BRUUUK
Akang
melempar plastik bening yang berisi tumpukan kertas instrumen penelitian ke
meje kecil di hadapannya. Segepok kertas itu bersatu dengan instrumen bekas
penelitian kemarin-kemarin. Dan kini jumlahnya sudah menggunung. Tidak terasa,
saking sibuknya, penelitian untuk skripsinya telah rampung dilaksanakan. Dan
sesuai dengan harapan Akang sebelumnya, yakniselesai hanya dengan waktu tujuh
hari saja.
Akang
melepas buku kecil yang ia gantungkan di lehernya. Buku kecil itu nasibnya
serupa dengan kertas-kertas instrumen. Akang melemparnya pada meja kecil.
Akang
berjalan menuju balik pintu kamarnya. Satu-satu ia melepas kancing kemeja
pendek yang dikenakan. Setelah kancing itu copot semua, Akang melepas
kemejanya, lalu digantungkan pada paku di balik pintu. Kemudian pemuda dengan
wajah lelah itu menghampiri pulau kapuk yang sedari tadi sudah
memanggil-manggilnya untuk segera istirahat.
BRUUUK
Akang
membiarkan tubuhnya terhempas pada kasur. Sebelum memejamkan matanya, ia menyempatkan
untuk melihat layar hape yang tergeletak di samping bantal. Jam dua, gumam
Akang dalam hati. Numayan, masih satu jam lagi ke waktu ashar. Tidur satu jam
sepertinya sudah lebih dari cukup untuk meregangkan kembali syaraf yang telah
kaku.
Akang
menarik nafas panjang. Beberapa detik kemudian kedua matanya terpejam. Akang
tidur.
***
Suara
sayup-sayup adzan ashar menyaringkan
tidur Akang. Laki-laki itu menggeliat di atas kasurnya, sudah seperti kucing
yang baru bangun tidur. Sekuat tenaga Akang melawan kantuknya yang masih
memeluk tubuhnya. Pelan-pelan ia mengangkat badannya. Lalu duduk di samping
risbang. Matanya masih merem melek. Separuh hatinya mengajak Akang untuk tidur
lagi. Tapi separuh hati yang lain mengingatkan Akang untuk segera bangun dan
mengambil air wudhu, lalu melangkah menuju mushola untuk melaksanakan solat
berjamaah.
“Mmmmhhh.”
Akang menggeliat lagi. Matanya masih mengerjap-ngerjap.
Kumandang
adzan hampir menemui ujungnya. Akang berdiri. Kemudian melangkah pelan menuju
pintu. Matanya masih merem melek.
JLEDDUGG
Sial!
Jidat Akang menyundul pintu kamar. Pemuda itu belum sepenuhnya sadar, ternyata
pintu kamarnya masih tertutup. Ia mengira jika pintu itu telah terbuka. Akibat
benturan itu, kesadaran Akang kembali pulih. Menjadi fullseratus persen. Bibirnya menyeringai menahan perih. Tangannya
gesit mengelus-elus jidatnya.
Akang
celingukan menatap setiap sudut kamar. Beruntung hanya ada dirinya seorang.
Akang tidak bisa membayangkan jika adik perempuannya melihat kejadian memalukan
ini. Dia pasti habis-habisan diledek sang adik.
Akang
membuka pintu. Terus melangkah keluar hendak menuju kamar mandi. Tangan Akang
masih setia mengelus jidatnya.
***
Di
dalam mushola masih ada beberapa orang tua yang sedang duduk sila memanjatkan
do’a. Akang melangkah pelan ke luar. Satu langkah keluar pintu, pandangan Akang
mendarat pada sesosok pria setengah baya yang hendak mengenakan sandalnya. Dia
adalah Abah haji.
Hampir
bersamaan, Abah haji juga tak sengaja menghujamkan pandangannya pada Akang yangbaru
keluar dari mushola.
“Akang,”
Abah memasang wajah numayan terkejut. Kedua alisnya terangkat beberapa senti.
“Bah,”
Akang mengangguk sambil tersenyum.
Akang menghampiri
Abah haji. Lalu menyalami punggung tangan kanannya.
“Kapan
datangnya?” Abah haji meletakan tangannya pada pundak kiri Akang.
“Minggu
lalu, Bah,” jawab Akang masih agak kikuk.
“Lho, minggu
lalu? kok Abah gak pernah lihat ya?” Abah melepaskan tangannya dari pundak
Akang.
“Seminggu
ini Akang fokus penelitian skripsi, Bah,” jawab Akang seadanya.
“Ooh,”
Abah manggut-manggut. “Hayu,” tangan Abah mengisyaratkan untuk pulang bareng.
Kedua laki-laki yang berbeda jauh usianya itu melangkah bersama.
Sepanjang
perjalanan yang singkat itu kedua laki-laki beda usia itu masih terus
melanjutkan obrolan mereka. Tidak lebih dari dua menit, mereka sudah tiba di
jalan depan rumah Abah haji. Abah haji menghentikan langkah. Demikina juga
dengan Akang. Mereka saling berhadapan.
“Kapan
Akang ke Bandung lagi?”
“InsyaAllah besok siang, Bah.”
Akang
menghirup udara dengan tenang. Ada sedikit kelegaan di dadanya. Beruntung
pertanyaan yang Abah haji ajukan adalah “Kapan ke Bandung lagi?”. Akang tidak
bisa membayangkan jika pertanyaan itu berbunyi “Sampai kapan liburnya?”. Dan
mau tidak mau mengharuskan Akang untuk menjawab bahwa liburnya masih tiga
minggu lagi. Jika demikian, apa yang akan terjadi setelahnya sudah bisa Akang
ramalkan. Abah haji pasti akan menahan waktu kepulangan Akang. Beliau pasti
meminta Akang untuk kembali membantunya untuk mengajar anak-anak mengaji. Perkara
ini bukan menyoal mau atau tidaknya Akang mengemban tugas mulia itu. Tapi ada
sesuatu di baliknya yang mengharuskan Akang untuk menghindari tugas itu. Adalah
putrinya Abah haji sendiri. Yakni Hena. Dikhawatirkan, jika Akang melihat sang
kembang desa itu lagi, maka misi Akang untuk bisa melupakan seorang wanita
cantik yang sayangnya tidak bisa Akang miliki itu akan menjadi sulit. Terlebih
jika Akang lebih lama lagi melihatnya. Pasti akan lebih sulit lagi.
“Besok?”
Abah haji terkejut.
“Iya,
Bah. Soalnya Akang harus segera mengolah data hasil penelitiannya. Lebih cepat
lebih baik, Bah,” Akang menegaskan jawabannya. Sebuah senyumanmengiringi
jawaban itu. Dalam hati Akang berujar, Sesungguhnya
di rumah juga bisa untuk mengolah data itu, Bah. Tapi ada hal lain yang
mengharuskan saya segera kembali ke Bandung lagi.
“Kalo
gitu ba’da magrib nanti Akang ke rumah Abah ya. Bantu Abah untuk ngajar
anak-anak. Numayan satu hari juga,” Abah menyentuh pundak Akang.
Bibir
Akang tersenyum kikuk. Ia mengelus-elus leher belakangnya.
“InsyaAllah, Bah,” jawab Akang sekenanya.
Di
sana, di dalam rumah Abah haji. Tepatnya di balik jendela dekat pintu depan.
Seorang wanita sedang berdiri di balik gorden. Ia menatap keluar melalui celah
jendela kaca. Memandangi dua orang laki-laki berbeda usia yang sedang berdiri
berhadapan di pinggir jalan.
“Na,”
panggilan Ummi datang dengan tiba-tiba. orang yang dipanggil menoleh cepat ke
arah sumber suara.
“Ummi!”
Hena memasang wajah kaget. Ia seperti orang yang kepergok sedang melakukan
sebuah kesalahan. Buru-buru Hena memperbaiki sikapnya. Sekuat tenaga ia
sembunyikan sikap salah tingkahnya. Tapi sayang, sang Ummi keburu membaca
gelagat aneh itu.
Hena
meleos. Ia berjalan cepat menuju kamarnya.
Pandangan
Ummi mengikuti kepergian Hena hingga sang putrinya itu hilang ditelan kamar.Ummi
mengelengkan kepalanya. Belum begitu paham dengan apa yang telah terjadi pada
putri kesayangannya. Apa gerangan yang membuatnya jadi salah tingkah begitu?
Ummi
penasaran. Ia melangkah menuju tempat Hena tadi berdiri. Ummi berdiri tepat di
posisi tadi Hena berdiri. Pandangannya ia lempar ke luar jendela. Di sana, beberapa
belas meter di pinggir jalan. Ummi melihat dengan jelas dua orang laki-laki berbeda
usia yang sedang berdiri berhadapan. Sepertinya mereka sedang asik berbincang.
Ummi
manggut-manggut. Ia mengulum senyum. Sekarang Ummi tahu apa penyebab yang
membuat sang putrinya tercinta tadi bertingkah seperti itu. Penyebabnya sudah
jelas. Pasti satu dari seorang laki-laki yang sedang berdiri di pinggir jalan
itu. Ummi tersenyum lagi. Ia paham dengan isi hati sang putrinya.
Akan
tetapi, benarkah Ummi telah mengetahui isi hati sang putrinya itu? Atau,
keyakinan sang Ummi itu hanya sekedar sebuah keyakinan saja. Sebuah keyakinan
yang belum pasti ketepatannya? Hanya Allah yang tahu.
***
Dada
Akang bergemuruh. Dari kejauhan dia melihat Hena di antara banyak anak-anak
pada teras depan rumahnya. Sebisa mungkin Akang meredam detak jantung yang
semakin belipat saja. Namun tidak ada pilihan lain bagi Akang selain terus
melangkah.
“Assalamu’alaikum,” ucap Akang pelan.
Abah
haji, Ummi, beberapa anak-anak, juga tidak ketinggalan Hena, menoleh pada Akang.
Abah
haji menjawab salam Akang. Hena segera membalikan lagi pandangannya pada mushaf
Al-Qur’an yang sedang di baca gadis kecil di sampingnya. Beberapa anak-anak
berteriak lantang memanggil nama Akang. Mereka antusias sekali. Ummi dan Abah
haji tertawa geli mendapati tingkah anak-anak itu. Sementara Hena masih tetap
menatap mushaf di hadapannya. Hanya itu.
Akang
menyalami Abah haji, kemudian Ummi. Awalnya Akang bermaksud menyapa Hena, namun
sayang tidak berani. Akang langsung mengambil posisi duduk pada salah satu
sudut yang masih ada ruang. Beberapa anak laki-laki usia sekolah dasar dan
sekolah menengah berebut untuk duduk lebih dekat dengan Akang.
Ummi
melirik Akang. Akang sudah mulai membimbing seorang anak. Kemudian Ummi melirik
Hena. Sang putrinya itu menunduk fokus menatap mushaf yang sedang dibaca
seorang gadis kecil. Setelah itu diakhiri dengan melirik Abah haji. Pada waktu
yang sama, ternyata sang suami juga sedang melirik Ummi. Pandangan kedua orang
tua Hena itu bertabrakan. Abah haji dan Ummi hanya diam dalam tatapan mereka. Tapi
siapa sangka di dalam diamnya itu mereka sedang berkomunikasi. Ya, siapa
sangka.
***
Pengajian
malam ini selesai sekitar seperempat jam setelah adzan isya. Teras depan rumah
Abah haji telah sepi kembali. Abah haji mengajak Akang untuk solat isya
berjamaah. Ketika Abah haji dan Akang tiba di mushola, di dalam hanya tinggal
dua orang saja yang masih sedang berdzikir, atau mungkin sedang berdo’a.
Akang
dan Abah haji mengambil wudhu bersama. Setelah selesai, mereka kembali masuk ke
mushola. Di dalam, hanya tinggal seorang yang masih sedang duduk sila di pojok
depan sebelah kiri.
Abah
haji dan Akang melangkah ke pojok depan yang sebelah kanan.
Abah
haji mengumandangkan iqomat. Akang menoleh kaget ke arah Abah haji. Ada apa
ini? kenapa Abah haji yang iqomat? Seharusnya kan saya? Pertanyaan itu
bertubi-tubi Akang layangkan di dalam hati.
Abah
selesai mengumandangkan iqomat. Akang melangkah mundur. Bersiap untuk menjadi
makmum.
Abah
haji menoleh ke belakang. Ia menarik lengan Akang. Lalu mengarahkan pemuda itu
sedikit ke depan dirinya.
Akang
mengangkat kedua alisnya. Keningnya membentuk banyak lipatan. Sorot matanya
penuh tanya. “Bah?” hanya itu yang bisa Akang tanyakan.
“Akang
imam,” ucap Abah haji singkat saja.
Akang
kembali melangkah mundur. “Akang belum pantas, Bah. Bacaannya masih belum
sempurna. Hafalannya juga masih sedikit.”
“Gak
papa. Namanya juga belajar,” Abah haji kembali mengarahkan Akang sedikit di
depannya.
“Bah?”
Akang memasang wajah belum sanggup.
“Belajar,”
ucap Abah singkat saja.
Akang
tidak bisa mengelak jika Abah sudah seperti itu. Mau tidak mau dia harus
menjalankan titah sang Abah haji. Dengan isi dada yang tidak menentu, Akang
terpaksa memulai solat.
“Allahu Akbar!” Akang mengumandangkan
takbiratul ikhrom. Abah haji mengikuti di belakang.
Di
pertengahan solat, seorang bapak setengah baya yang duduk sila di pojok depan
sebelah kiri beranjak. Ia hendak pulang. Kedua bola mata bapak setengah baya
itu membulat saat mendapati Akang mengimami solat berjamaah dengan Abah haji. Tapi
rasa heran itu hanya berhenti sampai pada titik heran saja. Seiring dengan
setiap langkahnya, sang bapak itu kembali mengisi kepalanya dengan pikirannya
sendiri. Tentang keluarganya dan tentang semua yang berhubungan dengannya. Tidak
pada peristiwa yang barusan ia lihat.
“Assalamu’alaikum warohmatullah,”Akang
membaca salam yang pertama sambil menolehkan wajahnya ke sebelah kanan. Lalu
diikuti dengan salam yang kedua, sambil menoleh ke sebelah kiri. Abah mengikuti
di belakang.
Akang
dan Abah haji bersama-sama membaca dzikir setelah solat. Beberapa menit
setelahnya kedua laki-laki berbeda generasi itu memanjatkan do’a masing-masing.
Akang
masih derdo’a. Pemuda itu masih sedang mengangkat kedua tangannya. Khusuk
sekali ia bermunajat. Sementara Abah haji telah usai berdo’anya. Ia hanya
duduk-duduk santai saja di dekat jendela yang terbuka.
“Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin,”Akang
mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Kemudian menoleh ke belakang.
Lalu beranjak menghampiri Abah haji. Akang menyalami bapaknya Hena itu.
“Akang
besok pulang jam berapa?” Abah haji membuka pembicaraan.
Mendengar
Abah bertanya, Akang mengambil posisi duduk tidak jauh di hadapan Abah. Tadinya
Akang bermaksud untuk langsung pamit pulang. Namun tersebab pertanyaan Abah
haji, Akang mengurungkanniatnya itu.
“Sekitar
jam sepuluhan, Bah.”
Abah
mengangguk. Akang hanya berani menatap karpet di hadapannya.
“Kapan
lulusnya?”
Akang
kembali menatap Abah haji. “Jika skripsinya lancar, smester ini sudah wisuda.
Akang mohon do’anya dari Abah semoga prosesnya dilancarkan.”
“Pasti.
Pasti. Pasti Abah do’ain.”
Akang kembali
menatap karpet.
“Malam
ini Akang tidak ada kegiatan lagi kan?”
“Gak
ada, Bah.”
“Kalo
gitu Akang santai dulu aja pulangnya ya. Abah masih ingin ngobrol dengan
Akang.”
“Oh,
iya, Bah. Mangga.” Padahal hati Akang sudah ingin pulang. Bukan karena sedang
sibuk, tapi lebih karena rasa malu tersebab perbincangan beda generasi ini.
Abah
haji terus mengungkap tanya. Akang menjawab semua pertanyaan itu. Untuk
mengimbangi perbicangan, sesekali Akang juga bertanya pada Abah haji. Bertanya
seputar tema yang sedang mereka obrolkan.
Perbincangan
terus berlanjut, hingga tidak terasa setengah jam sudah terlewat. Nyali Akang
terus berkembang biak. Akang sudah mulai bisa menguasai keadaan. Rasa canggung
diawal, kini mulai teratasi.
Abah
haji menatap jam dinding. Jam itu menunjukan pukul setengah sembilan.
Sepertinya ini sudah saatnya bagi Abah haji untuk membincang topik utama. Topik
yang sedari awal memang sudah beliau siapkan.
“Akang
sudah ada calon?” tanpa basa-basi Abah haji bertanya hal vital ini.
Akang terbengong
menatap Abah haji. “Calon apa, Bah?” suasana menjadi terasa lebih hening. Akang
mencium bau keganjilan pada pertanyaan Abah haji.
“Calon
istri.”
Benar!
Akang tidak salah terka. Abah haji pasti mengarahkan obrolan ke arah situ.
“Bel,
belum, Bah.” Akang sedikit gugup. Rasa kikuk di awal perbincangan kini
menyerang lagi.
“Kapan
Akang siap nikah?”
Lagi-lagi.
Pertanyaan macam ini yang keluar dari mulut Abah haji. Sebuah pertanyaan yang
terlebih dahulu tidak ingin Akang dengar. Terlebih pertanyaan itu dikeluarkan
oleh lidah sang bapak dari seorang wanita yang tidak mungkin Akang miliki.
“Mungkin
satu atau dua tahun lagi, Bah.” Jawab Akang apa adanya. Sebab hanya kata itu
yang sedang melintas di kepalanya. Akang kembali menatap karpet di depannya.
“Abah
mau bicara,” Abah haji memberi jeda. Seumur hidup, belum pernah Akang merasakan
suasana sehening ini. “Boleh?” Abah haji meminta izin.
“Mangga,
Bah,” Akang mengaguk sekali.
“Kang,”
Abah haji menyebut nama Akang. Sepertinya beliau ingin lawan bicaranya menatap
wajahnya. Akang mengalihkan pusat pandangannya dari karpet menuju wajah Abah
haji.
“Mungkin
Akang sudah tahu, jika Abah memiliki seorang anak perempuan, yaitu Hena,” Abah
haji diam sejenak. Beliau menarik nafas panjang.
Akang
mematung di hadapan Abah haji. Detak jantungnya empat kali lebih cepat dari
sebelumnya. Hena? Abah haji membawa nama Hena ke dalam perbincangan ini? Ada
apa ini? Jangan-jangan?
“Hena
sekarang sudah mulai menginjak dewasa. Beberapa tahun kedepan, mungkin satu
atau dua tahun lagi, boleh jadi takdir menggariskan Hena akan segera
menyempurnakan separuh agamanya,” Abah menjeda ucapannya. Akang masih diam
menatap Abah haji. “Orang tua manapun di dunia ini, yang memiliki anak
perempuan, pasti menginginkan seorang laki-laki hebat yang datang
mempersuntingnya, yang kelak mampu memimpin anaknya ke jalan yang diridhoi oleh
Allah SWT.Dan begitupun dengan Abah.”
Akang
tidak berkutik mendengar kalimat-kalimat Abah haji. Pemuda itu seudah seperti
seonggok patung. Hanya bola matanya saja yang sesekali berkedip mencoba kembali
membasahi matanya yang mulai mengering.
“Abah
dan Ummi sudah tidak meragukan lagi jika Akang itu adalah satu dari sedikit
pemuda baik-baik yang kami kenal,” Abah melanjutkan kalimatnya. Bola mata Akang
membulat mendengar kalimat terakhir ini. Jangan-jangan? Ah, biarlah Abah
terlebh dahulu melanjutkan kalimatnya.
“Abah
haji dan Ummi percaya kepada Akang,” Abah haji semakin memfokuskan pandangannya
pada inti mata Akang. “Abah dan Ummi berharap, nanti, sekiranya Akang telah
siap untuk menikah, Akang memilih Hena untuk dijadikan seorang pendamping hidup
Akang itu. Akang memilih Hena untuk menemani Akang dalam mengisi sisa hidup
Akang. Akang memilih Hena sebagai teman bekerja sama dalam meraih surga-Nya.
Terus terang, Abah haji dan Ummi sangat berharap, kelak, yang akan menjadi imam
bagi Hena adalah pemuda istimewa seperti Akang.”
Akang
terkesiap. Ia menelan ludah. Tidak percaya dengan setiap kalimat yang Abah haji
ucapkan.
Abah
haji berhenti berucap. Ia membiarkan Akang untuk mencerna setiap kalimat yang
telah beliau ucapkan.
Akang
mengedipkan kelopak matanya. Kali ini lama sekali kelopak mata itu tertutup.
Akang seperti kesulitan untuk menghirup oksigen yang ada di ruang mushola ini.
Duhai Abah, sesungguhnya Akang sangat
bahagia mendengar semua kalimat yang Abah ucapkan. Sesungguhnya dada Akang
membuncah saat mendengar harapan Abah barusan. Jujur, ingin sekali Akang
mengeluarkan air mata karena hal ini. Tapi Duhai Abah, apakah Abah tahu
perasaan apa yang Hena simpan untuk Akang? Apakah Abah telah tahu bahwa
sesungguhnya tidak ada nama Akang di dalam hati Hena?
Duhai Abah, andai saja jawaban
yang Hena berikan dulu sesuai dengan harapan Akang, ingin rasanya detik ini
Akang bersimpuh mencium tangan Abah. Akang ingin menangis di pangkuan Abah
karena kepercayaan yang telah Abah berikan pada diri Akang. Namun sayang, Duhai
Abah. Jawaban yang dulu diberikan Hena membuat setiap kalimat dari Abah terasa
perih mengiris hati. Akang bahagia karena kepercayaan ini. Tapi Akang sadar
dengan kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa tidak ada nama Akang di hati Hena.
Jujur, Akang sangat mencintai putri Abah. Tapi, Apakah cukup hanya dengan
kepercayaan Abah untuk bisa memberikan kebahagiaan pada Hena?
Akang membuka kelopak matanya.
Ia memberanikan diri mengarahkan pandangannya pada pusat mata Abah haji.
“Abah,”
Akang menjeda ucapannya. “Bagi Akang, Hena adalah seorang wanita yang istimewa.
Bagi Akang, Hena adalah sosok ideal untuk dijadikan seorang pendamping hidup.
Bagi Akang, Hena adalah seorang wanita yang memiliki kepribadian ideal untuk
dijadikan partner dalam membentuk sebuah keluarga yang diidamkan setiap
manusia. Jujur, tidak sedikitpun pada ruang pikir Akang terdapat kata “Tidak”.
Jujur, saat ini, seluruh isi kepala Akang dijejali oleh kata “Ya” terhadap
permintaan Abah,” Akang menghentikan sejenak kalimatnya.
Sorot
mata Abah haji mengembang akibat kalimat panjang yang Akang ucapkan.
“Tapi,
Bah. Alangkah lebih baik jika Akang menyertakan Allah dalam menjawab hal ini.
Jika Abah mengizinkan, Akang ingin solat istikhoroh terlebih dahulu sebelum
benar-benar memberikan jawabannya. Biar Allah saja yang membuat cerita terbaik
menurut-Nya,” Akang masih menatap pusat pandang Abah haji.
Abah
haji tersenyum. Ia tatap lekat seorang pemuda di hadapannya. Entah bagaimana,
wajah Akang tampak bercahaya malam ini. Tampak bersinar di mata Abah haji.
***
Tidak
pernah Akang bayangkan sebelumnya jika kepulangannya kali ini akan menemukan
malam seberat malam ini. Sungguh tidak pernah terbayang. Seminggu yang lalu,
sebelum mudik, Akang pikir hanya Hena seorang yang memberatkan setiap tarikan
nafasnya ketika sudah di kampung. Tapi sayang, tebakan Akang itu salah.
Ternyata masih ada seorang lagi yang luput dari perkiraan. Adalah Abah haji. Beliau
seumpama pemberat tambahan dalam timbangan hati Akang.
Tidak
mengapa jika memang perasaan Hena tak serupa dengan yang Akang miliki. Walau
berat, setidaknya hati Akang sudah mulai bisa menerima keadaan ini. Tapi kini.
Semenjak terlibatnya Abah haji dalam perkara satu ini. Sungguh, Akang tidak
pernah bisa berkutik. Sebab Abah haji sudah seperti ayah ke dua bagi Akang.
Jika
boleh Akang berandai-andai. Ingin rasanya dia memutar waktu dan kembali pada
sesaat sebelum keberangkatannya ke kampung. Disana, dia akan menekadkan diri
supaya penelitian skripsinya bisa selesai dalam waktu tiga hari. Bila perlu
hanya dua hari. Dengan begitu, tidak akan pernah tertulis takdir Akang yang
bertemu dengan Abah haji di hari ke tujuh. Tidak akan pernah.
Akang
masih terhempas di tempat tidurnya. Otaknya sudah mandek. Semua jalan sudah
buntu. Ada satu yang mungkin bisa Akang buka. Tetapi ada sebuah syarat yang
harus Akang bayar mahal. Yaitu menghubungi Hena. Sebuah tindakan yang justru
selama ini sangat Akang hindari.
Akang
memejamkan kedua kelopak matanya. Ia berpikir dalam. Dalam sekali.
Akang
membuka kembali kelopak matanya. Sebuah wajah keyakinan terpampang jelas dalam
warna wajahnya. Ya, sepertinya hanya itulah jalan yang mampu Akang tempuh
sekarang. Tidak ada yang lain.
Akang
kembali menutup matanya. Sekali lagi ia mencoba meyakinkan dirinya. Bismillah.
Akang
duduk di ujuung risbang. Ia menyambar hape di atas meja kecil. Jemarinya
langsung menari pada jajaran huruf alfabet di hape.
Akang
masih mengetik. Suara detak jam dinding menjadi musik pengiringnya.
Seluruh
kalimat yang ada di dada Akang kini sudah tersalin pada layar hape. Siap untuk
segera dikirim.
Kembali,
perlahan keraguan mulai mengikis keyakinan Akang. Apakah langkah ini benar?
Tanya Akang dalam hati.
Akang
kembali memejam. Mencoba bertanya pada hatinya yang paling dalam.
Bismillah. InsyaAllah langkah ini benar.
TUUUT
Jempol
Akang menekan tombol kirim. Pesan itu meluncur mengahampiri tujuan.
Tiga
detik berselang. Setelah mengarungi jarak yang tidak lebih dari enam puluh
meter, pesan Akang tiba pada sebuah kamar. Pada hape milik Hena yang sedang
berbaring menemani sang pemilik.
Hena
menoleh pada hapenya yang berdering. Ada sebuah pesan masuk. Mata sang gadis
ini menyipit saat sadar pesan ini datangnya dari Akang. Hena kaget. Dadanya
bertanya-tanya.
Na. Akang tidak tahu apakah Na sudah tahu
atau tidak soal ini. Jika belum, Akang rasa Na harus tahu. Tadi, selepas isya,
Akang mengobrol dengan Abah. Disela-sela obrolan itu, Abah mengutarakan sesuatu
yang sangat mengagetkan Akang. Abah bilang, katanya beliau sangat berharap
Akang akan menjadi menantunya, dengan kata lain, Abah meminta Akang untuk
menjadi pendamping Hena. >>>
Kalimat yang Akang kirimkan
kepanjangan. Karenanya dia mengirim pesannya menjadidua bagian.
Saat mendengar itu, Akang tidak
tahu harus bahagia atau nelangsa. Terus terang Akang tidak mampu menjawab
permintaan Abah itu. Sebab jauh-jauh hari sebelumnya Akang telah tahu bahwa
tidak ada nama Akang di hati Na.Sekali lagi Akang katakan, jujur Akang tidak
akan pernah sanggup untuk menjawab permintaan Abah itu. Penyebabnya mungkin Na
juga sudah tahu, karena nama Na terukir dengan sangat jelas di hati Akang.
Untuk itu, Akang mohon agar Na sendiri yang mengatakan hal ini pada Abah. Akang
mohon, mohon dengan sangat.
Dengan posisi masih rebahan di
kasurnya, kedua mata Hena berhenti berkedip. Tidak henti ia menatap dua buah
pesan dari Akang. Tidak tahu harus bertindak seperti apa. Buntu. Gelap.
***
Dini
hari. Jam dua lewat beberapa menit. Hena duduk bersimpuh di atas sajadahnya.
Mukena putih masih membungkus tubuhnya. Badan hape sudah menjadi hangat karena
genggaman tangan Hena. Kalimat panjang sudah tertera jelas di layar hape. Hanya
tinggal menunggu dikirimkan saja.
Yaa
Allah, hamba serahkan semuanya kepadaMu. Hamba pasrah. Engkau tahu yang terbaik
untuk hambaMu yang lemah ini.
Hena
menutup matanya. Sebuah bitiran air mencul di sudut matanya.
KLIIIK
Deretankalimat
panjang itu telah terkirim.
***
Sepertiga
malam terakhir. Jam empat lewat sedikit. Hanya beberapa menit lagi menuju waktu
subuh.
Sebelum
membuat keputusan, Akang sekali lagi mencoba untuk membaca pesan jawaban Hena.
Sebuah pesan panjang yang memposisikan diri Akang pada persimpangan. Antara
cintanya, dengan rasa empatinya terhadap hati seorang wanita yang Akang anggap
tidak mencintai dirinya.
Akang, perlu Akang ketahui, Abah selalu
memilihkanyang terbaik untuk Hena, dalam hal apapun. Waktu telah membuktikan
itu. Dulu, sering kali hati Hena bertentangan dengan pilihan Abah. Hena
setengah hati menerima pilihan Abah. Tapi, seiring waktu berjalan, Hena sadar,
bahwa apa yang Abah pilihkan itu memang yang terbaik untuk Hena. Memang untuk
kebaikan Hena...
Pesan balasan selajutnya.
...Hena percayakan semuanya pada Akang.
Hena percaya Akang pasti bisa menentukan pilihan yang tepat. Sebab Akang adalah
seorang pemuda yang istimewa. Ini terbukti dengan dipilihnya Akang oleh Abah.
Sekali lagi, Hena percayakan semuanya pada Akang. Hena pasrah, insyaAllah akan
menerima apapun pilihan Akang itu.
Akang
memejam. Kuatkan hamba Yaa Rabb. Bimbinglah hamba.
Segera
Akang mengetik pesan balasan untuk Hena. Untuk seorang wanita pujaan hati yang
mungkin tidak bisa dia miliki.
Bismillahirrahmaanirrahiim.
KLIIIK
Pesan
balasan Akang telah terkirim.
Duhai
Allah. Hamba pasrah. Hamba serahkan semuanya pada kuasa Engkau.
Keinginan
Akang terbetot untuk kembali membaca pesan yang telah dia berikan untuk Hena.
Di atas
sajadah biru, Akang menatap layar hape.
Jujur, hingga detik ini Akang
masih mencintai Hena. Namun, disamping itu juga, Akang tidak ingin membebani
hati Hena, wanita yang sangat Akang kasihi, tersebab harus terpaksa menjalani
sisa usia Na dengan seorang laki-laki yang tidak Na cintai. Selain itu, Akang
tidak akan pernah merasa bahagia seandainya kelak Akang hidup satu atap dengan
seorang wanita yang jelas-jelas tidak mencintai Akang. Sungguh, Akang tidak
pernah menginginkan hidup yang seperti itu. >>>
Pesan lanjutannya.
Untuk itu, Akang memilih mundur. Jika Na
juga tidak berani mengatakan hal ini pada Abah. Biarlah, biar nanti Akang yang
mengatakan langsung pada Abah. Akang mohon Na bantu dengan do’a, agar semuanya
dilancarkan.
Menjelang subuh, di atas sajadah
tempat Hena bersimpuh. Tangannya bergetar membaca pesan balasan Akang. Sebutir
air kembali keluar dari sudut mata gadis cantik jelita itu.
Dan,
pada sebuah kamar yang berbeda, Akang masih bersimpuh di atas sajadah birunya.
Sekuat tenaga dia menahan kesedihannya agar tidak keluar dari sudut matanya.
Kuatkan hamba Yaa Rabb.
Kuatkan Hamba Yaa Rabb.
Do’a yang serupa pada dua tempat
yang berbeda.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar