Di wilayah pantai barat Banten,
yaitu di sekitar kawasan wisata pantai Anyer-Carita, Kampung kepuh memang
terkenal dengan sebutan kampung religius. Tidak sedikit para ustad yang
dilahirkan di kampung yang satu ini. Masyarakatnya terkenal akan keramahannya.
Petang di kampung ini, merupakan satu dari sedikit petang yang masih bertahan
dari serbuan arus yang tidak baik. Selepas waktu magrib, mereka bergeliat
menuju rumah sang guru ngaji. Anak-anak kecil berlarian. Para remaja berjalan
sambil memeluk mushaf Al-qur’an di dada. Pakaian mereka sempurna menutupi
aurat. Siapapun yang melihat pemandangan itu, akan terpesona dibuatnya. Di
antaranya adalah Akang. Meskipun dia sudah sering tinggal di Kepuh, kedua
matanya berbinar kala menemui petang hari di kampung yang Akang juluki dengan
sebutan “kampung Santri” ini.
Di Kepuh, tidak satu haripun
yang dilalui tanpa kumandang lantunan ayat-ayat suci dan sholawat untuk nabi.
Petang dan subuh adalah waktu yang pasti adanya dua kumandang itu.
Speaker-speaker masjid dan mushola, menyebarkan lantunan merdu para santri ke
seluruh penjuru mata angin. Kedua irama itu, bergetar hingga ke langit ke
tujuh. Para penduduk langit tersenyum. Mereka memuji geliat kampung santri ini.
Di kepuh, ada beberapa jadwal
pengajian rutin untuk para penghuninya. Rabu pagi adalah jadwal untuk pengajian
ibu-ibu. Waktunya sekitar jam delapan sampai jam sepuluh. Tempatnya di mesjid
dekat pesantren Ustad Ipun.
Senin malam, adalah pengajian
kaum bapak. Berbeda dengan pengajian ibu-ibu yang tempatnya hanya di mesjid
saja. Untuk pengajian ini, tempatnya bergilir. Semua mushola dan mesjid yang
ada di kampung ini kebagian menjadi tuan rumah. Satu minggu sekali pergiliran
itu dilaksanakan, dan terus berputar seakan tidak memiliki ujung.
Malam minggu adalah waktunya
pengajian umum. Para bapak, para ibu, juga kaum remaja bergabung. Bahkan tidak
sedikit jamaahnya yang datang dari kampung tetangga. Pengajian umum ini dimulai
jam delapan malam, dan berakhir tidak tentu. Terkadang jam setengah sebelas,
jam sebelas, atau, jika materinya menarik, pengajiannya berakhir hingga tengah
malam.
Untuk remaja, mereka mencari
ilmu seputar keagamaan di pesantrennya Ustad Ipun. Mereka tidak tinggal di
pondokan yang ada di pesantren. Kebanyakan dari mereka tidur di rumah
masing-masing. Sebab jarak rumah dengan pesantren bisa ditempuh dengan hanya
beberapa langkah saja.
Sebenarnya masih ada satu lagi
pengajian. Yaitu pengajian islahul ummah.Pengajian
ini merupakan pengajian rutin yang diadakan oleh petinggi kecamatan.
Pelaksanaannya pada Jum’at siang hingga waktu ashar. Tempatnya bergilir di
setiap mesjid kampung se-kecamatan. Untuk mesjid kampung Kepuh, biasanya
kegilir sekitar dua atau tiga bulan sekali. Jika jadwal islahul ummah tiba untuk Kepuh, maka Jum’at siang di kampung santri
ini sudah selayaknya hari lebaran saja. Rame, namun menentramkan.
***
Memang tidak wajib bagi para
santri Ustad Ipun untuk bisa berbicara di depan umum. Tapi setidaknya, jika
mereka mampu berbicara dengan baik, maka akan lebih besar kemungkinan bagi
mereka untuk bisa mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Misalnya saja dengan
nasihat. Sebuah nasihat akan tersampaikan dengan baik jika kemampuan
berkomunikasi sang pemberi nasihat itu juga baik. Dengan demikian, maka peluang
untuk bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk manusia lain akan lebih
memungkinkan pula untuk diperoleh. Sebagaimana tersebut dalam hadits nabi saw, sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat untuk manusia lainnya.Untuk itu, ustad Ipun menjadwal setiap
santrinya untuk menjadi perangkat acara pada pengajian yang ada di kampung
Kepuh.
Bagi santriwati, mereka digilir
untuk menjadi pembawa acara pada pengajian ibu-ibu. Dan untuk para santri
laki-laki, mereka dijadwal untuk menjadi pemandu acara pada pengajian kaum
bapak. Sementar untuk pengajian umum malam Minggu dan pengajian islahul ummah, ustad Ipun tidak
sembarangan dalam memilih. Beliau hanya menugaskan para santriwan yang
berkompeten saja, atau juga menugaskan mereka yang jam terbangnya sudah numayan
tinggi. Seperti untuk pengajian malam Minggu ini. Ustad Ipun menunjuk Akang
untuk menjadi pembawa acaranya.
Jamaah laki-laki duduk
berdempetan di setengah bagian depan ruang mesjid. Satu meter di belakang
barisan paling buncit, terbentang hijab setinggi lutut orang dewasa. Pada
belakang hijab itu, jamaah kaum ibu dan beberapa remaja perempuan duduk hampir
berhimpitan.
“... Bapak, Ibu, juga jamaah
semuanya. Sebagaimana tersebut dalam salah satu hadits Rasulullah SAW, bahwa
semua manusia itu celaka kecuali orang-orang yang memiliki ilmu,” tatapan Akang
menyisir pada setiap jamaah yang hadir. “Akan tetapi hadits ini masih ada
komanya, Bapak, Ibu. Lanjutannya adalah: Bahwa semua orang yang berilmu itu
celaka, kecuali mereka yang mengamalkan ilmunya,” sekali lagi Akang mengarahkan
pandanganya pada setiap jamaah. “Hadits ini masih belum selesai Bapak, Ibu.
Hadits ini masih belum menemui sang titik,” Beberapa jamaah tersenyum simpul. “Lanjutan
dari hadits ini adalah: Bahwa setiap orang yang mengamalkan ilmunya itu celaka,
kecuali orang-orang yang mengamalkan ilmu mereka dengan hati yang ikhlas.”
Akang mengakhiri hadits yang disampaikannya.
“Baik Bapak, Ibu, juga jamaah
semuanya. Sekarang mari kita bersama-sama dengarkan penyampaian materi yang InsyaAllah akan disampaikan oleh Ustad
Rafi.”
Ustad Rafi berdiri. Lalu
melangkah menuju mimbar.
Akang menghampiri Ustad Rafi. Ia
memberikan mikrofon kepada sang paman dari Sabil dan Dian itu. Sambil menyodorkan
alat pengeras suara, Akang menyempatkan untuk memberi senyuman. Sang paman Dian
itu memberi senyuman balik.
Akang kembali duduk pada
tempatnya. Ustad Rafi membuka pengajian.
***
Jam sepuluh lewat sedikit.
Pengajian telah usai. Sebagian besar jamaah sudah pulang menuju rumah
masing-masing. Hanya ada beberapa gelintir orang saja yang tersisa di sekitaran
mesjid.
“Hati-hati ya!” Akang menepuk
pundak kiri Riri.
“Siap. Laksanakan, Komandan!”
jawab Riri tegas dan diakhiri dengan sebuah tawa. Risti yang sedang dibonceng
ikut tertawa kecil.
“Pengajian malam Minggu depan
kesini lagi kan?”
“Sip, InsyaAllah.”
Riri menyimpan kaki kanannya di
atas injakan gigi. Ia bersiap untuk menjalankan tunggangannya.
JGREGG
Gigi motor sudah diinjak. Masuk
gigi satu.
“Calon bapak mertua jangan
dianggurin tuh,” Riri menggerakan kepalanya isyarat mengarahkan Akang untuk
melihat ke arah yang dimaksud Riri. Akang menoleh ke belakang. Pandangannya
mendarat pada Abah Haji dan Ustad Ipun yang sedang mengobrol. Lalu Akang
berbalik lagi menatap Riri. Ia tidak menjawab dengan kata-kata. Akang hanya
tersenyum saja.
“Kita pulang dulu ya,” Riri
pamit.
“Oke. Hati-hati ya.”
“Assalamu’alaikum,” ucap Riri dan Risti berbarengan.
“Wa’alaikumussalam.”
Motor yang dikendarai Riri
melaju pelan. Mata Akang mengiringi kepergian sahabatnya itu.
Akang melangkah pelan
menghampiri Abah Haji dan Ustad Ipun.
“Bah,” Akang menyapa Abah Haji.
Ia menyalami dan mencium punggung tangan kanan Bapak Hena itu.
“Ustad,” Akang menyapa Ustad
Ipun juga. Lalu menyalami tangannya juga.
“Ummi sama Henanya udah pulang,
Bah?” Akang basa-basi bertanya.
“Ummi dan Hena mampir dulu ke
rumah Ibu sepuh.” Ibu sepuh adalah sebutan untuk nenek Hena dari pihak Ibu.
Kampung Kepuh adalah memang tempat kelahiran Ummi. Tempat dibesarkannya sang
ibu Hena itu.
Akang mengangguk. “Kalo gitu
titip salam saja buat Ummi, Bah ya. Akang pamit dulu mau bantu yang lain
beresin mesjid,” Akang menunjuk ke arah mesjid. Di sana ada beberapa santriwan
dan santriwati yang hilir mudik berbagi tugas untuk merapihkan mesjid.
“Mangga, Bah,” Akang pamit.
“Ustad,” Akang mengangguk pada Ustad Ipun. “Assalamu’alaikum.”Akang
meleos pergi. Ustad Ipun dan Abah Haji menjawab salam Akang bersamaan. Kedua
laki-laki separuh baya itu melanjutkan obrolan yang sempat terhenti.
Akang menuju mesjid. Ia
bergabung dengan Fajar, Sabil, juga beberapa santri laki-laki lainnya. Sabil
dan dua santri lainnya menyapu lantai. Fajar dan santri tersisa mengumpulkan
gelas dan piring kotor.
Sudah ada satu bak berukuran
sedang yang telah penuh terisi oleh gelas-gelas kotor. Akang menghampiri bak
itu. Lalu ia mengangkatnya. Kemudian dibawa menuju tempat wudhu perempuan. Di
sana sudah ada sejumlah santri perempuan yang sedang mencuci gelas dan piring
kotor.
Akang melangkah, dengan kedua
tangannya menenteng bak berisi gelas kotor.
“Punten,” Akang memberi isyarat
pada para santriwati. Mendengar ada yang datang, seperti ada komando, mereka
berhenti beraktifitas. Semua menoleh pada sumber suara.
Akang menyodorkan bak di
tangannya. Para santriwati saling tatap. Sorot mata masing-masing santri
berbicara dengan maksud yang sama. Yaitu menyuruh kepada yang ditatap untuk
mengambil bak yang disodorkan Akang.
Sorot mata para santriwati kini
hanya tertuju pada seorang saja. Yakni pada Anita. Mengapa? Sebab posisi Anita
adalah yang paling dekat dengan posisi Akang berdiri. Anita tidak bisa mengelak.
Ia segera berdiri. Bermaksud menerima bak dari Akang.
Akang dan Anita berdiri
berhadapan. Sedetik mereka beradu pandang. Setelah itu mata keduanya hanya tertuju
kepada bak saja.
“Makasih, Kang,” ucap Anita.
Matanya masih tetap melihat bak plastik yang kini sudah berpindah ke tangannya.
“Sami-sami, Teh,” jawab Akang.
Tidak berbeda dengan santriwati di hadapannya. Akang juga hanya berani menatap
bak yang membisu.
Akang berbalik badan. Ia kembali
pada kawan santri laki-laki lainnya. Kembali untuk membersihkan isi mesjid.
***
Waktu hampir tengah malam. Satu
jam sudah terlewat peristiwa di tempat wudhu perempuan tadi. Namun bayangannya
masih belum mau pergi. Anita masih membayangkan peristiwa singkat itu. Ia
tersenyum di dalam kamar.
Yaa Allah, apa yang terjadi dengan hati ini?
Anita bingung dengan keadaan
dirinya. Dengan gemuruh yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Apa ini?
Kenapa ini bisa terjadi?
Anita membekap wajahnya dengan
bantal. Ia mencoba menyembunyikan seutas senyum yang diam-diam mulai mengembang
di bibirnya.
Perlahan Anita mulai paham.
Hatinya mulai mengakui. Bahwa dia telah jatuh cinta pada sang laki-laki itu.
Kepada laki-laki yang akhir-akhir ini sering menari-nari dalam pikirannya.
Anita kembali membekapkan bantal
pada wajahnya. Ia merasa malu. Malu kepada semua benda yang ada di dalam
kamarnya. Ia tidak ingin ada sebuah benda pun yang tahu dengan bisik hatinya.
Ia malu. Namun sayang. Sepertinya sudah ada sebuah benda yang tahu akan rahasia
ini. Di sana, di atas meja kaca. Di antara beberapa benda lainnya. Sebuah
bingkai kecil berdiri. Di sana tertempelsebuah foto wajah seorang wanita.Wanita
cantik yang sedang menyunggingkan sebuah senyumnya. Sebuah foto wajah Anita
yang sedang tersenyum. Foto itu seakan tahu apa yang sedang dirasakan seorang
wanita yangsedang membekapkan bantal pada wajahnya itu.
***
suka dengan setting tempatnya
BalasHapusKepuh, haha.. jadi inget masa SMA. suka maen kesana!