Kalian tahu CINTA itu apa?
Jika
pertanyaan itu tertuju untukku, maka dengan tegas akan kujawab seperti ini.
“Cinta itu adalah aneh!”. Tak akan kujelaskan panjang lebar mengapa aku
mengatakan demikian. Biar cerita ini saja yang menerangkannya. Mari kita bedah
bersama-sama.
Coba
bayangkan! Apa jadinya jika seorang guru mencintai muridnya? Masih mending jika
kisah ini terjadi di sekolah SMA, tapi ini terjadi di sekolah dasar, Bro. SD! Merah-putih! Saat itu aku
menjabat sebagai seorang guru muda memang. Tapi tetap saja, SD tetaplah SD! Tapi
waktu itu dia memang sedikit lebih dewasa dari teman-teman lainnya. Sikapnya
sedikit lebih cepat bertumbuh dibandingkan dengan usianya. Membaca Al-Qur’annya
lancar pula. Bahkan dia sudah dipercaya oleh ibu ustadzah, yang tidak lain
adalah Umminya sendiri, untuk membantu mengajarkan mengaji pada para
santri-santri didikannya. Eeeeeh!
sudah jangan ngeyel! SD tetaplah SD!
Masih merah-putih!
Nih!
Coba bayangkan lagi! Misalkan ada dua orang berlawanan jenis yang sedang
berjalan berdampingan. Yang satu adalah seorang laki-laki. Dia mengenakan
seragam kebesaran guru. Kemudian tepat di sampingnya, berjalan seorang siswi
perempuan berseragam merah-putih. Sambil melangkah pelan mereka berbincang. Isi
pembicaraan mereka tentang cinta. Cinta yang meringkus hati mereka. Wajah kedua
sejoli itu mesem-mesem gak jelas. Ceritanya mereka sedang malu-malu. Malu
kepada orang yang sedang berjalan di samping mereka masing-masing. Malu kepada
orang yang dikasihinya. Coba bayangkan sekali lagi! GELI gak tuh! Padahal ini
baru hanya membayangkan saja ya?!
Baiklah,
kita berhenti dulu menghakimi dirikunya. Menurut buku yang pernah kubaca, dan
menurut banyak ustadz juga, jika Allah hendak memberi petunjuk kepada HambaNya,
maka tidak akan pernah ada seorangpun yang bisa menghalangiNya. Pun sebaliknya,
jika Allah hendak menyesatkan seseorang, maka tidak akan pernah ada siapapun
yang mampu mencegahNya. Nah, demikian juga dengan kisah ini. Kisah asmara yang
menyelimuti jiwa sang guru muda. Ini semua pastilah kehendak Sang Maha Kuasa.
Dia telah memerintahkan sang malaikat cinta untuk menghujamkan anak panah warna
merah jambunya tepat di hatiku. Pasti akan ada hikmah di balik semua ini.
Hikhamnya apa? Mungkin beberapa waktu kedepan baru akan bisa terungkap.
Baik,
kita kembali pada kisah cinta yang menggelikan ini. Sejujurnya, tidak
seorangpun yang tahu tentang cintaku pada sang murid ini. Kecuali hanya seorang
saja. Dia adalah Ibuku tercinta.Sebenarnya aku tidak pernah menceritakan rasa
ini kepada ibu. Ibu tahu semuanya dari mulut sang sore yang tak bisa aku ajak
kompromi. Waktu itu mentari sudah berada di kaki langit sebelah barat. Angin
sore bertiup lembut. Di lapangan sepak bola seberang jalan depan rumahku, masih
ada beberapa anak kecil yang sedang berlarian mengejar-ngejar bola. Aku sedang
duduk santai waktu itu. Duduk santai sambil menikmati senandung alam.
“Dede...,”
suara lembut masuk perlahan melewati daun telingaku. Aku hafal betul siapa
pemilik suara ini. Reflek, aku menoleh pada sumber suara. Beberapa saat tatapanku
terkunci pada seseorang yang sedang kupandangi. Kedua mataku tak mau berkedip,
meskipun hanya sekali. Kala itu, aku baru sadar, ternyata masih ada angin yang
lebih lembut dari angin sore. Angin itu bertiup sangat lembut di pekarangan
hatiku. Hanya di hatiku.
“Dede
hayu pulang, udah sore,” sekali lagi suara lembut itu menelusup masuk
telingaku. Pandanganku belum juga berpindah.
“Ehm,”
suara lain masuk telingaku. Aku menoleh pada asal suara. Lirikanku mendarat
pada sebuah wajah teduh ibuku. Ibu menyambut dengan sebuah senyuman renyah. Sekejap
ibu melihat seorang wanita bergamis ungu yang sedang berdiri tidak jauh di
jalan dekat lapangan. Kemudian menatapku lagi. Sebuah senyuman tersungging kembali
di bibir ibu.Kali ini senyumannya bernada ledekan. Dahi ibu mengkerut, tapi
senyumnya masih menempel. Astaganaga!
Aku tahu warna wajah itu. Sebelum ibu mengeluarkan kata dan keringatku
bercucuran karena mencari jawaban atas pertanyaan ibu. Lebih baik aku kabur.
DEEBB!
Buku di
tangan yang aku tutup dengan tergesa, berdebam. Tanpa suara aku meninggalkan
ibu di teras samping. Aku bergegas melangkah. Satu, dua, tiga langkah. Pada
langkah ke empat, hanya selangkah lagi memasuki pintu, di belakang, suara ibu
terdengar lagi.
“Jaga
pandangan, Kang.”
Langkahku
terhenti. Aku menoleh ke belakang. Wajah ibu masih tersenyum. Kali ini berirama
ganjil. Aku balas dengan sebuah senyuman dingin. Kemudian melanjutkan langkah.
Hanya satu harapan di dadaku saat itu. Semoga saja ibu tak akan bertanya lagi
tentang ini. Meskipun hanya sekali. Semoga.
Waktu
terus berjalan. Benar saja. Sang Maha Pendengar mengabulkan do’aku. Sejak sore
itu, tak sekalipun ibu menyinggung-nyinggung peristiwa yang membuat jantungku
berdetak lebih cepat dari biasanya. Segalanya berjalan normal seperti sedia
kala. Seperti tidak ada kejadian apa-apa diwaktu sore itu. Aku aman. Ya, aku
memang aman. Setidaknya hingga hari itu. Saat Teh Asih, tetangga dekatku
bertandang ke rumah sambil membantu ibu memasak.
“Teh
Haji kenapa tadi tidak pengajian?” sayup-sayup pertanyaan Teh Asih terdengar
sampai ruang keluarga. Aku sedang menonton tv.
Obrolan
Ibu dan Teh Asih terus berlanjut. Suara ulekan batu yangberadu dengan
penguleknya, serta gemeletak wajan yang beradu dengan osengannya mengiringi
perbincangan dua orang ibu-ibu itu. Aku tak menghiraukan obrolan itu. Fokusku
masih tertuju pada acara yang sedang ku tonton.
“Teh
Haji, tadi setelah pengajian, saya pulang bareng dengan Ibu ustadzah,” Teh Asih
melanjutkan ceritanya. Ucapan samar-samar ini mulai menarik perhatianku.
Mungkin sebenarnya bukan ucapannya yang membetot perhatianku, melainkan siapa
yang sedang dibicarakan. Segera aku kecilkan suara tv.
“Teh Haji
tahu gak tadi Ibu ustadzah bilang apa?” teh Asih bertanya pada ibu. Suasana
hening sejenak. Aku tak tahu, mungkin ketika jeda itu ibu sedang menggelengkan
kepala di dapur.
“Ibu
ustadzah tadi bilang, dia akan sangat senang jika yang menikah dengan Hena
kelak adalah si Akang,” lanjut teh Asih.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar