Hari Minggu. Waktu dhuha pada
hari Minggu adalah waktu yang paling Akang sukai. Mengapa? Sebab pada hari
libur itu Akang bisa dengan bebas menghirup oksigen segar. Bisa dengan leluasa
Akang menikmati sinar mentari pagi. Bisa dengan rasa nyaman yang senyaman-nyamannya
Akang menikmati senandung alam. Angin pagi bertasbih. Reranting pohon yang
terbelai angin juga ikut bertasbih. Daun-daun tidak ingin ketinggalan
menggumamkan tasbih. Akang selalu mencintai waktu dhuha pada hari Minggu.
Seperti pagi ini.
Selepas pengajian subuh tadi,
Akang langsung rebahan di kamar pondoknya. Akang rebahan tidak untuk tidur
lagi. Dia tahu, waktu setelah subuh adalah waktu yang sangat tabu untuk tidur
lagi. Terlebih bagi seorang pemuda. Apa yang akan terjadi pada masa depan suatu
bangsa jika para pemudanya sering tidur pagi?! Kalimat tanya itu selalu Akang
ingat jika sang kantuk menyerangnya pada pagi hari.
Akang rebahan hanya sejenak
saja. Sekedar untuk meluruskan kembali urat punggungnya.
Kali ini Akang tidak sendiri.
Satu meter di sampingnya ada Fajar yang menemani. Selepas pengajian tadi, Fajar
tidak langsung pulang. Dia menyempatkan diri untuk mempir ke kamar pondok
Akang. Silaturahim adalah tujuan utamanya. Silaturahim itu baik. Silaturahim
bisa mendatangkan rezeki. Silaturahim dapat memperpanjang umur. Barang kali
saja nanti akan mendapatkan salah satu dari beberapa keutamaan itu. Gumam Fajar
dalam hati saat melangkah menuju kamar pondok Akang tadi.
Saat dirasa urat punggung lurus
kembali. Akang langsung beranjak untuk segera memulai aktifitas. Ia menyergap
ember warna biru muda yang di dalamnya sudah tertumpuk beberapa helai pakaian
kotor. Akang menaburkan deterjen bubuk pada ember biru muda itu. Lalu meluncur
menuju kamar mandi. Sementara Fajar beranjak duduk. Ia mengambil sebuah buku di
atas meje kecil milik Akang. Ia segera menyantap hidangan kata-kata dalam buku
itu.
Setengah jam berlalu. Akang
berdiri menghadap pada tempat jemuran. Ia menggerak-gerakan tubuhnya,
selayaknya seorang olahragawan yang sedang melakukan pemanasan. Akang masih
menggerak-gerakan tubuhnya. Bermaksud meregangkan kembali ototnya yang setengah
jam terakhir ia gunakan untuk mengucek dan memeras cucian.
Di dalam kamar yang pintunya
terbuka, Fajar masih membaca buku. Posisinya bersandar pada dinding kamar. Peci
yang tadi dikenakan, kini terkulai lemas di atas meja kecil. Sarung yang
dikenakan Fajar menjadi kusut sebab telah beberapa kali dia merubah posisi
duduknya.
Akang mulai menjemur cuciannya.
Satu-satu cucian itu ia gantungkan pada tali jemuran. Titik-titik sisa air yang
masih menempel pada cucian itu berjatuhan pelan menghantam tanah. Akang
mengambil sisa cuciannya. Ia memeras sekali lagi. Lalu digantungkan pada tali
jemuran yang masih kosong.
Fajar menutup buku. Lalu
disimpan kembali buku itu di tempat semula. Fajar berdiri, dan meregangkan
tubuhnya, sudah menyerupai seekor kucing yang baru bangun dari tidurnya.
Fajar keluar kamar. Ia melangkah
menuju keran tempat wudhu.
Fajar mengambil wudhu. Kemudian berbalik
masuk kamar pondok Akang lagi.
“Saya pinjem sajadahnya, Kang,”
ucap Fajar sambil tetap berjalan. Ia tidak melihat Akang sama sekali.
Fajar menggelar sajadah. Ia
mendirikan sholat dhuha.
Akang menjemur cucian
terakhirnya.
“Alhamdulillahirabbil’alamiin,” gumam Akang dengan perasaan lega. “Akhirnya
selesai juga.”
Akang menenteng ember. Lalu
disimpan terbalik di dekat tempat wudhu. Kemudian ia langsung duduk di teras
dekat tempat wudhu itu.
Akang duduk santai untuk melepas
lelah. Ia hirup oksigen waktu dhuha ini dalam-dalam. Segar. Perlahan lelah itu
keluar bersama karbon dioksida yang keluar dari paru-paru Akang.
Akang beranjak. Ia mengambil air
wudhu.
Selepas wudhu, Akang masuk
kamar. Ia merapihkan kembali sarung yang terikat di pinggangnya. Sajadah sudah
tergelar. Akang mengambil peci yang tergantung pada paku di balik pintu. Ia
kenakan peci itu. Lalu bersiap untuk sholat dhuha.
Lima menit terlewat. Akang
sholat dhuha empat rakaat dengan dua kali salam.
Akang berdiri. Ia melipat
kembali sajadah yang barusan ia gunakan untuk alas sholat. Lalu disimpan di
atas meja kecil. Akang duduk di samping Fajar. Punggungnya disandarkan pada
dinding. Akang menghirup nafas panjang. Ada aroma kelegaan dari tarikan nafas
itu.
“Capek, Kang?” Fajar menoleh
pada Akang.
“Numayan.”
“Tadi banyak cuciannya?” tanya
Fajar lagi.
“Numayan.”
Fajar berhenti bertanya.
Pandangannya berpaling dari wajah Akang.
Sejenak mereka terdiam.
Fajar kembali menoleh melihat
Akang.
“Makanya cepet nikah, Kang. Biar
nanti ada yang nyuciin,” ucap Fajar enteng saja.
Akang menoleh cepat. Kedua
alisnya naik.
Fajar nyengir.
“Mumpung Teh Anitanya masih free tuh. Jangan dilama-lamain. Keburu
ada yang ngeduluin. Nanti Akang nyesel lagi.” Fajar nyengir lagi.
Akang kembali membuang muka dari
tatapan Fajar. Ia diam saja. Sengaja untuk tidak menanggapi guyonan Fajar.
“Kok diam,” Fajar memancing
Akang untuk berkata. Namun usahanya itu sia-sia saja. Sebab belum satu huruf
pun keluar dari lidah Akang.
“Kang?”
Akang masih belum menanggapi
Fajar.
“Akang suka sama Teh Anita ya?”
Mata Akang menyipit. Ia tidak
mengira jika Fajar Akan menanyakan hal ini. Sejujurnya, Akang mulai goyah karena
pertanyaan itu. Untuk itu, diam adalah satu-satunya jawaban yang mampu Akang
berikan.
“Akang suka sama Teh Anita ya?”
tanya Fajar untuk menegaskan.
Lagi-lagi Akang hanya diam.
“Diam itu berarti iya lho,”
Fajar belum menghentikan upayanya.
Akang mulai memutar otak.
Mencoba mencari cara untuk melawan serangan Fajar.
“Kang?” ucap Fajar.
Akang meyakinkan diri. Daripada
nanti keluar kalimat yang lebih berbahaya lagi, lebih baik Akang mencoba untuk
bergerak melawan.
Akang menoleh pada Fajar.
“Jar?”
“Iya,” jawab Fajar sumringah.
Akhirnya Akang mau angkat bicara juga.
“Kira-kira. Menurut Fajar. Wajar
tidak jika ada seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita yang cantik juga
baik?” Akang mengeluarkan pertanyaan diplomatis. Ia menjawab pertanyaan Fajar
dengan sebuah pertanyaan juga. Namun siapa sangka, terselip sebuah maksud di
dalam pertanyaan itu.
Fajar tersenyum. Ia faham dengan
maksud pertanyaan Akang. Akhirnya, dirimu mau mengakui juga apa yang dirimu
rasakan, Kang. Gumam Fajar dalam hati. Fajar tersenyum lagi.
“Jadi kapan nih Akang mau
melamar Teh Anita? Hehe...,” Fajar mengakhiri pertanyaannya dengan sebuah tawa.
Tawa yang cukup renyah bagi Fajar. Tapi kecut untuk Akang.
Akang tidak menyangka. Dia pikir
Fajar akan berhenti menggodanya setelah pertanyaan diplomatis yang ia berikan.
Tapi ternyata tidak. Serangan itu masih belum selesai.
“Kapan, Kang? Jika saya
perhatikan, sepertinya Teh Anita juga suka itu sama Akang.”
Akang mulai kesal. Dia tidak
ingin hanya menjadi objek penderita saja. Akang memutar otak lebih kencang
lagi. Mencoba mencari amunisi yang tepat untuk melumpuhkan Fajar.
Akang menatap Fajar lekat-lekat.
“Jar.”
“Iya, Kang.” Fajar
menggerak-gerakan kedua alisnya. Sepertinya dia akan kembali berhasil dalam
serangan ini.
“Mungkin nanti saya akan melamar
Neng Dian. Adiknya Sabil yang imut dan baik hati itu,” Akang menunjukan wajah
yakin pada Fajar.
“Jaaa,” Fajar menghentikan
katanya. Ia menelan suku kata sisanya.
“Kenapa? Tadi mau bilang jangan
ya? Hayo ngaku. Jangan bohong. Bohong dosa lho.” Akang bertubi-tubi melancarkan
serangan balik.
Warna muka Fajar berubah seratus
delapan puluh derajat. Yang awalnya ceria, kini menjadi pucat. Pucat karena
terhantam amunisi yang ditembakan oleh Akang. Kendali kini ada di tangan Akang.
Senyum kemenangan berpindah pada bibir Akang.
Akang menunjuk wajah Fajar.
“Kenapa jangan? Cemburu ya kalau saya mau melamar Dian? Hayo ngaku. Cemburu ya?
Kata orang, cemburu itu tandanya cinta lho,” Akang memberikan senyum yang
dibuat-buat. “Fajar suka sama Dian ya? Hayo ngaku?”
Fajar mati kutu. Ia seumpama
sebuah bola yang menggelinding di ujung tebing. Sekali disentuh saja, maka bola
itu akan terjun bebas ke jurang. Hanya keajaiban yang mampu menyelamatkannya.
“Fajar suka sama Dian ya?” Akang
memberikan serangan pamungkas. Fajar semakin tersudut saja.
Fajar diam kebingungan.
Akang diam menikmati kekalahan
Fajar. Akang kini telah membalikan keadaan.
“Kang,” ucap Fajar ragu.
“Iya.”
“Men..., menurut Akang.
Kira-kira wajar tidak jika ada seorang laki-laki yang mencintai seorang wanita yang
imut dan baik hati?” tanya Fajar datar. Ia tidak tahu. Harus gembira atau malu
karena pertanyaan ini. Gembira sebab Fajar menemukan tameng penyelamat pada
detik-detik libasan pedang akan mengoyak tubuhnya. Dan malu karena ia
menggunakan senjata yang tadi telah digunakan oleh Akang.
Akang mengangkat alis. Ia tidak
menyangka jika sang lawan akan menggunakan senjata ciptaan dirinya. Sebenarnya
Akang belum puas dalam menghajar Fajar. Tapi apa boleh buat. Pertanyaan Fajar
barusan adalah sebuah kartu as. Kartu as yang membuat Akang harus rela
menghentikan serangannya.
Akang kini diam.
Fajar juga diam.
Satu menit kedua pemuda itu
saling diam. Mereka hanya bermain dengan pikiran mereka masing-masing.
Hening.
“Jar,” Akang kembali membuka
perbincangan.
“Iya, Kang?”
“Mmm..., Anu..., Itu tadi
beneran?”
“Beneran apa, Kang?”
Akang menggaruk kepalanya yang
sebenarnya tidak gatal.
“Teh Anita benera suka sama
saya?”
Akang nyengir.
Fajar tersenyum. Ia tidak
menjawab. Ia hanya tersenyum. Lebih tepatnya mungkin menjawab dengan sebuah
senyumannya.
Perang berhenti. Keadaan kamar
kini menjadi hangat kembali.
***
Jam sebelas siang. Matahari
mulai meninggi. Sinarnya terasa lebih menyengat dari jam-jam sebelumnya.
Fajar keluar kamar pondok Akang
dengan langkah yang tegap. Silaturahim pagi tadi mendatangkan sebuah
kebahagiaan bagi hatinya. Meskipun awalnya mati kutu karena serangan balasan
dari Akang. Setidaknya Fajar telah membuat beban cinta terpendam di hatinya menjadi
jinak. Gejolak badai rindu kini mulai tenang kembali. Sebab Fajar telah
menemukan muara yang tepat untuk menyalurkan rindu itu. Yaitu dengan berbagi
cerita kepada Akang. Berbagi kisah kepada orang yang InsyaAllah tepat. Fajar tahu siapa diri Akang. Ia yakin jika Akang
tidak akan sembarangan dalam membocorkan rahasia dirinya.
KRUYUUUK
Alarm yang tersimpan di dalam
perut Fajar berbunyi. Niat untuk pulang dia urungkan. Fajar berbelok. Ia masuk
rumah sang paman, Ustad Ipun. Fajar mencoba peruntungannya. Barangkali akan ada
makanan enak yang bisa ia santap.
“Assalamu’alaikum!” ucap Fajar setengah teriak.
Tidak ada jawaban di dalam
rumah. Fajar langsung masuk. Ia melangkah melewati ruang tamu. Kemudian ruang
tengah. Dan terus melangkah hendak menuju dapur.
“Assalamu’alaikum,” sekali lagi Fajar mengucap salam.
Anita dan ibunya sedang memasak.
Mereka menjawab salam Fajar.
“Masak apa, Bi? Fajar lapar
nih,” Fajar cengengesan pada sang bibi.
“Baru datang sudah langsung
tanya makan,” Ibunya Anita membawa piring besar berisi masakan yang sudah
matang. “Memang habis ngapain sang keponakan Bibi yang satu ini?” beliau
melanjutkan langkah hendak menyimpan piring yang dibawanya ke meja makan.
Fajar nyengir. “Dari belakang,
Bi. Habis silaturhim dengan Akang,” jawab Fajar. Pandangannya mengikuti langkah
sang bibi yang melangkah ke meja makan.
Berucap kata “Akang”, muka Fajar
sumringah. Mendapati sang Bibi yang masih di meja makan, Fajar mendekat pada
Anita. Ia mendekatkan badannya pada sang sepupunya itu.
“Dari belakang, habis mengobrol
dengan Akang,” bisik Fajar mengulangi jawabannya barusan untuk sang Bibi. Tapi
kali ini, jawaban lirih itu khusus untuk Anita. Fajar nyengir.
Seperti ada hentakan di dada
Anita. Setelah sebuah hentakan itu, detak dadanya perlahan menyepat. Ingin
rasanya dia merubah raut wajahnya. Ingin rasanya dia melepas senyum bahagia
pada bibirnya. Namun sayang, waktunya tidak tepat. Anita tahu, justru hal itu
yang sangat diinginkan oleh Fajar. Karenanya, sekuat tenaga Anita menahan
senyumnya untuk tidak keluar.
Mendapati sang sepupunya yang
cantik jelita tidak merespon, Fajar meleos kembali. Ia melangkah menjauh dari
Anita.
Anita merasa lega dengan
menjauhnya Fajar. Ia sudah tidak kuat untuk segera mengeluarkan senyumnya yang
tadi ditahan. Anita tersenyum dengan aroma lega yang bercampur bahagia.
Akhirnya, tersalurkan sudah rasa dalam hatinya pada sebuah senyumnya. Namun
siapa sangka, seorang pemuda yang dianggap telah menjauh itu kembal lagi. Ia kembali
dengan cepat sekali. Sampai-sampai Anita tidak menyadari hal itu.
Wajah Fajar tepat berada di samping Anita. Ia sedang menatap lekat sebuah
senyum yang tersungging di bibir Anita.
Anita melotot kaget. Setelah itu
tersipu malu.
Fajar nyengir. Ya, hanya nyengir
saja menatap Anita, sang sepupu yang cantik jelita.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar