Akang
baru sadar, ternyata tidak mudah untuk menafsirkan hati seorang wanita. Salah-salah
bisa fatal akibatnya. Seperti apa yang telah terjadi pada dirinya, pada
hatinya. Akang keliru dalam mengartikan apa yang ada di dalam dada Hena, wanita
yang dicintainya.
Bersamaan
dengan itu, Akang juga baru sadar. Ternyata, letak sesungguhnya puncak
tertinggi, lautan terdalam, samudera terluas, hutan paling rimba dan planet
terjauh,semuanya, semua itu ada di dalam hati seorang wanita. Ya, semua tempat
misterius itu ada di sana. Bukan di tempat yang lain.
Akang
masih belum percaya sepenuhnya dengan apa yang telah terjadi pada hatinya.
Setidaknya hingga detik ini. Padahal, sudah lewat beberapa purnama semanjak peristiwa
yang menyentak hati Akang itu terjadi. Kini harapan Akang telah pupus. Ia harus
merelakan satu mimpinya tidak bisa diwujudkan. Sebuah mimpi yang katanya akan
mempersunting sang kembang desa saat Akang dan wanita pujaan itu telah
merampungkan sekolahnya masing-masing. Akang harus rela melupakan mimpi yang
satu ini.
Tapi,
sedikit harapan masih bercokol di dada Akang. Sebuah tunas harapan yang tumbuh
di tanah keyakinan kepada Kemaha Kuasaan Allah. Bahwa Allah itu Maha
membolak-balik hati setiap hambaNya. Akang meyakini itu. Dan, semoga nanti,
besok, lusa, atau beberapa hari kedepan, hati Hena bisa merasakan apa yang
sekarang Akang rasakan padanya. Semoga. Akang sangat berharap akan hal itu bisa
terjadi. Sangat berharap.
Namun,
semua angin segar keyakinan itu seperti terasa percuma saja kala Akang
mengingat beberapa kenangan dalam hidupnya. Kenangan tentang beberapa orang
wanita yang pernah mengungkapkan perasaan mereka pada Akang. Kenangan tentang
betapa sulitnya Akang mencari kalimat agar beberapa wanita yang mendengarnya
tidak sakit hati dibuatnya. Kenangan tentang sebagian dari wanita yang telah
jelas-jelas diberi jawaban A, akan tetapi mereka masih mencoba untuk menanyakan
hal serupa kepada Akang, dan berharap jawaban Akang akan berganti menjadi B. Ya,
secuil harapan itu sirna setiap kali Akang mengingat memori ini. Akang tahu, sangat
sulit bagi Akang merubah jawaban dari A menjadi B. Dari “Tidak” menjadi “Ya”. Akang
berpikir, mungkin demikian juga bagi Hena kepada Akang.
Hei!
Allah itu Maha segala-galanya! Apa yang tidak bisa dilakukan olehNya?! Merubah
siang menjadi malam dan malam menjadi siang saja mampu, apalagi hanya sekedar
merubah hati seorang wanita. Itu sangat mudah bagiNya. Hati kecil Akang
memprotes.
Tunas harapan
di hati Akang tumbuh kembali. Tapi, sekejap kemudian tunas itu menciut lagi.
Sebab Akang kembali memikirkan tentang kenangannya. Kenangan dirinya dengan
wanita-wanita itu. Akang mencoba menyelami perasaannya. Ia menelusuri berbagai
skenario hatinya untuk membuka diri kepada salah-satu dari wanita-wanita itu. Sialnya,
Akang tidak menemukan satu pun jalan menuju tujuan itu. Skenario apapun yang
ditempuh, jawabannya tetap satu. Yaitu B. “Tidak!”. Akang berpikir, mungkin
demikian juga dengan Hena kepada dirinya. Meskipun nanti Akang mencoba untuk
yang kedua kali, ataupun kesekian kalinya, jawabannya akan tetap sama, yaitu
tidak. Bahwa hati kembang desa itu tidak serupa dengan hati milik Akang.
Sekali
lagi Akang berpikir, bahwa dirinya memang harus benar-benar melupakan wanita
yang satu ini. Mustahil bagi Akang untuk bisa memiliki Hena, sang kembang desa
pujaan hatinya. Saat berpikir seperti itu, Akang juga sadar, bahwa semuanya
tidak akan mudah. Jalan ini pasti akan sangat sulit dilalui. Sebuah ruang di
salah satu sudut hati Akang yang berisi kenangannya dengan Hena pasti akan
sulit untuk dihilangkan. Pasti akan sangat sulit. Pasti. Kenangan itu ibarat
sebuah benda istimewa yang disimpan pada salah satu sudut kamar. Sebuah benda
itu lama sekali tersimpan di sana. Hingga membuat sang pemilik kamar menganggap
jika benda itu adalah sudah menjadi bagian utuh dari kamar miliknya.
Lalu,
apa yang akan terjadi pada sang pemilik kamar saat benda yang sudah menyatu
dengan kamarnya itu hilang? Sirna dari kamarnya? Pastilah sang pemilik kamar
itu akan merasa kehilangan. Seperti ada yang kurang dari kamar miliknya. Akan
membutuhkan banyak waktu bagi sang pemilik kamar untuk bisa melupakan benda itu.
Pasti, untuk beberapa saat --yang bisa dikatakan cukup lama, dan mungkin sangat
lama-- sang pemilik kamar itu akan terus menatap pada ruang kosong yang
awalanya ditempati oleh sebuah benda yang hilang itu. Mungkin, demikian pula
dengan Akang terhadap kenangannya pada Hena. Jika diumpamakan, Akang adalah
sang pemilik kamar, hati Akang adalah kamarnya, dan benda yang hilang itu
adalah kenangannya bersama Hena. Ya, mungkin seperti itu.
Nampaknya,
Akang memang benar-benar harus berjuang keras agar mampu keluar dari
permasalahan hati ini. Satu saja jalan yang baru ada di kepala Akang saat ini.
Sebuah jalan yang digunakannya untuk pergi jauh meninggalkan kenangannya dengan
Hena. Yaitu skripsi yang sedang digarap olehnya. Akang akan benar-benar
menumpahkan seluruh tenaga dan pikirnnya hanya untuk skripsinya ini. Bukan
untuk yang lain. Semoga dengan seperti ini, Akang terbantu untuk segera bisa
melupakan Hena. Meskipun mungkin hanya secuil.
Sepertinya
Akang sudah mulai yakin dengan jalan yang akan ditempuhnya ini. Akang akan
fokus untuk skripsi. Setelah itu wisuda kelulusannya. Kemudian segera mendaftar
untuk mengikuti program pemerintah yang menugaskan para sarjana muda untuk mengajar
selama satu tahun di tempat-tempat yang terpencil.Akang sangat berharap bisa
diterima menjadi salah satu dari pasukan sarjana muda itu. Selain mengabdi
kepada negara, niat Akang lainnya adalah untuk menengkan pikirannya di tempat
terpencil itu. Akang berharap, semoga saja, ditempat itu dia bisa benar-benar
melupakan sang kembang desa yang kini masih belum mau pergi dari hatinya.
Semoga saja,
di tempat yang baru nanti, Akang bisa membuka lembar baru pada buku
kehidupannya. Akang bisa menuliskan cerita baru, membacanya, lalu tertawa
dibuatnya. Kemudian dengan sendirinya bisa melupakan cerita-cerita pahit pada
halaman sebelum-sebelumnya. Akang sangat berharap bisa seperti itu. Bisa
kembali menjalani kehidupannya dengan normal lagi.
***
TREK
Keras
sekali Akang menekan tombol enter pada keyboard laptopnya. Kursor yang berkedip
di layar laptop berpindah ke bawah. Setelah itu Akang mengarahkan pointer ke
pojok kiri atas. Akang mengarahkan pointer berlambang tanda panah kecil itu
pada logo disket. Kemudian Akang meng-klik pas pada logo bergambar disket kecil
itu. Secara otomatis, berhalaman-halaman instrumen penelitian skripsi Akang
telah tersimpan di memori laptopnya.
“Alhamdulillahirrabbil’alamiin,” gumam
Akang dengan wajah seperti wajahnya orang yang baru keluar dari toilet umum. Lega.
Berkurang satu tantangan hari ini. Akang menarik nafas panjang, lalu menggeliat.
Ia mencoba meregangkan otot tubuhnya yang beberapa jam kebelakang mulai terasa
kaku. Semoga saja, hari Senin besok, revisi instrumen penelitian ini sudah bisa
disetujui oleh dosen pembimbing. Dengan begitu, Akang bisa langsung turun ke
lapangan untuk melakukan penlitian skripsinya. Semoga.
Akang
melirik kebelakang, Mamat sudah melayang di alam mimpinya. Teman satu kamarnya
itu sedang asyik memeluk bantal Akang yang dijarah menjadi guling. Akang
tersenyum melihat pemandangan itu. Kemudian Akang mengarahkan tatapannya pada
dinding di hadapannya. Wajah Akang menengadah. Jam dinding sudah menunjukan
pukul setengah sebelas malam. Sejenak Akang berpikir. Jika malam Minggu ini dia
sedang ada di kampung, mungkin pada waktu ini dia baru saja tiba di rumah
setelah melaksanakan rutinitas pengajian remaja.
Astaghfirullahal’adzim!
Akang memejamkan matanya. Kenapa
saya harus mengingat hal yang satu ini? protes Akang pada dirinya. Secara
otomatis, pikiran Akang langsung tertuju pada sang kembang desa yang jelas-jelas
ingin segera Akang hilangkan dari hatinya.
Astaghfirullahal’adzim!
Sekali lagi Akang menggumamkan
istighfar dalam hati.
Akang
membuka matanya kembali. Segera ia mematikan laptopnya yang masih menyala. Saat
layar laptopnya padam, Akang langsung menutup alat elektronik berbentuk kotak
tipis itu.
Akang
merubah posisi duduknya. Pelan-pelan ia menarik bantal miliknya yang sedang
dipeluk Mamat. Setelah berhasil, Akang meletakan bantal empuk itu pada
posisinya semula.
BUUK
BUUK BUUK
Akang
menepuk-nepuk permukaan bantal miliknya. Disiapkan serapih mungkin untuk
menyangga kepalanya saat tidur nanti. Satu saja yang ada di benak Akang saat
ini. Yakni langsung tidur. Ia tidak akan membiarkan bayangannya lari
kemana-mana. Terlebih jika lamunan itu mengarah pada seorang kembang desa
yangmasih bercokol di sudut hatinya. Jika sudah begitu, mati-matian Akang
segera memotong pikiran itu.
Belum
sempat rebahan, hape Akang bergetar. Ada sebuah pesan masuk.
SubhanAllah, Kang. Pengajian tadi rame.
Anak-anak diskusinya juga seru. Kapan Akang libur? Kalau tadi ada Akang mungkin
diskusinya jadi tambah seru. Oya, A Riri titip salam untuk Akang.
Akang mengelus permukaan
bantalnya. Kemudia langsung membenamkan kepalanya pada busa empuk itu. Sambil
tiduran Akang membalas pesan Risti.
Jika Senin besok instrumennya sudah
disetujui, hari Selasanya sudah bisa penelitian. Jadi, hari itu Akang sudah
bisa mudik. Soalnya tempat penelitiannya di kecamatan kita. do’ain atuh supaya
dilancarkan semuanya ya. Sip, sampaikan ke A Riri, wa’alaikumussalam gitu...
Akang meletakan hape di lantai
samping tubuhnya. Sambil menunggu pesan Risti datang lagi, Akang memasang
selimut tebal untuk melindungi kulitnya dari sengatan dinginnya udara malam
Bandung.
DRRRT
DRRRT DRRRT
Pesan
kembali datang pada hape Akang. Dengan tetap tubuhnya yang terbungkus selimut,
dan hanya mengeluarkan tangan kanannya saja, Akang membaca pesan.
