Sabtu, 26 Oktober 2013

Payung Merah Muda (13)



Vespa kuning melaju pelan di jalan raya susur pantai. Jalanan tampak sepi. Hanya sesekali mobil yang melesat cepat melewati motor jadul kuning ini.

Sepulang mengajar hari ini, Akang tidak mampir terlebih dahulu ke rumahnya. Sebab sore ini ada jadwal pengajian.

Sejak siang tadi, langit sudah terhalang awan hitam. Dan kini, gumpalan awan cumulo nimbus itu sudah semakin tebal saja menutupi langit. Awan hitam gemuk itu menggelayut di langit Anyer. Dalam hitungan menit, hujan mungkin akan segera turun. 

Sebentar Akang menengadah menatap langit. Vespa kuning masih melaju. Akang kembali menatap jalan. Laju vespa semakin bertambah. Akang tidak ingin kehujanan di jalan.

GREEEEEEENGG

Vespa melesat cepat.

GREEEEEEEEENG

Kedua mata Akang fokus menatap jalan.

Lima belas menit sebelum ashar hari ini terasa gelap. Gelapnya menyamai pukul enam pada sore-sore normal lainnya.

Deru ombak di pantai seperti menjadi alarm pertanda bahwa hujan akan segera tiba.

Vespa kuning masih melaju sendirian.
***

Adzan ashar sudah usai. Seorang santriwati melangkah pelan di dalam rumah. Beberapa meter lagi menuju pintu depan, langkahnya terhenti.

GREEEENG

GREEEENG

Penyebabnya adalah suara yang sudah ia kenal ini.

GREEEENG GREEEENG

JGRREEEEGG

Sang santriwati yang mengenakan gamis merah muda itu membalikan badannya. Ia kembali melangkah ke dalam rumah. Menuju ruang tengah. Ia duduk pada kursi meja makan yang menghadap pada sebuah jendela yang terbuka. Melalui jendela itu, dia menatap gang sempit yang terbentuk oleh rumahnya dan sebuah majelis.

Dada sang wanita itu bergemuruh. Setiap detik yang berdetak semakin menambah gemuruhnya. Kedua matanya masih memandang keluar jendela. Dadanya bergemuruh lagi.

Akhirnya.

Dari jendela kecil itu, santriwati bergamis merah muda mendapati seorang santri sedang menuntun vespa warna kuning. Sekejap saja pemandangan itu terlihat. Tapi, walaupun sekejap, itu sudah lebih dari cukup untuk bisa membuat dada sang santriwati perlahan normal kembali. Dia menunduk menatap meja makan. Bibirnya tersenyum tipis. Hatinya seperti diguyur air segar dari pegunungan.

Sekejap kemudian senyum tipis itu hilang. Lalu berganti dengan wajah penyesalan. 

Astaghfirullahal’adzim!

Wanita bergamis merah muda itu memejamkan kedua matanya. Dalam sekali.
***

Dua ujung lengan kemejanya sudah terlipat di atas siku. Akang membungkuk. Ia melipat ujung kedua celana panjangnya.

Akang mengambil wudhu pada keran di depan pondok santri laki-laki.

TESSS

Tetesan hujan pertama menghantam punggung Akang. Akang merasakan butiran kecil itu. Namun ia masih melanjutkan wudhunya. 

Wudhu selesai, tetesan hujan yang turun semakin banyak. Bergegas Akang memanjangkan kembali lipatan celananya. Lalu berlari kecil melewati gang sempit. Hendak menuju mesjid untuk solat berjamaah.

Hujan bertambah lebat. Iqomat mulai berkumandang.

Akang mempercepat larinya. Kedua tangannya ia jadikan sebuah payung dadakan.
***

Beberapa jamaah laki-laki tertahan di dalam mesjid. Begitu juga dengan jamaah perempuan. Di luar, hujan belum ingin berhenti. Sesekali gemuruh menggelegar. Tiupan angin membuat beberapa cipratan hujan yang membasahi teras-teras mesjid.

Akang duduk bersandar pada salah satu tiang di dalam mesjid. Pandangannya terarah pada jendela kaca besar. Ia diam menatap hujan sore kali ini. Tepat di samping kanan Akang, Fajar juga menatap ke luar jendela. Memandangi butiran hujan yang menyerbu bumi. Fajar duduk menekuk kedua kakinya. Tangannya memeluk lipatan kaki itu.

Assalamu’alaikum,” Sabil menghampiri dua orang pemuda yang sedang diam di dekat tiang mesjid. Ia langsung duduk di dekat kedua teman santrinya.

Akang dan Fajar menoleh bersamaan. Bersamaan pula dalam menjawab salam Sabil. Setelah itu mereka kembali melihat hujan. Sabil ikut-ikutan memandangi hujan sore ini.

Angin bertiup numayan kencang. Air hujan semakin jauh membasahi teras. Sisa-sisa dinginnya masuk ke dalam mesjid. Melalui pintu-pintu yang terbuka. Lewat jendela yang terbuka. Juga menyelinap di antara celah-celah lubang kecil di atas pintu dan jendela. Akang melipat kedua tangannya di dada. Fajar semakin erat memeluk lipatan kakinya. Tubuh Sabil bergidig dibelai dingin.

Akang sedikit memutar wajah. Ia menatap ke luar melalui jendela lain. Dari jendela kaca besar itu, Akang mendapati seorang wanita bergamis merah muda sedang membuka payung berwarna yang sama dengan gamis yang dikenakannya. 

Payung sang wanita sudah terbuka. Ia bersiap untuk melangkah menembus hujan.

Wanita bergamis merah muda menghentikan langkahnya. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. 

Ia kembali mendekat pada dinding mesjid. Payungnya ia simpan di dekat jendela. Tanpa dilipat. Sementara dirinya kembali melangkah masuk mesjid. Lewat pintu belakang. Menuju ruang solat khusus jamaah wanita.

Angin bertiup lagi. Dingin berhembus lagi. 

Angin masih bertiup. Payung merah muda terdorong oleh tenaga tiupan angin. Payung milik wanita bergamis merah muda tadi bergeser mendekati ujung teras. 

Angin masih bertiup. Payung terus terdorong menuju ujung teras. 

Tanpa berpikir dua kali Akang berdiri. Ia berlari hendak menyelamatkan payung yang sedang ditinggalkan sang pemiliknya itu.

Payung sudah menemui ujung. Ia limbung dan bersiap untuk jatuh. Tapi...

HAPPP

Jemari Akang menggenggam erat pegangan payung. Akang datang tepat waktu. 

Akang simpan kembali payung itu pada posisinya semula. Kemudian berbalik hendak masuk mesjid lagi. Dan...

DEGGG

Belum sempurna tubuh Akang berbalik, ia dikagetkan dengan kehadiran seorang wanita yang berdiri sekitar dua meter di depannya. Hey! Dia! Dia! Dia pemilik payung ini! Dia wanita bergamis merah muda tadi!

Akang kaget.

“Payungnya tadi mau jatuh,” sedikit terbata Akang memberi tahu.

“Iya. Makasih A,” jawab wanita di hadapan Akang. Kemudian ia memberi sebuah senyuman.

Akang membalas senyuman seorang wanita yang baru sore ini ia lihat. Apakah dia asli orang sini? Apakah dia santri juga? Tanya Akang pada dirinya.

Kedua orang itu masih bediri mematung saling berhadapan. Bingung dengan apa yang akan dilakukan, mereka hanya saling memberi senyuman saja. 

Wanita bergamis merah muda sebentar menundukan pandangannya. Sekejap kemudian menatap sang laki-laki di hadapannya. “Mari A, saya duluan,” dia mengangguk pelan. “Assalamu’alaikum.

Wanita itu meleos pergi. Akang ingin mengikuti kepergian wanita itu dengan pandangan matanya. Tapi niat itu dia urungkan. Akang kembali ke dalam mesjid. Ia sampai lupa tidak menjawab salam sang wanita bergamis merah muda itu.

Lirikan Fajar dan Sabil menyambut kedatangan Akang kembali. Kedua santri itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Namun ada arti dari tatapan mereka.

Akang tidak menyadari dengan apa yang dilakukan Fajar dan Sabil. Ia kembali duduk pada posisi semula. Wajahnya terarah lagi pada jendela mesjid. Akang kembali menikmati hujan yang kini sedikit mereda. 

Fajar mulai menerka-nerka. Apa kira-kira yang ada di pikiran Akang saat ini? sesekali dia mencuri pandang pada wajah Akang. Mencoba membaca arti dari gurat wajah sang santri di sampingnya ini. 

“Jar,” Akang menoleh pada Fajar.

Bibir Fajar melebar. Ada aroma kelegaan di hatinya.

“Kenapa, Kang?”

“Wanita tadi santri juga?”

“Eh!” Fajar memfokuskan pandangannya pada Akang. “Akang belum tahu?!” kening Fajar melipat.

“Orang liat juga baru sekarang.”

“Hah! Serius, Kang?”

Wajah Akang meninggalkan muka Fajar. Ia melihat jendela lagi. “Hmmm.”

Hujan semakin mereda. Seperti beberapa hari ke belakang, meskipun lebat, hujan di bulan Oktober ini durasinya pendek-pendek. Bulan ini adalah pintu gerbang memasuki musim penghujan. 

“Ia, Kang. Dia santri juga.”

Fajar diam. Sengaja, santri yang satu ini ingin mengetahui bagaimana tanggapan Akang.

Akang masih tetap melihat jendela. “Oooh,” hanya itu tanggapan Akang.

“Namanya Teh Anita,” Fajar memberi jeda. Kembali menunggu respon Akang.

Akang menoleh sebentar pada Fajar, lalu kembali menatap ke luar jendela.

“Teh Anita itu anaknya Ustad Ipun.”

Akang menoleh cepat. Matanya melebar. “Anak ustad Ipun?!”

Fajar mengangguk. 

“Berarti sepupuan atuh sama Fajar?”

Fajar mengangguk. “Iya.” Ada warna kepuasan di wajah Fajar.

“Kenapa, Kang? Teh Anita cantik ya?” bibir Fajar menyeringai. Mencoba menggoda Akang. “Akang naksir ya...”

Akang melotot. “Ngawur. Ngeliat juga baru sore ini. Kenal juga belum. Lagian mana pantas saya dengan putrinya Ustad Ipun.”

“Eit-eit. Siapa yang nanya pantas atau tidak. Fajar cuman nanya apakah Akang suka doang kan?” Fajar kembali menyeringai.

Mata Akang menyipit. Ia limbung sebab serangan Fajar.

“Hayoooo...,” Fajar belum puas menggodai Akang.

Akang mati kutu. Sabil hanya tersenyum. Ia ikut menikmati permainan Fajar.

“Jangan salah tingkah gitu atuh, Kang,” Fajar kembali menyerang.

Sore ini Akang benar-benar kalah telak. Tidak ada serangan balik dari santri yang satu ini.

“Tapi Akang tenang aja ya. Jika memang benar Akang naksir Teh Anita, setidaknya Akang sudah satu langkah di depan para pemuda lain yang suka sama Teh Anita.”

Akang menatap Fajar. Maksudnya?!

Fajar mengerti arti tatapan Akang.

“Beberapa waktu lalu, ketika Teh Anita pertama kali melihat Akang, dia juga tanya siapa Akang ke Fajar.”

Mata Akang melebar. Ada gurat senyuman di bibirnya. Khawatir terbaca, Akang memalingkan wajahnya. Ia pura-pura kembali menatap jendela. Di luar, hujan hanya tinggal rintik-rintik saja.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar