(SATU TAHUN BERLALU)
Tiga
ratus enam puluh lima hari, sudah lebih dari cukup untuk membuat kulit yang
membungkus tubuh Akang menjadi agak kebal terhadap sengatan dinginnya udara
Ranupane. Sebuah tempat berpenghuni tertinggi di pulau Jawa. Sebuah desa yang
letaknya ada di kaki gunung paling tinggi di pulau Jawa, yaitu Gunung Semeru.
Tidak
terasa, sudah satu tahun Akang mengikuti program pemerintah yang menugaskan
para sarjana baru untuk mengajar di daerah-daerah pelosok. Sudah dua belas
bulan Akang mengemban tugas negara yang mulia ini. Artinya, kini hanya tinggal
hitungan hari saja keberadaan Akang di tempat yang mempesona ini.
Malam
ini, selepas waktu isya, Akang pamit keluar rumah kepada sang ayah angkat. Setiap
pengajar muda yang ditugaskan mengabdi ke suatu daerah, mereka akan ditempatkan
untuk tinggal pada satu keluarga yang ada di tempat tugas itu. Nah, sang kepala
keluarga inilah yang menjadi ayah angkat pengajar muda. Begitupun dengan
anggota keluarga lainnya. Mereka sudah dianggap sebagai satu keluarga. Tidak
hanya statusnya saja, perlakuannya pun sudah seperti layaknya keluarga pada
umumnya. Hal inilah salah satu yang membuat Akang begitu betah mengabdi di
Ranupane.
Akang
keluar dengan mengenakan pakaian khas daerah Ranupane. Celana panjang dan baju
tebal dari kain wol yang dikenakan memang biasa-biasa saja. Tapi sebuah sarung
dan kupluk tebal yang menjadikan Akang sudah seperti penduduk asli desa
tertinggi di pulau Jawa ini.
Sebuah
kupluk tebal warna coklat meringkus kepala Akang. Sarung kotak-kotak di
belitkan pada tubuhnya. Kedua ujung sarung itu dipertemukan di depan leher,
lalu diikat. Dengan mengenakan pakaian khas Ranupane ini, Akang melangkah
perlahan menembus dinginnya udara malam.
“Mas
Akang, sampean mau kemana?” sapa seorang pemuda seumuran Akang yang sedang
nongkrong dengan pemuda lainnya di teras depan rumah.
“Mau
ke Ranupane, Mas,” jawab Akang sambil memberi sebuah senyuman.
“Ngapain
malam-malam begini ke Ranupane? Sampean mau renang, Mas?” canda pemuda lainnya.
Tawa pecah di antara kumpulan pemuda itu. Akang tertawa kecil.
“Gak
ngapa-ngapain, Mas. Cuman mau melamun saja.”
“Mau
kami temani gak, Mas?” tawar pemuda yang menyapa Akang di awal.
“Gak
usah, Mas. Melamun itu enaknya hanya sendirian saja. Kalau banyak orang
nantinya malah jadi sering ngobrol,” di ujung kalimatnya Akang tertawa renyah.
“Kenapa
sampean gak ke Ranukumolo aja, Mas? Akhir pekan seperti ini biasanya banyak
pendaki yang kemah lho,” seorang pemuda lain memberi saran.
“Kejauhan,
Mas. Nembus hutan. Gelap lagi,” Akang nyengir.
“Yowis. Hati-hati, Mas ya.”
“Iya,
Mas. Mari!” Akang melambaikan tangan pada sekumpulan pemuda itu. Mereka
membalas lambaian Akang secara bersamaan.
Akang
kembali melanjutkan langkah. Angin malam menyapa tubuh pemuda yang berjalan
seorang diri saja itu. Akang melipatkan kedua tangannya di dada. Membentuk
pertahanan dari serangan udara dingin malam ini.
***
Malam
ini sedang tidak ada rembulan. Sementara bintang gemintang berkerlipan di
langit yang telah merubah kulitnya menjadi hitam. Akang duduk memeluk kakinya
yang ditekuk. Ia duduk sendiri menghadap Ranupane, sebuah kolam dengan ukuran
beberapa kali luas lapangan sepak bola.
Akang
menatap wajah langit. Ia tersenyum. SubhanaAllah,
indah nian maha karya Sang Pencipta. Gumam Akang dalam hati. Sebelumnya, tidak
pernah Akang mendapati wajah langit serupawan malam ini. Di sini, di atap pulau
Jawa ini, dengan pencemaran cahaya yang hanya secuil, jumlah kerlipan kecil di
langit tampak dua kali lebih banyak ketimbang saat Akang menatapnya di tempat
lain. Oh, mempesona.
Waktu
serasa cepat berlalu. Tidak terasa, setahun sudah Akang hidup di desa mempesona
ini. Mengabdikan diri untuk membagikan ilmunya yang didapat selama empat tahun
di dunia kampus, kepada anak-anak Ranupane. Walaupun sebenarnya, Akang lebih
merasa dirinya lah yang sebenarnya sedang mendapat asupan ilmu. Tidak sedikit
ilmu kehidupan yang Akang dapatkan dari para penduduk Ranupane. Dari keluarga
angkat yang melayani Akang sudah seperti keluarga yang sebenarnya. Akang
belajar tanggung jawab dari para bapak yang seperti tidak memiliki rasa lelah
untuk terus berladang demi membahagiakan keluarga. Akang belajar ketulusan dari
anak-anak Ranupane. Pokoknya Akang belajar banyak hal di tempat yang
menakjubkan ini.
Akang
masih menatap langit. Terhitung, ratusan kali sudah Akang bertatap muka dengan
langit malam Ranupane. Malam ini Akang menemukan perbedaan dengan malam-malam
sebelumnya. Malam ini, kulit langit seperti lebih hitam. Bintang gemintang
seperti telah beranak pinak. Keindahannya menjadi berlipat-lipat.
Akang
termenung. Selalu saja seperti ini. Apapun itu, selalu saja terasa lebih saat
semuanya akan segera ditinggalkan. Selalu saja tampak lebih indah ketika hanya
tinggal beberapa saat lagi akan ditinggalkan. Ya, masa bakti Akang di tempat
ini telah habis. Besok lusa Akang akan segera meninggalkan semua keindahan yang
ia rasakan selama satu tahun terakhir di desa tertingggi di pulau Jawa ini. Akang
sadar, bahwa akan ada air mata saat perpisahan lusa nanti. Untuk itu, ia telah
menyiapkan mental sekuat baja untuk menghadapi semuanya.
Akang
menurunkan wajahnya. Kini ia menatap riak-riak Ranupane yang memendarkan
kerlipan cahaya bintang. Kilatan kecil kolam raksasa itu seperti sedang mengerlingkan
matanya untuk menggoda Akang. Menggoda Akang untuk tidak pergi. Menggoda Akang
untuk tetap tinggal di tempat ini.
Angin
malam Ranupane bertiup lembut. Membuat riak-riak air menjadi lebih banyak. Seolah
angin malam itu mendukung apa yang diinginkan sang Ranupane. Ia memberikan
bantuan agar kerlipan mata itu menjadi semakin banyak. Hingga membuat keindahan
malam ini berpuluh-puluh kali lipat dari sebelumnya.
Angin
malam bertiup lagi. Riakan kolam terus bertambah. Cahaya bintang terus
berpendar. Dan, kilatan mata sang Ranupane semakin genit menggoda Akang.
***
Esoknya,
sehari sebelum hari kepulangan, pagi-pagi sekali, Akang kembali mendatangi
Ranupane. Kali ini Akang duduk di pinggir kolam sebelah barat.
Pagi
ini, puncak Semeru belum menampakan dirinya. Ia masih bersembunyi pada gumpalan
awan putih.
Pagi ini,
puncak Semeru belum keluar. Ia seperti sedang menyimpan sebuah kejuatan untuk
seseorang, yang akan ia berikan saat waktunya telah tiba nanti.
Pagi ini,
puncak Semeru belum ingin keluar. Ia masih berselimutkan gumpalan awan tebal.
Anak panah
mata Akang meluncur pada ujung kaki langit sebelah timur. Pada ujung langit
itu, Sang Mentari pagi tersaput awan. Ada seberkas sinar Mentari yang mampu
menembus bagian awan yang tipis. Seberkas sinar itu serupa tingkat cahaya yang
dihujamkan langsung dari langit. Oh, indah sekali. Seberkas tongkat cahaya itu
mendarat tepat di hadapan Akang. Seberkas tongkat cahaya itu mendarat tepat di
Ranupane.
Akang
menyisir setiap inci tubuh Ranupane. Mata Akang terbelalak mendapati kabut pagi
melayang-layang tepat di permukaan Ranupane. Kabut pagi nan lembut itu
menyerupai uap yang mengepul di atas secangkir air panas. Kabut kecil itu
bergerak-gerak perlahan. Mereka melayang kesana-kemari. Berlenggak-lenggok
menari di atas panggung Ranupane.
Akang
kembali menatap kaki langit timur. Perlahan awan yang menutupi, sedikit demi
sedikit meninggalkan Sang Mentari pagi. Beberapa detik berjalan, awan itu telah
sempurna meninggalkan sumber cahaya bulat yang berwarna jingga itu. Tanpa ada
aling-aling, Mentari itu membagikan sinarnya untuk seluruh penghuni desa
Ranupane. Sinar itu seperti sebuah suntikan raksasa yang memberikan vitamin
semangat untuk setiap makhluk hidup yang menerimanya.
Akang
kembali menatap Ranupane. Sungguh menakjubkan. Pagi ini, Akang mendapati
Mentari menjadi ada dua buah. Satu di ujung langit timur, satunya ada di kaki
langit timur yang ada di dalam Ranupane. Mengapa? Mengapa sesuatu itu terasa
lebih indah saat akan ditinggalakan? Mengapa semuanya mendadak berubah menjadi
istimewa ketika akan ditinggal pergi?
Mengapa?
***
SREEEET
Akang
menutup ret sleting tas besarnya. Semua barang milik Akang sudah masuk. Barang
yang memang Akang bawa untuk keperluan selama di desa Ranupane, atapun barang
berupa buah tangan yang diberikan keluarga angkat, juga sahabat-sahabatnya
selama mengabdi di Ranupane.
Akang
berdiri. Ia melangkah menghampiri jendela kamar. Kaca jendelanya berembun.
Akang mengusap embun yang menempel pada salah satu bagian kaca. Melalui bagian
kaca yang telah diusap itu, Akang dapat dengan jelas melihat ke arah luar.
Sepasang suami istri berusia setengah baya berjalan bersisian. Jika dilihat
dari pakaiannya, sepertinya mereka hendak menuju ladang.
Akang
kembali mengusap kaca jendela. Berusaha membuat pandangannya bisa lebih luas
lagi melihat ke arah luar. Gesekan antara kaca dengan telapak tangannya
menghasilkan bunyi-bunyian serupa suara kaca yang digesekan dengan benda yang
terbuat dari bahan karet. Saat dirasa cukup, Akang menghentikan usapan tangannya.
Ia lebih mendekatkan wajah pada kaca yang barusan diusap. Akang mengarahkan
pandangannya ke balai desa Ranupane yang berdiri tidak jauh di seberang jalan
depan rumah.
Di
halaman depan balai desa, terparkir sebuah mobil berplat nomer warna merah.
Artinya, keberadaan Akang di desa penuh kenangan ini hanya tinggal menghitung
jam saja. Beberapa jam kedepan, Akang mungkin sudah tidak ada di tempat ini
lagi. Sebuah tempat yang di sini Akang mengabdi. Sebuah tempat yang di sini
Akang mendapatkan banyak imu kehidupan. Sebuah tempat yang menemani masa-masa
sulit Akang. Sebuah tempat yang tidak akan pernah mungkin bisa Akang lupakan.
Akang
kembali menjauhkan wajahnya dari kaca jendela. Ia menoleh pada tas besar
miliknya yang tergeletak di atas kasur. Akang sangat berharap, tidak akan ada
air mata yang mampu menyelinap pada celah matanya. Semoga saja begitu. Sebisa
mungkin Akang akan menahan itu.
***
Pintu
mobil sudah terbuka. Di dalam sudah ada dua rekan satu program Akang yang
ditugaskan di desa tetangga. Akang belum masuk. Ia masih berdiri mematung di
hadapan pintu mobil. Akang berdiri menatap sekumpulan orang yang juga sedang
berdiri berjajar di teras balai desa guna melepas kepergian bapak guru muda
yang telah membagikan semangat kepada para anak-anak Ranupane.
Kepada
keluarga angkat. Kepada para sahabat. Kepada murid-murid. Juga kepada semuanya
yang ada di desa Ranupane. Sungguh, sampai kapanpun Akang tidak akan pernah bisa
melupakan semua kenangan yang ada di tempat ini. Sungguh tidak akan pernah.
Tidak akan pernah. Jika saja Akang tidak mengingat kalimat yang kemarin lusa ia
berikan pada murid-muridnya saat beberapa dari mereka menangis karena tahu
bahwa tugas Akang telah usai, ingin rasanya Akang mengeluarkan air kesedihan di
kantung matanya.
“Sebisa
mungkin kita tidak boleh cengeng. Terlebih untuk anak laki-laki,” ucap Akang
saat di dalam kelas kemarin lusa.
Akang
melambaikan tangan. Segera ia masuk mobil dan langsung menutup pintunya.
Melalui jendela yang terbuka, Akang kembali melambaikan tangan pada semuanya.
Pada semuanya yang melepas kepergian Akang. Pada semuanya yang mampu Akang
lihat dengan indra penglihatannya. Akang melambai kepada Ranupane.
Mobil
melaju pelan meninggalkan Ranupane. Akang menutup kaca jendela. Ia merebahkan
tubuhnya pada sandaran jok. Pandangannya kosong menatap ke depan. Dan akhirnya,
setetes kesedihan itu tidak mampu Akang bendung lagi. Ia keluar perlahan pada
ujung mata Akang. Dalam hati Akang meralat ucapannya yang kemarin lusa.
Silahkan menangis. Silahkan saja menangis
jika itu mampu membuat hatimu menjadi tenang. Seorang laki-laki boleh menangis.
Sangat boleh.
Kembali,
setetes air kesedihan itu keluar di ujung mata Akang.
Mobil
terus melaju dengan sangat hati-hati.
***
Mobil
melaju perlahan di jalan sempit yang berkelok-kelok. Saat bertemu dengan mobil
lain yang hendak menuju Semeru, salah satunya harus menyisi. Begitu terus jika
ada mobil yang berpapasan.
Setengah
jam pertama, kiri-kanan jalan masih dihiasi oleh ladang-ladang sayuran yang
terhampar di punggung perbukitan. Jika dilihat dari kejauhan, ladang itu lebih
menyerupai hamparan permadani raksasa yang menutupi bukit. Penuh warna yang
teratur. Indah sekali. Sinar emas Mentari pagi mendarat pada punggung bukit
yang menghadap ke arah timur. Membuat hamparan ladang sayuran itu menjadi
semakin berkilauan saja.
Setelahnya,
mobil memasuki jalan yang menyerupai terowongan pepohonan. Mobil yang Akang tumpangi
menembus hutan kaki gunung Semeru. Pohon-pohon tua dan besar berjajar hampir
disetiap tempat yang terlihat. Daun-daunnya lebat menutup sebagian langit. Sesekali
sang mobil bisa merasakan ruang terbuka saat ia mememui jalan yang meniti sisi
tebing. Saat itulah pemandangan menakjubkan terpampang di bawah tebing. Hamparan
kabut pagi yang tebal masih menyelimuti hutan di bawah tebing. Kabut lembut itu
bergerak perlahan dengan lemah gemulai. Hamparan putih itu sudah seperti negeri
kayangan yang hanya ada di dongeng-dongeng.
Setelah
puluhan menit terlewat, mobil menemui jalan yang lebih lebar dan memadai. Jalan
aspalnya sudah mulus. Mobil mulai menambah kecepatannya. Tidak lama,
pemandangan samping kiri-kanan jalan kini berubah menjadi hamparan kebun apel.
Mobil
terus meluncur pada jalan yang kini lebih banyak lurusnya. Sang mobiil lebih
mirip anak-anak yang sedang meluncur di prosotan. Melaju tanpa hambatan. Buah-buah
apel yang menggantung ranum di pohon menggoda siapapun yang sedang menatapnya
merasa ingin memetik dan langsung menyantapnya. Termasuk Akang yang sedari tadi
tanpa henti memandang kebun apel.
Akang
menoleh ke belakang. Melalui kaca belakang, ia menatap sebuah gunung raksasa
yang seperti sedang memanggil-manggil namanya. Menjelang waktu siang ini, sudah
tidak ada lagi awan tebal yang menutupi puncak Semeru. Jelas sekali Akang bisa
melhat puncak Semeru yang menunjuk langit.
Mobil
melewati sebuah gapura besar. Selamat tinggal Ranupane. Selamat tinggal Semeru.
Selamat tinggal Lumajang, dan selamat datang Malang. Lusa, Bandung sudah
menunggu kedatangan Akang. Setelah itu, giliran Anyar sang tanah kelahiran.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar