Kami
memanggilnya Ibu Jono. Sesungguhnya, hingga hari ini, saya belum tahu
nama asli beliau. Kami menyebut beliau Ibu Jono, sebab almarhum suaminya
adalah Bapak Jono.
Dalam satu
Minggu, setidaknya dua kali kami mengunjungi rumah ibu Jono. Yaitu
setiap hari Senin dan Kamis. Secara bergantian, dua orang santri
mengambil makanan untuk buka puasa sunnah para santri.
Pagi
ini, suatu kebahagiaan bagi santri, ibarat mentari pagi yang cerah, ibu
Jono berkunjung ke asrama santri ikhwan. Saat itu hanya ada dua orang
yang tersisa di asrama, yakni saya dan Tian. Kami terima sang tamu
istimewa itu dengan sambutan sehangat mungkin yang kami bisa.
Kami bertiga duduk di ruang tamu. Ibu Jono duduk di sofa dekat pintu.
Tian memilih sofa tengah. Sementara saya kebagian kursi empuk yang
paling jauh dari pintu. Kami membuka obrolan dengan saling bertanya
kabar. Ibu Jono bertanya bagaimana kabar para santri dan saya menanyakan
hal yang serupa pada wanita istimewa itu. Adalah tentang kabar beliau
dan keluarganya. Kemudian ibu Jono bertanya tentang keadaan pesantren.
Saya dan Tian hanya menjawab yang kami ketahui saja. Lebih dari batas
pemahaman kami, saya dan Tian hanya menjawab dengan kalimat "tidak tahu,
Bu" saja. Tentunya dengan dibumbui sebuah gelengan dan senyum tipis
saja.
Di ruang tamu, kami berbincang selama dua jam. Dari jam
sembilan hingga jam sebelas. Waktu selama itu, seperti hanya sekejapan
mata bagi saya. Sebab kami sangat larut dalam isi obrolan. Terlebih bagi
saya pribadi. Ada banyak pelajaran hidup yang saya petik dari penggalan
kisah hidup yang telah dilewati oleh ibu Jono dan keluarga. Saya pikir
buah-buah matang yang telah saya petik dari pohon kehidupan ibu Jono,
harus saya ikat dengan tulisan. Sebagaimana yang telah diucapkan oleh
imam Syafi'i, bahwa ilmu itu ibarat hewan buruan, maka ikatlah ia dengan
tulisan. Dan, diantara buah ranum nan segar yang saya petik itu adalah
sebagai berikut:
Satu. Ibu Jono adalah seorang pensiunan guru
matematika. Dalam perjalanan karirnya, beliau pernah menjabat sebagai
kepala sekolah SMA.
"Justru, yang sekarang jadi orang, itu
adalah siswa-siswa yang nakal. Kebanyakan dari mereka pernah saya
tampar," ibu Jono menyimpulkan beberapa peristiwa yang ia ceritakan pada
saya dan Tian. Kemudian diakhiri dengan tawa yang lepas.
"Walau mereka nakal, tapi mereka nurut. Mereka sangat hormat pada guru.
Tidak seperti sebagian murid sekarang yang manja, yang kena cubit
sedikit sudah lapor polisi. Gurunya sendiri dipenjarakan. Sulit untuk
mendapatkan keberkahan ilmu jika seperti itu," tambah ibu Jono.
Dilain kisah, wajah ibu Jono sumringah saat menceritakan bagian yang
ini. "Kalau ada siswa yang tidak bisa mengerjakan soal matematika, saya
suruh duduk di meja saya, saya perintahkan mereka untuk mengerjakannya
di samping saya. Dan lucunya, biasanya mereka jadi bisa," ibu Jono
kembali tertawa lepas.
"Kalo Aa Gym, saat dia kesulitan
mengerjakan soal, biasanya dia seperti ini," ibu Jono mengemut ibu jari
tangan kanannya. Mencoba menirukan tingkah salah satu muridnya dulu.
Kemudian ibu Jono tertawa lagi.
"Hormat pada guru, maka ilmu kita akan bermanfaat," ibu Jono menyimpulkan.
Dua. Semua anak ibu Jono, kini telah menjadi orang. Satu diantaranya tinggal di Kanada. Semuanya jebolan universitas ternama.
"Dulu, universitas hanya ada sedikit. Sekarang mah banyak. Dulu, susah
mengajak orang untuk sekolah. Harus dipaksa, harus ditarik-tarik dulu.
Mbak saya juga sudah nikah ketika kelas empat SD," kenang ibu Jono.
"Pendidikan itu penting. Penting sekali. Kita harus sekolah untuk
mendapatkan ilmu. Semua anak saya wajib kuliah. Hanya anak bungsu yang
dulu tidak mau kuliah. Dia matematikanya lemah. Dia bilang ingin kerja
saja," ujar ibu Jono.
"Saya bilang pada dia 'Ibu itu sarjana,
kamu tidak malu kalau hanya lulus SMA saja, orang ibunya saja bisa jadi
sarjana kok, masa anaknya tidak'. Setelah itu dia mau kuliah juga. Dan
lulus sebagai sarjana hukum," kata ibu Jono.
"Setiap pagi,
sebelum berangkat sekolah, saya selalu mentitahkan untuk solat dhuha
pada anak-anak saya. Setelah itu baca AlQur'an minimal satu ayat. Setiap
hari harus seperti itu," jelas ibu Jono pada saya dan Tian. Kami berdua
mengangguk pelan. Kagum dengan setiap kalimat dari ceritanya.
Tiga. Kami, para santri, mengenal ibu Jono sebagai sosok yang dermawan.
"Saya dan almarhum bapak, sepakat untuk selalu berbagi rezeki pada
sesama. Selama kami ada rezeki lebih, bapak selalu mengingatkan saya
untuk berbagi. Saya selalu berdo'a pada Allah, 'Yaa Allah, mohon selalu
ingatkan saya untuk terus berbagi'. Pokoknya hidup itu harus berbagi,"
Tutur ibu Jono.
"Kamu pasti ingat saat bapak meninggal?" Ibu Jono bertanya pada saya.
Saya mengangguk.
Benar, saat itu bapak Jono solat ashar di mesjid pondok. Selepas solat,
saat turun dari tangga, beliau jatuh. Penyakitnya kambuh. Asatidz dan
para santri membantu bapak Jono. Beliau dibawa ke rumah sakit terdekat.
Dan, tidak lama setelah itu, bapak Jono meninggal.
"Sehari
sebelum kepulangannya, ternyata bapak membagi-bagikan sebungkus tahu
pada semua warga komplek. Saya sendiri tidak tahu itu. Saya baru tahu
setelah bapak tiada. Para warga yang menceritakannya. Bapak itu sering
berbagi. Bapak itu selalu berbagi." Kenang ibu Jono.
Empat.
"Kita harus mengalah demi kebaikan. Alhamdulillah, selama hidup, saya
tidak pernah memiliki musuh. Kita harus berbaik sangka pada siapapun.
Pokoknya, selama nama kita tidak disebut, meski arahnya tertuju pada
kita, kita jangan marah. Meskipun smesh-annya pada kita, selama nama
kita tidak disebut, kita harus husnudzon saja bahwa itu bukan untuk
kita." Nasihat ibu Jono.
"Meski ada yang memusuhi kita, kita
harus tetap berbuat baik. Kita harus mewariskan kebaikan untuk keturunan
kita. Ingat! Karma itu ada! Jika kita menendang orang, pasti nanti kita
juga akan ditendang orang. Jika tidak terjadi pada kita, pasti anak
atau cucu kita akan ditendang orang. Karenanya kita harus selalu berbuat
baik. Agar kita bisa mewariskan kebaikan untuk anak dan cucu kita
nanti."
Kemudian ibu Jono mengisahkan bagaimana
keajaiban-keajaiban yang menyapa hidup beliau bersama bapak Jono. Setiap
kali keajaiban itu datang, setiap itu juga mereka mengucap syukur. Pada
beberapa kejadian yang di luar logika, ibu Jono selalu melakukan sujud
syukur. Jujur, saya dibuat kagum dengan kisah ibu Jono dan bapak Jono.
Pada kebaikan mereka. Dan pada semua keajaiban yang dianugerahkan Allah
pada mereka. Saya takjub.
Di sela-sela ibu Jono menceritakan kisahnya dengan bapak Jono, saya tidak tahan untuk mengajukan sebuah pertanyaan.
"Ibu," saya mencuri tanya pada jeda ceritanya. "Saya boleh tanya?"
"Iya." Ibu Jono mempersilahkan.
"Selama hidup bersama bapak, saya pikir pasti pernah ada perbedaan
pendapat, atau mungkin sampai bertengkar. Nah, jika itu sedang terjadi,
bagaimana ibu dan bapak menyelesaikannya?"
Ibu Jono tersenyum menatap saya. Wajah beliau sumringah seperti segera ingin menjawab pertanyaan saya.
"Kami tidak pernah bertengkar mulut. Tidak pernah ada suara."
Saya mengernyitkan dahi. Maksudnya?
Ibu Jono paham tatapan saya.
"Kami bertengkar lewat surat."
"Surat?!" Mata saya membulat. Kening bergelombang.
"Jika sedang kesal, saya marah lewat surat. Saya simpan surat itu di
meja. Setelah itu bapak juga membalas dengan surat. Pokoknya, jika kami
sedang bertengkar, anak-anak tidak boleh ada yang tahu. Mereka harus
tahunya kami baik-baik saja," jelas ibu Jono.
"Yang paling
membuat saya kesal itu, jika bapak sedang marah, larinya pasti ke
makanan. Semua makanan yang ada di rumah pasti habis. Pernah kue satu
toples dilahap habis. Pernah juga makanan satu meja dihabiskan," lalu
ibu Jono tertawa lepas sebab kenangan ini.
"Waktu itu bapak
pernah kesal. Saya tahu dia sedang marah. Saya segera ambil sebagian
makanan yang ada di meja. Saya sembunyikan di lemari. Sebab jika tidak
begitu, semua makanan di atas meja pasti habis," ibu Jono tertawa lagi.
Ini adalah beberapa buah manis yang saya petik dari obrolan kami.
Seperti yang sudah saya tuliskan di depan. Pagi ini, ibu Jono laksana
mentari pagi. Kedatangannya menghangatkan pagi saya hari ini. Terima
kasih ibu Jono. Terima kasih bapak Jono. Dan terima kasih Allah, karena
telah menuntun hidup saya hingga bertemu dengan sepasang Romeo dan
Juliet-nya Indonesia. Saya tidak melebih-lebihkan permisalan ini ya.
Sebab ibu Jono sendiri yang mengatakannya pada saya.
"Jika sedang bergandengan bersama bapak. Warga selalu memanggil kami dengan sebutan Romi dan Yuli, hehehe..."
Demikian.
***