Jam setengah tujuh pagi.
Mentari bercahaya emas. Sinar
hangatnya menerpa tubuhku, juga tubuh Mamat yang berjalan di sampingku. Tujuan
kami adalah stadion kampus. Kami hendak lari pagi di sana. Kami ingin agar
kesehatan kami tetap terjaga. Walaupun sebenarnya, tidak hanya itu niatku
mengapa Minggu pagi ini aku jogging.
Masih ada niat tersembunyi dibalik olahraga pagi kali ini. Adalah untuk
menghibur diri. Menghibur diriku yang sedang dilanda sebuah perasaan. Perasaan
yang entahlah, aku sendiri bingung untuk menafsirkannya.
“Makanya, jangan sembarangan
menafsirkan respon seorang wanita, Bro. Salah-salah kita sendiri yang kena
batunya. Salah-salah, kita patah hati deh jadinya,” celetuk Mamat tiba-tiba. Mendengar
kalimat Mamat, aku menoleh padanya. Mamat tak mengarahkan pandangannya padaku.
Ia sedikit menengadahkan wajahnya, memandang gunung Tangkuban Parahu yang
tampak jelas pagi ini.
Aku kembali menatap jalan. Melangkah
bersisian dengan Mamat.
“Saya bukannya tidak tahu apa yang
sedang Ente rasakan,” ujar Mamat lagi.
Aku menoleh kaget. Kali ini Mamat
melihatku. Pandangan kami beradu. Mamat menggerak-gerakan kedua alisnya.
Bibirnya tersenyum renyah. Mirip dengan senyumnya perampok yang baru menemukan
kode untuk membuka lemari besi berisi uang berkarung-karung. Sejurus kemudian
ia menatap jalan lagi.
Aku sedikit was-was juga, seandainya
Mamat benar-benar tahu apa yang sedang kurasakan. Aku tak ingin menanggapi
Mamat. Aku lebih memilih diam.
Kami melanjutkan langkah. Tidak jauh
di hadapan kami, stadion kampus sudah nampak. Megah sekali stadion itu berdiri.
“Ente tahu dimana letak lautan
terdalam?” Mamat bersuara lagi.
Aku menoleh. Tapi tak menjawab
pertanyaannya. Bukannya aku tak tahu. Diam, adalah jawaban yang paling pas
untukku saat ini. Aku menatap kedepan lagi.
“Ente tahu dimana letak samudera
terluas?” Mamat bertanya hal aneh sekali lagi.
Aku tetap melangkah, dan tak melihat
Mamat.
“Ente tahu dimana letak puncak tertinggi?”
Mamat bersuara lagi.
Aku masih diam.
“Ente tahu dimana letak hutan paling
rimba?”
Aku tetap diam. Beberapa puluh meter
lagi kami akan sampai di stadion.
Mamat tertawa renyah. Entah
menertawakan apa.
“Asal Ente tahu ya, letak semua
tempat yang saya tanyakan tadi itu, semuanya ada pada hati seorang wanita. Semuanya
terletak disana,” ucap Mamat. Aku reflek menoleh pada Mamat. Senyumannya
menyambut tatapanku. “Hati seorang wanita itu misterius, Bro. Bahkan lebih
misterius dari semua tempat yang saya tanyakan tadi. Kita jangan sembarangan
menafsirkan respon mereka kepada kita. Salah-salah, kita jadi patah hati,”
Mamat menambahkan kalimatnya. Aku tertegun mendengar untaian kalimat yang
keluar dari mulut teman kosanku ini. Makan apa dia semalam, hingga bisa
mencipta kalimat ajaib ini?
Tak terasa, kami sudah tiba di loket
masuk stadion. Setelah membayar biaya masuk, kami langsung meluncur masuk
stadion. Kami berjalan menuju salah-satu sudut sarana olahraga ini untuk
melakukan pemanasan.
Kami pemanasan sendiri-sendiri. Di
sampingku, Mamat tampak serius melakukan pemasanasan ini.
“Sudah jangan terus dipikirin. Life must go on, Bro,” Mamat
menggerak-gerakan tubuhnya. Sekejap ia tersenyum padaku. Aku hanya merespon
dengan sebuah senyuman tipis saja.
“Ente tahu jika alam itu memiliki
kemampuan untuk membersihkan dirinya saat dia tercemari lingkungannya? Jika
belum tahu, nih saya kasih tahu sekarang,” Mamat menoleh padaku. Tangannya
masih bergerak pemanasan.
“Coba Ente sekarang bayangkan. Di
sebuah lereng gunung nun jauh disana,” Mamat menunjuk ke arah Tangkuban Parahu.
“Di sana terdapat sebuah sungai yang airnya jernih. Tapi tiba-tiba, ada sebuah truk
sampah yang datang menghampiri sungai jernih itu. Truk itu membuang gunungan
sampah ke sungai yang jernih itu. Nah, kira-kira, menurut Ente, apa yang
terjadi pada sungai ini? kotor bukan?”
“Hhmmm,” aku mengangguk.
“Ya, awalnya sungai itu akan
tercemar. Sungai jernih ini akan menjadi kotor. Tapi coba kita tunggu beberapa
saat saja. Tidak memakan waktu yang lama, karena air sungai itu terus mengalir,
maka sungai itu akan jernih kembali. Sungai itu akan kembali bersih seperti
sedia kala. Nah, fenomena ini, dalam ilmu lingkungan, disebut dengan homeostatis, yaitu kemampuan alam untuk
membersihkan dirinya lagi.
“Naaaah, begitupun dengan ini,”
Mamat meletakan tangannya tepat di dadanya. “Begitu pula dengan itu,” Ia
menunjuk ke arah dadaku. “Sebesar apapun kecewa yangkita rasakan, lambat laun
akan hilang dengan sendirinya. Percayalah. Kita hanya tinggal harus menerima
apa yang terjadi, juga harus bersahabat saja dengan sang waktu. Maka semuanya
akan menjadi baik kembali.” Mamat tersenyum padaku.
Aku menelan ludah. Tak percaya jika
orang yang sedang berbicara di hadapanku ini adalah Mamat. Si Mamat teman satu
kosanku. Pokoknya, aku harus segera menyelidiki makanan apa yang semalam dia
lahap. Jika sudah kutemukan, aku akan segera membeli makanan ajaib itu. Aku
akan beli sekarung. Akan aku makan semuanya. Titik.
***
Setuju banget sama Mamat. Biarkan hidup mengalir, dan waktu yg akan membasuh semua kepedihan...
BalasHapus