Kamis, 27 Juni 2013

Hati Sedalam Lautan



Jam setengah tujuh pagi.

Mentari bercahaya emas. Sinar hangatnya menerpa tubuhku, juga tubuh Mamat yang berjalan di sampingku. Tujuan kami adalah stadion kampus. Kami hendak lari pagi di sana. Kami ingin agar kesehatan kami tetap terjaga. Walaupun sebenarnya, tidak hanya itu niatku mengapa Minggu pagi ini aku jogging. Masih ada niat tersembunyi dibalik olahraga pagi kali ini. Adalah untuk menghibur diri. Menghibur diriku yang sedang dilanda sebuah perasaan. Perasaan yang entahlah, aku sendiri bingung untuk menafsirkannya.

“Makanya, jangan sembarangan menafsirkan respon seorang wanita, Bro. Salah-salah kita sendiri yang kena batunya. Salah-salah, kita patah hati deh jadinya,” celetuk Mamat tiba-tiba. Mendengar kalimat Mamat, aku menoleh padanya. Mamat tak mengarahkan pandangannya padaku. Ia sedikit menengadahkan wajahnya, memandang gunung Tangkuban Parahu yang tampak jelas pagi ini. 

Aku kembali menatap jalan. Melangkah bersisian dengan Mamat.

“Saya bukannya tidak tahu apa yang sedang Ente rasakan,” ujar Mamat lagi.

Aku menoleh kaget. Kali ini Mamat melihatku. Pandangan kami beradu. Mamat menggerak-gerakan kedua alisnya. Bibirnya tersenyum renyah. Mirip dengan senyumnya perampok yang baru menemukan kode untuk membuka lemari besi berisi uang berkarung-karung. Sejurus kemudian ia menatap jalan lagi.

Aku sedikit was-was juga, seandainya Mamat benar-benar tahu apa yang sedang kurasakan. Aku tak ingin menanggapi Mamat. Aku lebih memilih diam.

Kami melanjutkan langkah. Tidak jauh di hadapan kami, stadion kampus sudah nampak. Megah sekali stadion itu berdiri.

“Ente tahu dimana letak lautan terdalam?” Mamat bersuara lagi.

Aku menoleh. Tapi tak menjawab pertanyaannya. Bukannya aku tak tahu. Diam, adalah jawaban yang paling pas untukku saat ini. Aku menatap kedepan lagi.

“Ente tahu dimana letak samudera terluas?” Mamat bertanya hal aneh sekali lagi.

Aku tetap melangkah, dan tak melihat Mamat.

“Ente tahu dimana letak puncak tertinggi?” Mamat bersuara lagi.

Aku masih diam.

“Ente tahu dimana letak hutan paling rimba?”

Aku tetap diam. Beberapa puluh meter lagi kami akan sampai di stadion.

Mamat tertawa renyah. Entah menertawakan apa.

“Asal Ente tahu ya, letak semua tempat yang saya tanyakan tadi itu, semuanya ada pada hati seorang wanita. Semuanya terletak disana,” ucap Mamat. Aku reflek menoleh pada Mamat. Senyumannya menyambut tatapanku. “Hati seorang wanita itu misterius, Bro. Bahkan lebih misterius dari semua tempat yang saya tanyakan tadi. Kita jangan sembarangan menafsirkan respon mereka kepada kita. Salah-salah, kita jadi patah hati,” Mamat menambahkan kalimatnya. Aku tertegun mendengar untaian kalimat yang keluar dari mulut teman kosanku ini. Makan apa dia semalam, hingga bisa mencipta kalimat ajaib ini?

Tak terasa, kami sudah tiba di loket masuk stadion. Setelah membayar biaya masuk, kami langsung meluncur masuk stadion. Kami berjalan menuju salah-satu sudut sarana olahraga ini untuk melakukan pemanasan.

Kami pemanasan sendiri-sendiri. Di sampingku, Mamat tampak serius melakukan pemasanasan ini.

“Sudah jangan terus dipikirin. Life must go on, Bro,” Mamat menggerak-gerakan tubuhnya. Sekejap ia tersenyum padaku. Aku hanya merespon dengan sebuah senyuman tipis saja.

“Ente tahu jika alam itu memiliki kemampuan untuk membersihkan dirinya saat dia tercemari lingkungannya? Jika belum tahu, nih saya kasih tahu sekarang,” Mamat menoleh padaku. Tangannya masih bergerak pemanasan.

“Coba Ente sekarang bayangkan. Di sebuah lereng gunung nun jauh disana,” Mamat menunjuk ke arah Tangkuban Parahu. “Di sana terdapat sebuah sungai yang airnya jernih. Tapi tiba-tiba, ada sebuah truk sampah yang datang menghampiri sungai jernih itu. Truk itu membuang gunungan sampah ke sungai yang jernih itu. Nah, kira-kira, menurut Ente, apa yang terjadi pada sungai ini? kotor bukan?”

“Hhmmm,” aku mengangguk.

“Ya, awalnya sungai itu akan tercemar. Sungai jernih ini akan menjadi kotor. Tapi coba kita tunggu beberapa saat saja. Tidak memakan waktu yang lama, karena air sungai itu terus mengalir, maka sungai itu akan jernih kembali. Sungai itu akan kembali bersih seperti sedia kala. Nah, fenomena ini, dalam ilmu lingkungan, disebut dengan homeostatis, yaitu kemampuan alam untuk membersihkan dirinya lagi. 

“Naaaah, begitupun dengan ini,” Mamat meletakan tangannya tepat di dadanya. “Begitu pula dengan itu,” Ia menunjuk ke arah dadaku. “Sebesar apapun kecewa yangkita rasakan, lambat laun akan hilang dengan sendirinya. Percayalah. Kita hanya tinggal harus menerima apa yang terjadi, juga harus bersahabat saja dengan sang waktu. Maka semuanya akan menjadi baik kembali.” Mamat tersenyum padaku. 

Aku menelan ludah. Tak percaya jika orang yang sedang berbicara di hadapanku ini adalah Mamat. Si Mamat teman satu kosanku. Pokoknya, aku harus segera menyelidiki makanan apa yang semalam dia lahap. Jika sudah kutemukan, aku akan segera membeli makanan ajaib itu. Aku akan beli sekarung. Akan aku makan semuanya. Titik.
***

1 komentar:

  1. Setuju banget sama Mamat. Biarkan hidup mengalir, dan waktu yg akan membasuh semua kepedihan...

    BalasHapus