Jumat, 17 Desember 2010

Sang Mudabir (Bukan Senyum Biasa)


Alhamdulillah, satu lagi daftar mimpi yang tercoret di agendaku. Tiga bulan lalu aku resmi menjadi santri mukim di pesantren Daarut Tauhiid (DT) asuhannya Kyai Abdullah Gymnastiar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Aa Gym. Masih jelas dalam ingatan, batapa berharapnya dulu aku untuk menjadi santrinya Aa. Dulu, jika aku mengetahui, aku tidak pernah melewatkan ceramah Aa di televisi. Ceramah-ceramah Aa sangat menyentuh hati. Konsepan ceramahnya adalah manajemen qalbu, bagaimana cara kita untuk mengelola hati kita dengan baik.

“ Didalam tubuh manusia itu terdapat segumpal daging. Jika daging itu baik, maka baik pula perangainya, dan jika daging itu buruk, maka buruk pula perangainya. Ketahuilah, sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati,” ujara Aa dengan semangat di atas mimbar. Tangannya diangkat-angakat dengan tegas. Sorban putih terikat di kepalanya, membuata Aa terlihat lebih elegan saja. Ketika itu aku melihatnya di salah-satu stasiun televisi kenamaan Indonesia.

Dulu, yang aku tahu, ponpes DT itu berada di daerah yang bernama Geger Kalong, Bandung. Dan setahuku lagi, ponpes DT itu letaknya bersebelahan dengan sebuah Universitas yang ingin aku masuki, yaitu Uniersitas Pendidikan Indonesia.

SubhanAllah, DT bersebelahan dengan UPI !!! Ini benar-benar menarik. Jika nanti aku kuliah di UPI, aku akan nyantri di DT,” ucapku ketika masih tinggal di kampungn halaman, sebelum aku benar-benar mewujudkannya.

Setahun yang lalu, aku lolos SNMPTN masuk UPI, namun karena satu dan lain hal, aku urungkan terlebih dahulu untuk menjadi santri DT. Namun Alhamdulillah, tahun ini aku baru bisa mewujudkan salah-satu dari sekian banyak cita-citaku itu.

Ketika masa awal menjadi santri, aku sedikit kaget dengan peraturan DT. Bagaimana tidak, yang dulu numayan banyak waktu luang, sekarang hampir jarang aku mendapatkan waktu luang tersebut. Beberapa menit sebelum waktu subuh tiba, seluruh santri dibangunkan untuk persiapan sholat. Ba’da sholat subuh, ada materi sampai dengan jam enam pagi. Sehabis materi, kami langsung menuju asrama. Bagi santri yang jadwal kuliahnya jam tujuh, mereka berebut mendapatkan kamar mandi. Kamar mandi di asrama santri mukim ikhwam hanya ada lima kamar saja, bandingkan dengan jumlah santri yang mencapai lima puluh orang lebih. Bagi mahasiswa yang jadwal kuliahnya agak siangan, jam Sembilan atau sepuluhan, mereka mengerjakan pekerjaan yang lainnya, mencuci baju misalnya, namun, ada juga mahasiswa yang menggunakan waktu luangnya itu dengan hanya berleha-leha saja, aku pun pernah melakukan hal ini. Untuk jam kembali ke asrama, para santri memiliki waktu yang berbeda, bergantung kepada kesibukan mereka. Ada yang balik siang, ada yang balik sore, bahkan ada yang pulang hanya beberapa menit sebelum materi malam dimulai.

Malam harinya, ba’da sholat isya, ada materi sampai jam Sembilan malam. Materi yang diberikan berbeda-beda pada setiap malamnya. Ada materi tentang fiqih, wawasan keislaman, leadership, dan materi lainnya yang berhubungan dengan keislaman. Selepas materi, ada yang langsung tepar di atas kasur busa lipat karena kelelahan setelah beraktivitas, ada juga yang bergelut dengan tugas-tugas kuliahnya. Dalam seminggu, waktu libur yang kami dapatkan hanya satu hari saja, yaitu hari minggu, namun, tidak jarang kami tidak merasa benar-benar dalam hari libur karena menggunungnya untuk mengerjakan tugas-tugas dari peantren dan dari kuliahan. Ada banyak macam tanggapan dari para santri terkait hal ini. Ada yang bersyukur karena peraturan yang ketat seperti ini, mereka bisa disiplin dalam menggunakan waktu dan kesempatan yang dimiliki, ada yang kaget dan merasa sedikit keberatn, ada juga yang angin –anginan, kadang setuju, kadang juga tidak setuju dengan peraturan yang ada. Sejauh ini, sudah ada dua santri yang keluar. Mengenai alasan mengapa mereka keluar, aku tidak mengetahuinya, mungkin karena mereka ada kesibukan lain di luar.

Untuk perijinan, disini sangat-sangatlah tidak mudah. Harus jelas terlebih dahulu alasannya, dan itupun harus benar-benar penting. Jika memang masih bisa ditunda, jangan harap bisa dapat perijinan. Biasanya, setelah santri menyelesaikan pembicaraannya bermaksud meminta ijin, sang mudabir (pembimbing santri) mengulurkan tangannya sambil berkata,” Mana surat ijin dari lembaga/ organisasinya?”. Kalupun kita sudah memiliki surat ijin, proses perijinan belum selesai sampai disana. Sambil merogoh hape dari saku celananya, sang mudabir berujar,” Akang minta nomer hape pimpinan antum (kamu) !”. Setelah mendapatkan nomernya, sang mudabir langsung menelepon yang bersangkutan. Jika sudah ada penjelasan langsung dari pimpinan, perijinan pun langsung diberikan.

“ Silahkan akang memberi ijin kepada antum. Dan jangan lupa oleh-olehnya ya !” pinta Kang Hakmal (sang mudabir) sebelum santri pamit keluar kamarnya.

Ia, sang mudabir itu adalah kang Hakmal, nama lengkapnya Hakmal Purnama Sultan. Selain menjabat sebagai sang mudabir, beliau juga memiliki kesibukan yang sama dengan para santri, yaitu kuliah. Beliau kuliah di almamater yang sama denganku, dia mengambil jurusan kepelarihan olahraga. “ Akang ingin menjadi pelatih Persib, gemas rasanya melihat persib mainnya kalah mulu, akang akan angkat citra persib kembali seperti zaman keemasannya dulu,” ujar kang Hakmal ketika aku tanya mengapa dia memilih jurusan kepelatihan olahraga.

Pernah suatu hari, aku ijin meninggalkan asrama selama tiga hari karena ada rapat kerja nasional organisasi yang aku ikuti, yaitu Ikatan mahasiswa geografi Indonesia (IMAHAGI) yang bertempat di Yogyakarta. Setelah terlebih dahulu melakukan sedikit perdebatan, akhirnya kang Hakmal memberikanku ijin. Aku keluar kamar kang Hakmal dengan perasaan gembira karena telah mengantongi perijinan. Beberapa langkah dari kamar, aku berpapasan dan dikagetkan oleh sesosok makhluk yang tubuhnya ditutupi sebuah sarung kumal. Sarung itu menutupi tubuhnya. Orang itu terlihat seperti orang kampung yang kedinginan karena meronda menunggu maling.

“ Astagfirulloh…” ucapku reflek karena kaget. Kami hampir saja bertabrakan. Untuk beberapa detik kami terdiam saling memperhatikan wajah satu sama lain. Ternyata dia adalah Asoy, santri PPM (program pesantren mahasiswa) juga. Raut mukanya tidak keruan, seperti rasa dari permen nano nano, manis, asam, juga asin, pokoknya rame rasanya. Mimiknya seperti sedang sakit, tapi di sisi lain, seperti sedang pura-pura sakit juga. Entah mana yang benar, hanya Allah dan Asoy lah yang mengetahui.

Asoy adalah sebuah nama panggilan akrab dari Asep Yoga Nugraha. Entah bagaimana sejarahnya hingga dia dipanggil Asoy. Tapi, menurut pemaparan orangnya langsung, Asoy adalah sebuah akronim dari nama panjangnya. “ Asoy itu akronim nama saya kang Niko, ‘ Asep Yoga Nugraha’, AS-nya dari kata Asep, sedangkan OY-nya dari kata Yoga,” Asoy menjelaskan dengan gamblang. Aku mengernyitkan dahi. Kok bisa seperti itu ya??! Seandainya memang benar apa yang dikatakan Asoy, seharusnya kan bukan “Asoy”, tetapi “Asyo”. Tapi aku tidak mau ikut campur terlalu jauh, itu hak Asoy yang memiliki nama. Mau itu dipanggil Ujang, Utun, Kacong, Robet, David, Juned, Stepen, atau apapun, itu hak Asoy, aku tidak berhak ikut campur.

“ Mikuuuuumm….” Ucap Asoy sambil mengetuk pintu kamar kang Hakmal dengan keras. Sang mudabir mempersilahkan Asoy masuk. Asoy masuk masih dengan sarung kumal yang menutupi tubuhnya.

Aku penasaran dengan maksud Asoy menemui kang Hakmal. Oleh Karena itu aku urungkan niat untuk segera kembali ke kamar. Diam-diam aku duduk di kursi tamu yang letaknya tidak jauh dari kamar mudabir. Aku bermaksud mendengarkan pembicaraan mereka. Tidak jelas yang dapat aku dengar. Beberapa menit menunggu, akhirnya Asoy keluar juga. Wajahnya tampak cerah. Senyum lebar tersungging di bibirnya. Tangannya dia kepalkan. Mulutnya menggumamkan sesuatu, tidak jelas apa yang dia ucapkan, tapi, jika dilihat dari gerakan bibirnya, sepertinya dia mengucapkan kata “yes”.

Tanpa menutup pintu kamar terlebih dahulu, Asoy berjalan menghampiriku. Dia duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi yang aku duduki. Asoy duduk membelakangi kamar mudabir. Tanpa diminta, Asoy menceritakan kaberhasilannya bernegosiasi hingga mendapatkan perijinan untuk tidak masuk materi dari kang Hakmal.

“ Kalau masalah lobi melobi, Asssoy rajanya…..” ujar Asoy membanggakan diri. Tangannya dia tepuk-tepukan pada dada yang dibusungkan. Asoy bercerita dengan menggebu-gebu, namun dia tetap menahan-nahan suaranya agar tidak kedengaran oleh kang Hakmal. “ Apalagi lawannya hanya kang Hakmal, kecil…..” Asoy manambahkan. Bersamaan dengan mengucap kata “kecil”, Asoy mangadukan kelingkingnya dengan ibu jari.

Asoy melihat-lihat suasana sekeliling. Dari tingkahnya, sepertinya dia akan membocorkan rahasia besar kepadaku. Badannya sedikit dicondongkan padaku. Jari telunjuknya ditempelkan di depan bibirnya. “ SSsssstttt… jangan bilang siap-siapa ya kang! Rahasia besar ini hanya akang yang saya beritahu,” bisik Asoy.

Asoy lebih mencondongkan tubuhnya padaku. Dia bersiap untuk mengucapkan sebuah rahasia besar. Namun, MasyaAllah, tiba-tiba kang Hakmal keluar dari markasnya. Dia melihat aku dan Asoy dengan tatapan curiga. Kang Hakmal mengisyaratkan aku untuk tetap diam dengan jari yang ditempelkan pada bibirnya. Aku bingung dengan apa yang akan aku lakukan. Memberi tahu Asoy tentang keberadaan kang Hakmal kah, atau diam saja menuruti isyarat dari sang mudabir. Kang Hakmal berjalan mendekat, posisinya sekarang tepat berada di belakang Asoy. Dia berdiri tenang sambil melipatkan kedua tangan di dadanya.

“ Was wes !@$#os was^%%& wes&^%$%^ woss&**^%%s WEEWS#@&^%***,” Asoy berbicara panjang lebar. Aku tidak bisa mendengarkan apa yang sedang Asoy ceritakan. Aku tertekan karena kehadiran kang Hakmal. Tapi, aku masih tatap bisa membaca emosi yang sedang Asoy rasakan. Sepertinya dia sedang merasa gembira.

“ He he he he…” Asoy tertawa. Kepalanya mengangguk-ngangguk. “ Was %^^#*((() Wos **&^*^%%%#@,” Asoy melanjutkan ceritanya, namun aku tetap masih belum bisa mendengarnya. Raut wajah kang Hakmal berubah menjadi merah. Kang Hakmal memegang pundak Asoy. Sambil terus bercerita Asoy menyingkirkan tangan yang memegangi pundaknya.

“ Was(**&##%% Wes %^$##@!@@@ wos,” semakin semangat Asoy bercerita. Kang Hakmal kembali memegangi pundak Asoy. Asoy kembali mencoba menyingkirkan tangan di pundaknya, namun kali ini tidak bisa, karena tangan kang Hakmal dengan kuat mencengkeramnya. Asoy memutarkan kepalanya seratus delapan puluh derajat ke belakang bermaksud melihat siapa orang yang ada di belakangnnya. Kedua orang itu saling menatap satu sama lain. Aku tidak bisa melihat bagaimana mimik muka Asoy, yang bisa aku lihat hanyalah wajah kang Hakmal yang tersenyum melihat wajah Asoy. Namun, senyumnya ini bukan senyum biasa. Senyumnya tidak bisa ditebak. Misterius. Emosi apa yang sedang dirasa kang Hakmal.

Asoy memutar kembali kepalanya. Kali ini aku bisa menatap jelas wajah Asoy. Wajahnya pucat tidak berwarna, seperti wajah scoby doo yang sedang melihat dedemit. Kang Hakmal mengisyaratkan Asoy untuk masuk kamarnya. Tanpa memiliki kekuatan untuk menolak, Asoy berjalan dengan lesu menguntit kang Hakmal menuju kamar. Asoy berjalan dengan tatapan menunduk. Dia menutupkan kembali kepala dengan sarung kumalnya yang tadi terlepas. Aku terus memperhatikan Asoy, sampai dia masuk kamar dan pintunya tertutup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar