Esoknya
adalah hari Minggu. Seperti biasa, beberapa santri melakukan operasi bersih,
yaitu bersih-bersih kobong atau asrama santri. Kali ini, hanya segelintir
santri saja yang ikut gotong royong membereskan kobong santri laki-laki.
Beberapa adalah santri yang tinggal di kobong dan beberapa sisanya santri yang
menginap di rumah masing-masing yang ikut membantu. Untuk pagi ini, Fajar tidak
terlihat diantara para santri itu.
Seusai
operasi bersih kobong, Akang mencuci beberapa potong pakaiannya yang kotor. Tiga
puluh menit bergelut dengan baju dan celana kotor, deterjen serta air, Akang
menggantungkan cuciannya pada tali jemuran di halaman kobong. Jajaran kain
basah itu tertimpa hangatnya sinar matahari pagi. Setetes demi setetes air yang
masih menempel berjatuhan menyapa bumi.
Akang
meluncur kembali ke kamar mandi. Ia hendak mandi. Beberapa santri lain ada yang
masih duduk-duduk istirahat sembari mengobrol bermaksud melepas lelah. Lima
menit berselang, Akang keluar kamar mandi dengan bugar sebab telah diguyur oleh
air segar. Akang melangkah menuju kamarnya. Tidak lupa ia menyapa beberapa
santri yang masih mengobrol di teras kobong. Akang masuk kamarnya. Pintunya ia
tutup rapat. Di dalam, Akang sedang berganti pakaian.
Pintu
kamar Akang terbuka kembali. Tapi hanya sedikit saja. Sekira bisa masuk sinar
dan udara pagi saja. Di dalam, Akang sudah berpakaian rapih. Sajadah telah
tergelar. Akang berdiri di atasnya. Bersiap untuk mendirikan solat sunah dhuha.
Akang
masih berdiri. Rukuk. I’tidal. Turun untuk sujud. Beranjak duduk diantara dua
sujud. Sujud lagi. Kemudian beranjak berdiri lagi. Masuk rakaat kedua.
Dari luar,
ada seseorang yang membuka pintu kamar Akang perlahan. Dia adalah Fajar.
Mendapati Akang sedang solat, Fajar masuk pelan-pelan. Lalu duduk pada karpet,
sekitar satu meter di samping Akang. Fajar duduk sila, tidak sabar menunggu
Akang meneyelesaikan solatnya. Ia hendak memberikan kabar tentang hari kemarin.
Tentang sebuah tulisan pada sebuah halaman buku yang ditulis Anita.
Akang
berucap salam. Kepalanya menoleh ke kanan. Lalu salam lagi. Kali ini menoleh ke
kiri.
“Kang,”
ucap Fajar semangat. Ia tidak memberi jeda bagi Akang untuk sebentar berdzikir.
Akang
menoleh. “Iya, Jar?”
“Ada kabar
baik untuk Akang.”
“Kabar
baik?” kedua mata Akang menyipit. Pertanda sedang menerka apa maksud ucapan
Fajar.
“Iya,”
Fajar mengangguk tegas. “Tentang Teh Anita.”
Kening
Akang melipat. Ada segurat senyuman di bibirnya. Akang diam. Ia hanya menatap
Fajar. Senyumnya belum hilang dari ujung bibir.
Akang
masih menatap Fajar. Senyumya masih tampak.
Akang
beranjak dari duduknya. Ia melipat sajadah. Lalu diletakan di atas bantal.
Akang melangkah pada pintu. Ia menutupnya rapat-rapat. Akang kembali
menghampiri Fajar. Mengambil posisi duduk tepat di hadapan keponakannya ustad
Ipun itu. Akang bersiap untuk menerima kabar lebih lengkapnya dari kawan
santrinya itu.
Kedua
orang santri itu mulai berbincang. Fajar mulai bercerita. Bercerita tentang
hari kemarin. Akang memasang wajah serius menatap wajah Fajar. Mendengarkan
dengan baik setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki di hadapannya.
Fajar
terus bercerita. Hati Akang membuncah. Luapan kebahagiaannya itu tergambar dari
senyumnya yang mengembang. Terlebih saat Fajar menceritakan kronologis ketika
Anita hanya berani memberi jawabannya melalui coretan. Kemudian melangkah masuk
kamar. Meninggalkan sang adik sepupu seorang diri.
Belum
lepas senyum di bibir Akang. Sebuah senyum penanda kebahagiaan jiwa.
Fajar
berhenti berucap. Sang informan itu kini hanya menatap seraut wajah cerah di
hadapannya.
Pada
kubangan kebahagiaan yang sedang dirasakan hatinya, Akang masih berusaha untuk
tetap berpikir setenang mungkin. Ketenangan itu keluar dari sebuah mata air
ketauhidan. Pada takdir Allah. Pada suratan tentang jodoh dariNya. Sebab jodoh
adalah rahasia Illahi. Setiap kemungkinan masih memiliki peluang yang sama
besarnya. Begitu pula tentang Akang dan Anita. Akang memang bahagia, tapi dia
tidak ingin berlebihan. Sebab boleh jadi kehendak Allah akan berbeda. Namun,
harapan di hati Akang tidak pernah berhenti menyanyikan tentang keinginannya.
Keinginan untuk bersanding dengan gadisnya ustad Ipun.
***
Pada
sepertiga malam yang tenang. Langitnya cerah. Bulan baru, melengkung bak
belahan kecil buah melon. Kerlipan bintang bertaburan serupa serpihan emas yang
tersorot matahari. Titik-titik kilau cahaya itu seperti berebut ingin
menonjolkan keindahan mereka.
Udara dini
hari ini masih perawan. Tiupan angin kecil menyapa dedaunan. Mereka melambai
membalas sapaan sang angin dini hari.
Di dalam
kamarnya, Akang sedang bersimpuh di atas sebuah sajadah. Akang membisikan kembali
nyanyian hatinya. Sebuah nyanyian yang dipersembahkan untuk Sang penggenggam
hati. Dipersembahkan untuk Sang Penguasa jagat raya. Raja dari segala raja.
Akang
bermunajat. Ia meminta agar takdirNya seiring sejalan dengan harapan sang hati.
Akang meminta lagi. Lagi. Dan lagi. Hanya kepada Allah Akang berharap. Hanya
kepada Dia Akang memohon permintaan. Sebab sesuatu apapun itu, tidak akan pernah
terjadi jika tanpa seizinNya. Pun sebaliknya, segala sesuatu pasti akan terjadi
jika atas izinNya. Meski semua makhluk berkumpul mencoba untuk menghentikan
kuasaNya. Tidak akan pernah bisa. Sungguh tidak akan pernah bisa.
Sementara
di tempat lain. Pada sebuah kamar yang tidak begitu jauh dari kobong Akang.
Anita telah lebih dulu menyenandungkan bisik hatinya. Do’anya telah lebih dulu
terbang ke langit ke tujuh.
Saat ini
Anita sedang rebahan di atas tempat tidurnya. Ia rebahan untuk menunggu waktu
subuh. Meski raganya diam. Tapi sang hati tidak pernah berhenti bernyanyi.
Bernyanyi tentang keinginannya. Nyanyian hati itu meluncur ke langit.
Berkejaran dengan nyanyian yang dilantunkan oleh hati Akang. Dua buah nyanyian
itu melesat di antara bintang-bintang.
***