Pertengahan September. Matahari
sedang ada di puncak khatulistiwa. Bisa sengatan sang raja siang itu lebih
tajam dari biasanya.
Adzan dzuhur masih sedang
berkumandang. Akang melangkah menghampiri asal suara adzan. Bayangan tubuh
Akang tepat berada di injakan kakinya. Tengah hari ini, setiap bayangan benda
yang tersorot sinar Matahari, persis berada di bawahnya.
Mata Akang mengarah pada
sepanjang jalan aspal yang sedang ia lewati. Pandangannya ia lempar semakin
jauh. Pada sebuah titik, Akang mendapati sebuah fatamorgana. Akang bisa melihat
genangan air yang tercecer di atas jalan aspal itu. Padahal itu hanya pandangan
semu saja. Sebenarnya tidak pernah ada genangan air itu.
Akang terus melangkah. Kedua
kelopak matanya sedikit memicing. Sebab silau karena terpaan sinar matahari
siang bolong. Adzan dzuhur sudah menemui ujungnya.
***
“Bah,” Akang mencium punggung
tangan Abah haji.
Akang dan Abah menghentikan
langkah mereka. “Eeh..., Akang gimana kabarnya?”
“Baik, Bah. Abah sehat?”
“InsyaAllah sehat. Sudah lama sekali gak kelihatan. Katanya Akang
sudah lulus ya?”
Akang tersenyum. “Alhamdulillah sudah, Bah.”
Abah haji dan Akang melanjutkan
langkah lagi. Mereka berjalan pelan-pelan.
“Akang ngajar dimana?”
“Di SMA Anyer, Bah.”
“Mmh, Alhamdulillah atuh dapat sekolah yang dekat. Sejak kapan Akang
ngajar disana?” Abah haji menoleh pada lawan bicaranya. Ia meletakan tangannya
di pundak Akang.
“Sebulan yang lalu, Bah.”
Abah menoleh lagi. Kali ini
dengan gerakan cepat. Setelah itu Abah menghentikan langkahnya. Pada saat yang
sama, Akang ikut berhenti.
“Bulan lalu?” Abah mengerutkan keningnya.
“Kenapa Abah baru lihat Akang sekarang ya?”
“Akang lebih banyak tinggal di
Kepuh, Bah. Di pesantrennya Ustad Ipun. Pulang ke sini paling hanya
Sabtu-Minggu aja.”
“Tinggal di pesantren Ustad
Ipun?”
“Iya, Bah. Sekalian belajar
lagi. Nyantri lagi. Menambal kekurangan ilmu yang masih bolong-bolong, Bah,”
Akang sedikit tertawa mesem. Abah manggut-manggut.
Kedua laki-laki beda usia itu
kembali melangkah. Obrolan mereka berjeda.
Setibanya di jalan depan rumah
Abah haji, kedua laki-laki beda generasi itu berhenti lagi.
“Mampir dulu ke rumah Abah atuh
yuk,” ajak Abah haji.
“InsyaAllah lain waktu aja, Bah. Akang masih ada sisa pekerjaan di
rumah,” jawab Akang. Ia merasa tidak enak karena menolak permintaan Abah haji.
“Sebentar aja atuh yuk. Ada Ummi
dan Hena di rumah.”
Akang nyengir. “InsyaAllah besok-besok saja, Bah. Tugas
Akang sudah menunggu, hehe...,” Akang menggaruk kepalanya. Lebih tepatnya
menggaruk kulit pecinya.
“Yasudah. Abah nanti tagih
janjinya ya.”
“InsyaAllah, Bah,”Akang mengangguk sekali. “Oya, Hena sudah lulus
ya, Bah?”
Abah meng-iya-kan pertanyaan
Akang.
“Sekarang kuliahnya di mana,
Bah?”
“Belum. Katanya mau di rumah aja
dulu. Mau bantu ngajar anak-anak ngaji.”
“Mmmh,” Akang mengayunkan
kepalanya.
“Akang pamit, Bah,” Pemuda usia
awal dua puluhan itu menjulurkan tangannya hendak menyalami Abah. Abah
memberikan tangannya. Akang mencium punggung tangan kanan laki-laki di
hadapannya.
Jabat tangan kedua laki-laki itu
terlepas. “Salam buat Ummi dan Hena, Bah.”
“Baik, InsyaAllah nanti Abah sampaikan.”
Akang mengucap salam. Abah
menjawab salam Akang. Akang berbalik badan, lalu melangkah menuju rumahnya.
Abah haji masih melihat punggung
Akang. Sekira tiga kali tarikan nafas, Abah haji mengarahkan tatapan pada
rumahnya. Kemudian melaju pelan.
Siang ini, bayangan Abah haji
sedikit lebih miring ke arah timur. Namun tetap, bayang itu masih tampak sangat
pendek.
Akang masih melangkah. Hatinya
bertanya-tanya. Kenapa ketika mendengar nama Hena tadi hati Akang biasa saja?
Berbeda dengan hatinya satu tahun yang lalu.
Akang masih melangkah.
Pikirannya berpindah pada sepanjang satu tahun ke belakang. Pada perkampungan
tertingggi di pulau Jawa. Pada pemukiman di kaki Gunung Semeru. Pada keelokan
Ranupane. Akang merindukan semua itu.
Akang masih melangkah. Serupa
dengan bayangan Abah haji dan benda lainnya. Bayangan Akang juga mengarah ke
timur. Ukurannya lebih pendek dari ukuran asli tubuhnya.
Akang masih melangkah. Beberapa
ayunan lagi akan segera tiba di rumahnya.
***
Pondok pesantren ustad Ipun
berdiri tepat di depan mesjid kampung Kepuh. Hanya dipisahkan oleh jalan
kampung saja. Sebuah jalan yang sudah diaspal, tapi tidak semulus jalan raya. Sebatang
pohon mangga besar tumbuh di halaman depan rumah ustad Ipun. Di samping kiri,
berdiri sebuah majelis tempat ustad Ipun mentransfer ilmunya kepada para
santriwan dan santriwati. Di sebelah kanannya, terdapat sebuah bangunan kamar
berderet-deret. Kamar-kamar itu adalah pondo untuk santriwati. Dan di belakang,
masuk melalui celah selebar satu setengah meter yang terbentuk antara rumah
ustad Ipun dengan majelis, terdapat beberapa kamar untuk para santri laki-laki.
Tidak banyak kamar yang tersedia
untuk para santri. Sebab mayoritas santri yang menuntut ilmu di pesantrennya
ustad Ipun ini adalah para remaja kampung Kepuh sendiri. Tidak lebih dari tiga
puluh persen santri yang berasal dari luar kampung Kepuh. Satu di antaranya
adalah Akang.
Sebenarnya sudah lama keinginan
Akang untuk belajar di pesantren ini. Hanya saja, beberapa tahun ke belakang,
keinginan yang satu ini masih terkendala domisili Akang yang masih sedang
kuliah di Bandung. Dulu, setiap kali Akang teringat pada pesantren ustad Ipun,
Akang selalu bertekad di dalam hati. Jika
sudah lulus nanti, saya akan nyantri di sana!Kalimat itu yang selalu Akang
gumamkan. Dan akhirnya, sebulan yang lalu Akang baru bisa mewujudkan keinginan terpendam
itu.
Di pesantren ustad Ipun, dalam
satu hari pengajiannya ada tiga kali. Yaitu setelah subuh, sore ba’da ashar dan
malam selepas isya. Khusus untuk malam Jum’at dan malam Minggu, pengajian
diliburkan. Untuk malam Jum’at, ustad Ipun mewasiatkan para santri untuk lebih
fokus beribadah. Sementara pada malam Minggu, adalah jadwal pengajian umum di
mesjid kampung Kepuh. Jama’ah yang datang tidak jarang berasal dari luar
kampung Kepuh.
Terkadang ada pada hari lain
yang pengajian malamnya diliburkan secara mendadak. Sebab ustad Ipunnya akan
mengisi pengajian di tempat lain. Tapi tidak jarang pengajian tetap tidak
diliburkan, meskipun ustad Ipun sedang ada jadwal ceramah di luar. Hanya saja,
sang guru dadakan yang beberapa hari, atau bahkan hanya beberapa jam saja di
tunjuk ustad Ipun untuk mengajar itu wajahnya pucat pasi saat memberikan materi
ajar. Sebenarnya hal itu bukan karena kurangnya pemahaman ilmu para guru
dadakan itu. Tetapi mungkin lebih karena belum terbiasa saja. Selama sebulan
terakhir ini, sudah dua kali ustad Ipun mendaulat santrinya untuk menggantikan
posisinya. Dan, seperti biasa, dua orang yang berbeda itu menghadapi masalah
yang serupa. Grogi.
***
Pulang mengajar, Akang tidak
langsung ke pesantren. Ia menyempatkan untuk mampir ke rumahnya. Akang sudah
berniat untuk tidak mengikuti pengajian sore ini. Sebagai gantinya, Akang akan
main bola di kampungnya. Sudah lama sekali rasanya Akang tidak bermain-main
dengan kulit bundar. Sepanjang perjalanan pulang, kaki Akang sudah gatal ingin
segera menendang bola.
Selepas ashar, Akang bergabung
dengan para pemuda lainnya. Kakinya sudah dibungkus sepatu bola. Berbeda dengan
beberapa tahun lalu. Kali ini bukan kolor pendek yang Akang kenakan. Saat ini
Akang membungkus setengah bagian tubuh bawahnya dengan trening olahraga. Celana
panjang itu sempurna menutupi aurat Akang.
Lama tidak bermain sepak bola,
sore ini Akang kewalahan. Nafasnya terasa pendek-pendek. Fisik dan staminanya
tidak sekuat dulu lagi. Namun tetap, Akang masih sangat menikmati permainan olahraga
yang satu ini.
Setengah jam menjelang magrib,
Akang berhenti. Ia meminta digantikan oleh pemain lain yang masih belum
kebagian bermain. Sebentar melakukan pendinginan. Istirahat. Setelah
keringatnya kering dan nafasnya mulai normal kembali, Akang meluncur ke kamar
mandi. Ia membersihkan tubuhnya dengan guyuran air segar. Otot-otot Akang yang
tadi dipaksa untuk bekerja, kini dibuat tenang kembali.
Ba’da magrib Akang tilawah
AL-Qur’an beberapa lembar. Setelah itu makan malam bareng keluarga. Kemudian
Akang duduk-duduk santai sambil mengobrol di ruang tengah, sembari menunggu
waktu isya tiba.
Selepas isya, Akang pamit lagi
untuk kembali ke pesantren. Vespa kuning Akang sudah menderu. Tas gendong sudah
memeluk punggung Akang.
“Assalamu’alaikum!”ucap Akang setengah teriak. Mencoba menandingi
deru suara vespa kesayangannya.
GREENG GREENG
GREEEEEEENGGGG
***
GREENG GREENGGG
Sisa-sisa erangan mesin vespa
Akang terdengar ke dalam majelis. Ustad Ipun sedang menerangkan isi sebuah
kitab. Beberapa santriwan dan santriwati merespon suara vespa Akang dengan
memalingkan wajahnya dari kitab di hadapannya. Ada di antara mereka yang saling
pandang. Tidak saling berbicara memang. Tapi mereka saling paham apa yang
sedang dipikirkan oleh teman yang ditatapnya. Vespa Akang! Akang baru datang! Malam ini telat ngaji!
JGREEGGG
Akang mematikan mesin vespanya. Kemudian
pelan-pelan menuntun si kunging kesayangan memasuki gang sempit menuju pondok
santri laki-laki.
Si kuning
diparkir di teras depan kamar Akang. Kemudian sang pemiliknya masuk kamar.
Menyimpan tas. Sebentar mengatur nafas. Lalu menyambar sebuah kitab dan pena.
Setelah itu langsung meluncur menuju majelis. Semoga pengajiannya tidak
ketinggalan terlalu jauh. Hati Akang berbicara.
Akang mengendap-endap masuk
majelis. Ustad Ipun menatap kitab dan membacanya. Sebuah hijab setinggi
pinggang orang dewasa memisahkan grup santriwan dan santriwati. Santriwan
sebelah kanan, dan santriwati sebelah kirinya.
Akang melangkah pelan menuju
sekumpulan santri laki-laki. Lalu duduk di barisan paling belakang.
“Udah lama, Jar?” Akang
mendekatkan wajahnya ke telinga Fajar.
Fajar menoleh,”Baru, Kang,”
jawab Fajar pendek. “Tadi sore Akang kemana?” giliran Fajar yang mendekatkan
wajahnya ke telinga Akang.
Akang tersenyum tidak menjawab.
Fajar mengangkat alis meminta
jawaban.
“Main bola,” Akang nyengir.
Fajar menggelengkan kepalanya.
Beberapa detik yang lalu, saat
Akang masih berdiri dan hendak duduk di samping Fajar. Seorang santriwati menoleh
menatap Akang. Setelah tubuh Akang hilang ditelan hijab, santriwati itu melihat
kitabnya lagi. Ia memejamkan kedua matanya. Dalam hati ia menggumamkan
istighfar berulang kali. Memohon ampun atas kehilafannya barusan. Kehilafan
matanya yang telah dengan sengaja melihat lawan jenis dengan menyertai sang
hati.
Astaghfirullahal’adzim!
Santriwati bergamis merah muda
itu masih menunduk dalam.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar