Sabtu, 30 November 2013

Langit Berwarna jingga (17)



Jam kayu besar berdiri kokoh di dekat mimbar. Bandulnya berayun-ayun. Jarum pendek menunjuk angka tiga. Jarum panjangnya ada di angka sebelas. Beberapa menit lagi waktu ashar akan tiba.

Fajar dan Sabil duduk terkulai di dalam mesjid, di dekat jendela. Mereka lelah. Seharian penuh kedua guru bantu itu mengajar di MA Kepuh. Tenaganya terkuras. Otaknya menguap.

Sabil tampak sedikit lebih segar dibanding Fajar.

“Gak kerasa, Jar ya.”

“Apa?” Fajar menoleh malas pada Sabil.

“Perasaan baru kemarin lusa saya pindah ke sini. Juga seperti kemarin kita masuk kuliah. Eh, sekarang sudah mau lulus lagi,” jelas Sabil dengan pandangan menerawang ke mihrab imam.

Fajar menatap Sabil. Lalu ikut menerawang seperti Sabil. Tapi yang ditatap bukan mihrab, melainkan jam kayu besar. “Iya, ya. Waktu terasa cepat berlalu.”

“Dua bulan lagi kita sudah mau wisuda. Setelah itu fokus ngajar. Kemudian nabung. Lalu nikah deh,” Sabilmelirik Fajar. Lalu kembali menerawang pada mihrab. Ia tersenyum sendiri.

Mendengar kata menikah, rasa lelah Fajar sedikit berkurang. Terlebih kata itu keluarnya dari Sabil. Sahabat sekaligus sang kakak dari Dian. 

“Kamu ingin punya istri yang seperti apa, Jar?” tanya Sabil dengan tidak menatap wajah orang yang ditanya. Dia masih terbuai dengan imajinasi pikirannya sendiri.

Fajar menoleh cepat pada Sabil. 

“Istri?!” Ada nada kikuk dari pertanyaan pendek Fajar.

“Iya,” ucap Sabil tenang saja.

“Mmm..., ya standar lah. Sama seperti keinginan laki-laki pada umumnya.”

“Standarnya seperti apa itu?”

“Solehah. Pintar. Cantik. Pokoknya sebangsa itu lah.”

“Mmhh,” Sabil manggut-manggut.

“Kalau kamu, Bil?” Fajar bertanya balik. Ia lebih menegakan posisi duduknya.

“Sepertinya begitu juga. Sama dengan yang tadi kamu sebutkan.”

Bandul jam kayu besar masih terus berayun. Jarum panjang tepat menunjuk angka dua belas. Bersamaan dengan itu, berdentang seperti bunyi lonceng tiga kali dari jam itu. Tinggal hitungan menit, ashar akan segera tiba.

“Oya, kalau untuk adik ipar nanti, kamu inginnya seperti apa, Jar?”

“Adik ipar? Suami untuk adik saya, Rani, maksudnya?”

“Iya.”

Fajar berpikir sebentar.

“Apa ya?” Fajar menerawang menatap langit-langit mesjid. “Pada intinya saya berharap laki-laki itu baik dan bisa membimbing Rani ke arah yang lebih baik lagi. Mungkin itu.”

Sabil manggut-manggut. Dan kembali menerawang ke arah mihrab imam.

Fajar melirik Sabil. Dia melirik dengan diam-diam. Ingin sekali ia bertanya balik soal kriteria adik ipar yang diingikan oleh Sabil. Tapi apa mau dikata. Nyalinya lenyap entah kemana. Fajar tidak berani. Atau mungkin belum berani.

“Jar,” panggil Sabil membuyarkan lamunan Fajar yang sedang memupuk keberanian untuk bertanya. 

“Iya,” Fajar kikuk. Sepanjang sejarah hidupnya, baru kali ini Fajar grogi saat berbincang dengan Sabil.

“Kalau untuk bayangan wanita yang nanti akan di lamar, apakah sudah ada?”

“Hah?” Fajar kaget tersebab pertanyaan Sabil. “Bayangan?”

“Iya.”

“Mmm...,” Fajar diam sebentar. “InsyaAllah sudah ada.”

“Kalau kamu, Bil?” Fajar bertanya balik untuk menyembunyikan sikap kikuknya.

Sabil tersenyum mendengar pertanyaan Fajar. Sabil memang seperti yang sedang menunggu kedatangan pertanyaan itu.

InsyaAllah sudah.”

Hening. Fajar diam karena canggung dengan isi perbincangan ini. Sementara Sabil lebih karena sibuk dengan pikiran di dalam kepalanya.

“Saya do’ain atuh nanti bisa mendapatkan bidadari impian itu ya,” Fajar mendo’akan Sabil. Ia mengakhiri do’anya dengan tawa kecil.

Sabil menggumamkan kata “Aamiin”. Wajahnya bertambah cerah.

“Saya do’ain juga. Semoga kamu bisa mendapatkan seorang wanita yang jauh lebih baik dari bayanganmu,” Sabil menatap sahabatnya. “Kamu laki-laki baik, Jar. InsyaAllah akan mendapatkan wanita yang super baik pula.”

Fajar tersenyum. Isi kepalanya dipenuhi oleh bayangan wajah Dian. 

“Aamiin Yaa Allah,” Ucap Fajar penuh harap.

Sabil menoleh pada jam. Ia berdiri. “Hayu, Jar. Siap-siap!” Sabil melangkah menuju stand mikrofon di dekat mimbar. Bersiap untuk mengumandangkan adzan ashar. 

Fajar melangkah keluar. Ia hendak mengambil wudhu. Sebab saat baru tiba tadi, ia tidak langsung mengambil air wudhu bersama Sabil.
***

Vespa warna kuning melaju dengan kecepatan sedang di jalan raya susur pantai Anyer. Helm nyentrik khas anak muda membekap melindungi kepala Akang. Sarung tangan hitam yang membungkus kedua tangan Akang mencengkeram kedua ujung kemudi. Jaket kulit membungkus tubuh Akang. Tali tas cangklong membelit pundak sang bapak guru muda itu. 

Hampir sepanjang perjalanan, pikiran Akang hanya tertuju pada sebuah kata yang akhir-akhir ini seperti menghantuinya. Adalah “Menikah”. Tidak di pondok, tidak di sekolah, tidak di kampung, topik yang satu ini selalu menjadi bahan perbincangannya dengan para lawan biara. Di pondok ada Fajar. Di kampung ada para kawan satu angkatan semasa SD dulu yang telah menyempurnakan separuh agama mereka. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah memiliki anak. Dan tentunya juga di sekolah. Di tempat Akang mengabdi itu, ada satu sosok guru yang sering kali mencandai Akang perihalpernikahan. Seperti hari ini. Sesaat sebelum kepulangan Akang. Beliau adalah guru pelajaran agama islam. Namanya Bapak Barta.

“Pulang, Pak?” sapa Akang pada Pak Barat yang sudah duduk di jok motor bebeknya.

Pak Barta sedang melihat hapenya. Lalu melirik pada sang penyapa.

“Eh, Pak Akang. Iya, ini baru mau pulang. Pak Akang pulang juga?” Pak Barta melihat layar hape lagi.

“Iya, Pak,” Akang menaiki vespa kuningnya. “Serius amat baca SMSnya, Pak.”

“Oh iya dong. Soalnya isi SMS ini spesial dari sang bidadari Bapak di rumah,” Pak Barta menunjukan layar hapenya pada Akang. Tapi hanya sebentar. Sepertinya sang bapak guru senior itu memang tidak berniat untuk menunjukan isi SMSnya. Melainkan hanya untuk mencandai Akang saja. Pak Barta tertawa. 

“Kapan atuh Pak Akang segera menikah? Apalagi coba yang ditunggu? Ngajar sudah. Usia mencukupi,” Pak Barta memanas-manasi Akang. Ini adalah bukan untuk yang pertama kali. Jika dihitung, entah untuk yang keberapa kali. Tidak terhitung.

Jika pembulian seperti ini sedang terjadi, Akang hanya mampu tersenyum saja. Sesekali mengangguk mengiyakan ucapan Pak Barta. 

“Pak Akang, nih dengarkan, katanya, jika ada pemuda yang umurnya sudah mencapai usia menikah,” Pak Barta diam sejenak. Ia seperti sedang berpikir. “Mungkin seusia Pak Akang ini lah kurang lebih. Belum menikah-menikah juga. Katanya itu mengindikasikan bahwa pemuda itu tergolong kepada pemuda yang lemah.”

Pak Barta mengantongi hapenya. Ia melanjutkan kalimatnya. “Ada beberapa indikasi kelemahan,” kata sang guru pelajaran agama islam itu. “Pertama.” Pak Barta mengacungkan jari telunjuknya. “Katanya pemuda itu lemah iman. Dia tidak percaya dengan Ke-Maha Kaya-an Allah. Biasanya alasan mereka itu kan selalu menyoal materi.”

“Kedua.” Pak Barta mengacungkan dua jarinya. Telunjuk dan jari tengah. “Katanya pemuda itu lemah mental. Keberaniannya lembek seperti bubur. Alasannya belum siap-lah atau apa-lah.”

“Ketiga.” Pak Barta memberdirikan jari manisnya untuk menemani telunjuk dan jari tengah. “Mereka lemah komunikasi. Komunikasi dengan siapa? Tentunya dengan orang tua. Mereka berdalih belum ada restu dari orang tua. Padahal mencoba meminta izin saja sebenarnya belum pernah.”

“Terakhir.” Jari kelingking sekarang ikut berdiri. “Ini yang paling menyeramkan,” Pak Barta sedikit mencondongkan wajahnya kedepan. “Adalah lemah syahwat!” pak Bara tertawa renyah. Entah memang ada yang lucu, atau sekedar untuk mengejek Akang.

Akang nyengir.

“Tuh, silahkan direnungkan di rumah. Kira-kira, Pak Akang masuk kategori lemah yang mana,” Pak Barta melanjutkan tawanya.

Pak Barta memperbaiki posisi duduknya pada jok motor. Ia bersiap untuk menyalakan mesin tunggangannya.

Pak Barta memencet tombol starter. Mesin motor menyala. 

“Pak Akang. Sekiranya Bapak menunggu benar-benar sudah siap, maka sampai kapanpun Pak Akang tidak akan pernah menikah. Sama dengan saya juga. Seandainya dulu saya menikah menunggu untuk siap seratus persen dulu, maka hingga detik ini saya tidak akan pernah menikah,” Pak Barta menginjak gigi satu.

“Pak Akang. Nomer satunya ada niatan saja dulu. Kemudian yakinkan pada diri. Setelah itu, dengan sendirinya kesiapan juga akan mengikuti,” Pak Barta memberi senyum perpisahan. “Saya duluan ya. Sudah tidak sabar nih untuk melihat bidadari di rumah,” Pak Barta menutup dengan sebuah tawa.

Motor Pak Barta melaju pelan ke luar gerbang sekolah. Mata Akang mengikuti kepergian sang guru yang kenyang dengan pengalaman itu. Setelah itu Akang diam. Diam mencoba untuk merenungkan setiap kalimat yang keluar dari mulut bertuah Pak Barta. 

Sepanjang perjalanan Akang masih memikirkan obrolan dengan Pak Barta itu.

Vespa masih melaju dengan kecepatan sedang. 

Sebelum perbincangan di tempat parkir sekolah tadi, sesungguhnya Akang sudah mulai serius untuk memikirkan hal sakral ini. Dan pasca perbincangan tadi, Akang menjadi lebih yakin untuk memulai langkah.
Akang kembali teringat dengan ucapan Pak Barta beberapa waktu lalu.

“Pokoknya bilang saja dulu pada orang tua. Itung-itung sebagai pemanasan. Nanti, ketika Pak Akang sudah benar-benar meminta restu untuk yang sebenarnya, maka Bapak dan Ibu tidak kaget lagi mendengarnya.”

Akang meyakinkan diri. Sepertinya dia akan mampir dulu ke rumah. Semoga saja nanti akan ada kesempatan baginya untuk mengutarakan maksud hatinya pada sang bapak dan sang Ibu.

Vespa masih melaju. Akang menarik gas lebih dalam. Si kuning berlari lebih cepat.

Akang berpikir. Mencoba mencari kalimat pembuka apa yang akan ia gunakan dalam perbincangannya nanti dengan orang tua. Dan, di antara itu, muncul bayangan seorang wanita yang tergambar jelas di kepala Akang. Bayangan seorang wanita yang cantik jelita. Siapa lagi kalau bukan Anita.

Gas semakin dalam ditarik. Vespa kuning berlari cepat.

Siang menjelang sore ini, wajah langit Anyer  tampak cerah. Kulitnya masih biru. Beberapa awan cirro cumullus menghiasinya. Awan-awan itu berbentuk seperti sisik-sisik ikan. Di titik lain, ada juga yang menyerupai sekumpulan domba yang dilihat dari atas. Awan-awan itu putih. Terang bercahaya.
***

Jam setengah enam sore. Kaki langit perlahan menjingga. 

Bapaknya Akang sedang duduk sila di teras samping rumah. Beliau duduk menghadap langit jingga. Tangannya memegang sebuah buku tebal yang sedang ia baca. Sebuah kaca mata membantu sang Bapak yang sebagian rambutnya sudah tumbuh uban itu dalam memperjelas susunan kata yang dibaca. Teduh sekali wajah Bapaknya Akang sore ini. Berbeda dengan wajah Akang yang sedang duduk beberapa jarak di belakang sang Bapak. 

Sore ini Akang sudah mengenakan sarung. Tapi pakaian atasnya masih kaos. Tidak berbeda dengan sang Bapak. Akang juga memegang sebuah buku. Hanya saja, buku itu bukan untuk Akang baca. Melainkan hanya sebuah kamuflase untuk tujuan Akang yang sebenarnya. Apa itu? Adalah mengobrol soal masa depan yang sudah sedari siang mengiang-ngiang di kepalanya. Namun sayang seribu kali sayang. Setengah jam sudah terlewat, belum juga Akang berani menyuarakan maksudnya pada sang Bapak.

Akang mulai kesal. Kesal pada dirinya sendiri. Kenapa dia tidak mampu? Apakah memang benar apa yang telah dikatakan oleh Pak Barta tadi siang. Bahwa dirinya telah mengidap sebuah kelemahan di antara beberapa kelemahan mengapa dirinya tidak kunjung juga menikah. Boleh jadi dia mengidap penyakit lemah komunikasi? Atau lemah mental? Dan tidak menutup kemungkinan juga mengidap penyakit lemah iman?Ah!

Yaa Allah.mohon berilah kemudahan. Lirih Akang dalam hati.

“A,” sang Bapak memanggil anak laki-laki sulungnya.

“Iya, Pak,” jawab Akang lemas.

Bapaknya Akang menutup buku tebal di tangannya. Ia melepas kacamata dari wajahnya.

“Kapan Aa mau menikah?”

Akang melotot. Ia tidak percaya. Secepat inikah Allah mengabulkan do’a yang barusan ia panjatkan. 

Separuh tubuh matahari sudah tenggelam di garis horison. Kaki langit barat berwarna jingga. 

Angin sore bertiup lembut. Dan Akang pun tersenyum.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar