Kamis, 28 November 2013

Itu Beneran, Jar? (16)



Hari Minggu. Waktu dhuha pada hari Minggu adalah waktu yang paling Akang sukai. Mengapa? Sebab pada hari libur itu Akang bisa dengan bebas menghirup oksigen segar. Bisa dengan leluasa Akang menikmati sinar mentari pagi. Bisa dengan rasa nyaman yang senyaman-nyamannya Akang menikmati senandung alam. Angin pagi bertasbih. Reranting pohon yang terbelai angin juga ikut bertasbih. Daun-daun tidak ingin ketinggalan menggumamkan tasbih. Akang selalu mencintai waktu dhuha pada hari Minggu. Seperti pagi ini.

Selepas pengajian subuh tadi, Akang langsung rebahan di kamar pondoknya. Akang rebahan tidak untuk tidur lagi. Dia tahu, waktu setelah subuh adalah waktu yang sangat tabu untuk tidur lagi. Terlebih bagi seorang pemuda. Apa yang akan terjadi pada masa depan suatu bangsa jika para pemudanya sering tidur pagi?! Kalimat tanya itu selalu Akang ingat jika sang kantuk menyerangnya pada pagi hari.

Akang rebahan hanya sejenak saja. Sekedar untuk meluruskan kembali urat punggungnya. 

Kali ini Akang tidak sendiri. Satu meter di sampingnya ada Fajar yang menemani. Selepas pengajian tadi, Fajar tidak langsung pulang. Dia menyempatkan diri untuk mempir ke kamar pondok Akang. Silaturahim adalah tujuan utamanya. Silaturahim itu baik. Silaturahim bisa mendatangkan rezeki. Silaturahim dapat memperpanjang umur. Barang kali saja nanti akan mendapatkan salah satu dari beberapa keutamaan itu. Gumam Fajar dalam hati saat melangkah menuju kamar pondok Akang tadi.

Saat dirasa urat punggung lurus kembali. Akang langsung beranjak untuk segera memulai aktifitas. Ia menyergap ember warna biru muda yang di dalamnya sudah tertumpuk beberapa helai pakaian kotor. Akang menaburkan deterjen bubuk pada ember biru muda itu. Lalu meluncur menuju kamar mandi. Sementara Fajar beranjak duduk. Ia mengambil sebuah buku di atas meje kecil milik Akang. Ia segera menyantap hidangan kata-kata dalam buku itu.

Setengah jam berlalu. Akang berdiri menghadap pada tempat jemuran. Ia menggerak-gerakan tubuhnya, selayaknya seorang olahragawan yang sedang melakukan pemanasan. Akang masih menggerak-gerakan tubuhnya. Bermaksud meregangkan kembali ototnya yang setengah jam terakhir ia gunakan untuk mengucek dan memeras cucian. 

Di dalam kamar yang pintunya terbuka, Fajar masih membaca buku. Posisinya bersandar pada dinding kamar. Peci yang tadi dikenakan, kini terkulai lemas di atas meja kecil. Sarung yang dikenakan Fajar menjadi kusut sebab telah beberapa kali dia merubah posisi duduknya. 

Akang mulai menjemur cuciannya. Satu-satu cucian itu ia gantungkan pada tali jemuran. Titik-titik sisa air yang masih menempel pada cucian itu berjatuhan pelan menghantam tanah. Akang mengambil sisa cuciannya. Ia memeras sekali lagi. Lalu digantungkan pada tali jemuran yang masih kosong.

Fajar menutup buku. Lalu disimpan kembali buku itu di tempat semula. Fajar berdiri, dan meregangkan tubuhnya, sudah menyerupai seekor kucing yang baru bangun dari tidurnya.

Fajar keluar kamar. Ia melangkah menuju keran tempat wudhu.

Fajar mengambil wudhu. Kemudian berbalik masuk kamar pondok Akang lagi. 

“Saya pinjem sajadahnya, Kang,” ucap Fajar sambil tetap berjalan. Ia tidak melihat Akang sama sekali.

Fajar menggelar sajadah. Ia mendirikan sholat dhuha.

Akang menjemur cucian terakhirnya.

Alhamdulillahirabbil’alamiin,” gumam Akang dengan perasaan lega. “Akhirnya selesai juga.”

Akang menenteng ember. Lalu disimpan terbalik di dekat tempat wudhu. Kemudian ia langsung duduk di teras dekat tempat wudhu itu. 

Akang duduk santai untuk melepas lelah. Ia hirup oksigen waktu dhuha ini dalam-dalam. Segar. Perlahan lelah itu keluar bersama karbon dioksida yang keluar dari paru-paru Akang. 

Akang beranjak. Ia mengambil air wudhu.

Selepas wudhu, Akang masuk kamar. Ia merapihkan kembali sarung yang terikat di pinggangnya. Sajadah sudah tergelar. Akang mengambil peci yang tergantung pada paku di balik pintu. Ia kenakan peci itu. Lalu bersiap untuk sholat dhuha.

Lima menit terlewat. Akang sholat dhuha empat rakaat dengan dua kali salam. 

Akang berdiri. Ia melipat kembali sajadah yang barusan ia gunakan untuk alas sholat. Lalu disimpan di atas meja kecil. Akang duduk di samping Fajar. Punggungnya disandarkan pada dinding. Akang menghirup nafas panjang. Ada aroma kelegaan dari tarikan nafas itu.

“Capek, Kang?” Fajar menoleh pada Akang.

“Numayan.”

“Tadi banyak cuciannya?” tanya Fajar lagi.

“Numayan.”

Fajar berhenti bertanya. Pandangannya berpaling dari wajah Akang.

Sejenak mereka terdiam.

Fajar kembali menoleh melihat Akang.

“Makanya cepet nikah, Kang. Biar nanti ada yang nyuciin,” ucap Fajar enteng saja.

Akang menoleh cepat. Kedua alisnya naik.

Fajar nyengir.

“Mumpung Teh Anitanya masih free tuh. Jangan dilama-lamain. Keburu ada yang ngeduluin. Nanti Akang nyesel lagi.” Fajar nyengir lagi.

Akang kembali membuang muka dari tatapan Fajar. Ia diam saja. Sengaja untuk tidak menanggapi guyonan Fajar. 

“Kok diam,” Fajar memancing Akang untuk berkata. Namun usahanya itu sia-sia saja. Sebab belum satu huruf pun keluar dari lidah Akang.

“Kang?” 

Akang masih belum menanggapi Fajar.

“Akang suka sama Teh Anita ya?”

Mata Akang menyipit. Ia tidak mengira jika Fajar Akan menanyakan hal ini. Sejujurnya, Akang mulai goyah karena pertanyaan itu. Untuk itu, diam adalah satu-satunya jawaban yang mampu Akang berikan.

“Akang suka sama Teh Anita ya?” tanya Fajar untuk menegaskan.

Lagi-lagi Akang hanya diam.

“Diam itu berarti iya lho,” Fajar belum menghentikan upayanya.

Akang mulai memutar otak. Mencoba mencari cara untuk melawan serangan Fajar.

“Kang?” ucap Fajar.

Akang meyakinkan diri. Daripada nanti keluar kalimat yang lebih berbahaya lagi, lebih baik Akang mencoba untuk bergerak melawan.

Akang menoleh pada Fajar.

“Jar?”

“Iya,” jawab Fajar sumringah. Akhirnya Akang mau angkat bicara juga.

“Kira-kira. Menurut Fajar. Wajar tidak jika ada seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita yang cantik juga baik?” Akang mengeluarkan pertanyaan diplomatis. Ia menjawab pertanyaan Fajar dengan sebuah pertanyaan juga. Namun siapa sangka, terselip sebuah maksud di dalam pertanyaan itu.

Fajar tersenyum. Ia faham dengan maksud pertanyaan Akang. Akhirnya, dirimu mau mengakui juga apa yang dirimu rasakan, Kang. Gumam Fajar dalam hati. Fajar tersenyum lagi.

“Jadi kapan nih Akang mau melamar Teh Anita? Hehe...,” Fajar mengakhiri pertanyaannya dengan sebuah tawa. Tawa yang cukup renyah bagi Fajar. Tapi kecut untuk Akang.

Akang tidak menyangka. Dia pikir Fajar akan berhenti menggodanya setelah pertanyaan diplomatis yang ia berikan. Tapi ternyata tidak. Serangan itu masih belum selesai.

“Kapan, Kang? Jika saya perhatikan, sepertinya Teh Anita juga suka itu sama Akang.”

Akang mulai kesal. Dia tidak ingin hanya menjadi objek penderita saja. Akang memutar otak lebih kencang lagi. Mencoba mencari amunisi yang tepat untuk melumpuhkan Fajar.

Akang menatap Fajar lekat-lekat. 

“Jar.”

“Iya, Kang.” Fajar menggerak-gerakan kedua alisnya. Sepertinya dia akan kembali berhasil dalam serangan ini.

“Mungkin nanti saya akan melamar Neng Dian. Adiknya Sabil yang imut dan baik hati itu,” Akang menunjukan wajah yakin pada Fajar. 

“Jaaa,” Fajar menghentikan katanya. Ia menelan suku kata sisanya.

“Kenapa? Tadi mau bilang jangan ya? Hayo ngaku. Jangan bohong. Bohong dosa lho.” Akang bertubi-tubi melancarkan serangan balik.

Warna muka Fajar berubah seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya ceria, kini menjadi pucat. Pucat karena terhantam amunisi yang ditembakan oleh Akang. Kendali kini ada di tangan Akang. Senyum kemenangan berpindah pada bibir Akang.

Akang menunjuk wajah Fajar. “Kenapa jangan? Cemburu ya kalau saya mau melamar Dian? Hayo ngaku. Cemburu ya? Kata orang, cemburu itu tandanya cinta lho,” Akang memberikan senyum yang dibuat-buat. “Fajar suka sama Dian ya? Hayo ngaku?”

Fajar mati kutu. Ia seumpama sebuah bola yang menggelinding di ujung tebing. Sekali disentuh saja, maka bola itu akan terjun bebas ke jurang. Hanya keajaiban yang mampu menyelamatkannya. 

“Fajar suka sama Dian ya?” Akang memberikan serangan pamungkas. Fajar semakin tersudut saja.

Fajar diam kebingungan.

Akang diam menikmati kekalahan Fajar. Akang kini telah membalikan keadaan.

“Kang,” ucap Fajar ragu.

“Iya.”

“Men..., menurut Akang. Kira-kira wajar tidak jika ada seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita yang imut dan baik hati?” tanya Fajar datar. Ia tidak tahu. Harus gembira atau malu karena pertanyaan ini. Gembira sebab Fajar menemukan tameng penyelamat pada detik-detik libasan pedang akan mengoyak tubuhnya. Dan malu karena ia menggunakan senjata yang tadi telah digunakan oleh Akang.

Akang mengangkat alis. Ia tidak menyangka jika sang lawan akan menggunakan senjata ciptaan dirinya. Sebenarnya Akang belum puas dalam menghajar Fajar. Tapi apa boleh buat. Pertanyaan Fajar barusan adalah sebuah kartu as. Kartu as yang membuat Akang harus rela menghentikan serangannya.

Akang kini diam.

Fajar juga diam.

Satu menit kedua pemuda itu saling diam. Mereka hanya bermain dengan pikiran mereka masing-masing.

Hening.

“Jar,” Akang kembali membuka perbincangan.

“Iya, Kang?”

“Mmm..., Anu..., Itu tadi beneran?”

“Beneran apa, Kang?”

Akang menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Teh Anita benera suka sama saya?”

Akang nyengir.

Fajar tersenyum. Ia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Lebih tepatnya mungkin menjawab dengan sebuah senyumannya.

Perang berhenti. Keadaan kamar kini menjadi hangat kembali.
***

Jam sebelas siang. Matahari mulai meninggi. Sinarnya terasa lebih menyengat dari jam-jam sebelumnya. 

Fajar keluar kamar pondok Akang dengan langkah yang tegap. Silaturahim pagi tadi mendatangkan sebuah kebahagiaan bagi hatinya. Meskipun awalnya mati kutu karena serangan balasan dari Akang. Setidaknya Fajar telah membuat beban cinta terpendam di hatinya menjadi jinak. Gejolak badai rindu kini mulai tenang kembali. Sebab Fajar telah menemukan muara yang tepat untuk menyalurkan rindu itu. Yaitu dengan berbagi cerita kepada Akang. Berbagi kisah kepada orang yang InsyaAllah tepat. Fajar tahu siapa diri Akang. Ia yakin jika Akang tidak akan sembarangan dalam membocorkan rahasia dirinya.

KRUYUUUK

Alarm yang tersimpan di dalam perut Fajar berbunyi. Niat untuk pulang dia urungkan. Fajar berbelok. Ia masuk rumah sang paman, Ustad Ipun. Fajar mencoba peruntungannya. Barangkali akan ada makanan enak yang bisa ia santap.

Assalamu’alaikum!” ucap Fajar setengah teriak. 

Tidak ada jawaban di dalam rumah. Fajar langsung masuk. Ia melangkah melewati ruang tamu. Kemudian ruang tengah. Dan terus melangkah hendak menuju dapur. 

Assalamu’alaikum,” sekali lagi Fajar mengucap salam.

Anita dan ibunya sedang memasak. Mereka menjawab salam Fajar.

“Masak apa, Bi? Fajar lapar nih,” Fajar cengengesan pada sang bibi.

“Baru datang sudah langsung tanya makan,” Ibunya Anita membawa piring besar berisi masakan yang sudah matang. “Memang habis ngapain sang keponakan Bibi yang satu ini?” beliau melanjutkan langkah hendak menyimpan piring yang dibawanya ke meja makan.

Fajar nyengir. “Dari belakang, Bi. Habis silaturhim dengan Akang,” jawab Fajar. Pandangannya mengikuti langkah sang bibi yang melangkah ke meja makan.

Berucap kata “Akang”, muka Fajar sumringah. Mendapati sang Bibi yang masih di meja makan, Fajar mendekat pada Anita. Ia mendekatkan badannya pada sang sepupunya itu.

“Dari belakang, habis mengobrol dengan Akang,” bisik Fajar mengulangi jawabannya barusan untuk sang Bibi. Tapi kali ini, jawaban lirih itu khusus untuk Anita. Fajar nyengir.

Seperti ada hentakan di dada Anita. Setelah sebuah hentakan itu, detak dadanya perlahan menyepat. Ingin rasanya dia merubah raut wajahnya. Ingin rasanya dia melepas senyum bahagia pada bibirnya. Namun sayang, waktunya tidak tepat. Anita tahu, justru hal itu yang sangat diinginkan oleh Fajar. Karenanya, sekuat tenaga Anita menahan senyumnya untuk tidak keluar.

Mendapati sang sepupunya yang cantik jelita tidak merespon, Fajar meleos kembali. Ia melangkah menjauh dari Anita. 

Anita merasa lega dengan menjauhnya Fajar. Ia sudah tidak kuat untuk segera mengeluarkan senyumnya yang tadi ditahan. Anita tersenyum dengan aroma lega yang bercampur bahagia. Akhirnya, tersalurkan sudah rasa dalam hatinya pada sebuah senyumnya. Namun siapa sangka, seorang pemuda yang dianggap telah menjauh itu kembal lagi. Ia kembali dengan cepat sekali. Sampai-sampai Anita tidak menyadari hal itu. Wajah Fajar tepat berada di samping Anita. Ia sedang menatap lekat sebuah senyum yang tersungging di bibir Anita. 

Anita melotot kaget. Setelah itu tersipu malu. 

Fajar nyengir. Ya, hanya nyengir saja menatap Anita, sang sepupu yang cantik jelita.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar