Senin, 07 Oktober 2013

Nyantri Lagi (12)



Pertengahan September. Matahari sedang ada di puncak khatulistiwa. Bisa sengatan sang raja siang itu lebih tajam dari biasanya. 

Adzan dzuhur masih sedang berkumandang. Akang melangkah menghampiri asal suara adzan. Bayangan tubuh Akang tepat berada di injakan kakinya. Tengah hari ini, setiap bayangan benda yang tersorot sinar Matahari, persis berada di bawahnya. 

Mata Akang mengarah pada sepanjang jalan aspal yang sedang ia lewati. Pandangannya ia lempar semakin jauh. Pada sebuah titik, Akang mendapati sebuah fatamorgana. Akang bisa melihat genangan air yang tercecer di atas jalan aspal itu. Padahal itu hanya pandangan semu saja. Sebenarnya tidak pernah ada genangan air itu. 

Akang terus melangkah. Kedua kelopak matanya sedikit memicing. Sebab silau karena terpaan sinar matahari siang bolong. Adzan dzuhur sudah menemui ujungnya.
***

“Bah,” Akang mencium punggung tangan Abah haji.

Akang dan Abah menghentikan langkah mereka. “Eeh..., Akang gimana kabarnya?”

“Baik, Bah. Abah sehat?”

InsyaAllah sehat. Sudah lama sekali gak kelihatan. Katanya Akang sudah lulus ya?”

Akang tersenyum. “Alhamdulillah sudah, Bah.” 

Abah haji dan Akang melanjutkan langkah lagi. Mereka berjalan pelan-pelan.

“Akang ngajar dimana?”

“Di SMA Anyer, Bah.”

“Mmh, Alhamdulillah atuh dapat sekolah yang dekat. Sejak kapan Akang ngajar disana?” Abah haji menoleh pada lawan bicaranya. Ia meletakan tangannya di pundak Akang.

“Sebulan yang lalu, Bah.”

Abah menoleh lagi. Kali ini dengan gerakan cepat. Setelah itu Abah menghentikan langkahnya. Pada saat yang sama, Akang ikut berhenti.

“Bulan lalu?” Abah mengerutkan keningnya. “Kenapa Abah baru lihat Akang sekarang ya?”

“Akang lebih banyak tinggal di Kepuh, Bah. Di pesantrennya Ustad Ipun. Pulang ke sini paling hanya Sabtu-Minggu aja.”

“Tinggal di pesantren Ustad Ipun?”

“Iya, Bah. Sekalian belajar lagi. Nyantri lagi. Menambal kekurangan ilmu yang masih bolong-bolong, Bah,” Akang sedikit tertawa mesem. Abah manggut-manggut.

Kedua laki-laki beda usia itu kembali melangkah. Obrolan mereka berjeda. 

Setibanya di jalan depan rumah Abah haji, kedua laki-laki beda generasi itu berhenti lagi.

“Mampir dulu ke rumah Abah atuh yuk,” ajak Abah haji.

InsyaAllah lain waktu aja, Bah. Akang masih ada sisa pekerjaan di rumah,” jawab Akang. Ia merasa tidak enak karena menolak permintaan Abah haji.

“Sebentar aja atuh yuk. Ada Ummi dan Hena di rumah.”

Akang nyengir. “InsyaAllah besok-besok saja, Bah. Tugas Akang sudah menunggu, hehe...,” Akang menggaruk kepalanya. Lebih tepatnya menggaruk kulit pecinya.

“Yasudah. Abah nanti tagih janjinya ya.”

InsyaAllah, Bah,”Akang mengangguk sekali. “Oya, Hena sudah lulus ya, Bah?”

Abah meng-iya-kan pertanyaan Akang.

“Sekarang kuliahnya di mana, Bah?”

“Belum. Katanya mau di rumah aja dulu. Mau bantu ngajar anak-anak ngaji.”

“Mmmh,” Akang mengayunkan kepalanya.

“Akang pamit, Bah,” Pemuda usia awal dua puluhan itu menjulurkan tangannya hendak menyalami Abah. Abah memberikan tangannya. Akang mencium punggung tangan kanan laki-laki di hadapannya.

Jabat tangan kedua laki-laki itu terlepas. “Salam buat Ummi dan Hena, Bah.”

“Baik, InsyaAllah nanti Abah sampaikan.”

Akang mengucap salam. Abah menjawab salam Akang. Akang berbalik badan, lalu melangkah menuju rumahnya. 

Abah haji masih melihat punggung Akang. Sekira tiga kali tarikan nafas, Abah haji mengarahkan tatapan pada rumahnya. Kemudian melaju pelan.

Siang ini, bayangan Abah haji sedikit lebih miring ke arah timur. Namun tetap, bayang itu masih tampak sangat pendek.

Akang masih melangkah. Hatinya bertanya-tanya. Kenapa ketika mendengar nama Hena tadi hati Akang biasa saja? Berbeda dengan hatinya satu tahun yang lalu.

Akang masih melangkah. Pikirannya berpindah pada sepanjang satu tahun ke belakang. Pada perkampungan tertingggi di pulau Jawa. Pada pemukiman di kaki Gunung Semeru. Pada keelokan Ranupane. Akang merindukan semua itu.

Akang masih melangkah. Serupa dengan bayangan Abah haji dan benda lainnya. Bayangan Akang juga mengarah ke timur. Ukurannya lebih pendek dari ukuran asli tubuhnya.

Akang masih melangkah. Beberapa ayunan lagi akan segera tiba di rumahnya.
***

Pondok pesantren ustad Ipun berdiri tepat di depan mesjid kampung Kepuh. Hanya dipisahkan oleh jalan kampung saja. Sebuah jalan yang sudah diaspal, tapi tidak semulus jalan raya. Sebatang pohon mangga besar tumbuh di halaman depan rumah ustad Ipun. Di samping kiri, berdiri sebuah majelis tempat ustad Ipun mentransfer ilmunya kepada para santriwan dan santriwati. Di sebelah kanannya, terdapat sebuah bangunan kamar berderet-deret. Kamar-kamar itu adalah pondo untuk santriwati. Dan di belakang, masuk melalui celah selebar satu setengah meter yang terbentuk antara rumah ustad Ipun dengan majelis, terdapat beberapa kamar untuk para santri laki-laki.

Tidak banyak kamar yang tersedia untuk para santri. Sebab mayoritas santri yang menuntut ilmu di pesantrennya ustad Ipun ini adalah para remaja kampung Kepuh sendiri. Tidak lebih dari tiga puluh persen santri yang berasal dari luar kampung Kepuh. Satu di antaranya adalah Akang. 

Sebenarnya sudah lama keinginan Akang untuk belajar di pesantren ini. Hanya saja, beberapa tahun ke belakang, keinginan yang satu ini masih terkendala domisili Akang yang masih sedang kuliah di Bandung. Dulu, setiap kali Akang teringat pada pesantren ustad Ipun, Akang selalu bertekad di dalam hati. Jika sudah lulus nanti, saya akan nyantri di sana!Kalimat itu yang selalu Akang gumamkan. Dan akhirnya, sebulan yang lalu Akang baru bisa mewujudkan keinginan terpendam itu.

Di pesantren ustad Ipun, dalam satu hari pengajiannya ada tiga kali. Yaitu setelah subuh, sore ba’da ashar dan malam selepas isya. Khusus untuk malam Jum’at dan malam Minggu, pengajian diliburkan. Untuk malam Jum’at, ustad Ipun mewasiatkan para santri untuk lebih fokus beribadah. Sementara pada malam Minggu, adalah jadwal pengajian umum di mesjid kampung Kepuh. Jama’ah yang datang tidak jarang berasal dari luar kampung Kepuh.

Terkadang ada pada hari lain yang pengajian malamnya diliburkan secara mendadak. Sebab ustad Ipunnya akan mengisi pengajian di tempat lain. Tapi tidak jarang pengajian tetap tidak diliburkan, meskipun ustad Ipun sedang ada jadwal ceramah di luar. Hanya saja, sang guru dadakan yang beberapa hari, atau bahkan hanya beberapa jam saja di tunjuk ustad Ipun untuk mengajar itu wajahnya pucat pasi saat memberikan materi ajar. Sebenarnya hal itu bukan karena kurangnya pemahaman ilmu para guru dadakan itu. Tetapi mungkin lebih karena belum terbiasa saja. Selama sebulan terakhir ini, sudah dua kali ustad Ipun mendaulat santrinya untuk menggantikan posisinya. Dan, seperti biasa, dua orang yang berbeda itu menghadapi masalah yang serupa. Grogi.
***

Pulang mengajar, Akang tidak langsung ke pesantren. Ia menyempatkan untuk mampir ke rumahnya. Akang sudah berniat untuk tidak mengikuti pengajian sore ini. Sebagai gantinya, Akang akan main bola di kampungnya. Sudah lama sekali rasanya Akang tidak bermain-main dengan kulit bundar. Sepanjang perjalanan pulang, kaki Akang sudah gatal ingin segera menendang bola.

Selepas ashar, Akang bergabung dengan para pemuda lainnya. Kakinya sudah dibungkus sepatu bola. Berbeda dengan beberapa tahun lalu. Kali ini bukan kolor pendek yang Akang kenakan. Saat ini Akang membungkus setengah bagian tubuh bawahnya dengan trening olahraga. Celana panjang itu sempurna menutupi aurat Akang.

Lama tidak bermain sepak bola, sore ini Akang kewalahan. Nafasnya terasa pendek-pendek. Fisik dan staminanya tidak sekuat dulu lagi. Namun tetap, Akang masih sangat menikmati permainan olahraga yang satu ini. 

Setengah jam menjelang magrib, Akang berhenti. Ia meminta digantikan oleh pemain lain yang masih belum kebagian bermain. Sebentar melakukan pendinginan. Istirahat. Setelah keringatnya kering dan nafasnya mulai normal kembali, Akang meluncur ke kamar mandi. Ia membersihkan tubuhnya dengan guyuran air segar. Otot-otot Akang yang tadi dipaksa untuk bekerja, kini dibuat tenang kembali.

Ba’da magrib Akang tilawah AL-Qur’an beberapa lembar. Setelah itu makan malam bareng keluarga. Kemudian Akang duduk-duduk santai sambil mengobrol di ruang tengah, sembari menunggu waktu isya tiba.

Selepas isya, Akang pamit lagi untuk kembali ke pesantren. Vespa kuning Akang sudah menderu. Tas gendong sudah memeluk punggung Akang. 

Assalamu’alaikum!”ucap Akang setengah teriak. Mencoba menandingi deru suara vespa kesayangannya.

GREENG GREENG

GREEEEEEENGGGG
***

GREENG GREENGGG

Sisa-sisa erangan mesin vespa Akang terdengar ke dalam majelis. Ustad Ipun sedang menerangkan isi sebuah kitab. Beberapa santriwan dan santriwati merespon suara vespa Akang dengan memalingkan wajahnya dari kitab di hadapannya. Ada di antara mereka yang saling pandang. Tidak saling berbicara memang. Tapi mereka saling paham apa yang sedang dipikirkan oleh teman yang ditatapnya. Vespa Akang! Akang baru datang! Malam ini telat ngaji!

JGREEGGG

Akang mematikan mesin vespanya. Kemudian pelan-pelan menuntun si kunging kesayangan memasuki gang sempit menuju pondok santri laki-laki.

Si kuning diparkir di teras depan kamar Akang. Kemudian sang pemiliknya masuk kamar. Menyimpan tas. Sebentar mengatur nafas. Lalu menyambar sebuah kitab dan pena. Setelah itu langsung meluncur menuju majelis. Semoga pengajiannya tidak ketinggalan terlalu jauh. Hati Akang berbicara.

Akang mengendap-endap masuk majelis. Ustad Ipun menatap kitab dan membacanya. Sebuah hijab setinggi pinggang orang dewasa memisahkan grup santriwan dan santriwati. Santriwan sebelah kanan, dan santriwati sebelah kirinya. 

Akang melangkah pelan menuju sekumpulan santri laki-laki. Lalu duduk di barisan paling belakang.

“Udah lama, Jar?” Akang mendekatkan wajahnya ke telinga Fajar.

Fajar menoleh,”Baru, Kang,” jawab Fajar pendek. “Tadi sore Akang kemana?” giliran Fajar yang mendekatkan wajahnya ke telinga Akang.

Akang tersenyum tidak menjawab. 

Fajar mengangkat alis meminta jawaban.

“Main bola,” Akang nyengir. Fajar menggelengkan kepalanya.

Beberapa detik yang lalu, saat Akang masih berdiri dan hendak duduk di samping Fajar. Seorang santriwati menoleh menatap Akang. Setelah tubuh Akang hilang ditelan hijab, santriwati itu melihat kitabnya lagi. Ia memejamkan kedua matanya. Dalam hati ia menggumamkan istighfar berulang kali. Memohon ampun atas kehilafannya barusan. Kehilafan matanya yang telah dengan sengaja melihat lawan jenis dengan menyertai sang hati.

Astaghfirullahal’adzim!

Santriwati bergamis merah muda itu masih menunduk dalam.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar