Rabu, 18 September 2013

Di Atas Sajadah Biru (8)

                BRUUUK

                Akang melempar plastik bening yang berisi tumpukan kertas instrumen penelitian ke meje kecil di hadapannya. Segepok kertas itu bersatu dengan instrumen bekas penelitian kemarin-kemarin. Dan kini jumlahnya sudah menggunung. Tidak terasa, saking sibuknya, penelitian untuk skripsinya telah rampung dilaksanakan. Dan sesuai dengan harapan Akang sebelumnya, yakniselesai hanya dengan waktu tujuh hari saja.

                Akang melepas buku kecil yang ia gantungkan di lehernya. Buku kecil itu nasibnya serupa dengan kertas-kertas instrumen. Akang melemparnya pada meja kecil.

                Akang berjalan menuju balik pintu kamarnya. Satu-satu ia melepas kancing kemeja pendek yang dikenakan. Setelah kancing itu copot semua, Akang melepas kemejanya, lalu digantungkan pada paku di balik pintu. Kemudian pemuda dengan wajah lelah itu menghampiri pulau kapuk yang sedari tadi sudah memanggil-manggilnya untuk segera istirahat.

                BRUUUK

                Akang membiarkan tubuhnya terhempas pada kasur. Sebelum memejamkan matanya, ia menyempatkan untuk melihat layar hape yang tergeletak di samping bantal. Jam dua, gumam Akang dalam hati. Numayan, masih satu jam lagi ke waktu ashar. Tidur satu jam sepertinya sudah lebih dari cukup untuk meregangkan kembali syaraf yang telah kaku.

                Akang menarik nafas panjang. Beberapa detik kemudian kedua matanya terpejam. Akang tidur.
***

                Suara sayup-sayup adzan ashar menyaringkan tidur Akang. Laki-laki itu menggeliat di atas kasurnya, sudah seperti kucing yang baru bangun tidur. Sekuat tenaga Akang melawan kantuknya yang masih memeluk tubuhnya. Pelan-pelan ia mengangkat badannya. Lalu duduk di samping risbang. Matanya masih merem melek. Separuh hatinya mengajak Akang untuk tidur lagi. Tapi separuh hati yang lain mengingatkan Akang untuk segera bangun dan mengambil air wudhu, lalu melangkah menuju mushola untuk melaksanakan solat berjamaah. 

                “Mmmmhhh.” Akang menggeliat lagi. Matanya masih mengerjap-ngerjap.

                Kumandang adzan hampir menemui ujungnya. Akang berdiri. Kemudian melangkah pelan menuju pintu. Matanya masih merem melek. 

                JLEDDUGG

                Sial! Jidat Akang menyundul pintu kamar. Pemuda itu belum sepenuhnya sadar, ternyata pintu kamarnya masih tertutup. Ia mengira jika pintu itu telah terbuka. Akibat benturan itu, kesadaran Akang kembali pulih. Menjadi fullseratus persen. Bibirnya menyeringai menahan perih. Tangannya gesit mengelus-elus jidatnya. 

                Akang celingukan menatap setiap sudut kamar. Beruntung hanya ada dirinya seorang. Akang tidak bisa membayangkan jika adik perempuannya melihat kejadian memalukan ini. Dia pasti habis-habisan diledek sang adik.

                Akang membuka pintu. Terus melangkah keluar hendak menuju kamar mandi. Tangan Akang masih setia mengelus jidatnya.
***

                Di dalam mushola masih ada beberapa orang tua yang sedang duduk sila memanjatkan do’a. Akang melangkah pelan ke luar. Satu langkah keluar pintu, pandangan Akang mendarat pada sesosok pria setengah baya yang hendak mengenakan sandalnya. Dia adalah Abah haji. 

                Hampir bersamaan, Abah haji juga tak sengaja menghujamkan pandangannya pada Akang yangbaru keluar dari mushola.

                “Akang,” Abah memasang wajah numayan terkejut. Kedua alisnya terangkat beberapa senti. 

                “Bah,” Akang mengangguk sambil tersenyum.

                Akang menghampiri Abah haji. Lalu menyalami punggung tangan kanannya.

                “Kapan datangnya?” Abah haji meletakan tangannya pada pundak kiri Akang.

                “Minggu lalu, Bah,” jawab Akang masih agak kikuk.

                “Lho, minggu lalu? kok Abah gak pernah lihat ya?” Abah melepaskan tangannya dari pundak Akang.

                “Seminggu ini Akang fokus penelitian skripsi, Bah,” jawab Akang seadanya.

                “Ooh,” Abah manggut-manggut. “Hayu,” tangan Abah mengisyaratkan untuk pulang bareng. Kedua laki-laki yang berbeda jauh usianya itu melangkah bersama. 

                Sepanjang perjalanan yang singkat itu kedua laki-laki beda usia itu masih terus melanjutkan obrolan mereka. Tidak lebih dari dua menit, mereka sudah tiba di jalan depan rumah Abah haji. Abah haji menghentikan langkah. Demikina juga dengan Akang. Mereka saling berhadapan.

                “Kapan Akang ke Bandung lagi?”

                InsyaAllah besok siang, Bah.”

                Akang menghirup udara dengan tenang. Ada sedikit kelegaan di dadanya. Beruntung pertanyaan yang Abah haji ajukan adalah “Kapan ke Bandung lagi?”. Akang tidak bisa membayangkan jika pertanyaan itu berbunyi “Sampai kapan liburnya?”. Dan mau tidak mau mengharuskan Akang untuk menjawab bahwa liburnya masih tiga minggu lagi. Jika demikian, apa yang akan terjadi setelahnya sudah bisa Akang ramalkan. Abah haji pasti akan menahan waktu kepulangan Akang. Beliau pasti meminta Akang untuk kembali membantunya untuk mengajar anak-anak mengaji. Perkara ini bukan menyoal mau atau tidaknya Akang mengemban tugas mulia itu. Tapi ada sesuatu di baliknya yang mengharuskan Akang untuk menghindari tugas itu. Adalah putrinya Abah haji sendiri. Yakni Hena. Dikhawatirkan, jika Akang melihat sang kembang desa itu lagi, maka misi Akang untuk bisa melupakan seorang wanita cantik yang sayangnya tidak bisa Akang miliki itu akan menjadi sulit. Terlebih jika Akang lebih lama lagi melihatnya. Pasti akan lebih sulit lagi.

                “Besok?” Abah haji terkejut.

                “Iya, Bah. Soalnya Akang harus segera mengolah data hasil penelitiannya. Lebih cepat lebih baik, Bah,” Akang menegaskan jawabannya. Sebuah senyumanmengiringi jawaban itu. Dalam hati Akang berujar, Sesungguhnya di rumah juga bisa untuk mengolah data itu, Bah. Tapi ada hal lain yang mengharuskan saya segera kembali ke Bandung lagi.

                “Kalo gitu ba’da magrib nanti Akang ke rumah Abah ya. Bantu Abah untuk ngajar anak-anak. Numayan satu hari juga,” Abah menyentuh pundak Akang. 

                Bibir Akang tersenyum kikuk. Ia mengelus-elus leher belakangnya.

                InsyaAllah, Bah,” jawab Akang sekenanya. 

                Di sana, di dalam rumah Abah haji. Tepatnya di balik jendela dekat pintu depan. Seorang wanita sedang berdiri di balik gorden. Ia menatap keluar melalui celah jendela kaca. Memandangi dua orang laki-laki berbeda usia yang sedang berdiri berhadapan di pinggir jalan. 

                “Na,” panggilan Ummi datang dengan tiba-tiba. orang yang dipanggil menoleh cepat ke arah sumber suara.

                “Ummi!” Hena memasang wajah kaget. Ia seperti orang yang kepergok sedang melakukan sebuah kesalahan. Buru-buru Hena memperbaiki sikapnya. Sekuat tenaga ia sembunyikan sikap salah tingkahnya. Tapi sayang, sang Ummi keburu membaca gelagat aneh itu.

                Hena meleos. Ia berjalan cepat menuju kamarnya.

                Pandangan Ummi mengikuti kepergian Hena hingga sang putrinya itu hilang ditelan kamar.Ummi mengelengkan kepalanya. Belum begitu paham dengan apa yang telah terjadi pada putri kesayangannya. Apa gerangan yang membuatnya jadi salah tingkah begitu?

                Ummi penasaran. Ia melangkah menuju tempat Hena tadi berdiri. Ummi berdiri tepat di posisi tadi Hena berdiri. Pandangannya ia lempar ke luar jendela. Di sana, beberapa belas meter di pinggir jalan. Ummi melihat dengan jelas dua orang laki-laki berbeda usia yang sedang berdiri berhadapan. Sepertinya mereka sedang asik berbincang.

                Ummi manggut-manggut. Ia mengulum senyum. Sekarang Ummi tahu apa penyebab yang membuat sang putrinya tercinta tadi bertingkah seperti itu. Penyebabnya sudah jelas. Pasti satu dari seorang laki-laki yang sedang berdiri di pinggir jalan itu. Ummi tersenyum lagi. Ia paham dengan isi hati sang putrinya.

                Akan tetapi, benarkah Ummi telah mengetahui isi hati sang putrinya itu? Atau, keyakinan sang Ummi itu hanya sekedar sebuah keyakinan saja. Sebuah keyakinan yang belum pasti ketepatannya? Hanya Allah yang tahu.
***

                Dada Akang bergemuruh. Dari kejauhan dia melihat Hena di antara banyak anak-anak pada teras depan rumahnya. Sebisa mungkin Akang meredam detak jantung yang semakin belipat saja. Namun tidak ada pilihan lain bagi Akang selain terus melangkah.

                Assalamu’alaikum,” ucap Akang pelan.

                Abah haji, Ummi, beberapa anak-anak, juga tidak ketinggalan Hena, menoleh pada Akang.

                Abah haji menjawab salam Akang. Hena segera membalikan lagi pandangannya pada mushaf Al-Qur’an yang sedang di baca gadis kecil di sampingnya. Beberapa anak-anak berteriak lantang memanggil nama Akang. Mereka antusias sekali. Ummi dan Abah haji tertawa geli mendapati tingkah anak-anak itu. Sementara Hena masih tetap menatap mushaf di hadapannya. Hanya itu.

                Akang menyalami Abah haji, kemudian Ummi. Awalnya Akang bermaksud menyapa Hena, namun sayang tidak berani. Akang langsung mengambil posisi duduk pada salah satu sudut yang masih ada ruang. Beberapa anak laki-laki usia sekolah dasar dan sekolah menengah berebut untuk duduk lebih dekat dengan Akang.

                Ummi melirik Akang. Akang sudah mulai membimbing seorang anak. Kemudian Ummi melirik Hena. Sang putrinya itu menunduk fokus menatap mushaf yang sedang dibaca seorang gadis kecil. Setelah itu diakhiri dengan melirik Abah haji. Pada waktu yang sama, ternyata sang suami juga sedang melirik Ummi. Pandangan kedua orang tua Hena itu bertabrakan. Abah haji dan Ummi hanya diam dalam tatapan mereka. Tapi siapa sangka di dalam diamnya itu mereka sedang berkomunikasi. Ya, siapa sangka.
***

                Pengajian malam ini selesai sekitar seperempat jam setelah adzan isya. Teras depan rumah Abah haji telah sepi kembali. Abah haji mengajak Akang untuk solat isya berjamaah. Ketika Abah haji dan Akang tiba di mushola, di dalam hanya tinggal dua orang saja yang masih sedang berdzikir, atau mungkin sedang berdo’a.

                Akang dan Abah haji mengambil wudhu bersama. Setelah selesai, mereka kembali masuk ke mushola. Di dalam, hanya tinggal seorang yang masih sedang duduk sila di pojok depan sebelah kiri.

                Abah haji dan Akang melangkah ke pojok depan yang sebelah kanan. 

                Abah haji mengumandangkan iqomat. Akang menoleh kaget ke arah Abah haji. Ada apa ini? kenapa Abah haji yang iqomat? Seharusnya kan saya? Pertanyaan itu bertubi-tubi Akang layangkan di dalam hati.

                Abah selesai mengumandangkan iqomat. Akang melangkah mundur. Bersiap untuk menjadi makmum.

                Abah haji menoleh ke belakang. Ia menarik lengan Akang. Lalu mengarahkan pemuda itu sedikit ke depan dirinya. 

                Akang mengangkat kedua alisnya. Keningnya membentuk banyak lipatan. Sorot matanya penuh tanya. “Bah?” hanya itu yang bisa Akang tanyakan.

                “Akang imam,” ucap Abah haji singkat saja.

                Akang kembali melangkah mundur. “Akang belum pantas, Bah. Bacaannya masih belum sempurna. Hafalannya juga masih sedikit.”

                “Gak papa. Namanya juga belajar,” Abah haji kembali mengarahkan Akang sedikit di depannya.

                “Bah?” Akang memasang wajah belum sanggup.

                “Belajar,” ucap Abah singkat saja.

                Akang tidak bisa mengelak jika Abah sudah seperti itu. Mau tidak mau dia harus menjalankan titah sang Abah haji. Dengan isi dada yang tidak menentu, Akang terpaksa memulai solat. 

                Allahu Akbar!” Akang mengumandangkan takbiratul ikhrom. Abah haji mengikuti di belakang.

                Di pertengahan solat, seorang bapak setengah baya yang duduk sila di pojok depan sebelah kiri beranjak. Ia hendak pulang. Kedua bola mata bapak setengah baya itu membulat saat mendapati Akang mengimami solat berjamaah dengan Abah haji. Tapi rasa heran itu hanya berhenti sampai pada titik heran saja. Seiring dengan setiap langkahnya, sang bapak itu kembali mengisi kepalanya dengan pikirannya sendiri. Tentang keluarganya dan tentang semua yang berhubungan dengannya. Tidak pada peristiwa yang barusan ia lihat.

                Assalamu’alaikum warohmatullah,”Akang membaca salam yang pertama sambil menolehkan wajahnya ke sebelah kanan. Lalu diikuti dengan salam yang kedua, sambil menoleh ke sebelah kiri. Abah mengikuti di belakang.

                Akang dan Abah haji bersama-sama membaca dzikir setelah solat. Beberapa menit setelahnya kedua laki-laki berbeda generasi itu memanjatkan do’a masing-masing. 

                Akang masih derdo’a. Pemuda itu masih sedang mengangkat kedua tangannya. Khusuk sekali ia bermunajat. Sementara Abah haji telah usai berdo’anya. Ia hanya duduk-duduk santai saja di dekat jendela yang terbuka. 

                Aamiin Yaa Robbal ‘Alamiin,”Akang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Kemudian menoleh ke belakang. Lalu beranjak menghampiri Abah haji. Akang menyalami bapaknya Hena itu.

                “Akang besok pulang jam berapa?” Abah haji membuka pembicaraan.

                Mendengar Abah bertanya, Akang mengambil posisi duduk tidak jauh di hadapan Abah. Tadinya Akang bermaksud untuk langsung pamit pulang. Namun tersebab pertanyaan Abah haji, Akang mengurungkanniatnya itu.

                “Sekitar jam sepuluhan, Bah.”

                Abah mengangguk. Akang hanya berani menatap karpet di hadapannya.

                “Kapan lulusnya?”

                Akang kembali menatap Abah haji. “Jika skripsinya lancar, smester ini sudah wisuda. Akang mohon do’anya dari Abah semoga prosesnya dilancarkan.”

                “Pasti. Pasti. Pasti Abah do’ain.”

                Akang kembali menatap karpet.

                “Malam ini Akang tidak ada kegiatan lagi kan?”

                “Gak ada, Bah.”

                “Kalo gitu Akang santai dulu aja pulangnya ya. Abah masih ingin ngobrol dengan Akang.”

                “Oh, iya, Bah. Mangga.” Padahal hati Akang sudah ingin pulang. Bukan karena sedang sibuk, tapi lebih karena rasa malu tersebab perbincangan beda generasi ini.

                Abah haji terus mengungkap tanya. Akang menjawab semua pertanyaan itu. Untuk mengimbangi perbicangan, sesekali Akang juga bertanya pada Abah haji. Bertanya seputar tema yang sedang mereka obrolkan. 

                Perbincangan terus berlanjut, hingga tidak terasa setengah jam sudah terlewat. Nyali Akang terus berkembang biak. Akang sudah mulai bisa menguasai keadaan. Rasa canggung diawal, kini mulai teratasi.

                Abah haji menatap jam dinding. Jam itu menunjukan pukul setengah sembilan. Sepertinya ini sudah saatnya bagi Abah haji untuk membincang topik utama. Topik yang sedari awal memang sudah beliau siapkan.

                “Akang sudah ada calon?” tanpa basa-basi Abah haji bertanya hal vital ini.

                Akang terbengong menatap Abah haji. “Calon apa, Bah?” suasana menjadi terasa lebih hening. Akang mencium bau keganjilan pada pertanyaan Abah haji.

                “Calon istri.”

                Benar! Akang tidak salah terka. Abah haji pasti mengarahkan obrolan ke arah situ.

                “Bel, belum, Bah.” Akang sedikit gugup. Rasa kikuk di awal perbincangan kini menyerang lagi.

                “Kapan Akang siap nikah?”

                Lagi-lagi. Pertanyaan macam ini yang keluar dari mulut Abah haji. Sebuah pertanyaan yang terlebih dahulu tidak ingin Akang dengar. Terlebih pertanyaan itu dikeluarkan oleh lidah sang bapak dari seorang wanita yang tidak mungkin Akang miliki.

                “Mungkin satu atau dua tahun lagi, Bah.” Jawab Akang apa adanya. Sebab hanya kata itu yang sedang melintas di kepalanya. Akang kembali menatap karpet di depannya.

                “Abah mau bicara,” Abah haji memberi jeda. Seumur hidup, belum pernah Akang merasakan suasana sehening ini. “Boleh?” Abah haji meminta izin.

                “Mangga, Bah,” Akang mengaguk sekali. 

                “Kang,” Abah haji menyebut nama Akang. Sepertinya beliau ingin lawan bicaranya menatap wajahnya. Akang mengalihkan pusat pandangannya dari karpet menuju wajah Abah haji. 

                “Mungkin Akang sudah tahu, jika Abah memiliki seorang anak perempuan, yaitu Hena,” Abah haji diam sejenak. Beliau menarik nafas panjang.

                Akang mematung di hadapan Abah haji. Detak jantungnya empat kali lebih cepat dari sebelumnya. Hena? Abah haji membawa nama Hena ke dalam perbincangan ini? Ada apa ini? Jangan-jangan?

                “Hena sekarang sudah mulai menginjak dewasa. Beberapa tahun kedepan, mungkin satu atau dua tahun lagi, boleh jadi takdir menggariskan Hena akan segera menyempurnakan separuh agamanya,” Abah menjeda ucapannya. Akang masih diam menatap Abah haji. “Orang tua manapun di dunia ini, yang memiliki anak perempuan, pasti menginginkan seorang laki-laki hebat yang datang mempersuntingnya, yang kelak mampu memimpin anaknya ke jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.Dan begitupun dengan Abah.”

                Akang tidak berkutik mendengar kalimat-kalimat Abah haji. Pemuda itu seudah seperti seonggok patung. Hanya bola matanya saja yang sesekali berkedip mencoba kembali membasahi matanya yang mulai mengering.

                “Abah dan Ummi sudah tidak meragukan lagi jika Akang itu adalah satu dari sedikit pemuda baik-baik yang kami kenal,” Abah melanjutkan kalimatnya. Bola mata Akang membulat mendengar kalimat terakhir ini. Jangan-jangan? Ah, biarlah Abah terlebh dahulu melanjutkan kalimatnya.

                “Abah haji dan Ummi percaya kepada Akang,” Abah haji semakin memfokuskan pandangannya pada inti mata Akang. “Abah dan Ummi berharap, nanti, sekiranya Akang telah siap untuk menikah, Akang memilih Hena untuk dijadikan seorang pendamping hidup Akang itu. Akang memilih Hena untuk menemani Akang dalam mengisi sisa hidup Akang. Akang memilih Hena sebagai teman bekerja sama dalam meraih surga-Nya. Terus terang, Abah haji dan Ummi sangat berharap, kelak, yang akan menjadi imam bagi Hena adalah pemuda istimewa seperti Akang.” 

                Akang terkesiap. Ia menelan ludah. Tidak percaya dengan setiap kalimat yang Abah haji ucapkan.

                Abah haji berhenti berucap. Ia membiarkan Akang untuk mencerna setiap kalimat yang telah beliau ucapkan.

                Akang mengedipkan kelopak matanya. Kali ini lama sekali kelopak mata itu tertutup. Akang seperti kesulitan untuk menghirup oksigen yang ada di ruang mushola ini. 

                Duhai Abah, sesungguhnya Akang sangat bahagia mendengar semua kalimat yang Abah ucapkan. Sesungguhnya dada Akang membuncah saat mendengar harapan Abah barusan. Jujur, ingin sekali Akang mengeluarkan air mata karena hal ini. Tapi Duhai Abah, apakah Abah tahu perasaan apa yang Hena simpan untuk Akang? Apakah Abah telah tahu bahwa sesungguhnya tidak ada nama Akang di dalam hati Hena? 

                Duhai Abah, andai saja jawaban yang Hena berikan dulu sesuai dengan harapan Akang, ingin rasanya detik ini Akang bersimpuh mencium tangan Abah. Akang ingin menangis di pangkuan Abah karena kepercayaan yang telah Abah berikan pada diri Akang. Namun sayang, Duhai Abah. Jawaban yang dulu diberikan Hena membuat setiap kalimat dari Abah terasa perih mengiris hati. Akang bahagia karena kepercayaan ini. Tapi Akang sadar dengan kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa tidak ada nama Akang di hati Hena. Jujur, Akang sangat mencintai putri Abah. Tapi, Apakah cukup hanya dengan kepercayaan Abah untuk bisa memberikan kebahagiaan pada Hena?

                Akang membuka kelopak matanya. Ia memberanikan diri mengarahkan pandangannya pada pusat mata Abah haji.

                “Abah,” Akang menjeda ucapannya. “Bagi Akang, Hena adalah seorang wanita yang istimewa. Bagi Akang, Hena adalah sosok ideal untuk dijadikan seorang pendamping hidup. Bagi Akang, Hena adalah seorang wanita yang memiliki kepribadian ideal untuk dijadikan partner dalam membentuk sebuah keluarga yang diidamkan setiap manusia. Jujur, tidak sedikitpun pada ruang pikir Akang terdapat kata “Tidak”. Jujur, saat ini, seluruh isi kepala Akang dijejali oleh kata “Ya” terhadap permintaan Abah,” Akang menghentikan sejenak kalimatnya.

                Sorot mata Abah haji mengembang akibat kalimat panjang yang Akang ucapkan.

                “Tapi, Bah. Alangkah lebih baik jika Akang menyertakan Allah dalam menjawab hal ini. Jika Abah mengizinkan, Akang ingin solat istikhoroh terlebih dahulu sebelum benar-benar memberikan jawabannya. Biar Allah saja yang membuat cerita terbaik menurut-Nya,” Akang masih menatap pusat pandang Abah haji. 

                Abah haji tersenyum. Ia tatap lekat seorang pemuda di hadapannya. Entah bagaimana, wajah Akang tampak bercahaya malam ini. Tampak bersinar di mata Abah haji.
***

                Tidak pernah Akang bayangkan sebelumnya jika kepulangannya kali ini akan menemukan malam seberat malam ini. Sungguh tidak pernah terbayang. Seminggu yang lalu, sebelum mudik, Akang pikir hanya Hena seorang yang memberatkan setiap tarikan nafasnya ketika sudah di kampung. Tapi sayang, tebakan Akang itu salah. Ternyata masih ada seorang lagi yang luput dari perkiraan. Adalah Abah haji. Beliau seumpama pemberat tambahan dalam timbangan hati Akang.

                Tidak mengapa jika memang perasaan Hena tak serupa dengan yang Akang miliki. Walau berat, setidaknya hati Akang sudah mulai bisa menerima keadaan ini. Tapi kini. Semenjak terlibatnya Abah haji dalam perkara satu ini. Sungguh, Akang tidak pernah bisa berkutik. Sebab Abah haji sudah seperti ayah ke dua bagi Akang.

                Jika boleh Akang berandai-andai. Ingin rasanya dia memutar waktu dan kembali pada sesaat sebelum keberangkatannya ke kampung. Disana, dia akan menekadkan diri supaya penelitian skripsinya bisa selesai dalam waktu tiga hari. Bila perlu hanya dua hari. Dengan begitu, tidak akan pernah tertulis takdir Akang yang bertemu dengan Abah haji di hari ke tujuh. Tidak akan pernah.

                Akang masih terhempas di tempat tidurnya. Otaknya sudah mandek. Semua jalan sudah buntu. Ada satu yang mungkin bisa Akang buka. Tetapi ada sebuah syarat yang harus Akang bayar mahal. Yaitu menghubungi Hena. Sebuah tindakan yang justru selama ini sangat Akang hindari. 

                Akang memejamkan kedua kelopak matanya. Ia berpikir dalam. Dalam sekali. 

                Akang membuka kembali kelopak matanya. Sebuah wajah keyakinan terpampang jelas dalam warna wajahnya. Ya, sepertinya hanya itulah jalan yang mampu Akang tempuh sekarang. Tidak ada yang lain. 

                Akang kembali menutup matanya. Sekali lagi ia mencoba meyakinkan dirinya. Bismillah.

                Akang duduk di ujuung risbang. Ia menyambar hape di atas meja kecil. Jemarinya langsung menari pada jajaran huruf alfabet di hape.

                Akang masih mengetik. Suara detak jam dinding menjadi musik pengiringnya. 

                Seluruh kalimat yang ada di dada Akang kini sudah tersalin pada layar hape. Siap untuk segera dikirim.

                Kembali, perlahan keraguan mulai mengikis keyakinan Akang. Apakah langkah ini benar? Tanya Akang dalam hati.

                Akang kembali memejam. Mencoba bertanya pada hatinya yang paling dalam.

                Bismillah. InsyaAllah langkah ini benar.  

                TUUUT

                Jempol Akang menekan tombol kirim. Pesan itu meluncur mengahampiri tujuan.

                Tiga detik berselang. Setelah mengarungi jarak yang tidak lebih dari enam puluh meter, pesan Akang tiba pada sebuah kamar. Pada hape milik Hena yang sedang berbaring menemani sang pemilik. 

                Hena menoleh pada hapenya yang berdering. Ada sebuah pesan masuk. Mata sang gadis ini menyipit saat sadar pesan ini datangnya dari Akang. Hena kaget. Dadanya bertanya-tanya.

                Na. Akang tidak tahu apakah Na sudah tahu atau tidak soal ini. Jika belum, Akang rasa Na harus tahu. Tadi, selepas isya, Akang mengobrol dengan Abah. Disela-sela obrolan itu, Abah mengutarakan sesuatu yang sangat mengagetkan Akang. Abah bilang, katanya beliau sangat berharap Akang akan menjadi menantunya, dengan kata lain, Abah meminta Akang untuk menjadi pendamping Hena. >>>

                Kalimat yang Akang kirimkan kepanjangan. Karenanya dia mengirim pesannya menjadidua bagian.

                Saat mendengar itu, Akang tidak tahu harus bahagia atau nelangsa. Terus terang Akang tidak mampu menjawab permintaan Abah itu. Sebab jauh-jauh hari sebelumnya Akang telah tahu bahwa tidak ada nama Akang di hati Na.Sekali lagi Akang katakan, jujur Akang tidak akan pernah sanggup untuk menjawab permintaan Abah itu. Penyebabnya mungkin Na juga sudah tahu, karena nama Na terukir dengan sangat jelas di hati Akang. Untuk itu, Akang mohon agar Na sendiri yang mengatakan hal ini pada Abah. Akang mohon, mohon dengan sangat. 

                Dengan posisi masih rebahan di kasurnya, kedua mata Hena berhenti berkedip. Tidak henti ia menatap dua buah pesan dari Akang. Tidak tahu harus bertindak seperti apa. Buntu. Gelap.
***

                Dini hari. Jam dua lewat beberapa menit. Hena duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Mukena putih masih membungkus tubuhnya. Badan hape sudah menjadi hangat karena genggaman tangan Hena. Kalimat panjang sudah tertera jelas di layar hape. Hanya tinggal menunggu dikirimkan saja. 

                Yaa Allah, hamba serahkan semuanya kepadaMu. Hamba pasrah. Engkau tahu yang terbaik untuk hambaMu yang lemah ini.

                Hena menutup matanya. Sebuah bitiran air mencul di sudut matanya.

                KLIIIK

                Deretankalimat panjang itu telah terkirim.
***

                Sepertiga malam terakhir. Jam empat lewat sedikit. Hanya beberapa menit lagi menuju waktu subuh.

                Sebelum membuat keputusan, Akang sekali lagi mencoba untuk membaca pesan jawaban Hena. Sebuah pesan panjang yang memposisikan diri Akang pada persimpangan. Antara cintanya, dengan rasa empatinya terhadap hati seorang wanita yang Akang anggap tidak mencintai dirinya.

                Akang, perlu Akang ketahui, Abah selalu memilihkanyang terbaik untuk Hena, dalam hal apapun. Waktu telah membuktikan itu. Dulu, sering kali hati Hena bertentangan dengan pilihan Abah. Hena setengah hati menerima pilihan Abah. Tapi, seiring waktu berjalan, Hena sadar, bahwa apa yang Abah pilihkan itu memang yang terbaik untuk Hena. Memang untuk kebaikan Hena...

                Pesan balasan selajutnya.

                ...Hena percayakan semuanya pada Akang. Hena percaya Akang pasti bisa menentukan pilihan yang tepat. Sebab Akang adalah seorang pemuda yang istimewa. Ini terbukti dengan dipilihnya Akang oleh Abah. Sekali lagi, Hena percayakan semuanya pada Akang. Hena pasrah, insyaAllah akan menerima apapun pilihan Akang itu. 

                Akang memejam. Kuatkan hamba Yaa Rabb. Bimbinglah hamba.

                Segera Akang mengetik pesan balasan untuk Hena. Untuk seorang wanita pujaan hati yang mungkin tidak bisa dia miliki. 

                Bismillahirrahmaanirrahiim.

                KLIIIK

                Pesan balasan Akang telah terkirim.

                Duhai Allah. Hamba pasrah. Hamba serahkan semuanya pada kuasa Engkau. 

                Keinginan Akang terbetot untuk kembali membaca pesan yang telah dia berikan untuk Hena.

                Di atas sajadah biru, Akang menatap layar hape. 

                Jujur, hingga detik ini Akang masih mencintai Hena. Namun, disamping itu juga, Akang tidak ingin membebani hati Hena, wanita yang sangat Akang kasihi, tersebab harus terpaksa menjalani sisa usia Na dengan seorang laki-laki yang tidak Na cintai. Selain itu, Akang tidak akan pernah merasa bahagia seandainya kelak Akang hidup satu atap dengan seorang wanita yang jelas-jelas tidak mencintai Akang. Sungguh, Akang tidak pernah menginginkan hidup yang seperti itu. >>>

                Pesan lanjutannya.

                Untuk itu, Akang memilih mundur. Jika Na juga tidak berani mengatakan hal ini pada Abah. Biarlah, biar nanti Akang yang mengatakan langsung pada Abah. Akang mohon Na bantu dengan do’a, agar semuanya dilancarkan. 

                Menjelang subuh, di atas sajadah tempat Hena bersimpuh. Tangannya bergetar membaca pesan balasan Akang. Sebutir air kembali keluar dari sudut mata gadis cantik jelita itu.

                Dan, pada sebuah kamar yang berbeda, Akang masih bersimpuh di atas sajadah birunya. Sekuat tenaga dia menahan kesedihannya agar tidak keluar dari sudut matanya.

                Kuatkan hamba Yaa Rabb.

                Kuatkan Hamba Yaa Rabb.

                Do’a yang serupa pada dua tempat yang berbeda.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar