Selasa, 12 November 2013

Hujan Sore di Bulan November



                Bagi Adam, tidak ada hujan yang lebih indah selain hujan sore hari di kampungnya. Dari dulu sampai sekarang, keyakinan itu tidak pernah berubah dari kepalanya. Terlebih saat ini. Saat dimana sang laki-laki itu bisa menikmati hujan sore hari di kampung bersama sang istri tercinta.

                Bulan November. Musim hujan telah tiba.

                Sore ini, hujan turun lagi. Adam duduk sendiri pada kursi kayu panjang di teras depan rumah. Matanya syahdu menatap butir-butir hujan yang mengguyur bumi. 

                Putri keluar dari pintu. Ia membawa nampan yang ditumpangi dua cangkir teh hangat. Adam menoleh pada sang bidadarinya. Ia memberi senyum. Sang istri membalas senyum sang suami.

                Putri membungkukan tubuhnya. Ia meletakan dua cangkir teh hangat pada meja di depan kursi panjang. Uap hangat mengepul dari mulut kedua cangkir itu. 

                Ada mengelus kepala sang istri. “Makasih, Neng.”

                Putri menjawab dengan sebuah senyuman saja. la langsung duduk di samping Adam. Kepalanya disandarkan pada pundak kokoh sang suami. Dengan kepala yang masih tertempel pada pundak sang pangeran, Putri menoleh menatap wajah laki-laki tampan di sampingnya. Putri tersenyum lagi.

                Adam menggeleng pelan. Ia mengarahkan matanya pada sebuah wajah yang rupawan. Mata sepasang suami istri itu beradu. Adam membalas senyum Putri. Ia memberikan bonus sebuah ciuman di kening sang istri. Putri memejamkan kedua matanya. Ia menikmati kecupan bibir sang suami.

                Adam menyimpan satu tangannya di kepala Putri. Sambil terus menikmati hujan, tangannya mengelus-elus lembut kepala sang istri. Mereka semakin merapat. 

                Tabrakan antara hujan dengan atap rumah menimbulkan nada alam yang indah. Sebuah nada yang menentramkan telinga siapapun yang mendengarnya. Terlebih bagi Adam.

                “A,” Putri melirik sang suami.

                “Iya,” Sahut Adam. Matanya tidak lepas dari butiran hujan. Tangannya masih mengelus kepala sang istri.

                “Saat hujan sore seperti ini, biasanya apa yang paling sering Aa lamunkan?”

                “Banyak.”

                Putri kembali melihat hujan.

                “Banyak gimana maksudnya, A?”

                “Tergantung pada apa yang sedang ada di kepala Aa.”

                Putri menoleh pada sang suami lagi. “Kalau sekarang?”

                Adam melirik sang istri. “Mmmm,” sebentar ia mengarahkan matanya ke atas. “Sekarang Aa sedang memikirkan kenangan tentang mimpi-mimpi Aa yang dulu,” Adam kembali melihat wanita paling cantik di dunia yang sedang bersandar pada pundaknya.

                “Tentang mimpi masa lalu?” Putri memasang raut wajah penuh tanya. Ia meminta untuk dijelaskan.

                Adam tersenyum melihat wajah sang istri. Ia paham maksud dari raut itu.

                “Jika Aa renungkan, Allah itu sangat baik pada Aa. Dia hampir selalu mengabulkan apa yang Aa impi-impikan.”

                Putri melipat kening. Ia meminta dijelakan lagi.

                “Allah hampir selalu mengabulkan mimpi-mimpi Aa. Allah hampir selalu mewujudkan cita-cita Aa.”

                “Contohnya?”

                “Banyak.”

                “Beberapa yang paling Aa ingat?”

                Adam mengarahkan matanya ke atas. “Mmmm.” Ia mencoba mengingat-ingat mimpinya yang telah terwujud dan paling berkesan.

                “Apa?” Putri tidak sabar ingin segera mendengar jawaban sang suami.

                “Waktu Aa bercita-cita ingin masuk tim sepak bola remaja profesional, tidak lama berselang, setelah berjuang dan berdo’a, akhirnya Allah mewujudkan cita-cita itu. Ketika Aa ingin kuliah di Bandung, padahal waktu itu Aa tidak ada biaya, berkat usaha dan do’a, akhirnya Allah memberi jalan untuk keinginan Aa itu. Saat Aa ingin menulis novel, Allah juga mewujudkan mimpi Aa itu.” Adam mengakhiri ceritanya.

                “Kalau yang paling berkesan yang mana, A?”

                “Banyak.”

                “Yang paling?”

                “Banyak.”

                “Yang paling dari yang terpaling?”

                “Banyak.”

                Wajah Putri mengkerut. Bibirnya sedikit manyun. Pertanda ia mulai kesal.

                Adam tersenyum geli. Ia terhibur oleh pemandangan wajah sang istri.

                “Yang paling dari yang terpaling dan terpaling dan terpalingnya lagi?!”

                Adam tersenyum lagi. Ia kembali mengelus kepala sang bidadarinya yang sedang kesal.

                “Mmmm, apa yah?” Pertanyaan itu mungkin untuk dirinya sendiri. “Oh iya, Aa ingat!”

                “Apa?”

                “Waktu itu Aa melihat seorang wanita cantik. Entah bagaimana, Aa jatuh cinta pada wanita itu. Sehari setelahnya, Aa bercita-cita ingin menjadikan wanita cantik itu untuk menjadi istri Aa. Kemudian Aa tuliskan mimpi itu pada daftar mimpi-mimpi Aa. Dan tidak lama berselang, Akhirnya Allah mewujudkan mimpi Aa itu.”

                Putri bertanya-tanya. Otaknya menerka-nerka. Ada gurat senyuman yang tertahan pada bibirnya.

                Maksudnya? 

                Adam paham gurat wajah itu.

                “Mimpi dan cita-cita yang paling berkesan bagi Aa adalah saat Allah mengabulkan keinginan Aa untuk mempersunting, Neng.”

                Sempurna sudah senyuman itu terbentuk. Putri tidak bisa menyembunyikan senyum manis dari pandangan sang pangerannya. Putri tersipu malu. Adam kembali mengelus kepala sang bidadari tercintanya. Sepasang suami istri itu kembali menatap hujan sore yang belum reda.

                “A.”

                “Iya.”

                “Kalau impian Aa yang sekarang apa?”

                “Banyak.”

                “Salah satunya?”

                “Aa ingin punya anak laki-laki yang tampan dan soleh.”

                Putri melepaskan kepalanya dari pundak Adam. Ia duduk tegak. Matanya tajam memandang sang suami.

                “Neng mau anak perempuan yang cantik dan solehah!”

                “Aa ingin laki-laki.”

                “Neng maunya perempuan, A!”

                “Yaudah, yaudah, Aa ngalah.” Adam mencoba merangkul kembali kepala sang istri. Ia menyandarkan lagi sang istri pada pundaknya. Perlahan Putri tersenyum lagi.

                Mereka berdua kembali menonton hujan sore.

                “Neng.”

                “Iya.”

                “Tapi biasanya Allah sering mewujudkan keinginan Aa lho,” ujar Adam misterius.

                “Aaaaah, Aa!” Putri merengek. Ia kembali melepaskan diri dari pundak Adam. Ia menyubit pinggang sang suami.

                Hujan sore masih belum reda. Nyanyian alam masih bersenandung. Adam kembali merangkul tubuh sang istri tercinta.

                Hujan sore di kampung pada bulan November ini masih juga belum reda.
***

1 komentar:

  1. gila lu ndro..!!! khayalan tingkat tinggi ini mah tulisan nya... banyak ide2 liar buat nulis..

    BalasHapus