Senin, 23 September 2013

Cincin Mutiara (9)



                Waktu dhuha. Sekitar jam delapan pagi. Semua keperluan sudah masuk ke dalam tas gendong warna coklat yang berukuran numayan besar. Laptop sudah masuk. Tumpukan kertas hasil penelitian telah tersusun rapih, berhimpitan dengan laptop dan beberapa potong pakaian yang Akang bawa untuk keperluan selama di kampung. 

                Tas warna hitam itu Akang simpan di atas kasur, disandarkan pada dinding. 

                Akang duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Beberapa menit terakhir, bulatan hitam mata Akang terfokus pada sebuah benda yang sedang ia genggam. Benda itu adalah sebuah bentuk hati warna merah yang bisa dibuka. Di dalamnya tersimpan satu benda berbentuk lingkaran yang terdapat tonjolan pada salah satu sisinya. Sebuah tonjolan benda bulat putih yang berkilau. Adalah mutiara. Benda yang sejak lama tersimpan rapih di dalam kotak hati warna merah itu adalah cincin mutiara. 

                Pandangan Akang masih setia pada cincin mutiara di dalam kotak hati yang ia genggam. Ingatannya terlempar kembali pada sebuah tempat yang Akang datangi sekitar dua tahun lalu. Yaitu Lombok. Di tempat itulah Akang mendapatkan cincin mutiara nan berkilau ini. Saat pertama kali melihat cincin ini, layar di pikiran Akang langsung menggambarkan wajah seorang gadis yang menurut Akang, kecantikannya berkibar di angkasa desanya. Seorang gadis yang Akang sebut sebagai kembang desa. Dia tidak lain adalah Hena.

                Satu detik setelahnya, Akang melangkah menghampiri cincin yang menggoda hatinya itu. Sebentar melakukan transaksi dengan Mbak penjaga toko, lalu cincin itu sudah resmi berganti kepemilikan menjadi kepunyaannya Akang. Kalimat pertama yang Akang gumamkan ketika itu adalah “Kelak, cincin ini akan saya berikan kepada Hena, saat saya telah siap untuk meminangnya”. 

                Setiap kali Akang sedang teringat Hena. Setiap rindu sedang tidak bisa diajak berkompromi lagi. Tidak ada pilihan lain bagi Akang selain segera membuka sebuah kotak berbentuk hati warna merah yang di dalamnya ada cincin mutiara ini. Dan, Akang tidak akan menghentikan untuk terus memandangi cincin ini selama rasa rindu itu masih bercokol di hatinya. Begitu terus yang Akang lakukan, selama sang rindu itu bertandang menghampiri sang hati.

                Tapi sayang sejuta kali sayang. Setelah menemui kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan, tampaknya Akang harus melupakan kalimat yang ia tekadkan kala pertama kali mendapatkan cincin mutiara yang indah ini. Akang harus menghapus ingatan itu. Sebab bagi Akang, sudah tidak ada pintu lagi untuk memasuki hati sang gadis pujaan hati. Sebab, kini Akang telah tahu, bahwa tidak ada namanya di hati kembang desa itu.

                Lantas, apalah guna dari cincin mutiara ini sekarang selain hanya menimbulkan luka jika Akang sedang melihatnya. Untuk itu, tidak ada pilihan lain bagi Akang selain meninggalkannya di rumah. Akan ia simpan di sudut lemari yang paling sudut. Disimpan di balik tumpukan lipatan baju. 

                TEKK

                Jemari Akang menutup tempat cincin di tangannya. Lalu Akang letakan rumah cincin itu di sampingnya. Akang menyimpan kedua tangannya di samping sedikit agak kebelakang. Pada topangan kedua tangan itu Akang bersandar. Mukanya ia arahkan ke atas, pada langit-langit kamarnya.

                Akang memutar otak agar bisa mendapatkan sekumpulan kalimat yang akan ia utarakan pada Abah haji. Sekumpulan kalimat yang mungkin akan mengakhiri kisahnya dengan Hena. 

                Akang menutup kelopak matanya. Berusaha lebih keras untuk memutar otaknya dua kali lebih kencang. Berharap segera menemukan kalimat yang ia butuhkan. Supaya seorang laki-laki setengah baya yang sudah Akang anggap sebagai ayah keduanya itu juga bisa menerima keadaan ini. Sebuah keadaan yang sesungguhnya juga sangat sulit untuk Akang terima. Sebuah keadaan yang menempatkan Akang pada posisi seorang laki-laki yang tidak bisa bersanding dengan Hena. Seorang wanita cantik jelita putrinya Abah haji. 

                Saat ini, tidak hanya rasa perih karena sudah tidak mungkin lagi bisa mendapatkan Hena untuk dijadikan colon pendamping hidup. Tapi ada satu lagi tunas yang mucul tepat di samping rasa perih itu. Sebuah tunas yang tumbuh karena tersiram oleh rasa ketidak enakan hati Akang terhadap Abah haji. Ketidak enakan yang datang bersamaan dengan jawaban yang mungkin sebentar lagi akan Akang berikan kepada sang ayah kedua itu. Ya, karena itu.

                Duhai Abah, jika saja Akang bisa berganti posisi hati dengan Hena. Jika saja yang jauh cinta itu adalah Hena dan yang tidaknya adalah Akang, maka sungguh, Akang akan penuhi permintaan Abah tempo hari. Tapi sayang, Akang tidak memiliki kuasa untuk melakukan itu. Garis takdir berjalan berseberangan dengan kemungkinan itu. Dan cerita pun tetap berlanjut sebagaimana mestinya. Bahwa Hena yang tidak menyimpan nama Akang di hatinya.

                Maafkan Akang, Duhai Abah.

                Akang kembali membuka kelopak matanya. Bersiap untuk menemui Abah haji dan Ummi di rumahnya.
***

                “Do’ain Akang, Bah ya,” Akang menyalami tangan Abah haji. Berat sekali kalimat itu untuk bisa dikeluarkan.

                Abah haji mengangguk. Beliau meletakan tangan kanannya di pundak sebelah kiri Akang. Kemudian mengusap-usapnya, seperti sedang mengusap pundak anaknya sendiri kala sang anak hendak pergi jauh. 

                Akang melirik Ummi yang berdiri di samping Abah haji. Ia mendekat pada Ibunya Hena itu. 

                “Mi, do’ain Akang ya,” Akang menyalami tangan Ummi. 

                Ummi mengangguk dengan gerakan pelan. Anggukannya lebih lembut ketimbang anggukan Abah haji barusan. Wajah Ummi terpasang seperti tidak rela untuk melepas seorang pemuda yang ada di hadapannya. Jika bisa, ingin rasanya perempuan cantik setengah baya itu memeluk Akang dan tidak akan dilepas hingga selamanya. Sebuah pelukan lembut tanda kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. 

                Entah sadar atau tidak, Ummi meletakan tangan kanannya pada kepala Akang. Dengan gerakan lembut tangan itu mengelus kepala seorang pemuda di hadapannya. 

                Akang mendongak, memfokuskan mata pada wajah Ummi. Sebelah hati Akang tidak percaya dengan apa yang dilakaukan Ummi. Sebelah hati sisanya tersiram sebuah rasa yang tidak mampu Akang terjemahkan artinya. Laki-laki itu terpaku menatap wajah teduh Ummi.

                Duhai Ummi, Akang sudah menganggap Ummi sebagai Ibu kedua. Akang mencintai Abah juga Ummi. Akang mencintai “Rasa Sayang” yang diberikan Abah dan Ummi pada Akang selama ini. Sudah tidak terhitung berapa banyak ilmu yang Akang dapatkan dari Abah dan Ummi. Layaknya Akang kepada Bapak dan Ibu Akang yang sebenarnya, begitu pula Akang kepada Abah dan Ummi. Sampai kapanpun, Akang tidak akan pernah bisa membalas kebaikan yang pernah Abah dan Ummi berikan pada Akang. Sungguh tidak akan pernah bisa.

                Duhai Ummi, Maafkan Akang, sebab Akang tidak mampu memenuhi permintaan Abah dan Ummi yang satu ini. Maafkan Akang. Maafkan Akang.

                Akang tidak ingin berlama-lama dengan kesedihan ini. Ia seperti merasakan jika sang kesedihan itu telah berada di ujung tebing hatinya. Sekejap lagi, boleh jadi air mata akan menetes di pelupuk matanya. Untuk itu, Akang tidak ingin menampakan kesedihannya pada ayah dan ibu keduanya itu. 

                “Akang berangkat, Bah, Mi. Assalamu’alaikum.   

                Akang membalikan badan. Ia melangkah pelan meninggalkan Abah haji dan Ummi yang berdiri melepas kepergian Akang di teras depan rumahnya. Tiada henti tatapan sepasang suami istri itu terarah pada punggung Akang yang semakin menjauh tiap detiknya. 

                Akang terus melangkah menjauh. 

                Di sana, pada celah gorden jendela kamar yang sengaja disingkapkan, Hena berdiri mematung melepas kepergian Akang. 

                Duhai Abah, Wahai Ummi. Jika saja Akang bisa menukar hati Akang dengan hati Hena. Ceritanya mungkin tidak akan seperti ini.

                Sepanjang langkahnya, Akang melirihkan kalimat ini.

                Duhai Abah, Wahai Ummi. Jika saja Akang bisa menukar hati Akang dengan hati Hena. Ceritanya mungkin tidak akan seperti ini.

                Akang kembali melirihkan kalimat ini.

                 Duhai Abah, Wahai Ummi. Jika saja Akang bisa menukar hati Akang dengan hati Hena. Ceritanya mungkin tidak akan seperti ini.

                Lagi-lagi, hati Akang terus melirihkan kalimat ini.

                Hena masih berdiri pada tempat yang sama. Ia belum ingin melepas pandangannya dari Akang, dari Akang yang terus melangkah pergi. 

                Duhai Akang, seorang pemuda yang teramat istimewa. Apakah benar jika cinta itu memang harus ada pada saat menjelang pernikahan? Bagaimana dengan kemungkinan cinta yang akan datang setelahnya? Apakah Akang tidak percaya dengan hal itu? Apakah Akang tidak percaya dengan kemungkinan itu?    

                Duhai Akang, seorang pemuda yang menurut Hena sangat istimewa. Saat ini, memang tidak ada ruang untuk cinta Akang di hati Hena. Tapi entah kenapa? Entah kenapa? Seperti ada ganjalan kecil yang teronggok di sudut hati Hena. Dan itu membuat hati ini merasa tidak tenang.

                Duhai Akang, mengapa hati ini seperti tidak rela melepas kepergian Akang? Mengapa, Kang? Mengapa?

                Hena masih mematung di balik jendela kamar. Masih menatap sebuah punggung yang sama, yang kian lama tampak kian menghilang.
***

                Mobil angkot tujuan Cilegon meluncur sepanjang jalan raya yang mengikuti setiap liukan garis pantai Anyer. Akang duduk di kursi depan. Bersebelahan dengan sang pengemudi. 

                Akang melempar pandangannya keluar jendela. Tatapannya menerawang jauh ke hamparan laut biru. Sesekali pandangannya terhalang oleh jajaran villa-villa dan hotel-hotel yang pertumbuhannya kian menjamur saja. Sebisa mungkin, Akang ingin mengisi perjalanan kali ini dengan tanpa sebuah kesedihan. Sepanjang perjalanan yang sudah terlewat Akang mencoba menghibur diri. Dan mungkin akan terus berlanjut untuk perjalanan setelahnya.

                Langkah pertama yang harus Akang lakukan adalah menerima takdir yang telah terjadi pada hidupnya. Dengan begitu, setengah persoalan sudah bisa terselesaikan. Setengah sisanya mungkin akan Akang hadapi dengan bantuan sang waktu. Dan langkah berikutnya adalah bahwa setelah wisuda nanti, Akang tidak akan terlebih dahulu untuk pulang kampung. Mungkin untuk waktu yang tidak sedikit. Akang hendak mencoba tinggal pada sebuah lingkungan yang baru. Dan baru akan kembali ketika beberapa biji kenangan di hatinya sudah menjadi netral kembali. 

                Angkot yang Akang tumpangi semakin cepat melaju. Bersamaan dengan itu, semakin jauh pula meninggalkan kampung tercinta. 

                Separuh beban hati Akang terbuang bersama dengan asap lembut yang keluar dari knalpot angkot. Akang masih berusaha untuk menikmati perjalanan ini. Menikmati pemandangan eksotis yang diberikan pantai Anyer.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar