Tidak
terasa, setahun sudah berlalu. Sekarang Akang sudah menggarap skripsinya.
Sebuah karya tulis yang disyaratkan untuk sebuah kelulusannya. Sebuah tulisan
ilmiah yang katanya akan didedikasikan untuk seluruh masyarakat Banten.
Khususnya bagi masyarakat pantai Barat Banten. Sebuah skripsi yang berjudul “Kesiap Siagaan Mayarakat Pesisir Serang
Barat, Terhadap Bencana Tsunami yang diakibatkan Letusan Gunung Api Anak
Krakatau”. Antusias sekali Akang dalam menggarap judul ini.
Sementara
nun jauh di sana. Di sebuah pesantren modern di Banten bagian selatan, Hena
sedang sibuk dengan dunia pesantrennya. Waktu satu tahun sudah lebih dari cukup
untuk membuatnya tidak mengeluarkan air matanya lagi kala sedang teringat pada kedua
orang tuanya. Hena mulai mencintai lingkungan barunya. Ia mulai menyayangi
teman-teman pesantrennya. Tempat ini. Tempatnya mencari ilmu ini. Sudah seperti
rumah kedua bagi Hena.
Lalu,
apa kabar dengan interaksi antara Akang dan Hena selama setahun terakhir? Tanpa
dimulai dengan deklarasi resmi. Tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu, perlahan
keduanya mulai membatasi interaksi. Tujuannya tidak lain adalah untuk fokus
terlebih dahulu dengan skripsi bagi Akang, dan agar fokus terlebih dahulu dalam
mencari ilmu untuk Hena. Tapi, alasan itu sebenarnya adalah alasan nomer yang
kesekian. Alasan yang sesungguhnya tersimpan sangat rapih di sudut hati kedua
remaja itu.
***
Setelah
direnungkan lebih jauh, interaksinya dengan Hena, semakin lama semakin mencair
saja. Meskipun itu hanya lewat SMS, tapi tetap saja ada hati yang bermain
disana. Akang sudah mulai merasakan ketidak beresan itu. Jadi, apa kabar dengan
semua ucapannya yang sering dia wasiatkan kepada para remaja pengajian? Apa
kabar dengan sebuah prinsip yang selama ini dia genggam dengan sangat erat? Dan
bagaimana kabar rasa malunya terhadap Allah yang selalu memperhatikan gerak
geriknya, bahkan hingga kelebatan pikirannya, dimanapun dan kapanpun? Apa kabar
dengan semua itu?
Semua
pertanyaan itu mulai mengusik jiwa Akang. Setiap kali pertanyaan itu muncul di
benaknya, maka setiap itu pula Akang merasa malu terhadap dirinya sendiri. Malu
dengan wasiatnya untuk para remaja pengajian bahwa seorang remaja yang baik itu
harus mampu menjaga interaksinya dengan lawan jenis. Malu dengan prinsipnya
bahwa dia tidak akan berlebihan dalam berhubungan dengan kaum hawa, kecuali
dalam batas-batas yang dianjurkan saja. Malu pada prinsipnya bahwa dia akan
langsung mengunjungi orang tua atau wali seorang wanita yang akan ia jadikan
sebagai pendamping hidup saat telah menemukannya kelak. Dan diatas itu semua,
Akang malu kepada Allah Yang Maha Mengetahui segalanya. Malu. Sangat malu.
Astaghfirullahal’adzim! Akang selalu
menggemakan istighfar setiap kali kelebatan perasaan itu mengusik kalbunya. Satu
hal saja yang membantu Akang dalam menjalani masa-masa kritis itu. Adalah
kesibukannya dalam menulis skripsi. Fokus untuk segera menyelesaikan kuliah. Untuk
urusan pendamping hidup, nanti juga akan ada jalannya jika memang sudah
waktunya. Itulah yang perlahan mampu menenangkan jiwa Akang kembali.
***
Di
mata Hena, Akang adalah seorang pemuda yang berbeda dengan pemuda kebanyakan. Saat
pemuda lain sedang asyik dengan dunia mudanya, tapi Akang malah sibuk dengan
remaja mesjid lainnya yang jumlahnya hanya dapat dihitung dengan jari saja.
Bersama remaja itu, Akang giat dalam mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya
bisa menanamkan karakter baik untuk para remaja dan anak-anak kampung. Bahkan,
meskipun beberapa tahun terakhir ini keberadaan Akang sudah tidak di kampung
lagi. Semangat itu. Semangat yang pernah disuntikan oleh Akang, masih berkibar
di angkasa kampung.
Bagi
Hena, Akang adalah seorang pemuda yang berbeda. Tapi, justru perbedaan itulah
yang membuat dirinya menjadi istimewa. Ibarat sebuah bola warna hijau di antara
jutaan bola warna kuning yang berserakan pada sebuah kolam. Itulah Akang. Hena
tahu, mungkin tidak hanya dia yang memiliki pemikiran seperti itu. Boleh jadi
remaja putri lainnya juga memiliki pemikiran yang serupa. Bahkan, ada sebagian
dari kelompok ibu-ibu yang terang-terangan memuji Akang. Hena pernah mendengar
dengan gendang telinganya sendiri.
“Andai
saja anak perempuan saya seumuran dengan Akang, pasti akan saya jodohkan dia
dengan Akang.” Celetuk seorang ibu di sela-sela rumpiannya dengan ibu-ibu lain.
Tidak
jarang Hena mendapati hal semacam itu. Naasnya, Umminya Hena juga ikut-ikutan
terkena virus serupa itu. Seringkali dalam perbincangan kedua anak beranak itu,
Ummi menggodai Hena. Menggodai bahwa kelak dia akan menjadi istrinya Akang.
Hena selalu cemberut. Ia menekuk wajahnya jika Umminya sedang berbuat jahil
seperti itu. Sementara Ummi, dia hanya tertawa saja.
Sekali
lagi, di mata Hena, Akang merupakan seorang laki-laki yang istimewa. Dan,
kemudian hal inilah yang membuat diri Hena bangga berbalut bahagia saat bisa
dekat dengan sosok pemuda yang satu ini. Ada rasa tidak percaya mendatangi
hatinya. Benarkah ini? benarkah dia bisa sedekat ini dengan pemuda istimewa
itu? Hena membekap senyum di mulutnya dengan tangannya sendiri. Ia menatap
langit-langit kamarnya. Dan terus tersenyum hingga kedua matanya terpejam.
Namun,
ada yang aneh dengan yang terjadi setelahnya. Ternyata, rasa bangga berbalut
bahagia yang disebabkan oleh perasaan yang tak terwakilkan oleh kalimat itu
memudar seiring bersama kedekatnnya dengan Akang. Kian lama, kian dekat dirinya
dengan pemuda istimewa itu. Namun kian dekat, kian pudar pula sebuah rasa yang
tak terwakilkan oleh kalimat itu. Aneh. Kenapa bisa begitu? Ketika masih jauh
dan berharap bisa dekat, rasa yang tak terwakilkan oleh kalimat itu sangat
banyak sekali. Bahkan terkadang, pada waktu-waktu tertentu, bisa meluber
seperti bak mandi yang sudah penuh oleh air, tapi kerannya tetap dibuka. Tapi
sekarang, saat bayangan terdahulu telah terwujud, mengapa rasa yang tak
terwakilkan oleh kalimat itu jadi memudar? Semakin jauh, semakin terus memudar,
dan terus memudar. Apakah memang benar jika sebuah keindahan yang dibayangkan
kala masih berharap mendapatkan sesuatu itu jauh lebih besar dibandingkan
dengan ketika telah mendapatkan sesuatu itu? Apakah memang benar jika
keindahannya berbanding terbalik dengan semakin lamanya memiliki sesuatu itu?
Kian lama, kian menghilang rasa indah itu? Benarkah?
Setiap
kali Hena memikirkan misteri ini, setiap itu pula dia teringat dengan sebuah
cerita dan pesan yang pernah diwanti-wantikan oleh sang Ummi. Tersebab cerita
itu, Hena sangat ingin mengikuti jejak yang pernah dibuat oleh Umminya. Juga,
tersebab pesan yang diwanti-wantikan itu, sekuat tenaga dia untuk bisa
mengelola rasa ketertarikannya kepada lawan jenis agar tetap berada pada yang
sewajarnya saja.
Ummi
pernah bercerita, bahwa saat menikah dengan Abah dulu, belum pernah sekalipun
Ummi berinteraksi dengan Abah. Ummi memang mengenal Abah, pun sebaliknya, Abah
juga mungkin mengenal Ummi. Jadi, sebelum ijab-qabul itu diucapkan, Ummi dan
Abah benar-benar mampu menjaga kesucian diri mereka, dan kesucian itu akhirnya
benar-benar diperuntukan kepada orang-orang yang mampu menjaga kesucian dirinya
pula. Ummi dan Abah, mendapatkan pendamping yang memang pantas untuk
masing-masing.
Ummi
juga pernah berucap, bahwa keindahan hubungannya dengan Abah itu benar-benar
sangat tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Keindahannya hakiki. Tidak semu
seperti keindahan yang dirasakan oleh orang-orang yang menganut faham pacaran. Indahnya
benar-benar indah. Sebuah keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang
yang melakukan pacaran setelah pernikahan. Bukan oleh yang lain. Dan, karena
hal inilah Hena sangat ingin mengikuti jejak sang Umminya.
Ummi
pernah berucap pula, bahwa rasa ketertarikan terhadap lawan jenis itu adalah
fitrah manusia. Siapapun di muka bumi ini, yang namanya manusia, pasti akan
merasakannya. Jadi, saat fitrah itu sedang menyerang, sementara kesiapan untuk
menikah belum ada, maka langkah terbaik yang harus dipilih adalah bagaimana
caranya sang manusia itu bisa mengelola rasa yang bertandang ke hatinya agar
tetap berada pada jalan yang benar. Bukan membunuhnya! Atau juga
memperturutkannya! Buatlah parit yang baik untuk mengalirkan rasa itu supaya
bisa bermuara pada lautan yang hakiki. Dan, karena pesan ini, Hena selalu
berusaha untuk membatasi interaksinya dengan lawan jenis. Mungkin, setelah sedikit
kesalahan yang dia lakukan, remaja putri ini akan segera memulainya kembali. Memulai
langkah mulia yang kemarin sempat tersendat. Sekarang, hanya satu saja yang ada
di kepalanya, yakni belajar. Jangan dulu memikirkan sesuatu yang jauh dari
jangkauan usianya. Terlebih masalah jodoh. Usianya masih sedikit. Masih sekolah
pula. Pokoknya belajar. Belajar dan belajar. Untuk jodoh, nanti juga akan
datang sendiri.
***
Kala
ada dua orang insan yang sedang berusaha saling menjauh untuk menjaga kesucian
diri mereka, pada saat yang bersamaan tersebarlah sebuah kabar yang entah dari
mana datangnya. Kabar itu tersebar ke seantero kampung. Cepat sekali kabar itu
menyebar. Seperti padang ilalang kering yang terlalap api. Merambat bersama
tiupan angin. Cepat sekali.
Desas-desus
itu membicarakan bahwa Akang, seorang pemuda yang aktif di kegiatan-kegiatan
keagamaan telah berpacaran dengan seorang putri guru ngaji. Yaitu dengan Hena. Layaknya
manusia saat mendapati berita pada umumnya, mereka juga demikian terhadap
berita hangat yang satu ini. Terdapat banyak tanggapan pada kabar ini.
“Tuh
begitu tuh kelakuannya orang munafik. Mulut dengan hatinya berbeda. Bilangnya
aja kalau islam itu tidak mengenal pacaran. Sendirinya saja melakukan.”
Tanggapan yang keluar dari mulut seorang penduduk kampung yang sebelah sana.
“Pengajian
remaja hanya dijadikan kedok saja. Padahal tujuan utamanya adalah ajang untuk
mencari jodoh. Pengajian remaja macam apa itu?!” Seloroh warga lain yang pada
awal pembentukan pengajian remaja ini memang sudah sangat anti pati.
“Hah!
Akang jadian dengan Hena? Ooooh, pantesan aja kalau pas pengajian mingguan
sedang ada Akang, Hena sangat semangat. Itu tho alasannya.” Ucap remaja putri
lain yang mungkin ada sedikit rasa cemburu di dadanya.
“Akang
mendapatkan Hena? Waduh! Saya kalah siap euy!” Tanggapan sebagian kecil remaja
yang menaruh hati pada Hena.
“Ooooh.
Begitu ya? Sepertinya mereka dijodohin itu sama Abah Haji.” Rumpian salah-satu
kelompok ibu-ibu.
“Wajarlah,
mereka sama-sama baik. Memang pantas kalau mereka jadi.” Tanggapan warga
kampung di sebelah sananya lagi. Dan masih banyak lagi tanggapan yang
mengeluarkan berupa bunyi-bunyian lainnya.
Kabar
hangat ini akhirnya tiba juga di Bandung. Akang mendengarnya dari mulut sang
adik perempuannya langsung. Ketika itu, kedua kakak-beradik itu sedang
mengobrol saling tanya kabar. Hingga akhirnya terjadilah perbincangan itu.
“Katanya
Akang pacaran ya dengan Hena?” tanya sang adik.
“Hah?”
Dada Akang terhenyak mendengar pertanyaan itu. “Kata siapa?”
“Itu
kata orang-orang.”
“Gak.
Itu tidak benar. Itu Cuma Gosip aja mungkin, Dek.” Akang mencoba menerka-nerka
sekaligus meluruskan.
“Tapi
beneran juga gak papa kali, Kang. Hena kan cantik, hehe...,” canda sang adik
sebelum topik pembicaran beralih ke tema yang lain.
Pasca
obrolan dengan adik perempuannya, Akang terbengong menatap langit-langit kosan.
Kabar itu? kabar tidak benar itu? Dari mana bermula? Akang bertanya-tanya.
Berbagai skenario coba-coba Akang buat. Tapi, kesemua skenario itu tidak ada
satupun yang menghasilkan jawaban yang memuaskan bagi batin Akang. Justru,
tersebab percobaan pemikiran itu membawa Akang secara tidak sengaja membuka
sebuah kotak pada memori hatinya. Adalah Hena. Seperti percikan api di hutan
dengan daun-daun yang sudah kering, perlahan api itu membesar dan membesar.
Hingga melahap seluruh isi hutan itu. Seperti itulah kondisi hati Akang
sekarang. Bayangannya kepada Hena mulai menyeruak lagi.
Tanpa
berpikir dua kali, Akang mengambil hape. Ia mengetik sebuah pesan yang isinya
numayan panjang.
“Bismillahirrahmaanirrahiim.”
KLIK
Pesan
terkirim.
Assalamu’alaikum. Punten Na. Barang kali
Hena sudah mendapat kabar tentang sebuah berita yang membicarakan Akang dan Na.
Akang baru dapat kabar ini barusan. Jika Na sudah mendengar, ditanggapi dengan
bijak aja ya. Barang kali berita itu sedikit mengganggu hati Na.
Satu menit
Akang menunggu. Belum ada balasan.
Lima
menit menunggu. Belum juga ada balasan dari Hena.
Setengah
jam berlalu. Balasan itu tidak kunjung datang juga.
Acara
menunggu pesan balasan itu terpotong oleh adzan ashar. Akang beranjak dengan
malas. Kenapa tidak ada balasan? Tanya Akang pada diri sendiri. Dan, sebuah
pertanyaan itu memunculkan keinginan Akang untuk mencoba menghubungi Hena lagi
nanti.
***
Ibarat
aliran air yang dibendung, seperti itulah apa yang Akang rasakan pada Hena.
Rasa ketertarikannya pada remaja putri yang satu ini, yang sempat dia bendung
selama satu tahun terakhir ini, tanggulnya jebol karena berita yang barusan
Akang dengar. Berita itu, berita tentang dirinya dan remaja putri itu kembali
memicu getaran di hatinya. Seperti bendungan dimanapun di dunia ini, saat
jebol, alirannya akan lebih deras dari yang biasanya. Sebab tersimpan tenaga
super besar yang telah lama mengendap. Gelombang deras menghantam dada Akang
dan menyuruhnya untuk segera menghubungi Hena lagi. Sekuat jiwa Akang mencoba
menahan gelombang itu. Namun sayang seribu kali sayang, Akang tak pernah mampu
meghalau gelombang super besar itu.
Tidak apa-apa, Kang. InsyaAllah Hena tidak
terganggu oleh berita itu.
Pesan
balasan yang diberikan Hena. Satu menit sebelumnya, Akang mencoba mengirim
pesan yang hampir serupa dengan yang kemarin ia berikan. Akang tersenyum
mendapati jawaban Hena yang seperti ini. setidaknya jawaban itu sesuai dengan
apa yang ia harapkan.
Dada
Akang kembali bergejolak. Apakah saling berkirim pesan kali ini hanya akan
berhenti sampai disini saja? Atau akan terus dilajutkan dengan bahasan yang
lainnya? Kemudian, jika berlanjut, topik apakah yang akan mereka bahas? Akang
kembali berpikir mencari-cari itu.
Bibir
Akang menyeringai. Sepertinya dia telah menemukan topik yang akan coba dibahas.
Telah lama Akang ingin mengetahui jawaban atas persoalan ini. Jawaban Atas
sebuah pertanyaan yang telah lama bersemayam di sudut hati Akang. Lalu
mungkinkah jawaban itu akan Akang temukan pada hari ini?
Tujuan
inti dari pertanyaan itu adalah untuk mengetahui sebuah perasaan yang ada pada dada
Hena. Apakah pada dada itu tersimpan perasaan yang serupa dengan apa yang ada
pada dada Akang? Itu saja. Tidak lebih tidak kurang. Dan, meskipun nanti
jawabannya serupa, Akang tidak akan melangkah lagi. Dia akan menghentikan
langkahnya hanya sampai pada titik itu saja. Meskipun misalnya nanti langkah
itu akan berlanjut, pastinya tidak akan pernah bisa. Sebab masih ada sebuah protal
yang menghalangi mereka. Yakni usia. Akang masih kuliah. Terlebih Hena yang
masih sekolah. Sekali lagi. Akang hanya ingin mengetahui perasaan Hena terhadap
dirinya saja. Itu sudah cukup untuk menenangkan hatinya yang kini mulai
bergejolak lagi. Itu saja sudah cukup. Itu saja sudah cukup.
Na target menikah pada usia berapa?
Akhirnya,
Akang berani juga memencet tombol kirim. Tidak begitu lama, Hena langsung
membalas.
Hah. Pertanyaannya berat, Kang. Susah
menjawabnya. Lebih gampang jawab solam matematika, atau fisika, hehe. Kalau
soal itu sepertinya masih jauh, Kang. Hena kan masih sekolah.
Belum
sempat Akang membalas, Hena sudah mengirim sebuah pesan lagi.
Ada angin apa ya Akang menanyakan hal ini?
Akang
tersenyum. Sepertinya semuanya berjalan dengan apa yang Akang harapkan.
Jawabannya mungkin agak panjang, Na. Tapi
coba Akang persingkat saja ya. Tapi sebelumnya Akang mau tanya dulu nih.
Beneran Na mau tahu jawabannya?
Hena membalas.
Mangga atuh, Hena ingin tahu. :-)
Akang
tersenyum lagi. Manis sekali senyumannya.
“Bismillahirrahmaanirrahiim.” Akang
meyakinkan diri.
Akang gak tahu takdir Allah nanti seperti
apa. Akang sebagai manusia hanya bisa berencana dan berdoa aja. dikabulkan atau
tidaknya itumah hak Allah... Nah, kalo Akang boleh berkata jujur. Akang kan
udah numayan tua (hehe), rencananya, jika lancar, tiga tahun dari sekarang,
jika ada jalannya, Akang hendak melamar Na untuk jadi pendamping hidup Akang
(walaupun Akang belum tahu nanti akan diterima atau tidak, tapi Akang akan
tetap mencoba). Soalnya saat itu kan Na baru keluar dari pesantren. dan akang
juga gak tahu apakah Na memiliki hati atau tidak pada Akang.>>> (Masih
berlanjut)
Isi
pesannya terlalu banyak. Padahal ini sudah Akang ringkas.
Akang
mengirim pesan lanjutannya.
Kemudian, Na kan tahu, dalam islam interaksi
dengan lawan jenis itu dibatasi. Akang ingin, jika Na memiliki hati yg sama dgn
Akang. Akang harap kita tetap menjaga interaksi kita untuk tidak berlebihan.
Kita saling mengingatkan saja dalam hal kebaikan ya. >>> (Masih ada
lanjutannya)
Akang
mengetik pesan lanjutannya lagi.
Itulah rencana
Akang. Cuman, Akang tidak tahu kedepannya takdir Allah itu seperti apa. Apakah
kita memang berjodoh atau tidak. Untuk hal itu, Akang serahkan saja pada Allah.
Nah, kalaupun nanti tidak berjodoh. Kita tetap tidak akan rugi karena interaksi
kita tidak berlebihan. Kemudian, kita juga tidak rugi karena telah mendapatkan
ilmu dari saling mengingatkan pada sebelum-sebelumnya ini... Intinya, kita
serahkan saja kedepannya pada Allah. karena Dia tahu apa yg terbaik untk
makhlukNya...
Akang terdiam sejenak.
Ia tidak tahu, reaksi apa yang Hena munculkan nun jauh di Banten bagian selatan
sana.
Oh, itu
jawabannya. :-)
Satu saja sebenarnya
yang membuat Hena berani membubuhkan lambang senyuman di akhir pesannya. Adalah
“Serahkan semuanya pada sang Takdir”.
Kalimat inti inilah yang membuat perasaan Hena serasa lega. Seluas lapangan
sepak bola. Bahkan lebih. Sebab siapalah yang mengetahui hari esok? Hanya Allah
lah yang mengetahui. Tugas makhluk hanyalah menjalani hari ini dengan sebaik-baiknya.
Akang boleh
bertanya satu hal lagi?
Senyuman di bibir Hena
terhapus saat membaca pesan dari Akang yang ternyata masih berlanjut. Masih ada
lagi? Gumam Hena.
Mangga atuh,
Kang.
Akang mengirim lagi.
Tapi sebelumnya
Akang minta Na jawab dengan jujur pertanyaan Akang ya. Jawab apa adanya saja. Sesuai
dengan apa kata hati Na.
Kening Hena mulai
melipat.
InsyaAllah,
Kang.
Hena sedikit was-was
menanti isi pesan dari Akang. Dan akhirnya tiba juga.
Tadi kan Akang
sudah mengatakan semuanya tentang isi hati Akang untuk Hena. Nah, sekarang
Akang ingin tahu perasaan Hena. Apakah isi hati Na serupa dengan yang Akang
rasakan? Na, jangan khawatir. Setelah Na menjawab nanti, Akang tidak akan
melakukan hal yang tidak-tidak. Akang hanya ingin tahu saja seperti apa
perasaan Na untuk Akang. Itu saja.
Pesan balasan dari Hena
baru tiba ke hape Akang setelah lima menit waktu berlalu.
Perasaan
seperti apa maksudnya, Kang?
Belum satu menit,
pesan Akang sudah tiba.
Apakah Na
memiliki perasaan yang sama dengan perasaan Akang terhadap Na?
Lagi-lagi. Pesan Hena baru
tiba setelah lima menit waktu berlalu.
Na harus
jawab?
Beberapa detik
berjalan. Pesan Akang sudah tiba lagi.
Iya... :-)
Satu menit berlalu. Pesan
jawaban Hena belum tiba.
Lima menit berjalan.
Belum juga ada getaran di hape Akang.
Tujuh menit. Akang masih
diam menatap layar hapenya.
Sepuluh menit. Akang masih
setia memandangi layar hape.
Lima belas menit. Semakin
erat Akang menggenggam hape. Kedua matanya masih terfokus pada hape di
genggamannya.
DRRRT DRRRT DRRRRT
Hepe Akang akhirnya
bergetar juga. Pelan-pelan Akang membuka pesan dari Hena.
Bagi Hena,
Akang adalah seorang pemuda yang sangat istimewa. Jujur, Hena merasa gembira
saat bisa akrab dengan Akang. Dan Hena merasakan sebuah kenyamanan setiap kali
sedang berinteraksi dengan Akang. Mungkin, jika ada perempuan lain yang tahu dengan
kedekatan kita ini. Hena yakin, sepertinya mereka akan merasa cemburu dan menginginkan
posisinya berada pada posisi Hena sekarang... Tapi, jika untuk perasaan (yang
orang-orang sebut cinta), jujur, Hena tidak memiliki perasaan itu untuk Akang. Perasaan
Hena biasa-biasa saja... Sebelumnya Hena memohon maaf Kang ya, apabila jawaban
Hena ini agak kurang berkenan di hati Akang. Sekali lagi. Jujur, Hena sangat
bahagia bisa dekat dengan pemuda istimewa seperti Akang.
Akang mematung menatap
layar hape. Detak dadanya seperti berhenti bergerak. Bumi seperti sedang
berhenti berotasi. Tiga menit berjalan Akang masih seperti tak sadarkan diri.
penyebabnya hanya satu saja. Sebuah perkiraan indah di awal tidak terjadi pada
dirinya. Ternyata, Akang salah tebak. Ternyata, Akang salah duga. Kenyataan berjalan
membelok pada jalan yang tidak Akang perkirakan. Akang masih mematung. Terpaku menatap
layar hape.
Maafkan Hena,
Kang ya. Hena harap silaturahim kita tetap terjaga meskipun setelah peristiwa
ini terjadi. Jujur, Akang adalah pemuda istimewa bagi Hena.
Jemari Akang bergetar
merengkuh hape. Jari-jarinya gemeletak di atas keypadnya. Akang hendak mengetik
sebuah jawaban untuk Hena. Tapi berat sekali jari itu untuk digerakan. Berat sekali.
Jemari Akang masih
bergetar. Perlahan Akang memencet tombol kirim.
Hena tidak
usah meminta maaf. InsyaAllah Akang terima dengan ikhlas semua keputusan Na.
Mungkin takdirNya memang harus seprti ini Na.
Akang melepaskan hape
dari genggamannya. Hape kecil itu berdebam menghantam kasur lipat tipis. Akang
rebahan. Ia menarik nafas panjang. Kedua matanya ia pejamkan. Dalam sekali.
Sepertinya, yang terjadi pada Akang sekarang ini disebabkan oleh kurangnya
kesiap siagaan hati Akang dalam menerima jawaban yang tidak sesuai dengan
harapannya. Akang lupa. Saat memulai langkah tadi, ia tidak memperkirakan
kemungkinan terburuk yang akan terjadi.
Akang kembali menarik
nafas panjang. Matanya masih terpejam dalam.
Semoga saja. Jika takdir
memang menggariskan Gunung Api Anak Krakatau di Selat Sunda, kelak akan meletus
kembali. Berharap, semua penduduk yang ada di wilayah pantai Barat Banten,
telah siap siaga dalam menghadapi bencana yang pernah terjadi pada tahun 1883
itu. Sebuah bancana maha dahsyat yang mampu menelan korban sebanyak 10.000
jiwa. Semoga saja mereka telah siap siaga dalam mepersiapkan diri untuk menghadapai
maha bencana ini. Sebab, jika penduduk tidak siap, pasti kesedihanlah yang akan
muncul setelahnya. Seperti rintihan para korban pada bencana 1883. Seperti rintihan
hati Akang hari ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar