Sabtu, 28 September 2013

Ranupane (10)

 (SATU TAHUN BERLALU)

                Tiga ratus enam puluh lima hari, sudah lebih dari cukup untuk membuat kulit yang membungkus tubuh Akang menjadi agak kebal terhadap sengatan dinginnya udara Ranupane. Sebuah tempat berpenghuni tertinggi di pulau Jawa. Sebuah desa yang letaknya ada di kaki gunung paling tinggi di pulau Jawa, yaitu Gunung Semeru. 

                Tidak terasa, sudah satu tahun Akang mengikuti program pemerintah yang menugaskan para sarjana baru untuk mengajar di daerah-daerah pelosok. Sudah dua belas bulan Akang mengemban tugas negara yang mulia ini. Artinya, kini hanya tinggal hitungan hari saja keberadaan Akang di tempat yang mempesona ini.

                Malam ini, selepas waktu isya, Akang pamit keluar rumah kepada sang ayah angkat. Setiap pengajar muda yang ditugaskan mengabdi ke suatu daerah, mereka akan ditempatkan untuk tinggal pada satu keluarga yang ada di tempat tugas itu. Nah, sang kepala keluarga inilah yang menjadi ayah angkat pengajar muda. Begitupun dengan anggota keluarga lainnya. Mereka sudah dianggap sebagai satu keluarga. Tidak hanya statusnya saja, perlakuannya pun sudah seperti layaknya keluarga pada umumnya. Hal inilah salah satu yang membuat Akang begitu betah mengabdi di Ranupane. 

                Akang keluar dengan mengenakan pakaian khas daerah Ranupane. Celana panjang dan baju tebal dari kain wol yang dikenakan memang biasa-biasa saja. Tapi sebuah sarung dan kupluk tebal yang menjadikan Akang sudah seperti penduduk asli desa tertinggi di pulau Jawa ini. 

                Sebuah kupluk tebal warna coklat meringkus kepala Akang. Sarung kotak-kotak di belitkan pada tubuhnya. Kedua ujung sarung itu dipertemukan di depan leher, lalu diikat. Dengan mengenakan pakaian khas Ranupane ini, Akang melangkah perlahan menembus dinginnya udara malam. 

                “Mas Akang, sampean mau kemana?” sapa seorang pemuda seumuran Akang yang sedang nongkrong dengan pemuda lainnya di teras depan rumah.

                “Mau ke Ranupane, Mas,” jawab Akang sambil memberi sebuah senyuman.

                “Ngapain malam-malam begini ke Ranupane? Sampean mau renang, Mas?” canda pemuda lainnya. Tawa pecah di antara kumpulan pemuda itu. Akang tertawa kecil.

                “Gak ngapa-ngapain, Mas. Cuman mau melamun saja.”

                “Mau kami temani gak, Mas?” tawar pemuda yang menyapa Akang di awal.

                “Gak usah, Mas. Melamun itu enaknya hanya sendirian saja. Kalau banyak orang nantinya malah jadi sering ngobrol,” di ujung kalimatnya Akang tertawa renyah.

                “Kenapa sampean gak ke Ranukumolo aja, Mas? Akhir pekan seperti ini biasanya banyak pendaki yang kemah lho,” seorang pemuda lain memberi saran.

                “Kejauhan, Mas. Nembus hutan. Gelap lagi,” Akang nyengir.

                Yowis. Hati-hati, Mas ya.”

                “Iya, Mas. Mari!” Akang melambaikan tangan pada sekumpulan pemuda itu. Mereka membalas lambaian Akang secara bersamaan.

                Akang kembali melanjutkan langkah. Angin malam menyapa tubuh pemuda yang berjalan seorang diri saja itu. Akang melipatkan kedua tangannya di dada. Membentuk pertahanan dari serangan udara dingin malam ini.
***

                Malam ini sedang tidak ada rembulan. Sementara bintang gemintang berkerlipan di langit yang telah merubah kulitnya menjadi hitam. Akang duduk memeluk kakinya yang ditekuk. Ia duduk sendiri menghadap Ranupane, sebuah kolam dengan ukuran beberapa kali luas lapangan sepak bola. 

                Akang menatap wajah langit. Ia tersenyum. SubhanaAllah, indah nian maha karya Sang Pencipta. Gumam Akang dalam hati. Sebelumnya, tidak pernah Akang mendapati wajah langit serupawan malam ini. Di sini, di atap pulau Jawa ini, dengan pencemaran cahaya yang hanya secuil, jumlah kerlipan kecil di langit tampak dua kali lebih banyak ketimbang saat Akang menatapnya di tempat lain. Oh, mempesona.

                Waktu serasa cepat berlalu. Tidak terasa, setahun sudah Akang hidup di desa mempesona ini. Mengabdikan diri untuk membagikan ilmunya yang didapat selama empat tahun di dunia kampus, kepada anak-anak Ranupane. Walaupun sebenarnya, Akang lebih merasa dirinya lah yang sebenarnya sedang mendapat asupan ilmu. Tidak sedikit ilmu kehidupan yang Akang dapatkan dari para penduduk Ranupane. Dari keluarga angkat yang melayani Akang sudah seperti keluarga yang sebenarnya. Akang belajar tanggung jawab dari para bapak yang seperti tidak memiliki rasa lelah untuk terus berladang demi membahagiakan keluarga. Akang belajar ketulusan dari anak-anak Ranupane. Pokoknya Akang belajar banyak hal di tempat yang menakjubkan ini.

                Akang masih menatap langit. Terhitung, ratusan kali sudah Akang bertatap muka dengan langit malam Ranupane. Malam ini Akang menemukan perbedaan dengan malam-malam sebelumnya. Malam ini, kulit langit seperti lebih hitam. Bintang gemintang seperti telah beranak pinak. Keindahannya menjadi berlipat-lipat. 

                Akang termenung. Selalu saja seperti ini. Apapun itu, selalu saja terasa lebih saat semuanya akan segera ditinggalkan. Selalu saja tampak lebih indah ketika hanya tinggal beberapa saat lagi akan ditinggalkan. Ya, masa bakti Akang di tempat ini telah habis. Besok lusa Akang akan segera meninggalkan semua keindahan yang ia rasakan selama satu tahun terakhir di desa tertingggi di pulau Jawa ini. Akang sadar, bahwa akan ada air mata saat perpisahan lusa nanti. Untuk itu, ia telah menyiapkan mental sekuat baja untuk menghadapi semuanya. 

                Akang menurunkan wajahnya. Kini ia menatap riak-riak Ranupane yang memendarkan kerlipan cahaya bintang. Kilatan kecil kolam raksasa itu seperti sedang mengerlingkan matanya untuk menggoda Akang. Menggoda Akang untuk tidak pergi. Menggoda Akang untuk tetap tinggal di tempat ini. 

                Angin malam Ranupane bertiup lembut. Membuat riak-riak air menjadi lebih banyak. Seolah angin malam itu mendukung apa yang diinginkan sang Ranupane. Ia memberikan bantuan agar kerlipan mata itu menjadi semakin banyak. Hingga membuat keindahan malam ini berpuluh-puluh kali lipat dari sebelumnya.

                Angin malam bertiup lagi. Riakan kolam terus bertambah. Cahaya bintang terus berpendar. Dan, kilatan mata sang Ranupane semakin genit menggoda Akang.
***

                Esoknya, sehari sebelum hari kepulangan, pagi-pagi sekali, Akang kembali mendatangi Ranupane. Kali ini Akang duduk di pinggir kolam sebelah barat. 

                Pagi ini, puncak Semeru belum menampakan dirinya. Ia masih bersembunyi pada gumpalan awan putih. 

Pagi ini, puncak Semeru belum keluar. Ia seperti sedang menyimpan sebuah kejuatan untuk seseorang, yang akan ia berikan saat waktunya telah tiba nanti. 

Pagi ini, puncak Semeru belum ingin keluar. Ia masih berselimutkan gumpalan awan tebal.

Anak panah mata Akang meluncur pada ujung kaki langit sebelah timur. Pada ujung langit itu, Sang Mentari pagi tersaput awan. Ada seberkas sinar Mentari yang mampu menembus bagian awan yang tipis. Seberkas sinar itu serupa tingkat cahaya yang dihujamkan langsung dari langit. Oh, indah sekali. Seberkas tongkat cahaya itu mendarat tepat di hadapan Akang. Seberkas tongkat cahaya itu mendarat tepat di Ranupane. 

Akang menyisir setiap inci tubuh Ranupane. Mata Akang terbelalak mendapati kabut pagi melayang-layang tepat di permukaan Ranupane. Kabut pagi nan lembut itu menyerupai uap yang mengepul di atas secangkir air panas. Kabut kecil itu bergerak-gerak perlahan. Mereka melayang kesana-kemari. Berlenggak-lenggok menari di atas panggung Ranupane. 

Akang kembali menatap kaki langit timur. Perlahan awan yang menutupi, sedikit demi sedikit meninggalkan Sang Mentari pagi. Beberapa detik berjalan, awan itu telah sempurna meninggalkan sumber cahaya bulat yang berwarna jingga itu. Tanpa ada aling-aling, Mentari itu membagikan sinarnya untuk seluruh penghuni desa Ranupane. Sinar itu seperti sebuah suntikan raksasa yang memberikan vitamin semangat untuk setiap makhluk hidup yang menerimanya. 

Akang kembali menatap Ranupane. Sungguh menakjubkan. Pagi ini, Akang mendapati Mentari menjadi ada dua buah. Satu di ujung langit timur, satunya ada di kaki langit timur yang ada di dalam Ranupane. Mengapa? Mengapa sesuatu itu terasa lebih indah saat akan ditinggalakan? Mengapa semuanya mendadak berubah menjadi istimewa ketika akan ditinggal  pergi? Mengapa?
***

                SREEEET

                Akang menutup ret sleting tas besarnya. Semua barang milik Akang sudah masuk. Barang yang memang Akang bawa untuk keperluan selama di desa Ranupane, atapun barang berupa buah tangan yang diberikan keluarga angkat, juga sahabat-sahabatnya selama mengabdi di Ranupane.

                Akang berdiri. Ia melangkah menghampiri jendela kamar. Kaca jendelanya berembun. Akang mengusap embun yang menempel pada salah satu bagian kaca. Melalui bagian kaca yang telah diusap itu, Akang dapat dengan jelas melihat ke arah luar. Sepasang suami istri berusia setengah baya berjalan bersisian. Jika dilihat dari pakaiannya, sepertinya mereka hendak menuju ladang.

                Akang kembali mengusap kaca jendela. Berusaha membuat pandangannya bisa lebih luas lagi melihat ke arah luar. Gesekan antara kaca dengan telapak tangannya menghasilkan bunyi-bunyian serupa suara kaca yang digesekan dengan benda yang terbuat dari bahan karet. Saat dirasa cukup, Akang menghentikan usapan tangannya. Ia lebih mendekatkan wajah pada kaca yang barusan diusap. Akang mengarahkan pandangannya ke balai desa Ranupane yang berdiri tidak jauh di seberang jalan depan rumah.

                Di halaman depan balai desa, terparkir sebuah mobil berplat nomer warna merah. Artinya, keberadaan Akang di desa penuh kenangan ini hanya tinggal menghitung jam saja. Beberapa jam kedepan, Akang mungkin sudah tidak ada di tempat ini lagi. Sebuah tempat yang di sini Akang mengabdi. Sebuah tempat yang di sini Akang mendapatkan banyak imu kehidupan. Sebuah tempat yang menemani masa-masa sulit Akang. Sebuah tempat yang tidak akan pernah mungkin bisa Akang lupakan.

                Akang kembali menjauhkan wajahnya dari kaca jendela. Ia menoleh pada tas besar miliknya yang tergeletak di atas kasur. Akang sangat berharap, tidak akan ada air mata yang mampu menyelinap pada celah matanya. Semoga saja begitu. Sebisa mungkin Akang akan menahan itu.
***

                Pintu mobil sudah terbuka. Di dalam sudah ada dua rekan satu program Akang yang ditugaskan di desa tetangga. Akang belum masuk. Ia masih berdiri mematung di hadapan pintu mobil. Akang berdiri menatap sekumpulan orang yang juga sedang berdiri berjajar di teras balai desa guna melepas kepergian bapak guru muda yang telah membagikan semangat kepada para anak-anak Ranupane. 

                Kepada keluarga angkat. Kepada para sahabat. Kepada murid-murid. Juga kepada semuanya yang ada di desa Ranupane. Sungguh, sampai kapanpun Akang tidak akan pernah bisa melupakan semua kenangan yang ada di tempat ini. Sungguh tidak akan pernah. Tidak akan pernah. Jika saja Akang tidak mengingat kalimat yang kemarin lusa ia berikan pada murid-muridnya saat beberapa dari mereka menangis karena tahu bahwa tugas Akang telah usai, ingin rasanya Akang mengeluarkan air kesedihan di kantung matanya. 

                “Sebisa mungkin kita tidak boleh cengeng. Terlebih untuk anak laki-laki,” ucap Akang saat di dalam kelas kemarin lusa.

                Akang melambaikan tangan. Segera ia masuk mobil dan langsung menutup pintunya. Melalui jendela yang terbuka, Akang kembali melambaikan tangan pada semuanya. Pada semuanya yang melepas kepergian Akang. Pada semuanya yang mampu Akang lihat dengan indra penglihatannya. Akang melambai kepada Ranupane.

                Mobil melaju pelan meninggalkan Ranupane. Akang menutup kaca jendela. Ia merebahkan tubuhnya pada sandaran jok. Pandangannya kosong menatap ke depan. Dan akhirnya, setetes kesedihan itu tidak mampu Akang bendung lagi. Ia keluar perlahan pada ujung mata Akang. Dalam hati Akang meralat ucapannya yang kemarin lusa. 

                Silahkan menangis. Silahkan saja menangis jika itu mampu membuat hatimu menjadi tenang. Seorang laki-laki boleh menangis. Sangat boleh.  

                Kembali, setetes air kesedihan itu keluar di ujung mata Akang.

                Mobil terus melaju dengan sangat hati-hati.
***

                Mobil melaju perlahan di jalan sempit yang berkelok-kelok. Saat bertemu dengan mobil lain yang hendak menuju Semeru, salah satunya harus menyisi. Begitu terus jika ada mobil yang berpapasan. 

                Setengah jam pertama, kiri-kanan jalan masih dihiasi oleh ladang-ladang sayuran yang terhampar di punggung perbukitan. Jika dilihat dari kejauhan, ladang itu lebih menyerupai hamparan permadani raksasa yang menutupi bukit. Penuh warna yang teratur. Indah sekali. Sinar emas Mentari pagi mendarat pada punggung bukit yang menghadap ke arah timur. Membuat hamparan ladang sayuran itu menjadi semakin berkilauan saja.  

                Setelahnya, mobil memasuki jalan yang menyerupai terowongan pepohonan. Mobil yang Akang tumpangi menembus hutan kaki gunung Semeru. Pohon-pohon tua dan besar berjajar hampir disetiap tempat yang terlihat. Daun-daunnya lebat menutup sebagian langit. Sesekali sang mobil bisa merasakan ruang terbuka saat ia mememui jalan yang meniti sisi tebing. Saat itulah pemandangan menakjubkan terpampang di bawah tebing. Hamparan kabut pagi yang tebal masih menyelimuti hutan di bawah tebing. Kabut lembut itu bergerak perlahan dengan lemah gemulai. Hamparan putih itu sudah seperti negeri kayangan yang hanya ada di dongeng-dongeng.

                Setelah puluhan menit terlewat, mobil menemui jalan yang lebih lebar dan memadai. Jalan aspalnya sudah mulus. Mobil mulai menambah kecepatannya. Tidak lama, pemandangan samping kiri-kanan jalan kini berubah menjadi hamparan kebun apel. 

                Mobil terus meluncur pada jalan yang kini lebih banyak lurusnya. Sang mobiil lebih mirip anak-anak yang sedang meluncur di prosotan. Melaju tanpa hambatan. Buah-buah apel yang menggantung ranum di pohon menggoda siapapun yang sedang menatapnya merasa ingin memetik dan langsung menyantapnya. Termasuk Akang yang sedari tadi tanpa henti memandang kebun apel.

                Akang menoleh ke belakang. Melalui kaca belakang, ia menatap sebuah gunung raksasa yang seperti sedang memanggil-manggil namanya. Menjelang waktu siang ini, sudah tidak ada lagi awan tebal yang menutupi puncak Semeru. Jelas sekali Akang bisa melhat puncak Semeru yang menunjuk langit. 

                Mobil melewati sebuah gapura besar. Selamat tinggal Ranupane. Selamat tinggal Semeru. Selamat tinggal Lumajang, dan selamat datang Malang. Lusa, Bandung sudah menunggu kedatangan Akang. Setelah itu, giliran Anyar sang tanah kelahiran.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar