Waktu
dhuha. Sekitar jam delapan pagi. Semua keperluan sudah masuk ke dalam tas
gendong warna coklat yang berukuran numayan besar. Laptop sudah masuk. Tumpukan
kertas hasil penelitian telah tersusun rapih, berhimpitan dengan laptop dan
beberapa potong pakaian yang Akang bawa untuk keperluan selama di kampung.
Tas
warna hitam itu Akang simpan di atas kasur, disandarkan pada dinding.
Akang
duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Beberapa menit terakhir, bulatan
hitam mata Akang terfokus pada sebuah benda yang sedang ia genggam. Benda itu
adalah sebuah bentuk hati warna merah yang bisa dibuka. Di dalamnya tersimpan
satu benda berbentuk lingkaran yang terdapat tonjolan pada salah satu sisinya.
Sebuah tonjolan benda bulat putih yang berkilau. Adalah mutiara. Benda yang
sejak lama tersimpan rapih di dalam kotak hati warna merah itu adalah cincin
mutiara.
Pandangan
Akang masih setia pada cincin mutiara di dalam kotak hati yang ia genggam. Ingatannya
terlempar kembali pada sebuah tempat yang Akang datangi sekitar dua tahun lalu.
Yaitu Lombok. Di tempat itulah Akang mendapatkan cincin mutiara nan berkilau ini.
Saat pertama kali melihat cincin ini, layar di pikiran Akang langsung
menggambarkan wajah seorang gadis yang menurut Akang, kecantikannya berkibar di
angkasa desanya. Seorang gadis yang Akang sebut sebagai kembang desa. Dia tidak
lain adalah Hena.
Satu
detik setelahnya, Akang melangkah menghampiri cincin yang menggoda hatinya itu.
Sebentar melakukan transaksi dengan Mbak penjaga toko, lalu cincin itu sudah
resmi berganti kepemilikan menjadi kepunyaannya Akang. Kalimat pertama yang
Akang gumamkan ketika itu adalah “Kelak,
cincin ini akan saya berikan kepada Hena, saat saya telah siap untuk
meminangnya”.
Setiap
kali Akang sedang teringat Hena. Setiap rindu sedang tidak bisa diajak
berkompromi lagi. Tidak ada pilihan lain bagi Akang selain segera membuka
sebuah kotak berbentuk hati warna merah yang di dalamnya ada cincin mutiara
ini. Dan, Akang tidak akan menghentikan untuk terus memandangi cincin ini
selama rasa rindu itu masih bercokol di hatinya. Begitu terus yang Akang
lakukan, selama sang rindu itu bertandang menghampiri sang hati.
Tapi
sayang sejuta kali sayang. Setelah menemui kenyataan yang tidak sesuai dengan
harapan, tampaknya Akang harus melupakan kalimat yang ia tekadkan kala pertama
kali mendapatkan cincin mutiara yang indah ini. Akang harus menghapus ingatan
itu. Sebab bagi Akang, sudah tidak ada pintu lagi untuk memasuki hati sang
gadis pujaan hati. Sebab, kini Akang telah tahu, bahwa tidak ada namanya di
hati kembang desa itu.
Lantas,
apalah guna dari cincin mutiara ini sekarang selain hanya menimbulkan luka jika
Akang sedang melihatnya. Untuk itu, tidak ada pilihan lain bagi Akang selain
meninggalkannya di rumah. Akan ia simpan di sudut lemari yang paling sudut.
Disimpan di balik tumpukan lipatan baju.
TEKK
Jemari
Akang menutup tempat cincin di tangannya. Lalu Akang letakan rumah cincin itu di
sampingnya. Akang menyimpan kedua tangannya di samping sedikit agak kebelakang.
Pada topangan kedua tangan itu Akang bersandar. Mukanya ia arahkan ke atas,
pada langit-langit kamarnya.
Akang
memutar otak agar bisa mendapatkan sekumpulan kalimat yang akan ia utarakan
pada Abah haji. Sekumpulan kalimat yang mungkin akan mengakhiri kisahnya dengan
Hena.
Akang
menutup kelopak matanya. Berusaha lebih keras untuk memutar otaknya dua kali
lebih kencang. Berharap segera menemukan kalimat yang ia butuhkan. Supaya seorang
laki-laki setengah baya yang sudah Akang anggap sebagai ayah keduanya itu juga
bisa menerima keadaan ini. Sebuah keadaan yang sesungguhnya juga sangat sulit
untuk Akang terima. Sebuah keadaan yang menempatkan Akang pada posisi seorang
laki-laki yang tidak bisa bersanding dengan Hena. Seorang wanita cantik jelita
putrinya Abah haji.
Saat
ini, tidak hanya rasa perih karena sudah tidak mungkin lagi bisa mendapatkan
Hena untuk dijadikan colon pendamping hidup. Tapi ada satu lagi tunas yang
mucul tepat di samping rasa perih itu. Sebuah tunas yang tumbuh karena tersiram
oleh rasa ketidak enakan hati Akang terhadap Abah haji. Ketidak enakan yang
datang bersamaan dengan jawaban yang mungkin sebentar lagi akan Akang berikan
kepada sang ayah kedua itu. Ya, karena itu.
Duhai Abah, jika saja Akang bisa berganti
posisi hati dengan Hena. Jika saja yang jauh cinta itu adalah Hena dan yang
tidaknya adalah Akang, maka sungguh, Akang akan penuhi permintaan Abah tempo
hari. Tapi sayang, Akang tidak memiliki kuasa untuk melakukan itu. Garis takdir
berjalan berseberangan dengan kemungkinan itu. Dan cerita pun tetap berlanjut
sebagaimana mestinya. Bahwa Hena yang tidak menyimpan nama Akang di hatinya.
Maafkan Akang, Duhai Abah.
Akang
kembali membuka kelopak matanya. Bersiap untuk menemui Abah haji dan Ummi di
rumahnya.
***
“Do’ain
Akang, Bah ya,” Akang menyalami tangan Abah haji. Berat sekali kalimat itu
untuk bisa dikeluarkan.
Abah
haji mengangguk. Beliau meletakan tangan kanannya di pundak sebelah kiri Akang.
Kemudian mengusap-usapnya, seperti sedang mengusap pundak anaknya sendiri kala
sang anak hendak pergi jauh.
Akang
melirik Ummi yang berdiri di samping Abah haji. Ia mendekat pada Ibunya Hena
itu.
“Mi,
do’ain Akang ya,” Akang menyalami tangan Ummi.
Ummi
mengangguk dengan gerakan pelan. Anggukannya lebih lembut ketimbang anggukan
Abah haji barusan. Wajah Ummi terpasang seperti tidak rela untuk melepas seorang
pemuda yang ada di hadapannya. Jika bisa, ingin rasanya perempuan cantik
setengah baya itu memeluk Akang dan tidak akan dilepas hingga selamanya. Sebuah
pelukan lembut tanda kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.
Entah
sadar atau tidak, Ummi meletakan tangan kanannya pada kepala Akang. Dengan
gerakan lembut tangan itu mengelus kepala seorang pemuda di hadapannya.
Akang
mendongak, memfokuskan mata pada wajah Ummi. Sebelah hati Akang tidak percaya
dengan apa yang dilakaukan Ummi. Sebelah hati sisanya tersiram sebuah rasa yang
tidak mampu Akang terjemahkan artinya. Laki-laki itu terpaku menatap wajah
teduh Ummi.
Duhai Ummi, Akang sudah menganggap Ummi
sebagai Ibu kedua. Akang mencintai Abah juga Ummi. Akang mencintai “Rasa
Sayang” yang diberikan Abah dan Ummi pada Akang selama ini. Sudah tidak
terhitung berapa banyak ilmu yang Akang dapatkan dari Abah dan Ummi. Layaknya
Akang kepada Bapak dan Ibu Akang yang sebenarnya, begitu pula Akang kepada Abah
dan Ummi. Sampai kapanpun, Akang tidak akan pernah bisa membalas kebaikan yang
pernah Abah dan Ummi berikan pada Akang. Sungguh tidak akan pernah bisa.
Duhai Ummi, Maafkan Akang, sebab
Akang tidak mampu memenuhi permintaan Abah dan Ummi yang satu ini. Maafkan
Akang. Maafkan Akang.
Akang
tidak ingin berlama-lama dengan kesedihan ini. Ia seperti merasakan jika sang
kesedihan itu telah berada di ujung tebing hatinya.
Sekejap lagi, boleh jadi air mata akan menetes di pelupuk matanya. Untuk itu,
Akang tidak ingin menampakan kesedihannya pada ayah dan ibu keduanya itu.
“Akang
berangkat, Bah, Mi. Assalamu’alaikum.”
Akang
membalikan badan. Ia melangkah pelan meninggalkan Abah haji dan Ummi yang
berdiri melepas kepergian Akang di teras depan rumahnya. Tiada henti tatapan
sepasang suami istri itu terarah pada punggung Akang yang semakin menjauh tiap
detiknya.
Akang
terus melangkah menjauh.
Di
sana, pada celah gorden jendela kamar yang sengaja disingkapkan, Hena berdiri
mematung melepas kepergian Akang.
Duhai Abah, Wahai Ummi. Jika saja Akang bisa
menukar hati Akang dengan hati Hena. Ceritanya mungkin tidak akan seperti ini.
Sepanjang
langkahnya, Akang melirihkan kalimat ini.
Duhai Abah, Wahai Ummi. Jika saja Akang bisa
menukar hati Akang dengan hati Hena. Ceritanya mungkin tidak akan seperti ini.
Akang
kembali melirihkan kalimat ini.
Duhai
Abah, Wahai Ummi. Jika saja Akang bisa menukar hati Akang dengan hati Hena.
Ceritanya mungkin tidak akan seperti ini.
Lagi-lagi,
hati Akang terus melirihkan kalimat ini.
Hena
masih berdiri pada tempat yang sama. Ia belum ingin melepas pandangannya dari
Akang, dari Akang yang terus melangkah pergi.
Duhai Akang, seorang pemuda yang teramat istimewa.
Apakah benar jika cinta itu memang harus ada pada saat menjelang pernikahan? Bagaimana
dengan kemungkinan cinta yang akan datang setelahnya? Apakah Akang tidak
percaya dengan hal itu? Apakah Akang tidak percaya dengan kemungkinan itu?
Duhai Akang, seorang pemuda yang
menurut Hena sangat istimewa. Saat ini, memang tidak ada ruang untuk cinta
Akang di hati Hena. Tapi entah kenapa? Entah kenapa? Seperti ada ganjalan kecil
yang teronggok di sudut hati Hena. Dan itu membuat hati ini merasa tidak
tenang.
Duhai Akang, mengapa hati ini
seperti tidak rela melepas kepergian Akang? Mengapa, Kang? Mengapa?
Hena masih mematung di balik
jendela kamar. Masih menatap sebuah punggung yang sama, yang kian lama tampak
kian menghilang.
***
Mobil
angkot tujuan Cilegon meluncur sepanjang jalan raya yang mengikuti setiap
liukan garis pantai Anyer. Akang duduk di kursi depan. Bersebelahan dengan sang
pengemudi.
Akang
melempar pandangannya keluar jendela. Tatapannya menerawang jauh ke hamparan
laut biru. Sesekali pandangannya terhalang oleh jajaran villa-villa dan
hotel-hotel yang pertumbuhannya kian menjamur saja. Sebisa mungkin, Akang ingin
mengisi perjalanan kali ini dengan tanpa sebuah kesedihan. Sepanjang perjalanan
yang sudah terlewat Akang mencoba menghibur diri. Dan mungkin akan terus
berlanjut untuk perjalanan setelahnya.
Langkah
pertama yang harus Akang lakukan adalah menerima takdir yang telah terjadi pada
hidupnya. Dengan begitu, setengah persoalan sudah bisa terselesaikan. Setengah
sisanya mungkin akan Akang hadapi dengan bantuan sang waktu. Dan langkah
berikutnya adalah bahwa setelah wisuda nanti, Akang tidak akan terlebih dahulu
untuk pulang kampung. Mungkin untuk waktu yang tidak sedikit. Akang hendak mencoba
tinggal pada sebuah lingkungan yang baru. Dan baru akan kembali ketika beberapa
biji kenangan di hatinya sudah menjadi netral kembali.
Angkot
yang Akang tumpangi semakin cepat melaju. Bersamaan dengan itu, semakin jauh
pula meninggalkan kampung tercinta.
Separuh
beban hati Akang terbuang bersama dengan asap lembut yang keluar dari knalpot
angkot. Akang masih berusaha untuk menikmati perjalanan ini. Menikmati pemandangan
eksotis yang diberikan pantai Anyer.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar