Sabtu, 23 April 2011
Ghurfah Lima Belas (Mimpi-Mimpi Kami)
Hari itu, darussalam layaknya sebuah tempat pengungsian. Barang-barang tergeletak di sembarang tempat. Lemari berjejer tidak teratur di aula dan di lapangan futsal. Para santri hilir mudik mengangkat barang-barang mereka masing-masing. Beberapa orang santri tergeletak rebahan di atas tumpukan kasur lipat dekat jejeran lemari, mungkin karena saking lelahnya mereka telah mengangkat-angkat barang. Satu dari santri yang tepar itu adalah Hanif, teman kamarku yang baru. Hanif adalah santri yang paling rajin dalam urusan beres-beres, beres-beres apapun itu, dari merapihkan buku-buku yang tersimpan tidak ditempatnya, menyapu lantai yang kotor, menyuci peralatan makan yang menumpuk di dapur, sampai menyikat habis makanan yang menganggur, atas persetujuan yang punya makanan terlebih dahulu tentunya. Namun, di darussalam, kasta Hanif masih dibawah kastanya bang Afgan. Tidak ada yang melampaui kastanya bang Afgan dalam urusan bersih-bersih.
Kenapa aku bisa tahu Hanif rajin bersih-bersih? Jawabnya sangat simpel, karena kami tinggal di asrama yang sama. Meskipun kami belum satu malampun tidur di kamar yang sama, prilaku Hanif sehari-hari sudah lebih dari cukup untuk aku mengenal dia.
Santri yang menyabet gelar juara kedua dalam perlombaan cepet-cepetan membereskan barang masing-masing adalah Hanif. Siapa juara satunya? Yup, jawabannya adalah bang Afgan. Itulah mengapa kedua orang itu bisa istirahat lebih cepat dari yang lain.
“ Bang Afgan, Nif, apa rahasianya hingga bisa istirahat lebih awal dari yang lain?” tanyaku pada bang Afgan dan Hanif sesaat selepas semua barang-barangku dipindah dari kamar tiga belas ke kamar lima belas. Ketika itu mereka sedang duduk santai di ruang tamu, sambil menyeruput teh hangat.
“ Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Itulah rumusnya,” jawab bang Afgan datar. Dia menyeruput lagi teh hangatnya.
“ Hubungannya dengan istirahat lebih dulu apa Bang?” tanyaku lagi.
Hanif menyedot teh bagiannya. Dia menaruh cangkirnya di samping cangkir bang Afgan, kemudian mengarahkan badannya kehadapanku. “ Begini kang Niko. Akang pengen tahu mengapa saya dan bang Afgan bisa membereskan barang kami dengan cepat, kemudian bisa istirahat lebih awal dari yang lain, termasuk juga kang Niko?” ujar Hanif sedikit lebih serius dari bang Afgan. Aku menganggukan kepala pertanda mengiakan.
“ Coba akang lihat mereka !” Hanif menunjuk Iqbal dan Yoga. Aku mengarahkan pandanganku pada mereka.
“ Memang kenapa dengan mereka Nif?” aku penasaran.
Hanif lebih mencondongkan badannya kepadaku.” Coba akang perhatikan mereka! Apa yang mereka lakukan?”
Aku melihat Yoga, lalu menatap Iqbal, kemudian kembali memandang Hanif,” Yoga sedang main futsal, sedangkan Iqbal sedang pusing menggeser-geser lemarinya mencari posisi yang pas,” jawabku sekenanya.
“ Nah !!!! disanalah letak kesalahan mereka. Mereka tidak bekerja keras dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Mereka kurang serius. Yoga menunda-nunda tugasnya demi main futsal, sedangkan Iqbal, strategi yang dia gunakan salah, dia lebih mendahulukan posisi dari pada selesainya pekerjaan dia. Padahal kan, seharusnya Iqbal membereskan terlebih dahulu barang-barangnya, baru kemudian setelah itu mengatur posisi yang baik menurut dia,” terang Hanif panjang lebar.
“ Kemungkinan besar, jika mereka tidak seperti itu, mereka sudah menyelesaikan pekerjaan mereka, dan mungkin bisa santai sambil menyeruput teh nikmat ini bareng kita disini, hehe....” Hanif merebahkan badannya pada sandaran kursi. Dia menyeruput lagi tehnya. Sementara bang Afgan sedang mengelapi tumpahan air teh di meja. Tadi, ketika mengambil cangkir, Hanif sedikit terlalu cepat, hingga ada air teh yang mengeclok tumpah ke meja.
“ Begini kang Niko. Katakanlah ada dua buah tim. Tim pertama dan tim kedua. Kedua tim itu berlomba dalam menyelesaikan pekerjaan yang sama. Tim yang pertama serius dan bekerja keras dalam menyelesaikan perlombaan itu, mereka mengerahkan semua kemampuan mereka, hingga mereka merasa kelelahan. Sementara tim yang kedua menunda-nunda pekerjaan dan berleha-leha dalam menyelesaikan lomba tersebut. Singkat cerita, juara pada perlombaan itu adalah tim pertama. Mereka mendapatkan hadiah yang banyak, hingga membuat perasaan mereka menjadi gembira, karena saking gembiranya, mereka lupa dengan kelelahan fisik yang sedang mereka alami. Sementara tim kedua, secara fisik mereka memang tidak merasa lelah, tapi, apakabar dengan perasaan mereka? Mereka menyesal dengan apa yang telah mereka perbuat, mereka menyesal karena telah berleha-leha dalam menyelesaikan perlombaan itu, mereka pulang dengan tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tidak mendapatkan hadiah. Mereka pulang dengan tangan kosong,” cerita Hanif serius. Aku khusuk mendengarkannya.
“ Coba kita ibaratkan Tim yang pertama adalah Saya dan bang Afgan, sementara tim yang kedua adalah Iqbal dan Yoga. Masuk gak tuh kang? Masuk ya? Itulah hubungan antara pepatah yang dikatakan bang Afgan dengan cepatnya kami menyelesaikan kerjaan kami hingga bisa istirahat lebih awal,” terang Hanif.
“ Oohhhh....” aku manggut-manggut takjub. Kulihat bang Afgan. Dia tergeletak lemas di kursi yang ukurannya panjang. Wajahnya ditutupi dengan majalah islami. Sementara yang lain masih sibuk dengan pekerjaan mereka memindahkan barang-barang mereka.
***
Bumi terus berotasi, seiring dengan itu, dia ber-thawaf mengelilingi matahari. Gelap silih berganti dengan terang. Rebulan selalu setia mendampingi kemanapun Bumi pergi, tak pernah terbersit di hatinya untuk meninggalkan kekasihnya itu. Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada malam-malam di bumi jika bulan pergi menghianati bumi. Dunia pasti kiamat. Pasti kiamat.
Malam ini, tahun hijriah menginjak bulan baru. Rembulan hanya menampakan sebagian kecil tubuhnya. Dia seperti tersenyum mencoba merayu bumi. Sementara di belahan bumi lain, sang raja siang bersinar dengan sangat terik. Pancaran cahaya matahari menerangi setengah bagian bumi lain itu. Sedangkan disini, dibelahan bumi dimana aku hidup, kondisi dalam keadaan gelap. Penduduknya hanya memanfaatkan sedikit cahaya matahari yang dipantulkan melalui rembulan, juga dengan memanfaatkan mahakarya ciptaan anak Adam, yaitu listrik.
Para santri berkumpul di aula asrama. Perhatian tertuju kepada ustad Hamdani. Acara apalagi kalau bukan malam evaluasi. Tumpukan buku mutabaah tersusun rapih di atas meja kecil di hadapan ustad Hamdani. Satu persatu buku itu dia amati. Hampir semua santri yang bukunya sedang diamati, wajahnya berubah menjadi pucat, hanya beberapa santri saja yang wajahnya adem-ayem. Pada episode malam ini, Yoga adalah satu dari sedikit orang itu. Dengan gagahnya dia duduk paling depan, berhadapan langsung dengan ustad hamdani.
“ Yoga !” ucap ustad Hamdani sambil membuka lembar demi lembar buku mutabaah Yoga.
“ Siap ustad,” jawab Yoga tenang. Dia duduk dengan sangat tegap.
“ Bagus, progresnya baik. Istiqomahin ya !” pesan ustad Hamdani pada Yoga.
“ Siiiiap ustaaaad,” tanggap Yoga dengan penuh semangat. Tangan kanannya mengelus-ngelus dadanya.
Memang, akhir-akhir ini kualitas ibadah Yoga sedang bagus-bagusnya. Tidak jarang, ketika aku terbangun pada sepertiga malam terakhir hendak ke toilet. Aku mendapati dia sedang bermunajat dalam do’anya. Bahkan, yang membatku terheran-heran, Yoga menangis diantara do’a yang dia panjatkan. Hal semacam itu tidak pernah terbayangkan oleh diriku sebelumnya, karena selama ini, aku mengenal dia sebagai orang yang gokil. Seringkali dia nyeletuk tiba-tiba diantara kerumunan banyak orang. Ketika penghuni kamar lima belas sedang serius membicarakan sesuatu yang serius, dia nyeletuk. Ketika ada kumpulan dengan kang Hakmal, dia nyeletuk. Ketika ada evaluasi dengan ustad Hamdani, dia nyeletuk. Pun, ketika ada materi dari para asatidz DT, Yoga tidak lepas dari celetukan-celetukannya. Namun, tidak sedikit celetukannya itu membuat kami yang mendengar jadi tertawa. Tapi memang, tidak jarang juga yang mendengarnya merasa ilfeel karena celetukannya itu geje, alias gak jelas atau gak nyambung. Terlepas dari semua itu, dia orangnya memang kocak. Bercanda sepertinya sudah mendarah daging di dirinya.
Kemarin, ketika kami, para penunggu kamar lima belas saling bertanya satu sama lain tentang hobi masing-masing, mencoba lebih menyatukan jiwa kami, Yoga mengeluarkan sabdanya.
“ Hobi ente apa Ga?” Tanya Farhan.
“ Hobi saya? Apa ya!?” Yoga menatap langit-langit kamar, seakan ada contekan disana. Kami penasaran menunggu ucapan Yoga,” oooooh iya, hobi saya memancing,” lanjut Yoga.
“ Emang ente sering mancing dimana Ga?” Tanya Farhan lagi.
“ Sayamah orangnya fleksibel Han, saya bisa mancing kapan saja dan dimana saja,” jawab Yoga enteng.
“ Kok bisa begitu????” Farhan penasaran. Aku ikut penasaran. Mungkin begitu juga dengan Hanif dan Iqbal. Kami menatap wajah Yoga lekat-lekat.
“ Soalnya saya suka memancing keributan, haha……”
Kecuali Yoga, wajah kami mengkerut.
***
Kata orang kebanyakan, orang-orang Makassar itu tipikalnya keras. Dulu, ketika aku belum mengenal salah-satu dari jutaan orang Makassar, aku percaya-percaya saja. Tapi, berbeda setelah aku mengenal Iqbal. Iya, dia asli dari Makassar. Kedua orang tuanya Makassar tulen. Iqbal anak kedua dari lima bersaudara. Kakaknya adalah seorang penerbang, tugasnya di Yogyakarta. Sementara adik-adiknya masih duduk di bangku sekolah. Mungkin memang benar, orang Makassar itu keras, tapi sepertinya tidak semua. Itulah kesimpulanku mengenai orang Makasar setelah mengenal Iqbal.
Untuk urusan ilmu fiqih, mungkin Faqih jagonya. Untuk wawasan keislaman, mungkin bang Afgan masternya. Tapi, untuk urusan tauhid, aku berani mengatakan kalau Iqbal lah jawaranya. Allah memang adil, dengan memberikan keahlian yang bereda-beda kepada setiap orang. Inilah indahnya perbedaan. Dengan adanya perbedaan, secara tidak langsung, Allah menginginkan hambaNya untuk bersilaturahmi. Beberapa buktinya adalah sebagai berikut: adanya ekspor-impor itu karena perbedaan produksi yang dihasilkan pada negara yang melakukan kerjasama itu. Adanya perbedaan pengetahuan antara guru dan murid, maka menghasilkan munculnya kelas-kelas pembelajaran. Adanya perbedaan kebutuhan, maka muncul istilah barter, dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
“ Itu terjadi atas ijin Allah Ko, pasti ada hikmah dibalik semua itu,” ujar Iqbal setelah mendengar ceritaku.
“ Semuanya telah ditulis di kitab lauh mahfdz Nif, jadi kita jangan terlalu senang atau sedih jika mengalami sesuatu peristiwa, bersyukurlah kepada Allah jika yang kita alami itu hal yang baik, dan bertobatlah kepada Nya jika yang kita alami adalah hal yang buruk, karena pasti, hal buruk itu terjadi karena ada dosa di diri kita,” nasihat Iqbal pada Hanif beberapa waktu lalu.
“ Jangan pernah bersandar kepada makhluk Ga, bersandarlah hanya kepada Allah, maka jiwa kita akan tenang, hidup kita akan lurus, kita akan selalu semangat dalam menjalani hidup ini, semuanya pasti akan terasa cerah, yakini itu Ga,” ucap Iqbal ketika Yoga menceritakan masalahnya.
“ SubhanAllah, antum sangat baik Han, pasti Allah membalas kebaikan antum dengan yang lebih baik,” selepas Iqbal dipinjemi laptop oleh Farhan.
***
Farhan. Nama lengkapnya Muhammad Ibnu Farhan. Mahasiswa jurusan ilmu komputer, UPI. Dia berasal dari Indramayu. Orangnya pendiam, dia tidak banyak bicara. Mungkin dia penganut faham ‘Diam Itu Emas’. Perawakannya paling kurus jika dibandingkan dengan penghuni kamar lima belas lainnya. Farhan orang pertama yang selalu mengingatkan untuk segera solat berjamaah di mesjid jika waktu solat telah tiba.
“ Ayo, ayo, ayo solat dulu. Sebentar lagi pintu asrama akan dikunci tuh sama kang Hakmal. Nanti aja dilanjutkan lagi ngobrolnya. Ayo, ayo, ayo,” ajak Farhan pada kami yang masih asyik ngobrol.
Menurut penuturan orangnya langsung, dia sangat menggilai film. Kegilaan ini timbul karena semasa kecil dia sering menonton sinetron di rumahnya. Banyak file film yang di save di laptopnya, dari film hollywood, film bollywood, film mandarin, juga tidak ketinggalan film-film lokal Indonesia.
Ada tiga hal yang dilakukan Farhan jika sedang mengahadapi laptop. Ketiga hal itu aku sebutkan satu persatu berdasarkan tingkat keseringannya. Pertama adalah menonton film. Berbeda dengan santri lainnya yang suka nonton bareng sambil teriak-teriak, Farhan lebih suka nonton sendiri. Jika hendak menonton suatu film, terlebih dahulu dia mencari posisi yang enak menurut dia. Kemudian dia pasang head phone sebesar kerupuk kaleng di telinganya. Kalau sudah begitu, Farhan seolah memiliki dunia sendiri. Seribut apapun orang disekitarnya, dia tetap asyik dengan ritualnya itu. Hanya mimik wajahnya yang bisa aku perhatikan. Jika dia ketawa-ketawa sendiri, mungkin dia sedang menonton film komedi. Jika mukanya meringis, mungkin dia sedang menonton film sedih. Jika dia senyum-senyum sendiri, hampir dipastikan Farhan sedang menonton film romantis. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Kedua adalah bermain game. Penyakit santri yang paling dikhawatirkan oleh para ustad adalah game. Namun gawatnya, ada beberapa santri yang menyandang gelar gamer sejati. Biasanya, predikat itu disandang oleh santri yang memiliki laptop. Namun, Farhan memang selalu berbeda dari yang lain. Seperti halnya menonton film. Bermain game pun dia lebih suka munfarid dibandingkan dengan jamaah. Kalau santri lain lebih suka bermain game bergerombol di salah-satu kamar sambil teriak-teriak hingga tidak jarang mengundang sang mudabbir, Farhan lebih suka menyendiri dipojokan dengan tidak lupa mengenakan head phone sebesar kerupuk kaleng kesayangannya.
Terakhir adalah mengerjakan tugas. Untuk yang satu ini, aku tidak bisa berbicara banyak, karena hanya sesekali saja aku memergoki Farhan sedang mengerjakan tugas. Jika kutemui Farhan sedang menghadapi laptop tanpa head Phone, kemudian salah-satu tangannya sambil menggaruk-garuk kepalanya, hampir dipastikan, Dia sedang mengerjakan tugas.
***
Impian
Kami, penghuni kamar lima belas, memiliki perbedaan-perbedaan. Perbedaan daerah asal, perbedaan hobi, perbedaan selera calon istri, perbedaan karakter, perbedaan selera makan, perbedaan gaya tidur, pun dengan cita-cita kami masing-masing. Jika ada sedikit waktu senggang dan kami sedang berkumpul, topik pembicaraan kami tidak jauh-jauh dari soal calon istri dan atau mimpi. Tidak bosan-bosan kami membicarakan hal itu, meskipun telah beberapa kali kami utarakan.
“ Kita harus sering-sering menggumamkan impian kita, karena itu modal awal untuk kita bisa mewujudkan mimpi kita. Semakin sering kita mengucapkannya, maka akan semakin semangat kita untuk meraihnya. Yakini itu! Selain itu juga, hal itu akan membuat kita malu pada diri sendiri, jika kita sedang berleha-leha dalam menggunakan waktu. Jika hal tersebut sedang terjadi pada diri kita, maka akan dengan otomatis hati kita akan berbicara pada diri kita ‘Bagaimana mungkin saya akan meraih impian saya jika saya menggunakan waktu saya dengan hal yang sia-sia’. Oleh karena itu, mari kita pekikan sekali lagi apa impian kita, kemudian kita hujamkan pada hati kita yang paling dalam,” sabda Iqbal dengan semangat. Mulut Yoga mangap-mangap mendengarkan perkataan Iqbal. Hanif merem-melek matanya. Sementara Farhan kepalanya manggut-manggut bak boneka beruang yang sering dipasang di depan mobil.
“ Fren, coba lihat awan putih itu!” Yoga menunjuk salah-satu awan di langit. Melalui jendela, kami melihat awan yang ditunjuk Yoga.
“ Awan itu bentuknya seperti negeri Singapura. Saya yakin, suatu hari nanti saya akan menginjakan kaki saya kesana,” yakin Yoga.
Iqbal lain lagi gaya pengungkapan impiannya.
“ Kawan, saya berasal dari sebuah kampung pinggiran di Makassar. Tidak banyak orang sukses di daerah saya. Karenanya, saya ingin menjadi satu dari orang yang sedikit itu. Saya ingin mengangkat harkat serta martabat keluarga dan daerah saya. Sejauh ini, dengan berkuliahnya saya ke Bandung, penduduk kampung saya memprediksi saya akan menjadi orang besar. Namun, harumnya nama saya itu baru sebatas pada orang-orang di kampung saya. Jika diibaratkan, saya ini baru bisa menjadi setangkai bunga, yang harumnya hanya bisa dinikmati oleh orang-orang disekitar saja. Saya tidak hanya ingin sampai disitu saja, saya ingin orang yang tidak mengenal saya juga bisa bangga dengan prestasi saya. Saya tidak hanya ingin sampai menjadi setangkai bunga saja, saya ingin menjadi bintang, yang terangnya bisa sampai ke bumi dan seluruh penduduk dunia dapat melihatnya,” teriak Iqbal, tangannya sambil menunjuk ke atas langit.
Mendengar ucapan Iqbal, nafas kami naik-turun, yang paling ekstrim adalah Hanif, dada dia kembang-kempis, matanya tajam bak mata elang yang sedang mencari anak ayam. Saya juga demikian, saya juga dari kampung di pedalaman Lampung. Saya juga ingin seperti Iqbal, atau bahkan lebih. Saya ingin menjadi bintang, bintang paling terang dimalam hari. Kurang-lebih mungkin seperti itu suara hati Hanif. Hanif sangat tergila-gila pada negara new zealand. Hampir setiap hari dia menggumamkan kata new zealand.
“ Semuanya, dengarkan baik-baik apa yang akan saya omongkan,” suatu hari Hanif meminta perhatian teman-teman kamarnya. Ketika itu kami sedang berkumpul,” Kelak, entah itu esok, lusa, bulan depan, tahun depan, atau kapanpun itu, saya akan menginjakan kaki saya di tanah impian saya, yaitu new zeland. Saya akan bikin rumah disana. Saya akan buat rumah makan disana. Saya akan menetap disana,” Hanif berdiri dan tangannya sambil menunjuk ke arah tenggara. Rumah makan? Iya! Hanif memang suka dengan dunia kuliner. Untuk lebih memperdalam ilmunya, dia berkuliah dengan mengambil jurusan Manajemen Industri Katering (MIK), di Universitas Pendidikan Indonesia.
“ Satu lagi. Saya akan menikah dengan orang sana,” Hanif menambahkan. Aku, Yoga, Iqbal, tidak ketinggalan juga Farhan, menatap lekat-lakat mata Hanif. Empat lawan satu. Tidak sepatah katapun yang keluar. Tapi aku tahu apa yang mereka pikirkan, karena aku pun memikirkan hal itu. Kamu yakin Nif ???? menyadari dia diteror teman-temannya, dia meralat ucapannya,” Eh, gak ding, dengan orang Indonesia aja. Tapi tetep, saya akan bawa bidadariku ke sana.”
Farhan berbeda lagi. Dia selalu berdalih kalau mimpinya lebih tinggi dari mimpi yang lain. Dia menganggap mimpi kami (red: Aku, Hanif, Iqbal, dan Yoga) masih rendah. Kami dianggap kurang berani dalam mengukir mimpi.
“ Kalau mimpi itu jangan tanggung-tanggung, yang besar dan tinggi sekalian. Toh, kita tidak dituntut untuk membayar mimpi kita itu kan?! Maka bermimpilah yang sangat tinggiiiiiiii,” ujar Farhan dengan raut wajah tetap datar. Misteri itulah yang sampai sekarang belum terpecahkan. Setegas dan se-ekstrim apapun dia berkata, wajahnya akan selalu terpasang datar.
“ Mimpi kalian masih terhitung rendah jika dibandingkan dengan mimpi saya. Mimpi saya sangat tinggi. Tingginya hingga menembus awan, melewati bulan dan bintang di angkasa. Saking tingginya mimpi saya itu, saya sendiri tidak bisa melihat dan membayangkan apa mimpi saya,” cerocos Farhan.
Sementara aku, aku hanya menuliskan beberapa nama orang. Nama-nama itu aku tuliskan pada kertas putih. Aku tulis dengan spidol ukuran besar. Aku tempelkan kertas itu di pintu lemariku. Sengaja aku tempelkan disana, agar setiap hari aku bisa melihat tulisan di kertas tersebut, karena dengan melihat tulisan itu, semangatku untuk meraih mimpi insyAllah akan selalu terjaga. Pada kertas putih itu, tertulis nama-nama sebagai berikut: Marah Rusli. Buya Hamka. Pramoedya Ananta Toer. Putu Wijaya. Arswendo Atmowiloto. Hilman Hariwijaya. Gola Gong. Habiburrahman El Shirazy. Andrea hirata. Juga aku selipkan nama Niko Cahya Pratama.
Jumat, 22 April 2011
Muliakan Mereka
Dengan dalih ada tugas, aku meminta izin untuk tidak ikut materi ma’rifatulloh malam jum’at ini, pada kang Hakmal. Memang benar ada tugas, tapi bukan tugas kuliah atau tugas dari ustad DT, melainkan hanya tugas pribadi, yaitu menyelesaikan proyek novelku. Targetku untuk proyek ini adalah tiga ratus halaman. Sejauh ini aku baru menyelesaikan sekitar tujuh puluh halaman. Lumayan.
Selepas shalat isya, aku langsung pasang posisi di pojokan kamar. Alhamdulillah, Farhan menitipkan laptopnya untuk aku jagai. Sore tadi dia izin pulang kampung karena ada urusan keluarga yang mendadak. Jadi, mungkin dua atau tiga hari kedepan, aku dapat dengan tenang melanjutkan tulisanku.
“ Ko, saya nitip laptop, tolong jagain ya, kalau mau pake, pake aja, trus, kalau yang lain mau pinjem, pinjemin aja, tapi, kalau sudah dipake, langsung dirapihin dan disimpen lagi di lemari saya ya,” ujar Farhan sebelum dia pulang kampung.
“ Siap Han, oya, kalau saya pakenya sampe larut malam gimana? Boleh?” tanyaku. Farhan hanya menjawab dengan anggukan pertanda dia menyetujuinya.
Biasanya, kalau aku lagi menulis dengan media laptop, aku selalu sambil mendengarkan musik pake head phone, tapi kali ini tidak, bukan musik yang menemaniku, melainkan radio dari hapeku. Aku pasang volume yang pas, tidak terlalu keras juga tidak terlalu pelan. Agar aku bisa nyaman dalam menulis sekaligus nyaman dalam mendengarkan ilmu yang disampaikan oleh ustad Dudi. Beliau mewakili Aa Gym yang malam ini tidak bisa hadir karena sedang melaksanakan umroh.
SubhanAllah, sepertinya malam ini Allah merestuiku untuk menulis. Buktinya adalah situasi dan kondisi yang sangat memanjakan imajinasiku bisa meledak-ledak. Hujan turun dengan sangat deras. Sesekali petir meledak-ledak. Ketika petir itu meledak, radio di hapeku agak sedikit tidak jelas suaranya, mungkin karena gelombangnya terganggu dengan keberadaan petir tersebut. Angin terasa lebih dingin dari biasanya. Sengaja aku sedikit membuka jendela kaca yang bisa dibuka-ditutup, agar angin bisa masuk ke kamar dengan leluasa. Supaya tidak terlalu dingin, aku mengenakan jaket tebal warna hitam. Di belakang jaket itu terdapat tulisan PERSERANG. Jaket itu aku dapatkan sekitar tiga tahun yang lalu, ketika aku masih menggeluti dunia persepak bolaan. Ketika itu aku masuk tim perserang dan mengikuti kompetisi nasional tingkat usia dibawah delapan belas tahun.
Malam itu, aku menulis dengan sangat lancar. Jemariku tiada henti menghentak-hentakkan keyboard laptop. Sesekali aku tersenyum mesem karena lawakan ustad Dudi di sela-sela ceramahnya. Tidak jarang aku berhenti mengetik ketika mendengar ustad Dudi membahas suatu hal yang menurutku sangat penting. Dari pembukaan, ceramah ustad Dudi terdengar biasa-biasa saja. Namum, menjelang pertengahan, aku mulai tergoda. Beliau membahas bab munakahat, dari sisi persiapan pernikahan, bagaimana agar mendapatkan jodoh yang baik, bagaimana caranya memperlakukan wanita dengan baik, sampai pelajaran ketika kelak berkeluarga, yaitu seperti bagaimana hubungan suami dengan istri dan anak dengan orang tua yang baik.
Riuhan jemaah pengajian terdengar jelas di radio manakala ustad membahas hal-hal yang sedikit sensitif. Terkadang beliau menyinggung kaum Adam, juga begitupun terhadap kaum Hawa. Jika lelaki yang disinggung, jamaah wanita hanya sedikit tertawanya, namun berbeda dengan para laki-laki, jika tiba saatnya ustad menyinggung kaum perempuan, seakan tanpa ampun kaum Adam tertawa dan bersorak dengan sangat keras. Aku terbuai oleh ceramahnya ustad Dudi.
“ Untuk para laki-laki, hati-hati saat berinteraksi dengan wanita. Jangan sekali-kali memberikan perhatian lebih, apalagi perhatiannya itu hanya perhatian kosong. Ingat! Hati wanita itu lembut dan sensitif. Bisa-bisa, karena ulah kita yang tidak bertanggung jawab dengan hanya memberikan perhatian kosong, hidup mereka jadi berantakan. Jika sudah jatuh, wanita akan sangat sulit untuk bangkit kembalinya,” peringatan ustad Dudi kudengar lewat radio di hapeku.
“ Hati seorang wanita sangat mudah sekali tergores. Jika sudah tergores, hidup mereka akan hancur. Kasihanilah mereka dengan cara memperlakukan mereka sebaik mungkin. Perlakukan mereka layaknya kamu memperlakukan ibu dan saudara perempuanmu, karena mereka sama-sama wanita. Coba bayangkan! Apakah kita rela jika ada seorang laki-laki yang memperlakukan ibu atau saudara perempuan kita dengan tidak baik, atau bahkan menghancurkannya. Apakah kita rela!”
Hatiku tersentak. Sungguh-sungguh tersentak. Apakah selama ini aku pernah melakukan hal yang telah diucapkan ustad Dudi? Secara sengaja ataupun tidak, apakah aku pernah, atau sedang melakukannya? Aku terdiam di hadapan laptop. Jemariku berhenti mengetik. Wajahku tertunduk lesu. Adakah aku melakukan hal yang demikian? Adakah aku melakukan hal yang demikian??!! Semenjak ustad Dudi mengucapkan perkataan yang membuat hatiku terpukul, tidak satu tuts keyboard pun yang aku tekan. Aku termenung hingga ceramahnya berakhir. Hingga ceramahnya benar-benar berakhir.
Penyiar radio MQ FM memutar sebuah lagu islami. Lagu itu mengalun dengan sangat merdu. Melodinya seolah menyelinap ke setiap labirin-labirin hatiku, mencoba untuk menghibur kegelisahan yang aku rasakan. Namun, di pertengahan, lagu itu terputus, hapeku bergetar, ada SMS masuk. Aku pandangi layar hapeku. Entah mengapa, berat rasanya untuk aku membuka SMS masuk itu. Belum sempat kubuka, ada SMS lagi yang masuk. Satu, dua, tiga lagi SMS masuk. Kulihat, ke empat SMS itu datangnya dari teman-temanku. Mereka semua perempuan. Satu kawan semasa SMP, dan sisanya teman satu program santri DT, yaitu PPM. Kawan SMP ku menanyakan kabar diriku, sementara tiga SMS tersisa, inti dari isinya sama, yaitu menasihatiku.
( ... kang Niko, bijak-bijaklah dalam bertindak, hati-hati dalam memberikan perhatian pada akhwat ya... )
( ... faham dengan kesimpulan ceramah ustad tadi? Lain kali, jangan kirim puisi pada akhwat lagi ya. Apalagi jika akang tahu akhwat itu menaruh perasaan pada akang. Meskipun SMSnya itu biasa-biasa saja, hati-hati ya kang... )
( ... mohon maaf sebelumnya, saya SMS seperti ini demi kebaikan semuanya. Tolong jaga hijab kalau berinteraksi dengan para akhwat. Dengan semuanya, dengan akhwat manapun...)
Rabu, 13 April 2011
Misi Rahasia
Sedikit terlambat memang, tapi ini harus dan pasti terjadi. Adalah pergantian kamar dan teman sekamar. Seharusnya ini dilaksanakan pada akhir semester pertama, namun, karena ada satu dan lain hal, baru sekarang (pertengahan bulan ke tujuh, atau awal semester kedua) baru bisa dilaksanakan. Sontak, semua penghuni darussalam merasa kaget bukan kepalang. Mengapa tidak, enam bulan penuh, tidur, makan, becanda dan berantem di satu atap yang sama, bukan hal yang mudah untuk dipisahkan satu sama lain. Begitupun dengan diriku. Meskipun teman-teman satu kamarku tidak ada yang waras, atau dengan kata lain orangnya sinting semua (pengecualian diriku, he...). Tapi kami sudah ada ikatan. Ikatan yang tidak kasat mata dan hanya bisa dilihat oleh mata hati. Para aktivis sering menyebutnya dengan nama “ukhuwah”.
Ada dua tipe kamar di asrama darussalam. Pertama adalah tipe hangat. Disebut tipe hangat karena suhu di kamar ini terasa sangat hangat, tidak heran, karena letak kamar-kamar tipe ini adalah di sekitar aula. Kamar-kamar ini layaknya kamar-kamar dirumah pada umumnya, yaitu terletak di dalam rumah. Tipe yang kedua adalah tipe segar. Dinamakan tipe segar karena suasananya segar dan menentramkan jiwa, bagaimana tidak, karena jendela tempat lalu-lintas udara ukurannya sangat besar. Kamar dengan tipe ini berbeda dengan tipe yang sebelumnya. Kamar ini dibangun diluar, pisah dengan rumah atau asrama utama. Bangunan kamar ini berdiri berderet-deret menghadap lapangan futsal, kamar ini layaknya kamar di pesantren-pesantren pada umumnya. Satu dari beberapa kamar dengan tipe seperti ini adalah kamar nomer tiga belas, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kamarku sendiri.
“ InsyAllah, kemungkinan besar, tidak ada seorang santri pun yang akan tidur satu kamar lagi. Semua santri akan tidur dengan teman yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar semua santri dapat saling akrab dengan santri lainnya, dan tidak hanya dengan satu, dua, atau beberapa santri saja,” pengumuman kang Hakmal di aula darussalam, pada malam minggu. Para santri yang tidur satu kamar, saling pandang satu sama lain, entah apa yang ada dipikiran mereka, karena tidak satu patah katapun yang keluar dari mulut mereka. Pun dengan diriku, aku sendiri tidak faham dengan apa yang sedang aku pikirkan.
“....... dan, kemungkinan besar juga, santri yang pada semester awal menempati kamar di atas, atau kamar di sekitar aula, semester berikutnya, atau semester ajar sekarang akan ditempatkan di kamar bawah, yang menghadap pada lapangan futsal. Begitupun sebaliknya, santri yang tadinya menempati kamar bawah, sekarang akan ditempatkan di kamar atas,” ujar kang Hakmal lagi.
Tidak. Untuk pengumuman yang kedua ini aku tidak setuju. Mungkin, kalau pengumuman yang pertama, walaupun sedikit berat dalam menerimanya, aku ikut-ikut saja, karena alasannya itu dapat dicerna oleh akal, yaitu untuk mendekatkan dengan santri yang lainnya, walaupun sebenarnya kami, para santri PPM sudah dekat secara pribadi satu sama lain. Tapi, untuk yang kedua ini, aku tidak mau. Aku tidak rela dipisahkan dengan kamar bawah. Kamar yang sirkulasi udaranya lebih bagus, dan kamar yang penerangan cahaya matahari langsungnya sangat baik. Sepertinya aku harus memutar otak untuk mencari cara agar aku tetap mendapatkan kamar bawah. Walaupun aku tidur dengan santri yang berbeda, itu tidak mengapa bagiku. Asal aku tetap bisa tidur di kamar bawah. Dan, kata kunci dari misi ini adalah kang Hakmal. Iya, kang Hakmal kata kuncinya.
Beberapa saat selepas pengumuman perpindahan kamar, ketika para santri kembali ke kamar masing-masing, secara diam-diam aku menyelinap masuk kamar kang Hakmal, tujuannya adalah bertanya keadaan kabar kang Hakmal, apakah baik, buruk, atau sedang-sedang saja. Namun, yang tadi disebutkan hanyalah tujuan sampingan saja, bahasa negosiasinya adalah hanya sebagai “umpan”. Sedangkan tujuan utamanya adalah membujuk kang Hakmal agar tetap menempatkanku di kamar impianku, yaitu kamar bawah.
“ Setuju dengan alasan yang tadi saya kemukakan kan Kang?” harapku pada kang Hakmal. Kang Hakmal menanggapi permohonanku itu dengan hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ Niko...... Niko.......” ujar kang Hakmal masih dengan senyum dan gelengan kepalanya.
“ Ya kang ya.....?!” pintaku lagi.
Kang Hakmal terdiam sejenak. Dia melihat kertas yang tergeletak tepat di hadapannya. Kang Hakmal membuka tutup pulpen, kemudian meletakan tutup pulpen itu di bagian belakang pulpen tersebut. Dia mencoret dan menuliskan sesuatu di kertas yang ada di hadapannya itu. Selepas mencoret dan menulis, kang Hakmal mengarahkan wajahnya padaku, “ Baik, akang penuhi permintaan antum, tapi baik-baik ya! Kalau antum membuat kasus, akang tidak segan-segan untuk langsung memindahkan antum ke kamar yang atas!” wasiat kang Hakmal padaku.
“ Siap bossssss.......” jawabku senang. Alhamdulillah, akhirnya misiku berhasil.
Aku keluar kamar kang Hakmal dengan perasaan gembira. Segera aku meluncur ke kamarku, yang mungkin beberapa hari kedepan sudah bukan kamarku lagi. Kamar yang mungkin akan aku tempati adalah antara kamar nomer sebelas, dua belas, empat belas, lima belas atau enam belas. Yang manapun itu, tidak lagi jadi masalah bagiku, karena yang penting, sudah tetap berada di kamar bawah saja cukup untukku. Sesampainya dikamar, aku mendapati teman-teman satu kamarku sedang berembuk, sepertinya mereka sedang membicarakan suatu hal penting. Dan ternyata memang benar, mereka sedang merencanakan untuk membuat film pendek sebagai kenangan kami. Selain itu juga kami berencana untuk ada makan bareng sebelum perpisahan itu terjadi. Sedikit berlebihan memang, karena walaupun kita tidak satu kamar, namun, sejatinya kita masih tinggal di satu asrama yang sama. Tapi, itulah yang dinamakan “ukhuwah”. Indah.
Esoknya, kami makan besar di warung makan dekat asrama. Kang Zul, kami undang sebagai tamu kehormatan.
“ Assalamu’alaikum, kaifahaluk, yaa akhi Zul?” ujar Faqih lewat hapenya.
“ Wa’alaikumussalam, antum Faqih?” suara kang Zul terdengar jelas karena hape Faqih di loud speaker.
“ Na’am, akhi Zul.”
“ SubhanAllah, ana bi khoir, akhi.”
Satu jam kemudian setelah ditelfon, kang Zul tiba di warung makan yang telah dibicarakan. Kami sambut kang Zul sebaik yang kami bisa. Dia tampak gembira. Kami merasa senang. Seharian itu kami habiskan waktu untuk kebersamaan kami. Kami saling membuka kenangan yang telah terjadi di kamar nomer tiga belas. Dari A sampai Z, tidak ada yang terlewat. Kenangan-kenangan itu tergambar jelas di otak kami. Kenangan itulah yang mungkin akan kami rindukan pada suatu hari kelak.
Kami solat magrib berjamaah di darul hajj (mesjid sementara DT). Setelah solat, kami dan kang Zul berpisah. Kang Zul pulang ke kosannya, sedangkan kami menuju asrama. Sesampainya di asrama, kami (Adit, Faqih, Mamat juga diriku), dikagetkan dengan perkumpulan santri PPM di aula asrama. Kami segera ambil bagian. Selidik punya selidik, sengaja kami dikumpulkan di aula, karena akan diumumkan komposisi santri pada setiap kamar. Dalam hal ini aku santai saja, karena aku sudah tahu akan ditempatkan di kamar bawah. Tapi tidak tahu dengan santri yang lain. Aku tidak mengetahui apa yang ada di pikiran mereka masing-masing.
Kang Hakmal mulai mengabsen para penghuni kamar per kamar. Ada beberapa tanggapan dari para santri. Ada yang gembira, ada yang sedikit kecewa karena tidak mendapatkan kamar yang sesuai dengan yang mereka inginkan, ada juga yang dingin-dingin saja, karena mereka tidak mengambil pusing dengan perpindahan kamar ini.
“ Sekarang giliran kamar bawah, yang nomer lima belas,” tangan kang Hakmal sambil menunjuk ke arah kamar bawah. Seperti terbius, kepala kami semua menoleh ke arah yang kang Hakmal tunjuk.
“ Penghuninya ada lima orang, empat santri dari PPM empat dan satunya PPM lanjutan. Mereka adalah sebagai berikut: pertama, Iqbal Firmansyah. Kedua, Hanif Amalia Jundi. Ketiga: Niko Cahya Pratama. Keempat, Asep Yoga Nugraha(Asoy). Dan yang terakhir, dari PPM lanjutannya adalah Muhamad Ibnu Farhan. Silahkan kepada nama-nama yang tadi disebutkan untuk pedekate, atau saling mengakrabkan satu-sama lain,” nasihat kang Hakmal.
Aku, Adit, Faqih dan Mamat saling pandang. Mereka mengangguk dibumbui dengan senyum padaku. Mereka seperti menguatkan diriku. Setelah itu aku pandangi wajah rekan-rekan kamar baruku, kami saling memberikan senyum terbaik. Segila apa dirimu, makna dari senyuman kami
Langganan:
Postingan (Atom)