Kamis, 13 Juni 2013

Izinkan Aa Menyebutkan Tujuh Kelebihan Neng



Tidak seperti makan siang sebelum-sebelumnya. Kali ini hening mendominasi. Hanya suara gemeletak piring yang beradu dengan sendok saja yang terdengar. Sesekali Adam mengajak ngobrol sang istri, tapi orang yang diajak ngobrol tetap diam. Putri diam seribu bahasa. Wajahnya lebih sering menekuk. Semuanya berawal ketika tadi pagi, saat Putri mencoba membangunkan sang suami untuk beres-beres rumah bareng. Ya, seperti inilah memang kebiasaan keluarga baru ini. Setiap hari libur mereka sepakat untuk berbenah rumah berjamaah. 

Setelah solat subuh tadi, Adam rebahan sejenak di tempat tidur. Mendapati hal itu, Putri langsung membangunkan sang suami kembali. Bukannya langsung bangun, Adam malah pura-pura tidur. Beberapa kali sang istri menggoyang-goyangkan tubuhnya, namun Adam tetap enggan untuk membuka kedua matanya. Hingga akhirnya Putri menggelitiki pinggang sang suami. Karena tak tahan, akhirnya Adam bangun juga. 

Nah, disinilah semuanya berawal. Pasca digelitikin, Adam langsung duduk. Ia memasang wajah datar. Mukanya tak berekspresi. Persis seperti orang yang kesurupan. Untuk beberapa detik Adam masih belum bergerak. Awalnya Putri biasa-biasa saja. Tapi lama kelamaan akhirnya ia curiga juga. Wajah Putri berubah menjadi tegang. Ia khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya tercinta. 

“A.... A...!” Putri memanggil-manggil sang suami. Tapi Adam tetap diam.

“A...!” Putri menggoyang-goyang tubuh lelaki yang disayanginya itu. Namun Adam tak kunjung memberi respon juga. Adam masih duduk terpaku. Pandangannya datar kedepan. Menyeramkan.

Putri kebingungan. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Perlahan bibir tipisnya mengumamkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. 

Adam masih belum bergerak.

Rasa takut Putri semakin menjadi-jadi. Mulutnya belum berhenti mengaji. Tak terasa, karena saking takutnya, kedua mata Putri berembun. Perlahan embun itu mengalir membentuk parit di kedua pipi lembutnya.

TOWEEEWW!

Mata Adam melirik ke arah wajah sang istri yang sedang ketakutan. Putri terperanjat kaget. Hampir saja ia hendak lari dari kamar. Tapi niat itu ia urungkan saat mendapati sebuah senyuman nakal terlukis di bibir sang suami, yang kemudian dilanjutkan dengan tawa kemenangan. Sebuah kemenangan karena telah berhasil mengerjai sang isteri.

Belum hilang tawa di mulut Adam. Tampaknya ia gembira sekali. Namun apa yang terjadi pada Putri? Embun di matanya belum mau pergi. Rasa kesal yang bercampur dengan rasa takut sisa tadi berbaur menjadi satu. Ia memalingkan wajahnya dari sang suami. Apa-apaan ini?! Benar-benar sebuah becandaan yang sangat tidak lucu?! Putri menggerutu dalam hati. 

Adam masih nyengir. Mirip kuda yang baru diberi makan rumput segar.
***

Dapat diramalkan apa yang terjadi setelah kejadian pagi tadi. Ya, Putri masih ngambek. Tapi, walaupun begitu, ia tetap berusaha untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Hanya saja, sepanjang setengah hari ini ia lebih banyak diam. Acara bersih-bersih rumah bersama hari Minggu ini terasa sangat hambar. Pasangan pengantin baru ini seperti bekerja sendiri-sendiri. Tak ada lagi ketawa-ketawa penghias seperti pada hari Minggu sebelum-sebelumnya. Sesekali Adam memang mencoba mengajak ngobrol. Tapi sayangnya, sang isteri tetap membungkam mulutnya.

Dan, perang dingin ini masih terjadi di sini. Di meja makan siang ini. Putri masih cemberut. Sementara pada kursi yang hanya dipisahkan oleh meja makan saja, Adam mesem-mesem gak jelas. Entah apa yang ada dalam tempurung kepalanya saat ini. 

Setelah makan siang selesai, Putri langsung membereskan meja makan. Alat-alat bekas tadi makan langsung dicuci dan diletakan kembali ke tempatnya masing-masing. Kemudian Putri langsung meluncur menuju sofa ruang tengah. Untuk meredam rasa kesal yang masih bercokol di hati, Putri membaca buku.

Setengah jam sudah Putri tenggelam dalam pikiran yang dijelaskan oleh isi buku. Setidaknya ia bisa sejenak melupakan rasa kesalnya kepada sang suami.

“Hai, Neeeeeng....”

 Tanpa permisi Adam duduk di samping Putri. Putri menoleh malas. Ia menatap buku lagi.

 “Neng,” goda Adam sekali lagi. 

 Putri melihat wajah suaminya lagi. Meskipun dengan terpaksa. 

“Apa?!” jawab Putri dengan nada kesal.

 Adam nyengir. Ia menggerak-gerakan alisnya berulang kali. Kemudian nyengir lagi.

“Neeeeeng,” goda sang suami sekali lagi. Kali ini dengan suara yang lebih lembut. Alisnya lagi-lagi Adam gerak-gerakan genit.

“Neng kenapa...? Perasaan dari pagi Aa perhatikan cemberut mulu... Memang Aa punya salah ya...?”

“Pake acara pura-pura gak tahu lagi!” gerutu Putri.

“Oooooh, yang tadi pagi ya? Baiklah, kalo gitu Aa minta maaf soal itu ya. Ia, Aa ngaku salah.”

“Gak mau!”

Putri kembali membaca buku. Ia tak menghiraukan sang suami yang sedang duduk di sampingnya, mencoba untuk meminta maaf.

Adam mulai mengerutkan dahi. Ia mulai sedikit bingung harus dengan cara apa lagi agar isteri tercintanya tidak ngambek dan wajahnya berseri kembali.

Tak memakan waktu lama, bibir Adam kembali mengembang. Ia tersenyum menyeringai. 

Pelan-pelan Adam mendekati sang istri. Posisi duduknya kini hanya beberapa inci saja dari Putri.

“Neng,” ucap Adam dengan nada dibijaksana-bijaksanakan.

 Putri diam saja. Ia masih tetap membaca buku.

“Aa ngaku salah. Aa minta maaf atuh ya. InsyaAllah Aa gak akan berbuat seperti itu lagi,” masih dengan suara yang mirip dengan suara seorang guru besar di padepokan silat jika sedang bicara. Berat dan berwibawa. 

Putri tetap diam.

Adam mulai menghela nafas panjang. Ia diam sejenak. Mencoba membiarkan isterinya mencerna kalimat yang telah ia ucapkan.

“Baiklah kalo begitu,” Adam menghela nafas lagi. “Neng boleh tetap marah ke Aa. Dan Aa akan tetap ridho kepada isteri Aa yang solehah ini walaupun Neng tetap marah pada sang suami yang banyak dosanya ini. InsyaAllah Aa ridho. Asalkan sebelumnya Aa minta Neng untuk menyebutkan tujuh kelebihan yang Aa miliki dimata Neng. Hanya tujuh. Itu saja permintaan Aa. Boleh?”

Putri berhenti membaca. Ia menoleh pada suaminya. “Gak ada!” Putri kembali membaca buku.

Adam menghela nafas. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

“Baiklah, kalo Neng gak mau mah gak papa,” Adam diam sejenak. “Aa ada satu permintaan lagi. Jika Neng berkenan, Aa mohon Neng untuk bersedia mengizinkannya. InsyaAllah Neng tidak dituntut untuk melakukan apa-apa. Neng cukup hanya mendengarkan saja. Mendengarkan Aa menyebutkan tujuh kelebihan yang Neng miliki dimata Aa. Itu saja,” ucap Adam sebijaksana mungkin.

Putri masih mematung menatap buku di tangannya.

“Aa anggap diamnya Neng ini pertanda setuju. Nanti setelah Aa selesai berbicara, silahkan jika Neng masih tetap ingin mendiamkan Aa. InsyaAllah Aa akan tetap ridho kepada isteri Aa yang solehah ini.”

Mendengar ucapan sang suami yang sepertinya memang serius, Putri mulai merasakan gak enak duduk. Seperti ada yang mengganjal di hatinya. Namun tetap, ia masih diam.

“Kelebihan Neng pertama di mata Aa adalah pinter masak. Jujur, semenjak Aa kecil hingga sebelum dipersatukan oleh takdir dengan Neng. Aa beranggapan bahwa tidak ada pasakan yang lebih enak dari pasakannya ibu Aa. Tapi ternyata itu salah. Anggapan itu terpatahkan setelah untuk yang pertama kalinya Aa mengunyah makanan hasil pasakannya Neng. Sejak saat itu, pasakan ibu berganti posisi menjadi urutan kedua. Dan pasakan Neng menyodok ke posisi pertama.”

Putri tak menyangka dengan ucapan suaminya barusan. Dadanya mulai berdesir. Suaranya persis dengan senandung gurun pasir yang tertiup angin. Tapi ia masih tetap diam.

“Kelebihan Neng yang kedua adalah cantik. Cantik banget malah. Sungguh, bagi Aa. Tidak ada, dan tidak akan pernah ada seorang wanitapun di dunia ini yang lebih cantik dari Neng. Inilah salah satu alasan mengapa Aa memilih Neng.”

Putri mulai salah tingkah. Sejujurnya ia sangat ingin untuk menatap suaminya. Tapi rasa gengsi masih meringkusnya. Duduknya kini sudah mulai tak nyaman lagi. Putri menggigit bibir bawahnya. Sebisa mungkin ia menahan diri untuk tidak tersenyum.

“Yang ketiga, Neng itu solehah. Bagi Aa, inilah anugerah terindah yang diberikan Allah melalui diri Neng. Jujur Aa sangat bahagia memiliki Neng.”

Semakin keras Putri menggigit bibir bawahnya. Walalupun terpaksa, akhirnya ia menoleh kepada sang suaminya. “Sudah jangan berlebihan!” Putri mencoba marah lagi. Tapi sayangnya raut wajah yang ia pasang seperti tidak singkron dengan apa yang ia ucapkan. Muka Putri mulai memerah. Merona. Senyum yang sedari tadi ia sembunyikan, pelan-pelan mulai menyeruak.

“Sungguh, Aa gak bohong. Jika Neng ingin bukti, buktinya adalah hari ini. Aa tahu, sedari pagi tadi Neng sedang merasa kesal pada Aa. Tapi, walaupun begitu, Neng tetap tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban Neng terhadap seorang suami. Misalnya tadi, Neng tetap bersedia menyediakan sarapan dan makan siang untuk Aa. Dan pasakannya tetap enak. Tidak karena Neng sedang merasa kesal, lalu kadar keenakannya Neng kurangi. Tidak.”

Putri benar-benar tak bisa lagi untuk menahan senyuman di bibirnya. Akhirnya kedua ujung bibirnya mulai melebar. Ia benar-benar salah tingkah. Mati kutu karena kalimat dari sang suami. Tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya Putri menyubit bahu Adam. “Udah jangan berlebihan!” sayangnya, saat Putri berucap, bibirnya malah tersenyum malu-malu.

“Sungguh, ini beneran. Aa gak bohong,” Adam meyakinkan.

“Iiiiihh...," Putri menyubit lagi bahu Adam. Bibirnya masih tersenyum malu.
 
“Kelebihan Neng yang ke empat adalah...”

“Udah, A. Iiiiihhh...,” Putri memotong kalimat Adam. Kedua sejoli itu saling pandang. Mereka salng memberikan senyuman. Kemudian sedikit mulai tertawa.

Dengan gerakan kilat Putri memeluk Adam. Lalu melepaskannya lagi.

“Awas ya kalu nanti Aa mengulangi perbuatan itu lagi!” ucap Putri manja. Mereka berdua tersenyum lagi.

Putri menyubit bahu Adam lagi. Mungkin karena saking gemesnya pada suaminya itu. Kemudian dilanjutkan dengan memeluk tubuh sang suami tercintanya lagi. 

Adam membalas pelukan sang isteri tercinta. Erat sekali Adam merangkul. Dan, saat merangkul itu, Adam mengepalkan tangannya. Pertanda ia menikmati keberhasilannya. Keberhasilan karena telah mampu membuat isterinya tidak marah lagi. Bibir Adam menyeringai. Persis dengan seringaiannya seorang penjahat kelas kakap yang telah berhasil mengelabuhi mangsanya.

Yes! Akhirnya saya berhasil!. Gumam Adam dalam hati. Ia gembira tersebab sang isteri termakan rayuan mautnya.

Bibir Adam menyeringai lagi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar