Selasa, 11 Juni 2013

Prolog (1)



Kalian tahu CINTA itu apa?

Jika pertanyaan itu tertuju untukku, maka dengan tegas akan kujawab seperti ini. “Cinta itu adalah aneh!”. Tak akan kujelaskan panjang lebar mengapa aku mengatakan demikian. Biar cerita ini saja yang menerangkannya. Mari kita bedah bersama-sama.

Coba bayangkan! Apa jadinya jika seorang guru mencintai muridnya? Masih mending jika kisah ini terjadi di sekolah SMA, tapi ini terjadi di sekolah dasar, Bro. SD! Merah-putih! Saat itu aku menjabat sebagai seorang guru muda memang. Tapi tetap saja, SD tetaplah SD! Tapi waktu itu dia memang sedikit lebih dewasa dari teman-teman lainnya. Sikapnya sedikit lebih cepat bertumbuh dibandingkan dengan usianya. Membaca Al-Qur’annya lancar pula. Bahkan dia sudah dipercaya oleh ibu ustadzah, yang tidak lain adalah Umminya sendiri, untuk membantu mengajarkan mengaji pada para santri-santri didikannya. Eeeeeh! sudah jangan ngeyel! SD tetaplah SD! Masih merah-putih!

Nih! Coba bayangkan lagi! Misalkan ada dua orang berlawanan jenis yang sedang berjalan berdampingan. Yang satu adalah seorang laki-laki. Dia mengenakan seragam kebesaran guru. Kemudian tepat di sampingnya, berjalan seorang siswi perempuan berseragam merah-putih. Sambil melangkah pelan mereka berbincang. Isi pembicaraan mereka tentang cinta. Cinta yang meringkus hati mereka. Wajah kedua sejoli itu mesem-mesem gak jelas. Ceritanya mereka sedang malu-malu. Malu kepada orang yang sedang berjalan di samping mereka masing-masing. Malu kepada orang yang dikasihinya. Coba bayangkan sekali lagi! GELI gak tuh! Padahal ini baru hanya membayangkan saja ya?!

Baiklah, kita berhenti dulu menghakimi dirikunya. Menurut buku yang pernah kubaca, dan menurut banyak ustadz juga, jika Allah hendak memberi petunjuk kepada HambaNya, maka tidak akan pernah ada seorangpun yang bisa menghalangiNya. Pun sebaliknya, jika Allah hendak menyesatkan seseorang, maka tidak akan pernah ada siapapun yang mampu mencegahNya. Nah, demikian juga dengan kisah ini. Kisah asmara yang menyelimuti jiwa sang guru muda. Ini semua pastilah kehendak Sang Maha Kuasa. Dia telah memerintahkan sang malaikat cinta untuk menghujamkan anak panah warna merah jambunya tepat di hatiku. Pasti akan ada hikmah di balik semua ini. Hikhamnya apa? Mungkin beberapa waktu kedepan baru akan bisa terungkap.

Baik, kita kembali pada kisah cinta yang menggelikan ini. Sejujurnya, tidak seorangpun yang tahu tentang cintaku pada sang murid ini. Kecuali hanya seorang saja. Dia adalah Ibuku tercinta.Sebenarnya aku tidak pernah menceritakan rasa ini kepada ibu. Ibu tahu semuanya dari mulut sang sore yang tak bisa aku ajak kompromi. Waktu itu mentari sudah berada di kaki langit sebelah barat. Angin sore bertiup lembut. Di lapangan sepak bola seberang jalan depan rumahku, masih ada beberapa anak kecil yang sedang berlarian mengejar-ngejar bola. Aku sedang duduk santai waktu itu. Duduk santai sambil menikmati senandung alam.

“Dede...,” suara lembut masuk perlahan melewati daun telingaku. Aku hafal betul siapa pemilik suara ini. Reflek, aku menoleh pada sumber suara. Beberapa saat tatapanku terkunci pada seseorang yang sedang kupandangi. Kedua mataku tak mau berkedip, meskipun hanya sekali. Kala itu, aku baru sadar, ternyata masih ada angin yang lebih lembut dari angin sore. Angin itu bertiup sangat lembut di pekarangan hatiku. Hanya di hatiku.

“Dede hayu pulang, udah sore,” sekali lagi suara lembut itu menelusup masuk telingaku. Pandanganku belum juga berpindah. 

“Ehm,” suara lain masuk telingaku. Aku menoleh pada asal suara. Lirikanku mendarat pada sebuah wajah teduh ibuku. Ibu menyambut dengan sebuah senyuman renyah. Sekejap ibu melihat seorang wanita bergamis ungu yang sedang berdiri tidak jauh di jalan dekat lapangan. Kemudian menatapku lagi. Sebuah senyuman tersungging kembali di bibir ibu.Kali ini senyumannya bernada ledekan. Dahi ibu mengkerut, tapi senyumnya masih menempel. Astaganaga! Aku tahu warna wajah itu. Sebelum ibu mengeluarkan kata dan keringatku bercucuran karena mencari jawaban atas pertanyaan ibu. Lebih baik aku kabur. 

DEEBB!

Buku di tangan yang aku tutup dengan tergesa, berdebam. Tanpa suara aku meninggalkan ibu di teras samping. Aku bergegas melangkah. Satu, dua, tiga langkah. Pada langkah ke empat, hanya selangkah lagi memasuki pintu, di belakang, suara ibu terdengar lagi.

“Jaga pandangan, Kang.”

Langkahku terhenti. Aku menoleh ke belakang. Wajah ibu masih tersenyum. Kali ini berirama ganjil. Aku balas dengan sebuah senyuman dingin. Kemudian melanjutkan langkah. Hanya satu harapan di dadaku saat itu. Semoga saja ibu tak akan bertanya lagi tentang ini. Meskipun hanya sekali. Semoga.

Waktu terus berjalan. Benar saja. Sang Maha Pendengar mengabulkan do’aku. Sejak sore itu, tak sekalipun ibu menyinggung-nyinggung peristiwa yang membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Segalanya berjalan normal seperti sedia kala. Seperti tidak ada kejadian apa-apa diwaktu sore itu. Aku aman. Ya, aku memang aman. Setidaknya hingga hari itu. Saat Teh Asih, tetangga dekatku bertandang ke rumah sambil membantu ibu memasak.

“Teh Haji kenapa tadi tidak pengajian?” sayup-sayup pertanyaan Teh Asih terdengar sampai ruang keluarga. Aku sedang menonton tv. 

Obrolan Ibu dan Teh Asih terus berlanjut. Suara ulekan batu yangberadu dengan penguleknya, serta gemeletak wajan yang beradu dengan osengannya mengiringi perbincangan dua orang ibu-ibu itu. Aku tak menghiraukan obrolan itu. Fokusku masih tertuju pada acara yang sedang ku tonton.

“Teh Haji, tadi setelah pengajian, saya pulang bareng dengan Ibu ustadzah,” Teh Asih melanjutkan ceritanya. Ucapan samar-samar ini mulai menarik perhatianku. Mungkin sebenarnya bukan ucapannya yang membetot perhatianku, melainkan siapa yang sedang dibicarakan. Segera aku kecilkan suara tv.

“Teh Haji tahu gak tadi Ibu ustadzah bilang apa?” teh Asih bertanya pada ibu. Suasana hening sejenak. Aku tak tahu, mungkin ketika jeda itu ibu sedang menggelengkan kepala di dapur.

“Ibu ustadzah tadi bilang, dia akan sangat senang jika yang menikah dengan Hena kelak adalah si Akang,” lanjut teh Asih. 

Aku melotot seperti sedang menghakimi tv. Dadaku kembang-kempis. Nafasku seperti tersengal. Entah mengapa dan bagaimana ceritanya, hari ini suara teh Asih terdengar begitu sangat merdu di telingaku.

Suara tv semakin aku kecilkan. Telinga kupasang baik-baik.

“Akang?” ibu bertanya pelan. Mungkin sekedar untuk meyakinkan.

“Iya, Akang, Akangnya Teh Haji.”

Detak jantungku bertambah cepat lagi. Iramanya serupa dengan tabuhan rebana di acara-acara penyambutan calon pengantin laki-laki ketika tiba di depan rumah sang calon mempelai wanitanya. 

Hari ini. Seorang bapak guru muda hatinya berjingkrak-jingkrak kegirangan. Penyebabnya tidak lain adalah sang murid SD didikannya. Seorang murid perempuan yang katanya cantik dan pintar mengaji itu. Ah, CINTA MEMANG HENA. Ups, salah. Maksudnya CINTA MEMANG ANEH. Hehe.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar