Ibarat pengantin baru, aku dan Mamat sibuk untuk mengisi kekosongan prabotan di kosan. Seperti hari ini. Selepas solat Jum’at di mesjid DT, kami membeli beberapa alat dan barang untuk persediaan beberapa hari kedepan. Tidak jarang, kami berdiskusi dalam menentukan barang yang hendak dibeli. Karena kami sama-sama masih mahasiswa, pertimbangan utama kami tidak lain dan tidak bukan adalah harga. Jika ada dua barang yang kegunaannya sama, dengan senang hati kami akan memilih barang yang harganya lebih murah. Hal seperti ini adalah sebuah keniscayaan bagi kami.
Beberapa langkah sekeluarnya dari SMM (super mini market), aku melihat ustad Mardais sedang berjalan sendiri di seberang jalan.
“Mat, ustad Mardais, Mat. Kita salaman yuk!” ajakku pada Mamat. Mamat mengiyakan. Segera kami menyeberang jalan menghampiri ustad Mardais.
Dalam radius jarak sekitar tujuh meter, ustad Mardais melihat kami. Seketika itu juga, senyumnya langsung mengembang. Kami lebih mendekat.
“Assalamu’alaikum, Ustad,” sapaku berbarengan dengan Mamat. Ustad menjawab salam kami. Kami salami tangan beliau.
Kami bertiga, berdiri di samping jalan, tapat di depan toko kerudung, samping mesjid DT. Kami saling tanya kabar. Lalu.
“Kapan siap nikah?” tanya ustad Mardais dengan wajah seperti anak tanpa dosa. Kawan, itulah topik pertama yang beliau tanyakan. Kontan, aku dan Mamat langsung saling pandang.
“Eh, ditanya kok pada diam. Kapan nih siap nikah?” ustad Mardais mempertegas pertanyaannya. Kami terpojok, seperti seorang petinju yang tersudutkan ke pojok ring oleh hujan pukulan lawannya. Aku hanya bisa tersenyum dingin sembari melihat senyumnya ustad yang seperti senyum orang kampung setelah dapat warisan. Senyum itu mengembang penuh arti. Arti yang tidak bisa ku tafsirkan.
“Bel, belum Ustad. He...” jawabku kikuk.
“Mmmm,” Mamat menggaruk-garuk kepalanya.
“Eeeeeeh, gimana Indonesia mau maju, jika ditanya nikah saja pada belum siap. Akhwat-mah udah pada siap tuh, tinggal nunggu keberanian dari para ikhwannya saja untuk melamar,” ustad Mardais mengejek kami. Aku dan Mamat tak bisa mengelak ucapan ustad. Kami mati kutu. Hanya senyuman datar yang bisa kami berikan. Aku tidak tahu akan kebenaran dari ucapan ustad Mardais barusan. Apakah memang nyata? Atau hanya sekedar stimulus bagi aku dan Mamat.
“Yaudah, saya pamit dulu ya. Kasian bidadari saya takut kelamaan nunggu di rumah. Oya, kalau nanti sudah siap nikah, jangan jauh-jauh ya, sama santri PPM aja. Saya ada daftar para alumni santri yang sudah siap nikah. Sudahlah, jangan muluk-muluk, santri ikhwan PPM-mah nikahnya dengan santri akhwat PPM saja. Kan sudah pada saling tahu tuh modal ilmunya,” lagi-lagi ustad bersabda. Dan, seperti biasa, aku dan Mamat saling pandang lagi.
“Ingat, pilih dan cintailah produk dalam negeri. Kualitas super dan mutu terjamin,” tutup ustad. Aku tahu maksud dari “produk dalam negeri itu”. Pastilah santri PPM.
Pertemuan singkat itu ditutup dengan kami menyalami tangan ustad Mardais. Kami berpisah.
***
Kawan, cerita pertemuan dengan ustad Mardais tadi merupakan gambaran kebanyakan ustad di DT. Mereka selalu mendorong para santrinya, khususnya santri PPM untuk segera menikah (bagi yang sudah mampu menikah), dengan santri DT lagi. Setelah ku selidiki, ternyata tersimpan maksud baik nan mulia dibalik semua itu. Ternyata, goal dari maksud ini adalah agar terciptanya bangsa yang baik. Lantas apa hubungannya sesama santri menikah dengan bangsa yang baik? Mari kita bahas bersama.
Kawan, ada point plus yang dimiliki santri jika dibandingkan dengan orang yang tidak mengecap sebagai status santri. Apa point plusnya? Salah satunya adalah ilmu agama yang mereka dapatkan di pesantren. Ilmu yang bisa menjadi lampu penerang dalam mengarungi hidup mereka kedepannya. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW, bersabda. Aku tidak hafal betul bagaimana redaksi kalimatnya, namun, kurang lebih pesannya adalah seperti ini,”Seluruh manusia itu celaka, kecuali orang-orang yang memiliki ilmu, ....” Nah, itulah kawan, betapa sangat pentingya peran ilmu.
Memang, tidak semua santri itu lebih baik dari orang yang tidak nyantri. Sedikit banyaknya, ada saja bukan santri yang kualitas dirinya lebih baik dari seorang santri. Tergantung bagaimana idivudu-individu itu mampu mengamalkan ilmu yang mereka miliki. Melanjutkan hadits nabi di atas yang belum selesai,”..., seluruh orang yang berilmu itu celaka, kecuali mereka yang mampu mengamalkan ilmunya, ...” Ternyata, memiliki ilmu saja itu belum cukup, kawan. Masih ada tahapan lain agar bisa masuk kedalam golongan orang yang beruntung. Yaitu mampu mengamalkan ilmu yang dimiliki. Banyaknya ilmu yang dimiliki tidak menjamin seseorang itu secara otomatis masuk pada kelompok manusia beruntung. Semuanya tergantung bagaimana dia mengamalkan ilmu itu. Santri yang memiliki segudang ilmu tapi tidak mengamalkan ilmunya, jika dibandingkan dengan bukan santri yang hanya memiliki ilmu segenggam tangan saja, namun dia mampu mengamalkan ilmu tersebut, pastilah kualitasnya dimata Allah SWT, lebih baik dari santri tadi.
Hati-hati kawan. Ternyata, hadits di atas masih koma, belum tiba pada titiknya. Lanjutannya adalah seperti ini,”..., seluruh orang yang mengamalkan ilmu itu celaka, kecuali mereka yang ikhlas dalam mengamalkan ilmunya.” Alhamdulillah, akhirnya hadits ini sampai juga pada titiknya.
Kawan, siapapun itu, entah itu santri atau bukan, yang menentukan posisi mereka di mata Allah SWT, adalah bagaimana kesungguhan mereka dalam mencari ilmu, kemudian berusaha mengamalkan ilmu yang sudah didapat, dan sekuat tenaga bergelut dengan hati agar selalu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya itu. Itulah kuncinya, kawan. Bukan yang lain. Namun memang, secara kasat mata, tidak bisa kita pungkiri, biasanya, santri memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan bukan santri.
Kembali pada pembahasan inti, yakni hubungan sesama santri menikah dengan bangsa yang baik. Ternyata, kunci utama dari terciptanya sebuah bangsa yang baik adalah terletak pada setiap individu yang hidup dan membentuk bangsa tersebut. Mari kita renungkan lebih dalam lagi. Jika saja setiap individu itu baik, maka, berdasarkan janji Allah SWT, dalam surat An-Nuur ayat 26, --Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula...-- maka mereka akan mendapatkan jodoh, atau pendamping hidup yang baik pula. Coba bayangkan lagi. Orang baik jika disandingkan dengan orang baik, maka akan berkemungkinan besar bisa menghasilkan keluarga yang baik. Dan, jika setiap keluarga itu baik (sakinah, mawadah, warahmah), maka akan tercipta sebuah masyarakat yang baik pula. Kemudian, jika setiap masyarakat itu baik, maka akan terciptalah sebuah bangsa yang diidam-idamkan oleh setiap manusia, yaitu bangsa yang baik.
Nah, kawan, inilah maksud tersembunyi yang baik nan mulia dari para ustad yang menginginkan agar santri menikah dengan santri lagi.
***
Aku penasaran, benar-benar penasaran. Aku ingin mengetahui bagaimana pengaruh serangan stimulus dari para ustad kepada para santri. Apakah itu ada pengaruhnya atau tidak?
Beberapa hari ke belakang, aku melakukan riset kecil-kecilan. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh santri PPM. Dan, sampel yang kugunakan adalah teman-teman alumni santri ikhwannya. Aku melaksanakan riset ini secara diam-diam. Instrumen penelitiannya tidak tertulis, tapi hanya aku hapal saja.
Saat aku mengobrol dengan mereka, diam-diam, aku menjalankan riset itu. Dan untungnya, mereka tidak sadar jika aku sedang meneliti mereka. Menurut sepengatahuanku, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Yang mana, objek yang diteliti tidak sadar jika mereka sadang diteliti.
Dan, SubhanAllah, hasilnya sungguh diluar dugaanku. Ternyata stimulus itu memang berpengaruh pada pemikiran para santri. Hasil riset menjelaskan bahwa: sebagian besar santri ikhwan ingin mendapatkan jodoh sesama santri, khususnya santri PPM. Dan celakanya, tidak terkecuali juga diriku. Weleh-weleh.
Kawan, do’akan aku. Semoga saja ada satu jatah santri akhwat untukku. Mengenai kriteria, aku tidak muluk-muluk. Cantik tidak apa-apa, yang penting dia penurut dan mau diajak untuk tinggal di kampung halamanku tercinta. Dia bersedia diajak untuk berlelah-lelah dalam membina pemuda dan pemudi di daerahku. Itu saja.
Aku sadar. Keinginan terkadang tidak sejalan dengan kenyataan. Kalaupun nanti takdir menggariskan aku mendapatkan pendamping yang bukan santri. Semoga saja aku bisa mendapatkan wanita dengan tipe yang serupa. Tapi, yang menjadi pertanyaan besar sekarang adalah: Kapan aku siap menikahnya?! Sepertinya aku harus segera membuat instrumen penelitian lagi. Penelitinya adalah aku, dan yang ditelitinya juga diriku.
Selasa, 24 Juli 2012
Rabu, 18 Juli 2012
Kos-Kosan
Beberapa waktu lalu, kami, para santri PPM telah di wisuda. Bagi PPM baru, wisuda ini merupakan wisuda perdana. Tapi, bagi santri PPM lanjuan, ini merupakan wisuda kali kedua. Menurut kabar yang kudengar, ada sekitar lima puluh persen dari santri baru, baik santri ikhwan ataupun santri akhwat yang melanjutkan. Sisanya lebih memilih untuk tidak melanjutkan, atau dengan kata lain, mereka lebih memilih untuk ngekost. Sementara para santri lanjutan, karena jatah menjadi santri PPM hanya dua tahun saja, maka sebagian besar segera berlomba untuk mendapatkan kos-kosan yang nyaman. Mereka berlomba dengan para mahasiswa baru yang jumlahnya mencapai ribuan kepala. Tidak terkecuali juga diriku. Sebagian kecil lainnya, mengikuti program tahfidz mahasiswa.
Jauh-jauh hari sebelum hari ini, kepalaku muter-muter memikirkan perkara ini. Perkara untuk ngekost. Ada banyak pertimbangan bagi diriku dalam memilih kos-kosan. Pertama, lingkungannya harus baik. Sebab lingkungan sangat berperan dalam pembentukan karakter seseorang. Jika lingkungannya baik, maka akan berkemungkinan besar para penghuninya menjadi baik. Pun sebaliknya, lingkungan buruk bisa membuat penduduknya menjadi buruk. Berkenaan dengan ini, maka tempat terbaik adalah di sekitar lngkungan mesjid. Aku memilih mesjid Daarut Tauhiid (DT). Mesjid ini menyejarah di hatiku.
Kedua, biayanya bisa terjangkau. Sebenarnya, semua kos-kosan yang ada di sekitar mesjid DT merupakan kawasan kos-kosan yang terbilang sangat mahal. Namun, perkara ini aku siasati dengan cara mengajak seorang teman untuk ngekost bareng. Jadi, biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih ringan. Lima puluh persen-lima puluh persen.
Kemudian, timbul lagi satu tugas yang harus aku selesaikan. Yaitu, memilih teman yang cocok untuk dijadikan teman satu kamar. Untuk itu, aku list beberapa teman santri PPM. Hasilnya, tercantum beberapa nama santri. Dari sini, aku menemukan jalan buntu. Aku bingung hendak mengajak siapa. Segera aku meminta petunjuk pada Sang Pemberi Petunjuk.
“Ya Allah, berikanlah aku petunjuk,” harapku dalam do’a.
Tidak berselang lama setelah kupanjatkan do’a itu, terjadilah suatu prahara di asrama Darussalam. Prahara itu kecil bagi santri lain, sangat kecil malah. Tapi tidak bagi dua orang santri. Yaitu aku dan Mamat. Adalah magic com kami rusak dalam waktu yang hampir berbarengan. Kami kalang kabut bak kebakaran jenggot. Bagaimana tidak! Dengan rusaknya alat ini, alamat pengeluaran perbulan akan membengkak. Karena harus beli nasi ke warung setiap kali hendak makan.
Saat dicek, milikku yang rusak adalah bagian pemanasnya. Sementara punyanya Mamat adalah wadah untuk menampung nasinya. Ketika itu Mamat sedang di sampingku. Kami duduk bersebelahan sambil memandangi dua magic com yang tergeletak tak berdaya di hadapan kami. Aku pandangi bagian pemanas milikku yang rusak, kemudian melirik bagian wadah nasinya yang masih utuh dan baik. Lalu, kugeser pandanganku pada magic com milik Mamat. Kulihat wadah nasinya yang rusak, juga kutatap bagian pemanasnya yang masih baik. Aku pandangi keempat barang itu sekali lagi secara berbarengan. Kemudian kupisahkan yang rusak dengan yang rusak dan yang masih benar dengan yang masih benar. Aku hiraukan satu bagian lain. Sementara bagian lainnya aku angkat. Tangan kiri mengangkat bagian pemanasnya dan tangan kanan mengangkat bagian wadah nasinya. Aku satukan kedua benda itu, lalu kuambil bagian kabelnya, kemudian kuculokkan pada sumber listrik. Dan, lampu sensornya menyala. Mataku melotot mendapati hal ini. Aku menoleh pada Mamat. Di sampingku, Mamat melakukan hal yang sama dengaku. Dia membuka matanya lebar-lebar sembari menatap diriku. Aku sampai kaget dibuatnya. Kedua mata Mamat seperti hendak meloncat dari tempatnya. Raut wajahnya serupa dengan vampir kehausan yang baru menemukan mangsa. Mamat seperti hendak menghisap darahku.
Aku melihat magic com yang menyala lagi, lalu melihat Mamat kembali. Tanpa komando, secara berbarengan bibir kami tersungging indah. Kami tersenyum sangat lebar. Kami tidak saling melepas kata, tapi kami tahu apa yang sedang ada dalam pikiran orang yang ada di hadapan masing-masing. Kami berkomunikasi lewat bahasa qolbu.
Aku meyakini, rusaknya dua magic com ini merupakan sebuah tanda bagiku. Satu lagi pelajaran yang kudapat. Kejadian apapun yang terjadi, sepahit apapun itu, pastilah yang terbaik yang telah dirancang oleh Sang Maha Sutradara. Dibalik semua kejadian, akan ada jalan baru yang akan mengantarkan pada jalan yang lebih baik.
Jawabannya adalah Arahmat Jatnika. Alias Mamat.
***
Dari sekian banyak alumni santri PPM, hanya kos-kosan aku dan Mamatlah yang letaknya paling dekat dengan Mesjid DT. Karenanya, kosanku ini menjadi tempat transit bagi para alumni santri PPM ikhwan. Saat hendak menunggu waktu adzan yang waktunya terbilang masih lama, mereka singgah dulu di kosanku. Ketika baru selesai solat, terkadang mereka menyempatkan untuk mampir ke kosanku. Ada juga yang niatnya sedikit melenceng.
“Wah, kosan kamu enak Ko, dekat dengan Muslimah Center, bisa sering-sering liat akhwat inimah. Kalo gitu, saya akan sering-sering main kesini lah, biar bisa liat akhwat terus, hehe...” seloroh seorang teman. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi apa yang dikatakannya. Aku memaklumi ucapannya, karena mungkin dia belum tahu. Sesungguhnya, betapa tersiksanya diriku saat takdir harus menggariskan aku bisa menatap para akhwat dengan busana yang penuh dengan warna. Di mataku, mereka terlihat sangat manis, layaknya permen yang bisa berjalan. Sedikit saja salah menyikapinya, aku, ataupun siapapun itu bisa tergelicir pada kubangan dosa. Mengerikan.
Seperti halnya kos-kosan baru lainnya, tempatku belum memiliki semua barang-barang yang dibutuhkan. Untuk sementara ini hanya seadanya saja. Jika diumpamakan, mungkin tidak berbeda dengan pasangan pengantin baru yang baru bikin rumah. Tidak banyak peralatan rumah tangga yang dimiliki. Isi rumah itu masih kosong melongpong.
Satu dari sekian banyak barang yang belum ada itu adalah cermin. Cermin untuk aku dan Mamat guna mematut diri. Untuk melihat penampilanku saat hendak bepergian, apakah sudah keren atau belum. Awalnya aku kelabakan saat hendak bepergian. Apalagi saat hendak menghadiri acara penting. Namun, kehawatiran kami itu menguap entah kemana saat aku dan Mamat berbicara dengan bahasa qolbu lagi. Percakapan qolbu part dua.
Saat itu, kami hendak pergi keluar. Karena tidak ada cermin, untuk mengetahui apakah penampilan kami sudah baik atau belum, kami saling menilai. Aku melihat penampilan Mamat dan Mamat menilai penampilanku. Jika ada sedikit kekurangan dengan penampilan kami, kami akan saling mengoreksi satu sama lain, kemudian memperbaikinya. Namun, terjadi sedikit masalah saat kami hendak menyisir rambut. Masa kami akan saling menyisiri rambut. Aku menyisiri rambut Mamat, pun sebaliknya. Gak lucu kan?! Apa yang akan terjadi jika saat rambutku disisiri Mamat, ketika itu datang seorang teman memergoki skandal ini. Apa kata dunia?! Dan akhirnya, dengan sangat terpaksa, kami jadikan layar hape masing-masing untuk menjadi cermin sementara. Meskipun bayangan wajahku tidak terlihat begitu jelas, setidaknya ini masih bisa menolong.
Ketika aku menyisir rambutku sembari melihat bayangnku di layar hape. Aku sempatkan untuk memandangi Mamat di sampingku. Masya Allah, kudapati dia sedang memiring-miringkan kepalanya. Matanya ia kerut-kerutkan. Kasihan aku melihat temanku yang satu ini. Mungkin ia tidak terlalu jelas dapat melihat bayangan wajahnya. Aku tersenyum simpul mendapati pemandangan mengenaskan ini.
“Aduh, susah banget Kang, bayangan rambut saya gak jelas nih,” keluh Mamat sambil masih memiring-miringkan kepalanya.
“Sabar Mat, nikmati saja prosesnya. Jangan dikira kejadian ini tidak memiliki arti. Suatu saat nanti, jika kita masih ada umur, kisah ini akan menjadi cerita yang menarik untuk dibagikan pada anak cucu kita kelak. Percayalah,” aku berseloroh sok bijak. Sok-sok menasihati Mamat. Dibalik perkataan ini, sesungguhnya aku sedang menghibur diri.
Aku melihat Mamat. Mamat memandangiku. Kami berdua tersenyum, lalu mengangguk-angguk.
“Hehe, iya juga ya,” Mamat mengimani perkataanku. Ia mengangguk-anggukan lagi kepalanya. “Oya Kang, padahal di tempat wudhu mesjid DT kan ada cerminnya ya. Guweude lagi,” celetuk Mamat. Mendengar itu aku berhenti menyisir. Aku melotot memandangi wajah Mamat yang ketika itu tiba-tiba berubah sangat ganteng dan mirip Albert Einstein. Entah bagaimana, Mamat tampak cerdas saat itu. Bahkan ia menjelma menjadi orang paling cerdas abad ini.
Aku masih melotot menatap Mamat. Mungkin, karena Mamat bisa melihat apa yang sedang kupikirkan lewat gelembung pemikiran yang melayang-layang di atas kepalaku, ia ikut melotot, lalu ikut juga tersenyum. Kami saling tatap. Aku menunjuk wajah Mamat. Mamat menunjuk mukaku. Aku mengangguk sekali. Mamat mengikuti. Qolbu kami bercengkrama lagi. Sejak saat itu, kami sering menyempatkan untuk mampir ke tempat wudhu mesjid DT saat hendak bepergian. Paling tidak sampai kami bisa membeli cermin nanti.
***
Kawan, satu lagi yang perlu kalian ketahui dari kos-kosanku. Disini, kamar mandinya hanya ada dua saja. Para penghuninya dapat dikatakan tidak sedikit. Sebagian besar adalah laki-laki. Sisanya perempuan. Umumnya tidak ada masalah dengan semua itu. Namun, sesekali memang terjadi sedikit hal diluar dugaanku. Sejauh ini, kejadiannya baru hanya terjadi tidak lebih dari tiga kali. Peristiwa itu, adegannya kurang lebih seperti ini:
Aku berlari kecil dari kamarku menuju kamar toilet. Apa lagi yang kulakukan jika bukan hendak membuang hajat. Hajat besar, kawan. Saat tiba di depan toilet, aku hanya bisa berdiri mematung, sembari kedua tanganku menggenggam, bahkan terkadang mencengkeram tubuh bagian belakangku. Disaat-saat seperti itu, dunia seakan tidak bersahabat denganku. Mereka seolah memusuhiku. Aku lihat cicak yang sedang menempel pada dinding di hadapanku. Entah bagaimana? Tiba-tiba saja dia menjulurkan lidahnya. Dia meledek diriku. Kurang ajar cicak itu. Awas saja jika aku sudah tenangan nanti!
Pada saat wajahku memerah, karena sudah terlalu lama menunggu orang di dalam toilet yang tak kunjung juga keluar, aku mencoba menenang-nenangkan diri. Sabar, Ko, sebentar lagi mungkin akan segera keluar. Sabar, sabar. Insya Allah satu menit lagi.
Dan akhirnya, satu menitpun lewat. Sayang seribu sayang, belum juga dua orang penunggu toilet itu keluar sarangnya. Aku maju, selangkah lebih dekat pada pintu toilet. Aku pasang telingaku baik-baik. Mencoba mendengarkan suara apa saja yang terdengar di dalam sana. Telingaku mendekat pada pintu yang sebelah kiri. Kudengar suara guyuran air berkali-kali. Tampaknya orang di dalam sedang mandi. Kemungkinan besar dia akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi di dalam. Kemudian telingaku mendekat pada pintu yang satunya. Samar-samar, kudengar senandung orang yang sedang mengeden-ngeden. Busyet, tampaknya dia sedang menikmati prosesi membuang hajat besarnya. Yang ini mungkin akan lebih lama lagi. Ingin sekali aku menggedor kedua pintu itu. Tapi aku tak sanggup. Kasian, mereka pasti akan terganggu. Aku menghibur diri lagi. Sabar, Ko. Satu menit lagi.
Saat wajahku meringis. Ketika dinamit hampir diujung dan sudah siap untuk ditembakan. Terdengar suara santri yang mendendangkan sholawat di mesjid DT. Seper sekian detik setelah mendengar dendangan sholawat itu. Muncul ide brilian di tempurung kepalaku.
BUANG HAJAT DI TOILET MESJID!!!!
Sejak saat itu, jika aku mendapati lagi peristiwa menyedihkan yang serupa ini. Aku tidak khawatir lagi. Dengan santai aku langsung berjalan menuju mesjid DT. Di sana, terdapat berjejer-jejer toilet yang bersih dan wangi. Dan, aku tidak perlu antri lagi.
Lagi-lagi, mesjid DT menjadi penyelamat hidupku. Betapa bahagianya ngekos di dekat mesjid.
***
Hari ini, kosanku sudah seperti pasar. Banyak orang dan berisik. Siapa lagi pelakunya jika bukan para alumni santri PPM. Di satu sisi aku gembira, karena rasa rinduku tersalurkan dengan hadirnya mereka disini. Tapi, di sisi lain aku merasa sedikit risih dengan keributan ini. Aku merasa tidak enak pada para tetangga kamarku, juga pada ibu kos.
Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda,” Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia BERKATA BAIK ATAU DIAM. Barang siap beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia MENGHORMATI TETANGGANYA. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia MEMULIAKAN TAMUNYA.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jauh-jauh hari sebelum hari ini, kepalaku muter-muter memikirkan perkara ini. Perkara untuk ngekost. Ada banyak pertimbangan bagi diriku dalam memilih kos-kosan. Pertama, lingkungannya harus baik. Sebab lingkungan sangat berperan dalam pembentukan karakter seseorang. Jika lingkungannya baik, maka akan berkemungkinan besar para penghuninya menjadi baik. Pun sebaliknya, lingkungan buruk bisa membuat penduduknya menjadi buruk. Berkenaan dengan ini, maka tempat terbaik adalah di sekitar lngkungan mesjid. Aku memilih mesjid Daarut Tauhiid (DT). Mesjid ini menyejarah di hatiku.
Kedua, biayanya bisa terjangkau. Sebenarnya, semua kos-kosan yang ada di sekitar mesjid DT merupakan kawasan kos-kosan yang terbilang sangat mahal. Namun, perkara ini aku siasati dengan cara mengajak seorang teman untuk ngekost bareng. Jadi, biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih ringan. Lima puluh persen-lima puluh persen.
Kemudian, timbul lagi satu tugas yang harus aku selesaikan. Yaitu, memilih teman yang cocok untuk dijadikan teman satu kamar. Untuk itu, aku list beberapa teman santri PPM. Hasilnya, tercantum beberapa nama santri. Dari sini, aku menemukan jalan buntu. Aku bingung hendak mengajak siapa. Segera aku meminta petunjuk pada Sang Pemberi Petunjuk.
“Ya Allah, berikanlah aku petunjuk,” harapku dalam do’a.
Tidak berselang lama setelah kupanjatkan do’a itu, terjadilah suatu prahara di asrama Darussalam. Prahara itu kecil bagi santri lain, sangat kecil malah. Tapi tidak bagi dua orang santri. Yaitu aku dan Mamat. Adalah magic com kami rusak dalam waktu yang hampir berbarengan. Kami kalang kabut bak kebakaran jenggot. Bagaimana tidak! Dengan rusaknya alat ini, alamat pengeluaran perbulan akan membengkak. Karena harus beli nasi ke warung setiap kali hendak makan.
Saat dicek, milikku yang rusak adalah bagian pemanasnya. Sementara punyanya Mamat adalah wadah untuk menampung nasinya. Ketika itu Mamat sedang di sampingku. Kami duduk bersebelahan sambil memandangi dua magic com yang tergeletak tak berdaya di hadapan kami. Aku pandangi bagian pemanas milikku yang rusak, kemudian melirik bagian wadah nasinya yang masih utuh dan baik. Lalu, kugeser pandanganku pada magic com milik Mamat. Kulihat wadah nasinya yang rusak, juga kutatap bagian pemanasnya yang masih baik. Aku pandangi keempat barang itu sekali lagi secara berbarengan. Kemudian kupisahkan yang rusak dengan yang rusak dan yang masih benar dengan yang masih benar. Aku hiraukan satu bagian lain. Sementara bagian lainnya aku angkat. Tangan kiri mengangkat bagian pemanasnya dan tangan kanan mengangkat bagian wadah nasinya. Aku satukan kedua benda itu, lalu kuambil bagian kabelnya, kemudian kuculokkan pada sumber listrik. Dan, lampu sensornya menyala. Mataku melotot mendapati hal ini. Aku menoleh pada Mamat. Di sampingku, Mamat melakukan hal yang sama dengaku. Dia membuka matanya lebar-lebar sembari menatap diriku. Aku sampai kaget dibuatnya. Kedua mata Mamat seperti hendak meloncat dari tempatnya. Raut wajahnya serupa dengan vampir kehausan yang baru menemukan mangsa. Mamat seperti hendak menghisap darahku.
Aku melihat magic com yang menyala lagi, lalu melihat Mamat kembali. Tanpa komando, secara berbarengan bibir kami tersungging indah. Kami tersenyum sangat lebar. Kami tidak saling melepas kata, tapi kami tahu apa yang sedang ada dalam pikiran orang yang ada di hadapan masing-masing. Kami berkomunikasi lewat bahasa qolbu.
Aku meyakini, rusaknya dua magic com ini merupakan sebuah tanda bagiku. Satu lagi pelajaran yang kudapat. Kejadian apapun yang terjadi, sepahit apapun itu, pastilah yang terbaik yang telah dirancang oleh Sang Maha Sutradara. Dibalik semua kejadian, akan ada jalan baru yang akan mengantarkan pada jalan yang lebih baik.
Jawabannya adalah Arahmat Jatnika. Alias Mamat.
***
Dari sekian banyak alumni santri PPM, hanya kos-kosan aku dan Mamatlah yang letaknya paling dekat dengan Mesjid DT. Karenanya, kosanku ini menjadi tempat transit bagi para alumni santri PPM ikhwan. Saat hendak menunggu waktu adzan yang waktunya terbilang masih lama, mereka singgah dulu di kosanku. Ketika baru selesai solat, terkadang mereka menyempatkan untuk mampir ke kosanku. Ada juga yang niatnya sedikit melenceng.
“Wah, kosan kamu enak Ko, dekat dengan Muslimah Center, bisa sering-sering liat akhwat inimah. Kalo gitu, saya akan sering-sering main kesini lah, biar bisa liat akhwat terus, hehe...” seloroh seorang teman. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi apa yang dikatakannya. Aku memaklumi ucapannya, karena mungkin dia belum tahu. Sesungguhnya, betapa tersiksanya diriku saat takdir harus menggariskan aku bisa menatap para akhwat dengan busana yang penuh dengan warna. Di mataku, mereka terlihat sangat manis, layaknya permen yang bisa berjalan. Sedikit saja salah menyikapinya, aku, ataupun siapapun itu bisa tergelicir pada kubangan dosa. Mengerikan.
Seperti halnya kos-kosan baru lainnya, tempatku belum memiliki semua barang-barang yang dibutuhkan. Untuk sementara ini hanya seadanya saja. Jika diumpamakan, mungkin tidak berbeda dengan pasangan pengantin baru yang baru bikin rumah. Tidak banyak peralatan rumah tangga yang dimiliki. Isi rumah itu masih kosong melongpong.
Satu dari sekian banyak barang yang belum ada itu adalah cermin. Cermin untuk aku dan Mamat guna mematut diri. Untuk melihat penampilanku saat hendak bepergian, apakah sudah keren atau belum. Awalnya aku kelabakan saat hendak bepergian. Apalagi saat hendak menghadiri acara penting. Namun, kehawatiran kami itu menguap entah kemana saat aku dan Mamat berbicara dengan bahasa qolbu lagi. Percakapan qolbu part dua.
Saat itu, kami hendak pergi keluar. Karena tidak ada cermin, untuk mengetahui apakah penampilan kami sudah baik atau belum, kami saling menilai. Aku melihat penampilan Mamat dan Mamat menilai penampilanku. Jika ada sedikit kekurangan dengan penampilan kami, kami akan saling mengoreksi satu sama lain, kemudian memperbaikinya. Namun, terjadi sedikit masalah saat kami hendak menyisir rambut. Masa kami akan saling menyisiri rambut. Aku menyisiri rambut Mamat, pun sebaliknya. Gak lucu kan?! Apa yang akan terjadi jika saat rambutku disisiri Mamat, ketika itu datang seorang teman memergoki skandal ini. Apa kata dunia?! Dan akhirnya, dengan sangat terpaksa, kami jadikan layar hape masing-masing untuk menjadi cermin sementara. Meskipun bayangan wajahku tidak terlihat begitu jelas, setidaknya ini masih bisa menolong.
Ketika aku menyisir rambutku sembari melihat bayangnku di layar hape. Aku sempatkan untuk memandangi Mamat di sampingku. Masya Allah, kudapati dia sedang memiring-miringkan kepalanya. Matanya ia kerut-kerutkan. Kasihan aku melihat temanku yang satu ini. Mungkin ia tidak terlalu jelas dapat melihat bayangan wajahnya. Aku tersenyum simpul mendapati pemandangan mengenaskan ini.
“Aduh, susah banget Kang, bayangan rambut saya gak jelas nih,” keluh Mamat sambil masih memiring-miringkan kepalanya.
“Sabar Mat, nikmati saja prosesnya. Jangan dikira kejadian ini tidak memiliki arti. Suatu saat nanti, jika kita masih ada umur, kisah ini akan menjadi cerita yang menarik untuk dibagikan pada anak cucu kita kelak. Percayalah,” aku berseloroh sok bijak. Sok-sok menasihati Mamat. Dibalik perkataan ini, sesungguhnya aku sedang menghibur diri.
Aku melihat Mamat. Mamat memandangiku. Kami berdua tersenyum, lalu mengangguk-angguk.
“Hehe, iya juga ya,” Mamat mengimani perkataanku. Ia mengangguk-anggukan lagi kepalanya. “Oya Kang, padahal di tempat wudhu mesjid DT kan ada cerminnya ya. Guweude lagi,” celetuk Mamat. Mendengar itu aku berhenti menyisir. Aku melotot memandangi wajah Mamat yang ketika itu tiba-tiba berubah sangat ganteng dan mirip Albert Einstein. Entah bagaimana, Mamat tampak cerdas saat itu. Bahkan ia menjelma menjadi orang paling cerdas abad ini.
Aku masih melotot menatap Mamat. Mungkin, karena Mamat bisa melihat apa yang sedang kupikirkan lewat gelembung pemikiran yang melayang-layang di atas kepalaku, ia ikut melotot, lalu ikut juga tersenyum. Kami saling tatap. Aku menunjuk wajah Mamat. Mamat menunjuk mukaku. Aku mengangguk sekali. Mamat mengikuti. Qolbu kami bercengkrama lagi. Sejak saat itu, kami sering menyempatkan untuk mampir ke tempat wudhu mesjid DT saat hendak bepergian. Paling tidak sampai kami bisa membeli cermin nanti.
***
Kawan, satu lagi yang perlu kalian ketahui dari kos-kosanku. Disini, kamar mandinya hanya ada dua saja. Para penghuninya dapat dikatakan tidak sedikit. Sebagian besar adalah laki-laki. Sisanya perempuan. Umumnya tidak ada masalah dengan semua itu. Namun, sesekali memang terjadi sedikit hal diluar dugaanku. Sejauh ini, kejadiannya baru hanya terjadi tidak lebih dari tiga kali. Peristiwa itu, adegannya kurang lebih seperti ini:
Aku berlari kecil dari kamarku menuju kamar toilet. Apa lagi yang kulakukan jika bukan hendak membuang hajat. Hajat besar, kawan. Saat tiba di depan toilet, aku hanya bisa berdiri mematung, sembari kedua tanganku menggenggam, bahkan terkadang mencengkeram tubuh bagian belakangku. Disaat-saat seperti itu, dunia seakan tidak bersahabat denganku. Mereka seolah memusuhiku. Aku lihat cicak yang sedang menempel pada dinding di hadapanku. Entah bagaimana? Tiba-tiba saja dia menjulurkan lidahnya. Dia meledek diriku. Kurang ajar cicak itu. Awas saja jika aku sudah tenangan nanti!
Pada saat wajahku memerah, karena sudah terlalu lama menunggu orang di dalam toilet yang tak kunjung juga keluar, aku mencoba menenang-nenangkan diri. Sabar, Ko, sebentar lagi mungkin akan segera keluar. Sabar, sabar. Insya Allah satu menit lagi.
Dan akhirnya, satu menitpun lewat. Sayang seribu sayang, belum juga dua orang penunggu toilet itu keluar sarangnya. Aku maju, selangkah lebih dekat pada pintu toilet. Aku pasang telingaku baik-baik. Mencoba mendengarkan suara apa saja yang terdengar di dalam sana. Telingaku mendekat pada pintu yang sebelah kiri. Kudengar suara guyuran air berkali-kali. Tampaknya orang di dalam sedang mandi. Kemungkinan besar dia akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi di dalam. Kemudian telingaku mendekat pada pintu yang satunya. Samar-samar, kudengar senandung orang yang sedang mengeden-ngeden. Busyet, tampaknya dia sedang menikmati prosesi membuang hajat besarnya. Yang ini mungkin akan lebih lama lagi. Ingin sekali aku menggedor kedua pintu itu. Tapi aku tak sanggup. Kasian, mereka pasti akan terganggu. Aku menghibur diri lagi. Sabar, Ko. Satu menit lagi.
Saat wajahku meringis. Ketika dinamit hampir diujung dan sudah siap untuk ditembakan. Terdengar suara santri yang mendendangkan sholawat di mesjid DT. Seper sekian detik setelah mendengar dendangan sholawat itu. Muncul ide brilian di tempurung kepalaku.
BUANG HAJAT DI TOILET MESJID!!!!
Sejak saat itu, jika aku mendapati lagi peristiwa menyedihkan yang serupa ini. Aku tidak khawatir lagi. Dengan santai aku langsung berjalan menuju mesjid DT. Di sana, terdapat berjejer-jejer toilet yang bersih dan wangi. Dan, aku tidak perlu antri lagi.
Lagi-lagi, mesjid DT menjadi penyelamat hidupku. Betapa bahagianya ngekos di dekat mesjid.
***
Hari ini, kosanku sudah seperti pasar. Banyak orang dan berisik. Siapa lagi pelakunya jika bukan para alumni santri PPM. Di satu sisi aku gembira, karena rasa rinduku tersalurkan dengan hadirnya mereka disini. Tapi, di sisi lain aku merasa sedikit risih dengan keributan ini. Aku merasa tidak enak pada para tetangga kamarku, juga pada ibu kos.
Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW, bersabda,” Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia BERKATA BAIK ATAU DIAM. Barang siap beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia MENGHORMATI TETANGGANYA. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia MEMULIAKAN TAMUNYA.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Langganan:
Postingan (Atom)