Pasti dido’ainmah Kang. A Riri tanya,
katanya berapa lama Akang penelitiannya?
Akang mengetik balasan.
Akang menjadwalnya sebulan. Tapi, jika
penelitiannya bisa selesai lebih cepat, mungkin kurang dari sebulan pun sudah
kembal ke Bandung lagi...
Tidak begitu lama, Risti kembali
mengirim pesan.
Wah, mudik kali ini sepertinya akan terasa
istimewa nih, hehe.
Akang melipat dahinya. Istimewa?
Akang belum mengerti.
Istimewa?
Risti
menjawab dengan sangat cepat.
Tadi pas pengajian ada kembang desa, Kang.
Katanya dia sedang libur tahun ajaran baru. Sebentar lagi dia sudah jadi kelas
tiga. Oya, liburnya sebulan lho. :-)
Sesaat setelah membaca pesan
ini, kedua mata Akang langsung menutup. Tangan kanannya yang sedang menggenggam
hape, seperti tidak memiliki tenaga lagi dan langsung terhempas pada kasur.
Akang membuka kembali kedua matnya. Justru itu adalah hal yang sangat tidak
Akang inginkan terjadi. Akang menarik nafas dalam. Sepertinya hari-hari
penelitian nanti akan terasa sangat berat. Terlebih jika takdir menggariskan
Akang bisa melihat Hena. Sang kembang desa yang mati-matian berusaha Akang
hilangkan dari hatinya. Meskipun rasa cinta Akang masih sangat dalam untuk
wanita itu.
Sepertinya,
berita ini semakin menebalkan tekad Akang untuk bisa menyelesaikan
penelitiannya secepat mungkin. Akang akan berusaha lebih keras agar penelitian
ini segera berakhir, dan segera kembali ke Bandung untuk mengolah data. Segera
balik ke Bandung untuk merampungkan bab empat dan bab limanya. Segera ke
Bandung lagi untuk membereskan skripsinya. Lalu wisuda. Kemudian langsung meluncur
ke sebuah tempat terpencil untuk mengabdi selama satu tahun di sana.
Selainmengabdi, Akang akan menyegerakan kembali otak dan hatinya di tanah
rantauan nanti.
Akang cepat lulus ya. Cepat dapat kerjaan.
Kumpulin uang yang banyak. Setahun lagi kembang desanya sudah lulus tuh. Ini
kata A Riri, Kang. Bukan kata Risti, hehe.
Pesan Risti datang lagi.
Akang
tersenyum tersebab pesan yang satu ini. Tidak! Senyuaman ini bukan karena rasa
bahagia yang ada di hati Akang. Senyum ini lebih karena Risti dan Riri yang
belum mengetahui kisah pahit yang sebenarnya.
Akang
tersenyum lagi. Sembari mengetik pesan balasan.
Sudah malam nih. Jangan lupa baca do’a
ya...
Risti segera membalas.
Yey. Kita belum ngantuk lagi. Kita belum
mau tidur.
Akang membalas lagi.
Memang siapa yang nyuruh baca do’a tidur?
Akang bukan mengingatkan untuk baca do’a itu. Tapi mengingatkan untuk baca do’a
yang satunya lagi... :-D
Tidak lama, Risti kembali
mengirim pesan.
Hehe. :-) :-) :-)
Bibir Akang melebar. Kali ini
senyumnya benar-benar mampu membuat hati Akang bahagia.
Senyuman ini bercampur dengan senyuman geli. Sepertinya Risti dan Riri mengerti
maksud Akang.
Akang
tersenyum lagi. Dan tanpa memberikan sedikitpun celah bagi otaknya untuk
kembali berpikir. Akang menutup kedua matanya. Semoga, saat kedua matanya
terbuka kembali. Akang sudah mendapati dirinya menjadi seorang wisudawan.
Semoga, sudah mendapati dirinya berada pada sebuah tempat terpencil yang sangat
elok pemandangannya. Semoga. Dan semoga.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar