Beberapa hari ini aku sering merasakan
keanehan. Keanehan yang muncul dari pikiranku sendiri. Aku merasa seperti ada
batu kerikil yang mengganjal di tempurung kepalaku.
“Ente,
Man. Inilah akibatnya!” Mamat yang sedari tadi mengetik, melirik ke arahku. Aku
membalas lirikannya dengan tatapan malas.
“Bukankah
dulu saya pernah bilang ke Ente. Jangan pernah mencintai secara berlebihan! Tapi,
cintai hanya sekedar saja,” Mamat kembali menatap laptop. Jemarinya menari-nari
lagi. “Cinta Ente ini terlalu tinggi, Man. Lebih tinggi dari gedung pencakar
langit sekalipun. Bahkan, kalaupun semua gedung pencakar langit di negeri ini
digabungkan, semua itu tetap masih kalah tinggi oleh cintamu.”
Aku
berhenti mencoret-coret kertas. Perhatianku kini tersedot oleh kalimat yang
keluar dari mulut Mamat.
“Bukankah
nikmatnya es krim akan hilang saat Ente menyantapnya tiga baskom sekaligus? Bukankah
Ente malah akan sakit jika berolahraga seharian penuh? Segala sesuatu itu ada
takarannya, Man.”
Suara
kecil hentakan ujung jemari Mamat terdengar berirama. Suara lembut itu seperti
hendak meninabobokan tumpukan buku yang sudah mulai menguap.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar