat bersyukur. Bersyukur sekali. Jika saja akal sehat Akang tadi kalah, kejadiannya pasti tidak akan seperti ini. Semua kemudahan ini pasti tidak akan pernah ada.

Duhai Allah. Janji-Mu memang pasti kebenarannya. Silaturahim itu baik. Silaturahim itu mendatangkan banyak rezeki. Terima kasih Yaa Allah. Terima kasih Duhai Allah.

Obrolan di antara bapak guru dengan sang murid terus berlanjut. Mereka membincang semuanya. Tentang kondisi sekolah. Tentang pengalaman Akang selama satu tahun mengajar di Ranupane. Tentang semua yang sempat dibicarakan.

Angkot terus melaju di jalan raya Anyar. Sebuah jalan yang menyusuri garis pantai Anyar. Pemandangannya menakjubkan. Kondisi udaranya sudah lebih baik dari sebelumnya.

Bapak Hikmat tertawa. Akang juga tertawa.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar