Vespa
kuning melaju pelan di jalan raya susur pantai. Jalanan tampak sepi. Hanya sesekali
mobil yang melesat cepat melewati motor jadul kuning ini.
Sepulang
mengajar hari ini, Akang tidak mampir terlebih dahulu ke rumahnya. Sebab sore
ini ada jadwal pengajian.
Sejak
siang tadi, langit sudah terhalang awan hitam. Dan kini, gumpalan awan cumulo nimbus itu sudah semakin tebal
saja menutupi langit. Awan hitam gemuk itu menggelayut di langit Anyer. Dalam
hitungan menit, hujan mungkin akan segera turun.
Sebentar Akang
menengadah menatap langit. Vespa kuning masih melaju. Akang kembali menatap
jalan. Laju vespa semakin bertambah. Akang tidak ingin kehujanan di jalan.
GREEEEEEENGG
Vespa
melesat cepat.
GREEEEEEEEENG
Kedua mata
Akang fokus menatap jalan.
Lima belas
menit sebelum ashar hari ini terasa gelap. Gelapnya menyamai pukul enam pada
sore-sore normal lainnya.
Deru ombak
di pantai seperti menjadi alarm pertanda bahwa hujan akan segera tiba.
Vespa
kuning masih melaju sendirian.
***
Adzan
ashar sudah usai. Seorang santriwati melangkah pelan di dalam rumah. Beberapa meter
lagi menuju pintu depan, langkahnya terhenti.
GREEEENG
GREEEENG
Penyebabnya
adalah suara yang sudah ia kenal ini.
GREEEENG
GREEEENG
JGRREEEEGG
Sang
santriwati yang mengenakan gamis merah muda itu membalikan badannya. Ia kembali
melangkah ke dalam rumah. Menuju ruang tengah. Ia duduk pada kursi meja makan
yang menghadap pada sebuah jendela yang terbuka. Melalui jendela itu, dia
menatap gang sempit yang terbentuk oleh rumahnya dan sebuah majelis.
Dada sang
wanita itu bergemuruh. Setiap detik yang berdetak semakin menambah gemuruhnya.
Kedua matanya masih memandang keluar jendela. Dadanya bergemuruh lagi.
Akhirnya.
Dari
jendela kecil itu, santriwati bergamis merah muda mendapati seorang santri
sedang menuntun vespa warna kuning. Sekejap saja pemandangan itu terlihat.
Tapi, walaupun sekejap, itu sudah lebih dari cukup untuk bisa membuat dada sang
santriwati perlahan normal kembali. Dia menunduk menatap meja makan. Bibirnya
tersenyum tipis. Hatinya seperti diguyur air segar dari pegunungan.
Sekejap
kemudian senyum tipis itu hilang. Lalu berganti dengan wajah penyesalan.
Astaghfirullahal’adzim!
Wanita
bergamis merah muda itu memejamkan kedua matanya. Dalam sekali.
***
Dua ujung
lengan kemejanya sudah terlipat di atas siku. Akang membungkuk. Ia melipat
ujung kedua celana panjangnya.
Akang
mengambil wudhu pada keran di depan pondok santri laki-laki.
TESSS
Tetesan
hujan pertama menghantam punggung Akang. Akang merasakan butiran kecil itu.
Namun ia masih melanjutkan wudhunya.
Wudhu
selesai, tetesan hujan yang turun semakin banyak. Bergegas Akang memanjangkan
kembali lipatan celananya. Lalu berlari kecil melewati gang sempit. Hendak
menuju mesjid untuk solat berjamaah.
Hujan bertambah
lebat. Iqomat mulai berkumandang.
Akang
mempercepat larinya. Kedua tangannya ia jadikan sebuah payung dadakan.
***
Beberapa
jamaah laki-laki tertahan di dalam mesjid. Begitu juga dengan jamaah perempuan.
Di luar, hujan belum ingin berhenti. Sesekali gemuruh menggelegar. Tiupan angin
membuat beberapa cipratan hujan yang membasahi teras-teras mesjid.
Akang
duduk bersandar pada salah satu tiang di dalam mesjid. Pandangannya terarah pada
jendela kaca besar. Ia diam menatap hujan sore kali ini. Tepat di samping kanan
Akang, Fajar juga menatap ke luar jendela. Memandangi butiran hujan yang
menyerbu bumi. Fajar duduk menekuk kedua kakinya. Tangannya memeluk lipatan
kaki itu.
“Assalamu’alaikum,” Sabil menghampiri dua
orang pemuda yang sedang diam di dekat tiang mesjid. Ia langsung duduk di dekat
kedua teman santrinya.
Akang dan
Fajar menoleh bersamaan. Bersamaan pula dalam menjawab salam Sabil. Setelah itu
mereka kembali melihat hujan. Sabil ikut-ikutan memandangi hujan sore ini.
Angin
bertiup numayan kencang. Air hujan semakin jauh membasahi teras. Sisa-sisa
dinginnya masuk ke dalam mesjid. Melalui pintu-pintu yang terbuka. Lewat
jendela yang terbuka. Juga menyelinap di antara celah-celah lubang kecil di
atas pintu dan jendela. Akang melipat kedua tangannya di dada. Fajar semakin
erat memeluk lipatan kakinya. Tubuh Sabil bergidig
dibelai dingin.
Akang
sedikit memutar wajah. Ia menatap ke luar melalui jendela lain. Dari jendela kaca
besar itu, Akang mendapati seorang wanita bergamis merah muda sedang membuka
payung berwarna yang sama dengan gamis yang dikenakannya.
Payung
sang wanita sudah terbuka. Ia bersiap untuk melangkah menembus hujan.
Wanita
bergamis merah muda menghentikan langkahnya. Ia seperti sedang memikirkan
sesuatu.
Ia kembali
mendekat pada dinding mesjid. Payungnya ia simpan di dekat jendela. Tanpa
dilipat. Sementara dirinya kembali melangkah masuk mesjid. Lewat pintu
belakang. Menuju ruang solat khusus jamaah wanita.
Angin
bertiup lagi. Dingin berhembus lagi.
Angin
masih bertiup. Payung merah muda terdorong oleh tenaga tiupan angin. Payung
milik wanita bergamis merah muda tadi bergeser mendekati ujung teras.
Angin
masih bertiup. Payung terus terdorong menuju ujung teras.
Tanpa
berpikir dua kali Akang berdiri. Ia berlari hendak menyelamatkan payung yang
sedang ditinggalkan sang pemiliknya itu.
Payung
sudah menemui ujung. Ia limbung dan bersiap untuk jatuh. Tapi...
HAPPP
Jemari
Akang menggenggam erat pegangan payung. Akang datang tepat waktu.
Akang
simpan kembali payung itu pada posisinya semula. Kemudian berbalik hendak masuk
mesjid lagi. Dan...
DEGGG
Belum
sempurna tubuh Akang berbalik, ia dikagetkan dengan kehadiran seorang wanita
yang berdiri sekitar dua meter di depannya. Hey! Dia! Dia! Dia pemilik payung
ini! Dia wanita bergamis merah muda tadi!
Akang
kaget.
“Payungnya
tadi mau jatuh,” sedikit terbata Akang memberi tahu.
“Iya.
Makasih A,” jawab wanita di hadapan Akang. Kemudian ia memberi sebuah senyuman.
Akang
membalas senyuman seorang wanita yang baru sore ini ia lihat. Apakah dia asli
orang sini? Apakah dia santri juga? Tanya Akang pada dirinya.
Kedua
orang itu masih bediri mematung saling berhadapan. Bingung dengan apa yang akan
dilakukan, mereka hanya saling memberi senyuman saja.
Wanita
bergamis merah muda sebentar menundukan pandangannya. Sekejap kemudian menatap
sang laki-laki di hadapannya. “Mari A, saya duluan,” dia mengangguk pelan. “Assalamu’alaikum.”
Wanita itu
meleos pergi. Akang ingin mengikuti kepergian wanita itu dengan pandangan
matanya. Tapi niat itu dia urungkan. Akang kembali ke dalam mesjid. Ia sampai
lupa tidak menjawab salam sang wanita bergamis merah muda itu.
Lirikan
Fajar dan Sabil menyambut kedatangan Akang kembali. Kedua santri itu tidak
mengeluarkan sepatah kata pun. Namun ada arti dari tatapan mereka.
Akang
tidak menyadari dengan apa yang dilakukan Fajar dan Sabil. Ia kembali duduk
pada posisi semula. Wajahnya terarah lagi pada jendela mesjid. Akang kembali
menikmati hujan yang kini sedikit mereda.
Fajar
mulai menerka-nerka. Apa kira-kira yang ada di pikiran Akang saat ini? sesekali
dia mencuri pandang pada wajah Akang. Mencoba membaca arti dari gurat wajah
sang santri di sampingnya ini.
“Jar,”
Akang menoleh pada Fajar.
Bibir
Fajar melebar. Ada aroma kelegaan di hatinya.
“Kenapa,
Kang?”
“Wanita
tadi santri juga?”
“Eh!”
Fajar memfokuskan pandangannya pada Akang. “Akang belum tahu?!” kening Fajar
melipat.
“Orang
liat juga baru sekarang.”
“Hah!
Serius, Kang?”
Wajah
Akang meninggalkan muka Fajar. Ia melihat jendela lagi. “Hmmm.”
Hujan
semakin mereda. Seperti beberapa hari ke belakang, meskipun lebat, hujan di
bulan Oktober ini durasinya pendek-pendek. Bulan ini adalah pintu gerbang
memasuki musim penghujan.
“Ia, Kang.
Dia santri juga.”
Fajar
diam. Sengaja, santri yang satu ini ingin mengetahui bagaimana tanggapan Akang.
Akang
masih tetap melihat jendela. “Oooh,” hanya itu tanggapan Akang.
“Namanya
Teh Anita,” Fajar memberi jeda. Kembali menunggu respon Akang.
Akang
menoleh sebentar pada Fajar, lalu kembali menatap ke luar jendela.
“Teh Anita
itu anaknya Ustad Ipun.”
Akang
menoleh cepat. Matanya melebar. “Anak ustad Ipun?!”
Fajar
mengangguk.
“Berarti
sepupuan atuh sama Fajar?”
Fajar
mengangguk. “Iya.” Ada warna kepuasan di wajah Fajar.
“Kenapa,
Kang? Teh Anita cantik ya?” bibir Fajar menyeringai. Mencoba menggoda Akang.
“Akang naksir ya...”
Akang
melotot. “Ngawur. Ngeliat juga baru sore ini. Kenal juga belum. Lagian mana
pantas saya dengan putrinya Ustad Ipun.”
“Eit-eit.
Siapa yang nanya pantas atau tidak. Fajar cuman nanya apakah Akang suka doang
kan?” Fajar kembali menyeringai.
Mata Akang
menyipit. Ia limbung sebab serangan Fajar.
“Hayoooo...,”
Fajar belum puas menggodai Akang.
Akang mati
kutu. Sabil hanya tersenyum. Ia ikut menikmati permainan Fajar.
“Jangan
salah tingkah gitu atuh, Kang,” Fajar kembali menyerang.
Sore ini
Akang benar-benar kalah telak. Tidak ada serangan balik dari santri yang satu
ini.
“Tapi
Akang tenang aja ya. Jika memang benar Akang naksir Teh Anita, setidaknya Akang
sudah satu langkah di depan para pemuda lain yang suka sama Teh Anita.”
Akang
menatap Fajar. Maksudnya?!
Fajar
mengerti arti tatapan Akang.
“Beberapa
waktu lalu, ketika Teh Anita pertama kali melihat Akang, dia juga tanya siapa
Akang ke Fajar.”
Mata Akang
melebar. Ada gurat senyuman di bibirnya. Khawatir terbaca, Akang memalingkan
wajahnya. Ia pura-pura kembali menatap jendela. Di luar, hujan hanya tinggal
rintik-rintik saja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar