Bagi
Adam, tidak ada hujan yang lebih indah selain hujan sore hari di kampungnya.
Dari dulu sampai sekarang, keyakinan itu tidak pernah berubah dari kepalanya.
Terlebih saat ini. Saat dimana sang laki-laki itu bisa menikmati hujan sore
hari di kampung bersama sang istri tercinta.
Bulan
November. Musim hujan telah tiba.
Sore
ini, hujan turun lagi. Adam duduk sendiri pada kursi kayu panjang di teras
depan rumah. Matanya syahdu menatap butir-butir hujan yang mengguyur bumi.
Putri
keluar dari pintu. Ia membawa nampan yang ditumpangi dua cangkir teh hangat.
Adam menoleh pada sang bidadarinya. Ia memberi senyum. Sang istri membalas
senyum sang suami.
Putri
membungkukan tubuhnya. Ia meletakan dua cangkir teh hangat pada meja di depan
kursi panjang. Uap hangat mengepul dari mulut kedua cangkir itu.
Ada
mengelus kepala sang istri. “Makasih, Neng.”
Putri
menjawab dengan sebuah senyuman saja. la langsung duduk di samping Adam.
Kepalanya disandarkan pada pundak kokoh sang suami. Dengan kepala yang masih
tertempel pada pundak sang pangeran, Putri menoleh menatap wajah laki-laki
tampan di sampingnya. Putri tersenyum lagi.
Adam
menggeleng pelan. Ia mengarahkan matanya pada sebuah wajah yang rupawan. Mata
sepasang suami istri itu beradu. Adam membalas senyum Putri. Ia memberikan
bonus sebuah ciuman di kening sang istri. Putri memejamkan kedua matanya. Ia
menikmati kecupan bibir sang suami.
Adam
menyimpan satu tangannya di kepala Putri. Sambil terus menikmati hujan, tangannya
mengelus-elus lembut kepala sang istri. Mereka semakin merapat.
Tabrakan
antara hujan dengan atap rumah menimbulkan nada alam yang indah. Sebuah nada
yang menentramkan telinga siapapun yang mendengarnya. Terlebih bagi Adam.
“A,”
Putri melirik sang suami.
“Iya,”
Sahut Adam. Matanya tidak lepas dari butiran hujan. Tangannya masih mengelus
kepala sang istri.
“Saat
hujan sore seperti ini, biasanya apa yang paling sering Aa lamunkan?”
“Banyak.”
Putri
kembali melihat hujan.
“Banyak
gimana maksudnya, A?”
“Tergantung
pada apa yang sedang ada di kepala Aa.”
Putri
menoleh pada sang suami lagi. “Kalau sekarang?”
Adam
melirik sang istri. “Mmmm,” sebentar ia mengarahkan matanya ke atas. “Sekarang
Aa sedang memikirkan kenangan tentang mimpi-mimpi Aa yang dulu,” Adam kembali
melihat wanita paling cantik di dunia yang sedang bersandar pada pundaknya.
“Tentang
mimpi masa lalu?” Putri memasang raut wajah penuh tanya. Ia meminta untuk
dijelaskan.
Adam
tersenyum melihat wajah sang istri. Ia paham maksud dari raut itu.
“Jika
Aa renungkan, Allah itu sangat baik pada Aa. Dia hampir selalu mengabulkan apa
yang Aa impi-impikan.”
Putri
melipat kening. Ia meminta dijelakan lagi.
“Allah
hampir selalu mengabulkan mimpi-mimpi Aa. Allah hampir selalu mewujudkan
cita-cita Aa.”
“Contohnya?”
“Banyak.”
“Beberapa
yang paling Aa ingat?”
Adam
mengarahkan matanya ke atas. “Mmmm.” Ia mencoba mengingat-ingat mimpinya yang telah
terwujud dan paling berkesan.
“Apa?”
Putri tidak sabar ingin segera mendengar jawaban sang suami.
“Waktu
Aa bercita-cita ingin masuk tim sepak bola remaja profesional, tidak lama
berselang, setelah berjuang dan berdo’a, akhirnya Allah mewujudkan cita-cita
itu. Ketika Aa ingin kuliah di Bandung, padahal waktu itu Aa tidak ada biaya,
berkat usaha dan do’a, akhirnya Allah memberi jalan untuk keinginan Aa itu.
Saat Aa ingin menulis novel, Allah juga mewujudkan mimpi Aa itu.” Adam
mengakhiri ceritanya.
“Kalau
yang paling berkesan yang mana, A?”
“Banyak.”
“Yang
paling?”
“Banyak.”
“Yang
paling dari yang terpaling?”
“Banyak.”
Wajah
Putri mengkerut. Bibirnya sedikit manyun. Pertanda ia mulai kesal.
Adam
tersenyum geli. Ia terhibur oleh pemandangan wajah sang istri.
“Yang
paling dari yang terpaling dan terpaling dan terpalingnya lagi?!”
Adam
tersenyum lagi. Ia kembali mengelus kepala sang bidadarinya yang sedang kesal.
“Mmmm,
apa yah?” Pertanyaan itu mungkin untuk dirinya sendiri. “Oh iya, Aa ingat!”
“Apa?”
“Waktu
itu Aa melihat seorang wanita cantik. Entah bagaimana, Aa jatuh cinta pada wanita
itu. Sehari setelahnya, Aa bercita-cita ingin menjadikan wanita cantik itu
untuk menjadi istri Aa. Kemudian Aa tuliskan mimpi itu pada daftar mimpi-mimpi
Aa. Dan tidak lama berselang, Akhirnya Allah mewujudkan mimpi Aa itu.”
Putri
bertanya-tanya. Otaknya menerka-nerka. Ada gurat senyuman yang tertahan pada
bibirnya.
Maksudnya?
Adam paham gurat wajah itu.
“Mimpi
dan cita-cita yang paling berkesan bagi Aa adalah saat Allah mengabulkan
keinginan Aa untuk mempersunting, Neng.”
Sempurna
sudah senyuman itu terbentuk. Putri tidak bisa menyembunyikan senyum manis dari
pandangan sang pangerannya. Putri tersipu malu. Adam kembali mengelus kepala
sang bidadari tercintanya. Sepasang suami istri itu kembali menatap hujan sore
yang belum reda.
“A.”
“Iya.”
“Kalau
impian Aa yang sekarang apa?”
“Banyak.”
“Salah
satunya?”
“Aa
ingin punya anak laki-laki yang tampan dan soleh.”
Putri
melepaskan kepalanya dari pundak Adam. Ia duduk tegak. Matanya tajam memandang
sang suami.
“Neng
mau anak perempuan yang cantik dan solehah!”
“Aa
ingin laki-laki.”
“Neng
maunya perempuan, A!”
“Yaudah,
yaudah, Aa ngalah.” Adam mencoba merangkul kembali kepala sang istri. Ia
menyandarkan lagi sang istri pada pundaknya. Perlahan Putri tersenyum lagi.
Mereka
berdua kembali menonton hujan sore.
“Neng.”
“Iya.”
“Tapi
biasanya Allah sering mewujudkan keinginan Aa lho,” ujar Adam misterius.
“Aaaaah,
Aa!” Putri merengek. Ia kembali melepaskan diri dari pundak Adam. Ia menyubit
pinggang sang suami.
Hujan
sore masih belum reda. Nyanyian alam masih bersenandung. Adam kembali merangkul
tubuh sang istri tercinta.
***
gila lu ndro..!!! khayalan tingkat tinggi ini mah tulisan nya... banyak ide2 liar buat nulis..
BalasHapus