Selasa, 26 November 2013

Kampung Santri (15)



Di wilayah pantai barat Banten, yaitu di sekitar kawasan wisata pantai Anyer-Carita, Kampung kepuh memang terkenal dengan sebutan kampung religius. Tidak sedikit para ustad yang dilahirkan di kampung yang satu ini. Masyarakatnya terkenal akan keramahannya. Petang di kampung ini, merupakan satu dari sedikit petang yang masih bertahan dari serbuan arus yang tidak baik. Selepas waktu magrib, mereka bergeliat menuju rumah sang guru ngaji. Anak-anak kecil berlarian. Para remaja berjalan sambil memeluk mushaf Al-qur’an di dada. Pakaian mereka sempurna menutupi aurat. Siapapun yang melihat pemandangan itu, akan terpesona dibuatnya. Di antaranya adalah Akang. Meskipun dia sudah sering tinggal di Kepuh, kedua matanya berbinar kala menemui petang hari di kampung yang Akang juluki dengan sebutan “kampung Santri” ini.

Di Kepuh, tidak satu haripun yang dilalui tanpa kumandang lantunan ayat-ayat suci dan sholawat untuk nabi. Petang dan subuh adalah waktu yang pasti adanya dua kumandang itu. Speaker-speaker masjid dan mushola, menyebarkan lantunan merdu para santri ke seluruh penjuru mata angin. Kedua irama itu, bergetar hingga ke langit ke tujuh. Para penduduk langit tersenyum. Mereka memuji geliat kampung santri ini.

Di kepuh, ada beberapa jadwal pengajian rutin untuk para penghuninya. Rabu pagi adalah jadwal untuk pengajian ibu-ibu. Waktunya sekitar jam delapan sampai jam sepuluh. Tempatnya di mesjid dekat pesantren Ustad Ipun.

Senin malam, adalah pengajian kaum bapak. Berbeda dengan pengajian ibu-ibu yang tempatnya hanya di mesjid saja. Untuk pengajian ini, tempatnya bergilir. Semua mushola dan mesjid yang ada di kampung ini kebagian menjadi tuan rumah. Satu minggu sekali pergiliran itu dilaksanakan, dan terus berputar seakan tidak memiliki ujung. 

Malam minggu adalah waktunya pengajian umum. Para bapak, para ibu, juga kaum remaja bergabung. Bahkan tidak sedikit jamaahnya yang datang dari kampung tetangga. Pengajian umum ini dimulai jam delapan malam, dan berakhir tidak tentu. Terkadang jam setengah sebelas, jam sebelas, atau, jika materinya menarik, pengajiannya berakhir hingga tengah malam. 

Untuk remaja, mereka mencari ilmu seputar keagamaan di pesantrennya Ustad Ipun. Mereka tidak tinggal di pondokan yang ada di pesantren. Kebanyakan dari mereka tidur di rumah masing-masing. Sebab jarak rumah dengan pesantren bisa ditempuh dengan hanya beberapa langkah saja.

Sebenarnya masih ada satu lagi pengajian. Yaitu pengajian islahul ummah.Pengajian ini merupakan pengajian rutin yang diadakan oleh petinggi kecamatan. Pelaksanaannya pada Jum’at siang hingga waktu ashar. Tempatnya bergilir di setiap mesjid kampung se-kecamatan. Untuk mesjid kampung Kepuh, biasanya kegilir sekitar dua atau tiga bulan sekali. Jika jadwal islahul ummah tiba untuk Kepuh, maka Jum’at siang di kampung santri ini sudah selayaknya hari lebaran saja. Rame, namun menentramkan.
***

Memang tidak wajib bagi para santri Ustad Ipun untuk bisa berbicara di depan umum. Tapi setidaknya, jika mereka mampu berbicara dengan baik, maka akan lebih besar kemungkinan bagi mereka untuk bisa mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Misalnya saja dengan nasihat. Sebuah nasihat akan tersampaikan dengan baik jika kemampuan berkomunikasi sang pemberi nasihat itu juga baik. Dengan demikian, maka peluang untuk bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk manusia lain akan lebih memungkinkan pula untuk diperoleh. Sebagaimana tersebut dalam hadits nabi saw, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya.Untuk itu, ustad Ipun menjadwal setiap santrinya untuk menjadi perangkat acara pada pengajian yang ada di kampung Kepuh. 

Bagi santriwati, mereka digilir untuk menjadi pembawa acara pada pengajian ibu-ibu. Dan untuk para santri laki-laki, mereka dijadwal untuk menjadi pemandu acara pada pengajian kaum bapak. Sementar untuk pengajian umum malam Minggu dan pengajian islahul ummah, ustad Ipun tidak sembarangan dalam memilih. Beliau hanya menugaskan para santriwan yang berkompeten saja, atau juga menugaskan mereka yang jam terbangnya sudah numayan tinggi. Seperti untuk pengajian malam Minggu ini. Ustad Ipun menunjuk Akang untuk menjadi pembawa acaranya.

Jamaah laki-laki duduk berdempetan di setengah bagian depan ruang mesjid. Satu meter di belakang barisan paling buncit, terbentang hijab setinggi lutut orang dewasa. Pada belakang hijab itu, jamaah kaum ibu dan beberapa remaja perempuan duduk hampir berhimpitan. 

“... Bapak, Ibu, juga jamaah semuanya. Sebagaimana tersebut dalam salah satu hadits Rasulullah SAW, bahwa semua manusia itu celaka kecuali orang-orang yang memiliki ilmu,” tatapan Akang menyisir pada setiap jamaah yang hadir. “Akan tetapi hadits ini masih ada komanya, Bapak, Ibu. Lanjutannya adalah: Bahwa semua orang yang berilmu itu celaka, kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya,” sekali lagi Akang mengarahkan pandanganya pada setiap jamaah. “Hadits ini masih belum selesai Bapak, Ibu. Hadits ini masih belum menemui sang titik,” Beberapa jamaah tersenyum simpul. “Lanjutan dari hadits ini adalah: Bahwa setiap orang yang mengamalkan ilmunya itu celaka, kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmu mereka dengan hati yang ikhlas.” Akang mengakhiri hadits yang disampaikannya.

“Baik Bapak, Ibu, juga jamaah semuanya. Sekarang mari kita bersama-sama dengarkan penyampaian materi yang InsyaAllah akan disampaikan oleh Ustad Rafi.”

Ustad Rafi berdiri. Lalu melangkah menuju mimbar.

Akang menghampiri Ustad Rafi. Ia memberikan mikrofon kepada sang paman dari Sabil dan Dian itu. Sambil menyodorkan alat pengeras suara, Akang menyempatkan untuk memberi senyuman. Sang paman Dian itu memberi senyuman balik.

Akang kembali duduk pada tempatnya. Ustad Rafi membuka pengajian.
***

Jam sepuluh lewat sedikit. Pengajian telah usai. Sebagian besar jamaah sudah pulang menuju rumah masing-masing. Hanya ada beberapa gelintir orang saja yang tersisa di sekitaran mesjid. 

“Hati-hati ya!” Akang menepuk pundak kiri Riri. 

“Siap. Laksanakan, Komandan!” jawab Riri tegas dan diakhiri dengan sebuah tawa. Risti yang sedang dibonceng ikut tertawa kecil.

“Pengajian malam Minggu depan kesini lagi kan?”

“Sip, InsyaAllah.”

Riri menyimpan kaki kanannya di atas injakan gigi. Ia bersiap untuk menjalankan tunggangannya.

JGREGG

Gigi motor sudah diinjak. Masuk gigi satu.

“Calon bapak mertua jangan dianggurin tuh,” Riri menggerakan kepalanya isyarat mengarahkan Akang untuk melihat ke arah yang dimaksud Riri. Akang menoleh ke belakang. Pandangannya mendarat pada Abah Haji dan Ustad Ipun yang sedang mengobrol. Lalu Akang berbalik lagi menatap Riri. Ia tidak menjawab dengan kata-kata. Akang hanya tersenyum saja.

“Kita pulang dulu ya,” Riri pamit.

“Oke. Hati-hati ya.”

Assalamu’alaikum,” ucap Riri dan Risti berbarengan.

Wa’alaikumussalam.

Motor yang dikendarai Riri melaju pelan. Mata Akang mengiringi kepergian sahabatnya itu.

Akang melangkah pelan menghampiri Abah Haji dan Ustad Ipun.

“Bah,” Akang menyapa Abah Haji. Ia menyalami dan mencium punggung tangan kanan Bapak Hena itu.

“Ustad,” Akang menyapa Ustad Ipun juga. Lalu menyalami tangannya juga.

“Ummi sama Henanya udah pulang, Bah?” Akang basa-basi bertanya.

“Ummi dan Hena mampir dulu ke rumah Ibu sepuh.” Ibu sepuh adalah sebutan untuk nenek Hena dari pihak Ibu. Kampung Kepuh adalah memang tempat kelahiran Ummi. Tempat dibesarkannya sang ibu Hena itu.

Akang mengangguk. “Kalo gitu titip salam saja buat Ummi, Bah ya. Akang pamit dulu mau bantu yang lain beresin mesjid,” Akang menunjuk ke arah mesjid. Di sana ada beberapa santriwan dan santriwati yang hilir mudik berbagi tugas untuk merapihkan mesjid. 

“Mangga, Bah,” Akang pamit. “Ustad,” Akang mengangguk pada Ustad Ipun. “Assalamu’alaikum.”Akang meleos pergi. Ustad Ipun dan Abah Haji menjawab salam Akang bersamaan. Kedua laki-laki separuh baya itu melanjutkan obrolan yang sempat terhenti.

Akang menuju mesjid. Ia bergabung dengan Fajar, Sabil, juga beberapa santri laki-laki lainnya. Sabil dan dua santri lainnya menyapu lantai. Fajar dan santri tersisa mengumpulkan gelas dan piring kotor.

Sudah ada satu bak berukuran sedang yang telah penuh terisi oleh gelas-gelas kotor. Akang menghampiri bak itu. Lalu ia mengangkatnya. Kemudian dibawa menuju tempat wudhu perempuan. Di sana sudah ada sejumlah santri perempuan yang sedang mencuci gelas dan piring kotor.

Akang melangkah, dengan kedua tangannya menenteng bak berisi gelas kotor. 

“Punten,” Akang memberi isyarat pada para santriwati. Mendengar ada yang datang, seperti ada komando, mereka berhenti beraktifitas. Semua menoleh pada sumber suara. 

Akang menyodorkan bak di tangannya. Para santriwati saling tatap. Sorot mata masing-masing santri berbicara dengan maksud yang sama. Yaitu menyuruh kepada yang ditatap untuk mengambil bak yang disodorkan Akang.

Sorot mata para santriwati kini hanya tertuju pada seorang saja. Yakni pada Anita. Mengapa? Sebab posisi Anita adalah yang paling dekat dengan posisi Akang berdiri. Anita tidak bisa mengelak. Ia segera berdiri. Bermaksud menerima bak dari Akang.

Akang dan Anita berdiri berhadapan. Sedetik mereka beradu pandang. Setelah itu mata keduanya hanya tertuju kepada bak saja.

“Makasih, Kang,” ucap Anita. Matanya masih tetap melihat bak plastik yang kini sudah berpindah ke tangannya.

“Sami-sami, Teh,” jawab Akang. Tidak berbeda dengan santriwati di hadapannya. Akang juga hanya berani menatap bak yang membisu.

Akang berbalik badan. Ia kembali pada kawan santri laki-laki lainnya. Kembali untuk membersihkan isi mesjid.
***

Waktu hampir tengah malam. Satu jam sudah terlewat peristiwa di tempat wudhu perempuan tadi. Namun bayangannya masih belum mau pergi. Anita masih membayangkan peristiwa singkat itu. Ia tersenyum di dalam kamar. 

Yaa Allah, apa yang terjadi dengan hati ini?

Anita bingung dengan keadaan dirinya. Dengan gemuruh yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Apa ini? Kenapa ini bisa terjadi?

Anita membekap wajahnya dengan bantal. Ia mencoba menyembunyikan seutas senyum yang diam-diam mulai mengembang di bibirnya.

Perlahan Anita mulai paham. Hatinya mulai mengakui. Bahwa dia telah jatuh cinta pada sang laki-laki itu. Kepada laki-laki yang akhir-akhir ini sering menari-nari dalam pikirannya.

Anita kembali membekapkan bantal pada wajahnya. Ia merasa malu. Malu kepada semua benda yang ada di dalam kamarnya. Ia tidak ingin ada sebuah benda pun yang tahu dengan bisik hatinya. Ia malu. Namun sayang. Sepertinya sudah ada sebuah benda yang tahu akan rahasia ini. Di sana, di atas meja kaca. Di antara beberapa benda lainnya. Sebuah bingkai kecil berdiri. Di sana tertempelsebuah foto wajah seorang wanita.Wanita cantik yang sedang menyunggingkan sebuah senyumnya. Sebuah foto wajah Anita yang sedang tersenyum. Foto itu seakan tahu apa yang sedang dirasakan seorang wanita yangsedang membekapkan bantal pada wajahnya itu.
***

1 komentar:

  1. suka dengan setting tempatnya
    Kepuh, haha.. jadi inget masa SMA. suka maen kesana!

    BalasHapus