Selasa, 21 Mei 2013

Tongkat Impian



Mentari condong ke sebelah barat. Langit mulai meredup.

Geliat puluhan ikan mas menyebabkan suara gemericik air di kolam depan rumah. Pintunya terbuka. Putri, sedang duduk di ruang tamu. Menunggu kedatangan Adam, sang suami tercintanya. Untuk mengisi kekosongan waktu, Putri membaca buku.

Deru mesin motor menenggelamkan gemericik air, lalu masuk melalui pintu. Putri menyunggingkan senyuman. Segera ia menutup buku di tangannya. Kemudian beranjak menghampiri pintu. 

Adam memarkirkan si putih (motor pespa kesayangan) di halaman depan. Bagai permaisuri yang menyambut rajanya, Putri berdiri di depan pintu. Senyumnya melebar. Wajahnya berseri. Sebuah perayaan selamat datang yang mampu membuat gunungan rasa lelah di dada Adam menguap seketika. Adam membalas senyuman sang istrinya.

Adam melangkah menghampiri sang bidadarinya. Tak lepas senyum di bibir Adam.

Putri menyondongkan tubuhnya. Ia cium punggung tangan suaminya. Sejurus kemudian, Adam membalas dengan sebuah kecupan lembut pada kening Putri. Ia mengelus lembut kepala sang istri.

Putri meraih tas di tangan sang suami. Sambil berpegang tangan, sepasang pengantin baru itu melangkah masuk rumah. 

Adam merebahkan tubuhnya pada sofa empuk. Sementara Putri melangkah ke dapur, hendak mengambilkan air minum.

Adam menarik nafas panjang. Oksigen menelusup membelai paru-paru. Kesegarannya bagaikan siraman hujan pada tanah gersang. Adam menarik nafas lagi. Pandangannya ia arahkan pada tas yang tergeletak di sampingnya. Tanpa pikir panjang, Adam membuka tas itu. Ia mengambil sebuah tongkat kecil yang pada ujungnya tertempel sebuah pernak-pernik berbentuk hati. Menatap tongkat kecil itu, Adam kembali tersenyum. Tapi senyum itu segera menghilang saat Adam mendengar derap langkah mendekat. Segera ia menyembunyikan tongkat mini di balik badannya. Diapit oleh sandaran sofa dan punggunnya. Adam pura-pura bertingkah seperti sedia kala.

“Minum dulu, A,” Putri memberikan gelas pada sang suami. Adam menerimanya, dan langsung meneguk hampir setengah gelas air. 

Putri duduk di samping Adam. Ia mengelus dahi sang suami, mencoba menghapus debu jalanan yang masih menempel. Kemudian merapihkan tatanan rambut sang jagoannya itu. 

“Neng,” ucap Adam lirih.

“Iya, A,” jawab Putri sesaat setelah merapihkan rambut sang suami.

“Aa punya hadiah untuk, Neng,” Adam tak memulai obrolan dengan basa-basi.

“Hadiah apa A?” tatap Putri teduh.

Adam mengambil tongkat kecil di balik punggungnya. Ia serahkan tongkat berujung simbol hati itu pada bidadarinya. 

Putri menatap tongkat aneh di hadapannya dengan heran. Keningnya melipat. “Apa ini A?”

“Tongkat impian,” jawab Adam pendek.

“Tongkat impian?” Putri membolak-balik tongkat mini di tangannya.

“Iya,” Adam membumbui jawabannya dengan senyuman. Putri melihat sang suami dengan tatapan bertanya.

“Katanya, siapapun yang memiliki tongkat impian ini, dia bisa mewujudkan apapun mimpinya.

Kening Putri masih melipat. “Ini punya Aa?”

“Iya,” Adam mengangguk lembut, “Dan sekarang ini jadi milik Neng.”

“Kenapa dikasihkan ke Neng?”

Adam merubah posisi duduknya. Ia lebih mendekat pada wanita cantik di hadapannya. “Karena Aa gak butuh tongkat mimpi ini. Sebab Aa sudah bisa mewujudkan mimpi terbesar Aa,” jawab Adam lembut. Lembut sekali. Ia mengusap mesra kepala Putri.

“Neng tahu apa mimpi terbesar Aa itu?”

Putri menggeleng pelan.

“Mimpi terbesar Aa itu adalah menjadi suami dari seorang wanita yang paling Aa sayangi. Dia adalah wanita paling cantik di jagat raya ini. Wanita paling baik di seantero dunia. Seorang wanita yang sekarang sedang duduk manis di hadapan Aa,” Adam mendekatkan wajahnya pada wajah Putri. Ia kembali mengelus kepala sang istri.

Putri tersenyum malu-malu. Hatinya meleleh. Lipatan di keningnya telah sirna.

“Kalo gitu Neng gak mau terima hadian ini,” Putri menatap Adam.

“Kenapa?” giliran kening Adam sekarang yang melipat.

“Karena Neng juga sudah mewujudkan impian terbesar Neng. Jadi Neng gak membutuhkan tongkat ini lagi,” Putri menyeringai manja.

Adam melihat bidadarinya dengan tatapan bertanya.

“Mimpi tertinggi Neng itu adalah menjadi istri dari seorang laki-laki yang sangat Neng cintai. Seorang laki-laki gagah yang baik hati. Tapi, meskipun dia gagah dan baik, dia itu orangnya gombal,” Putri tersenyum meledek. “Gombal banget malah,” Putri mengacak-acak rambut Adam yang beberapa menit lalu telah ia rapihkan.

Adam tersenyum menyeringai. Kedua tangannya memegang pundak wanita cantik di depannya. Ia mendekatkan wajahnya pada muka sang istri.

“Aa mau ngapain?” Putri mencoba menjauh. Tapi sayang tak bisa, sebab kedua tangan kokoh Adam sudah mengunci tubuhnya.

“Mau mencium Neng.”

“Gak mau! Aa belum mandi. Bau...”

Gemericik air kolam terdengar lagi. Mentari sore tampak malu-malu. Ia sedang bersembunyi di balik awan putih.
***

2 komentar: