Senin, 20 Mei 2013

Kerikil yang Mengganjal



Beberapa hari ini aku sering merasakan keanehan. Keanehan yang muncul dari pikiranku sendiri. Aku merasa seperti ada batu kerikil yang mengganjal di tempurung kepalaku.

“Ente, Man. Inilah akibatnya!” Mamat yang sedari tadi mengetik, melirik ke arahku. Aku membalas lirikannya dengan tatapan malas.

“Bukankah dulu saya pernah bilang ke Ente. Jangan pernah mencintai secara berlebihan! Tapi, cintai hanya sekedar saja,” Mamat kembali menatap laptop. Jemarinya menari-nari lagi. “Cinta Ente ini terlalu tinggi, Man. Lebih tinggi dari gedung pencakar langit sekalipun. Bahkan, kalaupun semua gedung pencakar langit di negeri ini digabungkan, semua itu tetap masih kalah tinggi oleh cintamu.”

Aku berhenti mencoret-coret kertas. Perhatianku kini tersedot oleh kalimat yang keluar dari mulut Mamat.

“Bukankah nikmatnya es krim akan hilang saat Ente menyantapnya tiga baskom sekaligus? Bukankah Ente malah akan sakit jika berolahraga seharian penuh? Segala sesuatu itu ada takarannya, Man.”

Suara kecil hentakan ujung jemari Mamat terdengar berirama. Suara lembut itu seperti hendak meninabobokan tumpukan buku yang sudah mulai menguap.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar