Dua bulan telah berlalu, semenjak kepulangan Akang dari kampungnya tercinta. Dalam rentang dua bulan yang telah terlewat, terhitung ada beberapa kali Akang dan Hena melakukan interaksi via hape. Lebih tepatnya komunikasi lewat SMS. Tapi, sudah seminggu terakhir ini mereka belum melakukan rutinitas itu.
Barusan
Akang telah bimbingan pada dosen pembimbingnya. Bimbingan untuk pembuatan
proposal skripsi. Sebenarnya semester ini Akang belum ngontrak mata kuliah itu.
Ini hanya inisiatif Akang saja, supaya ketika benar-benar sudah ngontrak nanti,
dia tidak begitu kerepotan dalam menggarapnya.
Semester
kali ini Akang hanya mengontrak beberapa mata kuliah saja. Sebab, memang mata
kuliah yang tersisa hanya tinggal hitungan jari saja. Hari Selasa ini, Akang
hanya ada satu mata kuliah. Kuliah pagi. Jam tujuh sampai jam delapan empat
puluh. Selepas itu, Akang bimbingan hingga jam setengah sepuluh. Dan akhirnya,
selepas bimbingan, detik ini Akang sedang berjalan hendak pulang. Ia tak sabar
untuk segera tiba di kosannya.
Belum
jauh keluar dari gedung fakultas, langkah Akang melambat tersebab getaran hape
di saku celananya. Sambil tetap berjalan pelan, Akang merogoh sakunya. Sekejap
melihat jalan, sekejap menatap layar hape, Akang tetap melaju pelan.
Akang
tersenyum. Ia berhenti melangkah.
Akang, met milad ya. Semoga sisa usianya
barokah. Aamiin... :-)
Bibir Akang semakin melebar.
Kemudian diakhiri dengan membentuk beberapa lipatan di keningnya. Penyebabnya
adalah sebuah pertanyaan saja. Dari mana Hena tahu hari lahirnya? Ah, Akang tak
ambil pusing untuk segera mengetahui jawaban itu. Rasa penasaran itu masih
terkalahkan oleh kegembiraannya yang melenakan jiwa.
Akang
mengetik balasan. Bibirnya tak henti tersenyum.
Aamiin. Makasih do’anya, Na. Oya, Hena juga
met milad ya. Semoga sisa usianya barokah juga. Kemudian, semoga tetap betah di
ponpesnya, dan tidak nangis lagi kalo sedang rindu abah dan ummi, hehe.
Tidak butuh banyak waktu, Hena
kembali membalas.
Iiiih. Tapi kan nangisnya gak sering-sering
amat. :-(
Akang kembali tersenyum. Jika
ada orang yang sedang melihat senyum Akang kali ini, maka mereka akan mendapati
dengan jelasderetan gigi Akang yang terbuka.
Akang
mengetik lagi. Mengetik kalimat “Tapi
tetap aja kan namanya nangis? Na tetap aja kan cengeng?... :-)”.
Sepersekian detik jempol akang akan memencet tombol kirim, pesan Hena
berikutnya datang lagi. Akang urungkan mengirim kalimat yang sudah diketik. Ia
keluar menu kirim pesan. Lalu beralih pada pilihan kotak masuk.
Eh, tapi Hena kan miladnya bukan hari ini.
Akang kembali pada pilihan tulis
pesan. Kemudian mengetik lagi.
Ucapan Akang memang bukan untuk hari ini.
Tapi untuk tanggal yang sama pada bulan depan... :-)
Di seberang sana, mata Hena
menerawang. Mencoba menghitung-hitung tanggal yang dimaksudkan dalam pesan
balasan Akang. Saat jawabannya ketemu, ujung bibir Hena melabar. Ia membungkam
mulutnya dengan tangannya sendiri.
Akang tahu dari siapa hari lahir Hena? :-)
Akang langsung membalas.
Dari Angin Sore...
Kening Hena bergelombang. Tapi
senyum di bibirnya belum hilang. Dan semakin melebar saja tersebab dua kata
yang barusan diberikan Akang.
Angin Sore?
Akang tersenyum lagi. Ia tahu
jika orang yang sedang saling berkirim pesan dengannya sedang bingung
mengartikan kata yang diberikan. Akang kembali membalas. Tapi tidak untuk
menjawab pertanyaan Hena.
Oya, sekarang giliran Akang. Omong-omong Na
juga tahu dari siapa ya kalau hari ini adalah hari lahir Akang?... :-)
Satu detik setelah membaca pesan
Akang, Hena kelabakan. Ia salah tingah. Padahal orang yang disalah tingkahi itu
sedang tidak berada di dekatnya. Padahal ada jarak ratusan kilo meter yang
memisahkan mereka. Antara tengah-tengah Bandung dengan bagian Selatan Banten.
Hena
masih bingung hendak menjawab apa. Beberapa menit ia belum membalas.
Hena
menyeringai. Tampaknya ia telah menemukan jawabanyang cocok. Segera ia
membalas.
Hena tahu dari Angin sore. :-)
Kedua mata Akang menyipit
membaca pesan balasan Hena. Tapi hanya sekejap saja. Sisanya dihabiskan dengan
senyuman lagi. Nun jauh di Banten sebelah selatan sana, Hena tertawa kecil di
atas kasurnya. Ia menertawakan jawaban yang ia berikan.
Akang
juga tertawa kecil. Hanya saja, berbeda dengan tawanya Hena. Tawa Akang
langsung berubah menjadi wajah kaget. Sebab laki-laki yang sedang menatap layar
hape itu baru sadar jika di kiri dan kanannya sedang ada beberapa kelompok
mahasiswa yang sedang nongkrong. Sebagian besar dari mereka sedang
memperhatikan tingkah Akang. Bagaimana tidak? Sudah lebih dari tiga menit Akang
hanya berdiri menatap layar hape di tengah-tengah jalan. Sambil senyum-senyum
sendiri pula. Sudah mirip dengan orang-orang berbaju kumal yang sering berjalan
di pinggiran jalan kota. Orang yang sering tertawa dan ngobrol sendirian itu.
***
Sore
hari. Akang sedang rebahan pada kasur lipat di kosannya. Tangan kanannya
terangkat sambil memegangi hape. Pandangannya fokus pada layar hape.
Akang mohon do’anya ya.
Pesan Akang untuk yang kesekian
kalinya pada sesi kedua untuk hari ini.
Hena
membalas.
Tadi siang kan udah Na do’ain.
Akang membalas.
Akang minta do’a yang lain lagi.
Hena membalas lagi.
Do’a untuk apa?
Akang mengetik lagi.
Besok Akang pulang. Do’ain supaya selamat
sampai kampung tercinta ya... :-)
Di seberang nun jauh di sana,
Hena membekap mulutnya sendiri. Sedikit terkejut dengan yang sedang terjadi.
:-)
Akang melipat dahi terebab pesan
balasan Hena.
Kok Na senyum? Akang kan minta do’a, bukan
minta senyuman...
Hena menjawab pertanyaan Akang.
Besok Na juga pulang
Akang mengirim pesan lagi.
Lho? Memang Na libur?
Hena membalas.
Ia.
Secepat kilat Akang membalas
lagi.
Oooh...
Pesan dari Hena datang lagi.
Tapi libur sendirian, hehe. :-D
Kedua ujung alis Akang bertaut.
Waddduh!!
Hena membalas.
Sehari aja kok, Kang. Abah dan Ummi juga
ngebolehin kok. :-)
Segera Akang mengetik.
Dasar akhwat cengeng... :-D
DRRRT DRRRT DRRRT
Hape
Akang bergetar lagi.
Iiiih. Akang. :-(
Kedua ujung bibir Akang melebar
dengan simentris.
***
Petang
ini. Pada hari kedua keberadaannya di rumah. Selepas solat magrib berjamaah,
Akang langsung melepas peci dan baju koko putihnya.
“Anyer
panas,” gerutu Akang sambil berjalan menuju ruang tamu. Saat berucap, Akang
melirik pada kamar adik perempuannya yang pintunya terbuka. Setelah itu Akang
meleos begitu saja.
“Yey!
Sudah sana ke Bandung lagi! Dan jangan kembali lagi ke Anyer-ku ya!” Adik
perempuan Akang kembali meledek sang kakak. Akang tertawa di ruang tamu.
Kini
Akang hanya mengenakan sarung dan kaos oblong warna putih saja. Ia duduk santai
pada sofa empuk yang menghadap pintu depan rumah yang barusan Akang buka.
Sengaja,tujuannya adalah agar angin sore dapat dengan bebas bisa menyembuhkan
rasa gerah yang Akang rasakan.
FYUSSSSSHHH
Akang memejamkan
kedua matanya. Ia sangat menikmati sekali belaian angin sore yang berhembus
membelai tubuhnya. Bandung memang sejuk. Iklimnya sudah lebih dari cukup untuk
membuat siapapun betah tinggal di sana. Tidak terkecuali juga Akang. Tapi, jika
sudah seperti ini. Seperti petang ini. Saat sang angin sore mulai berhembus.
Kemudian ditambah oleh iringan nyanyian jangkrik di halaman. Selalu muncul
perasaan di benak Akang untuk tidak ingin kembali lagi ke kota kembang. Atau ke
kota manapun di negeri ini.
Mata
Akang masih terpejam dalam. Ia sangat menikmati petang ini.
“Assalamu’alaikum!”teriakan nyaring
membuyarkan santai Akang. Akang membuka matanya pelan. Lalu duduk tegak melepas
punggungnya dari sandaran sofa empuk.
“Wa’alaikumussalam,” Akang beranjak dari
sofa. Ia melangkah menuju pintu yang terbuka. Matanya memicing bermaksud
menangkap wajah lelaki kecil yang sedang berdiri di depan rumahnya.
“Assalamu’alaikum, Kang!” sekali lagi
laki-laki usia kelas enam SD itu berteriak. Kali ini ditambah dengan lambaian
tangan kanannya.
“Adit.
Ada apa, Dit?” tanya Akang sambil mendekat. Adit meyalami Akang. Ia menyium
punggung tangan kanan Akang.
“Akang
disuruh kesana,” Adit menunjuk ke arah timur.
Akang belum
mengerti. “Kemana?”
“Ke
rumah Abah Haji.”
Akang
bertambah tidak mengerti. “Ke rumah Abah Haji?”
“Ia.
Akang disuruh ke rumah Abah Haji sama Ummi dan Abah Haji. Katanya Akang disuruh
bantuin untuk ngajar baca Qur’an.” Adit menunjuk ke arah timur lagi. Maksudnya
menunjukan arah rumah abah haji.
Wajah
Akang menekuk penuh tanya. Juga masih tidak percaya dengan kabar yang barusan
ia dengar. “Sekarang?”
“Ia
sekarang,” Adit memberi seutas senyum. “Adit duluan ya. Assalamu’alaikum!” laki-laki kelas enam SD itu langsung membalikan
tubuhnya. Kemudian setengah berlari meninggalkan Akang yang bengong sendiri.
Akang
kembali masuk rumah. Meskipun masih ada rasa belum percaya, Akang tetap saja
kembali mengenakan baju koko dan pecinya yang sama-sama berwarna putih. Setelah
dirasa rapih, dengan langkah berat, Akang melangkah menuju rumah abah haji yang
hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari rumahnya.
Dari
kejauhan, celotehan-celotehan anak-anak yang mengaji sudah menyambut gendang
telinga Akang. Semakin dekat, semakin keras suara itu terdengar. Bersamaan
dengan itu, semakin menciut pula nyali yang ada di dada Akang. Tapi, mau tidak
mau Akang harus tetap memajukan langkahnya.
Beberapa
langkah lagi Akang akan tiba di tempat yang dituju. Sekumpulan anak-anak,
laki-laki juga perempuan berkumpul melingkar di teras depan rumah Abah Haji.
Beberapa dari mereka menyadari kedatangan Akang.
“Akaaang!
Akaaaaang!” Antusias sekali mereka memanggil. Dasar anak kecil. Tak tahu apa
jika teriakannya itu semakin membuat nyali Akang menyirna saja. Tapi, memang
seperti itulah anak kecil. Dunianya masih berupa bersenang-senang saja.
Tersebab
panggila itu, Abah Haji, Ummi, juga beberapa anak lainnya menoleh ke arah
Akang. Akang masih tetap melangkah. Ia melambaikan tangannya pada sekumpulan anak
itu. Lalu berjalan menuju Abah Haji.
“Assalamu’alaiku, Bah,” Akang mencium
punggung tangan Abah Haji. Kemudian melangkah mendekati Ummi. Lalu mencium juga
punggung tangannya.
Akang
kembali menghampiri Abah Haji. Ia duduk di hadapan bapak setengah baya yang
sedang mengajari anak-anak baca Al-Qur’an.
“Akang
sedang ada di sini?”
“Ia,
Bah,” Akang mengangguk pelan.
“Sampai
kapan disininya?”
“InsyaAllah minggu depan ke Bandung lagi,
Bah.”
Abah
mengangguk-angguk. “Sekarang Akang sedang tidak sibuk kan?”
“InsyaAllah ‘Nggak, Bah.”
“Kalo
gitu bisa atuh bantuin Abah Haji dan Ummi untuk ngajar ngaji ya.”
Akang
nyengir. Lalu mengangguk. “Bisa, Bah.” Meskipun sebenarnya dia sendiri juga
tidak yakin.
Abah Haji
mempersilahkan Akang untuk duduk di salah satu sudut teras. Kemudian
mengarahkan beberapa anak-anak untuk duduk melingkar di sekitar Akang. Jantung
Akang tiga kali lebih cepat. Dan bertambah cepat saat seorang anak mulai
membuka mulutnya. Melafalkan ta’udz
juga bismillah.
***
“ShodaqAllohul’adziim.” Anak terakhir
yang bagian Akang mengakhiri ngajinya. Ia mencium punggung tangan kanan Akang.
Kemudian mencium juga punggung tangan Abah Haji dan Ummi. Sama dengan Akang,
anak-anak bagian Ummi juga telah habis. Sementara bagian Abah hanya tinggal
satu lagi.
Akang
menghampiri Ummi.
“Akang
pulang, Mi,” Akang mencium tangan Ummi.
“Oh
iya. Makasih, Kang ya.” Ujar Ummi dibumbui senyuman.
Akang
menghampiri Abah Haji yang masih membimbing mengaji.
“Akang
pulan, Bah,” Akang meraih tangan Abah Haji dan langsung menyiumnya.
“Makasih,
kang ya. Terus terang Abah Haji dan Ummi sangat terbantu ini. Gimana atuh, Hena
nya juga sekarangmah sudah ada di pondok. Jadi sekarang hanya Abah dan Ummi aja
yang ngajar ngajinya. Kemarin juga selesainya hampir sampai jam setengah
sepuluh. Untung aja sekarang Akang lagi pulang, jadi selesainya bisa lebih cepat.”
Akang
hanya tersenyum saja mendengarkan ucapan Abah Haji.
“Nanti
besok-besok Akang langsung kesini aja ya,” ucap Ummi di samping Abah Haji.
“InsyaAllah, Mi” Akang hanya nyegir saja.
“Kemarin-kemarin
Ummi baca buku yang dari Akang. SubhanaAllah
itu isinya bagus. InsyaAllah pasti
sangat bermanfaat untuk Hena. Makasih, kang ya.” Ummi tersenyum.
“Eh!!!!”
Akang terkejut. Bayangannya tertuju pada buku bersampul warna ungu yang tempo
hari ia beriakan untuk Hena.
GLKKK
Akang
menelan ludah.
“Akang
tolong bimbing Hena ya. Abah Haji dan Ummi InsyaAllah
percaya sama Akang.”
Eh!!!!
GLLKKKK
Akang
menelan ludahnya lagi. Bingung hendak menanggapi bagaimana.
Abah
Haji dan Ummi saling tatap. Pandangannya memiliki makna.
Kulit
langit semakin menghitam. Taburan bintang menjadi penghiasnya. Indah sekali. Namun sayang, angin sore sudah tidak ada lagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar