Senin, 09 September 2013

Angin Sore (5)


Dua bulan telah berlalu, semenjak kepulangan Akang dari kampungnya tercinta. Dalam rentang dua bulan yang telah terlewat, terhitung ada beberapa kali Akang dan Hena melakukan interaksi via hape. Lebih tepatnya komunikasi lewat SMS. Tapi, sudah seminggu terakhir ini mereka belum melakukan rutinitas itu.

                Barusan Akang telah bimbingan pada dosen pembimbingnya. Bimbingan untuk pembuatan proposal skripsi. Sebenarnya semester ini Akang belum ngontrak mata kuliah itu. Ini hanya inisiatif Akang saja, supaya ketika benar-benar sudah ngontrak nanti, dia tidak begitu kerepotan dalam menggarapnya.

                Semester kali ini Akang hanya mengontrak beberapa mata kuliah saja. Sebab, memang mata kuliah yang tersisa hanya tinggal hitungan jari saja. Hari Selasa ini, Akang hanya ada satu mata kuliah. Kuliah pagi. Jam tujuh sampai jam delapan empat puluh. Selepas itu, Akang bimbingan hingga jam setengah sepuluh. Dan akhirnya, selepas bimbingan, detik ini Akang sedang berjalan hendak pulang. Ia tak sabar untuk segera tiba di kosannya.

                Belum jauh keluar dari gedung fakultas, langkah Akang melambat tersebab getaran hape di saku celananya. Sambil tetap berjalan pelan, Akang merogoh sakunya. Sekejap melihat jalan, sekejap menatap layar hape, Akang tetap melaju pelan. 

                Akang tersenyum. Ia berhenti melangkah.

                Akang, met milad ya. Semoga sisa usianya barokah. Aamiin... :-) 

                Bibir Akang semakin melebar. Kemudian diakhiri dengan membentuk beberapa lipatan di keningnya. Penyebabnya adalah sebuah pertanyaan saja. Dari mana Hena tahu hari lahirnya? Ah, Akang tak ambil pusing untuk segera mengetahui jawaban itu. Rasa penasaran itu masih terkalahkan oleh kegembiraannya yang melenakan jiwa.

                Akang mengetik balasan. Bibirnya tak henti tersenyum.

                Aamiin. Makasih do’anya, Na. Oya, Hena juga met milad ya. Semoga sisa usianya barokah juga. Kemudian, semoga tetap betah di ponpesnya, dan tidak nangis lagi kalo sedang rindu abah dan ummi, hehe.

                Tidak butuh banyak waktu, Hena kembali membalas.

                Iiiih. Tapi kan nangisnya gak sering-sering amat. :-(

                Akang kembali tersenyum. Jika ada orang yang sedang melihat senyum Akang kali ini, maka mereka akan mendapati dengan jelasderetan gigi Akang yang terbuka.

                Akang mengetik lagi. Mengetik kalimat “Tapi tetap aja kan namanya nangis? Na tetap aja kan cengeng?... :-)”. Sepersekian detik jempol akang akan memencet tombol kirim, pesan Hena berikutnya datang lagi. Akang urungkan mengirim kalimat yang sudah diketik. Ia keluar menu kirim pesan. Lalu beralih pada pilihan kotak masuk.

                Eh, tapi Hena kan miladnya bukan hari ini.

                Akang kembali pada pilihan tulis pesan. Kemudian mengetik lagi.

                Ucapan Akang memang bukan untuk hari ini. Tapi untuk tanggal yang sama pada bulan depan... :-)

                Di seberang sana, mata Hena menerawang. Mencoba menghitung-hitung tanggal yang dimaksudkan dalam pesan balasan Akang. Saat jawabannya ketemu, ujung bibir Hena melabar. Ia membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri.

                Akang tahu dari siapa hari lahir Hena? :-)

                Akang langsung membalas.

                Dari Angin Sore...

                Kening Hena bergelombang. Tapi senyum di bibirnya belum hilang. Dan semakin melebar saja tersebab dua kata yang barusan diberikan Akang.

                Angin Sore?

                Akang tersenyum lagi. Ia tahu jika orang yang sedang saling berkirim pesan dengannya sedang bingung mengartikan kata yang diberikan. Akang kembali membalas. Tapi tidak untuk menjawab pertanyaan Hena.

                Oya, sekarang giliran Akang. Omong-omong Na juga tahu dari siapa ya kalau hari ini adalah hari lahir Akang?... :-)

                Satu detik setelah membaca pesan Akang, Hena kelabakan. Ia salah tingah. Padahal orang yang disalah tingkahi itu sedang tidak berada di dekatnya. Padahal ada jarak ratusan kilo meter yang memisahkan mereka. Antara tengah-tengah Bandung dengan bagian Selatan Banten.

                Hena masih bingung hendak menjawab apa. Beberapa menit ia belum membalas. 

                Hena menyeringai. Tampaknya ia telah menemukan jawabanyang cocok. Segera ia membalas.

                Hena tahu dari Angin sore. :-)

                Kedua mata Akang menyipit membaca pesan balasan Hena. Tapi hanya sekejap saja. Sisanya dihabiskan dengan senyuman lagi. Nun jauh di Banten sebelah selatan sana, Hena tertawa kecil di atas kasurnya. Ia menertawakan jawaban yang ia berikan.

                Akang juga tertawa kecil. Hanya saja, berbeda dengan tawanya Hena. Tawa Akang langsung berubah menjadi wajah kaget. Sebab laki-laki yang sedang menatap layar hape itu baru sadar jika di kiri dan kanannya sedang ada beberapa kelompok mahasiswa yang sedang nongkrong. Sebagian besar dari mereka sedang memperhatikan tingkah Akang. Bagaimana tidak? Sudah lebih dari tiga menit Akang hanya berdiri menatap layar hape di tengah-tengah jalan. Sambil senyum-senyum sendiri pula. Sudah mirip dengan orang-orang berbaju kumal yang sering berjalan di pinggiran jalan kota. Orang yang sering tertawa dan ngobrol sendirian itu.
***

                Sore hari. Akang sedang rebahan pada kasur lipat di kosannya. Tangan kanannya terangkat sambil memegangi hape. Pandangannya fokus pada layar hape. 

                Akang mohon do’anya ya.

                Pesan Akang untuk yang kesekian kalinya pada sesi kedua untuk hari ini.

                Hena membalas.

                Tadi siang kan udah Na do’ain.

                Akang membalas.

                Akang minta do’a yang lain lagi.

                Hena membalas lagi.

                Do’a untuk apa?

                Akang mengetik lagi.

                Besok Akang pulang. Do’ain supaya selamat sampai kampung tercinta ya... :-)

                Di seberang nun jauh di sana, Hena membekap mulutnya sendiri. Sedikit terkejut dengan yang sedang terjadi.

                :-)

                Akang melipat dahi terebab pesan balasan Hena.

                Kok Na senyum? Akang kan minta do’a, bukan minta senyuman...

                Hena menjawab pertanyaan Akang.

                Besok Na juga pulang 

                Akang mengirim pesan lagi.

                Lho? Memang Na libur?

                Hena membalas.

                Ia.

                Secepat kilat Akang membalas lagi.

                Oooh...

                Pesan dari Hena datang lagi.

                Tapi libur sendirian, hehe. :-D

                Kedua ujung alis Akang bertaut.

                Waddduh!!

                Hena membalas.

                Sehari aja kok, Kang. Abah dan Ummi juga ngebolehin kok. :-)

                Segera Akang mengetik.

                Dasar akhwat cengeng... :-D

                DRRRT DRRRT DRRRT

                Hape Akang bergetar lagi.

                Iiiih. Akang. :-(

                Kedua ujung bibir Akang melebar dengan simentris.
***

                Petang ini. Pada hari kedua keberadaannya di rumah. Selepas solat magrib berjamaah, Akang langsung melepas peci dan baju koko putihnya. 

                “Anyer panas,” gerutu Akang sambil berjalan menuju ruang tamu. Saat berucap, Akang melirik pada kamar adik perempuannya yang pintunya terbuka. Setelah itu Akang meleos begitu saja.

                “Yey! Sudah sana ke Bandung lagi! Dan jangan kembali lagi ke Anyer-ku ya!” Adik perempuan Akang kembali meledek sang kakak. Akang tertawa di ruang tamu.

                Kini Akang hanya mengenakan sarung dan kaos oblong warna putih saja. Ia duduk santai pada sofa empuk yang menghadap pintu depan rumah yang barusan Akang buka. Sengaja,tujuannya adalah agar angin sore dapat dengan bebas bisa menyembuhkan rasa gerah yang Akang rasakan.

                FYUSSSSSHHH

                Akang memejamkan kedua matanya. Ia sangat menikmati sekali belaian angin sore yang berhembus membelai tubuhnya. Bandung memang sejuk. Iklimnya sudah lebih dari cukup untuk membuat siapapun betah tinggal di sana. Tidak terkecuali juga Akang. Tapi, jika sudah seperti ini. Seperti petang ini. Saat sang angin sore mulai berhembus. Kemudian ditambah oleh iringan nyanyian jangkrik di halaman. Selalu muncul perasaan di benak Akang untuk tidak ingin kembali lagi ke kota kembang. Atau ke kota manapun di negeri ini.

                Mata Akang masih terpejam dalam. Ia sangat menikmati petang ini.

                Assalamu’alaikum!”teriakan nyaring membuyarkan santai Akang. Akang membuka matanya pelan. Lalu duduk tegak melepas punggungnya dari sandaran sofa empuk. 

                Wa’alaikumussalam,” Akang beranjak dari sofa. Ia melangkah menuju pintu yang terbuka. Matanya memicing bermaksud menangkap wajah lelaki kecil yang sedang berdiri di depan rumahnya.

                Assalamu’alaikum, Kang!” sekali lagi laki-laki usia kelas enam SD itu berteriak. Kali ini ditambah dengan lambaian tangan kanannya.

                “Adit. Ada apa, Dit?” tanya Akang sambil mendekat. Adit meyalami Akang. Ia menyium punggung tangan kanan Akang.

                “Akang disuruh kesana,” Adit menunjuk ke arah timur.

                Akang belum mengerti. “Kemana?”

                “Ke rumah Abah Haji.”

                Akang bertambah tidak mengerti. “Ke rumah Abah Haji?”

                “Ia. Akang disuruh ke rumah Abah Haji sama Ummi dan Abah Haji. Katanya Akang disuruh bantuin untuk ngajar baca Qur’an.” Adit menunjuk ke arah timur lagi. Maksudnya menunjukan arah rumah abah haji.

                Wajah Akang menekuk penuh tanya. Juga masih tidak percaya dengan kabar yang barusan ia dengar. “Sekarang?”

                “Ia sekarang,” Adit memberi seutas senyum. “Adit duluan ya. Assalamu’alaikum!” laki-laki kelas enam SD itu langsung membalikan tubuhnya. Kemudian setengah berlari meninggalkan Akang yang bengong sendiri.

                Akang kembali masuk rumah. Meskipun masih ada rasa belum percaya, Akang tetap saja kembali mengenakan baju koko dan pecinya yang sama-sama berwarna putih. Setelah dirasa rapih, dengan langkah berat, Akang melangkah menuju rumah abah haji yang hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari rumahnya.

                Dari kejauhan, celotehan-celotehan anak-anak yang mengaji sudah menyambut gendang telinga Akang. Semakin dekat, semakin keras suara itu terdengar. Bersamaan dengan itu, semakin menciut pula nyali yang ada di dada Akang. Tapi, mau tidak mau Akang harus tetap memajukan langkahnya. 

                Beberapa langkah lagi Akang akan tiba di tempat yang dituju. Sekumpulan anak-anak, laki-laki juga perempuan berkumpul melingkar di teras depan rumah Abah Haji. Beberapa dari mereka menyadari kedatangan Akang.

                “Akaaang! Akaaaaang!” Antusias sekali mereka memanggil. Dasar anak kecil. Tak tahu apa jika teriakannya itu semakin membuat nyali Akang menyirna saja. Tapi, memang seperti itulah anak kecil. Dunianya masih berupa bersenang-senang saja.

                Tersebab panggila itu, Abah Haji, Ummi, juga beberapa anak lainnya menoleh ke arah Akang. Akang masih tetap melangkah. Ia melambaikan tangannya pada sekumpulan anak itu. Lalu berjalan menuju Abah Haji.

                Assalamu’alaiku, Bah,” Akang mencium punggung tangan Abah Haji. Kemudian melangkah mendekati Ummi. Lalu mencium juga punggung tangannya. 

                Akang kembali menghampiri Abah Haji. Ia duduk di hadapan bapak setengah baya yang sedang mengajari anak-anak baca Al-Qur’an.

                “Akang sedang ada di sini?”

                “Ia, Bah,” Akang mengangguk pelan.

                “Sampai kapan disininya?”

                InsyaAllah minggu depan ke Bandung lagi, Bah.”

                Abah mengangguk-angguk. “Sekarang Akang sedang tidak sibuk kan?”

                InsyaAllah ‘Nggak, Bah.”

                “Kalo gitu bisa atuh bantuin Abah Haji dan Ummi untuk ngajar ngaji ya.”

                Akang nyengir. Lalu mengangguk. “Bisa, Bah.” Meskipun sebenarnya dia sendiri juga tidak yakin.

                Abah Haji mempersilahkan Akang untuk duduk di salah satu sudut teras. Kemudian mengarahkan beberapa anak-anak untuk duduk melingkar di sekitar Akang. Jantung Akang tiga kali lebih cepat. Dan bertambah cepat saat seorang anak mulai membuka mulutnya. Melafalkan ta’udz juga bismillah.
***

                ShodaqAllohul’adziim.” Anak terakhir yang bagian Akang mengakhiri ngajinya. Ia mencium punggung tangan kanan Akang. Kemudian mencium juga punggung tangan Abah Haji dan Ummi. Sama dengan Akang, anak-anak bagian Ummi juga telah habis. Sementara bagian Abah hanya tinggal satu lagi. 

                Akang menghampiri Ummi. 

                “Akang pulang, Mi,” Akang mencium tangan Ummi.

                “Oh iya. Makasih, Kang ya.” Ujar Ummi dibumbui senyuman. 

                Akang menghampiri Abah Haji yang masih membimbing mengaji.

                “Akang pulan, Bah,” Akang meraih tangan Abah Haji dan langsung menyiumnya.

                “Makasih, kang ya. Terus terang Abah Haji dan Ummi sangat terbantu ini. Gimana atuh, Hena nya juga sekarangmah sudah ada di pondok. Jadi sekarang hanya Abah dan Ummi aja yang ngajar ngajinya. Kemarin juga selesainya hampir sampai jam setengah sepuluh. Untung aja sekarang Akang lagi pulang, jadi selesainya bisa lebih cepat.”

                Akang hanya tersenyum saja mendengarkan ucapan Abah Haji.

                “Nanti besok-besok Akang langsung kesini aja ya,” ucap Ummi di samping Abah Haji.

                InsyaAllah, Mi” Akang hanya nyegir saja.

                “Kemarin-kemarin Ummi baca buku yang dari Akang. SubhanaAllah itu isinya bagus. InsyaAllah pasti sangat bermanfaat untuk Hena. Makasih, kang ya.” Ummi tersenyum.

                “Eh!!!!” Akang terkejut. Bayangannya tertuju pada buku bersampul warna ungu yang tempo hari ia beriakan untuk Hena.

                GLKKK

                Akang menelan ludah.

                “Akang tolong bimbing Hena ya. Abah Haji dan Ummi InsyaAllah percaya sama Akang.” 

                Eh!!!!

                GLLKKKK

                Akang menelan ludahnya lagi. Bingung hendak menanggapi bagaimana.

                Abah Haji dan Ummi saling tatap. Pandangannya memiliki makna.

                Kulit langit semakin menghitam. Taburan bintang menjadi penghiasnya. Indah sekali. Namun sayang, angin sore sudah tidak ada lagi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar