Sore ini kembali hujan. Tapi
kecil. Masih banyak orang yang hilir mudik di jalan tidak menggunakan payung.
Mereka hanya menempelkan kedua telapak tangan di kepala, lalu berjalan cepat,
atau setengah berlari menghindari hujan. Dan langitpun tidak begitu hitam. Ada
beberapa bagian wajah langit yang tidak tertutup awan hitam. Meskipun memang
hanya sebagian kecil saja.
Selepas solat ashar berjamaah
tadi, Fajar dan Sabil belum keluar mesjid. Mereka masih berbincang ringan.
Padahal jam pengajian sore tinggal hitungan menit lagi sudah akan dimulai.
Fajar menatap layar hapenya.
“Sms dari siapa, Jar?”
“Akang. Katanya dia masih di
sekolah. Pulangnya mungkin agak sorean. Pengajian ini mungkin Akang datang
telat. Kalau-kalau nanti Ustad Ipun nanyain.”
“Ceritanya jadi Sang Penyampai
nih, hehe...”
Kedua orang sahabat yang sudah
saling kenal sejak lama itu tertawa renyah.
“A...!” Suara lembut Rani menghentikan
tawa Fajar dan Sabil. Mereka menoleh pada pintu belakang. Di luar, Rani berdiri
seorang diri.
“Masih di sini? Sebentar lagi
mau mulai,” telunjuk tangan kanan santriwati itu menempel pada pergelangan
tangan sebelah kirinya. Isyarat untuk mengingatkan waktu. Walaupun sebenarnya
tidak ada jam tangan di tangannya.
“Duluan aja, Teh. Bentar lagi Aa
nyusul bareng A Sabil.”
Rani melirik sabil. Sabil
tersenyum. Rani membalas.
“Yaudah. Rani duluan atuh ya. Assalamu’alaikum!”
Fajar dan Sabil menjawab salam
Rani berbarengan.
Sabil berdiri. Ia merapihkan
peci haji putihnya. “Cabut sekarang?” kedua tangannya masih menempel pada peci.
“Yuk!” Fajar memasukan hape pada
saku celananya. Lalu berdiri.
***
Fajar dan Sabil adalah dua di
antara sekian banyak santri yang tidak tinggal di pondok. Mereka tinggal di
rumahnya masing-masing. Untuk Sabil, dia memang tinggal bukan di rumah aslinya.
Remaja laki-laki ini sudah lama menetap di rumah pamannya, yaitu Ustad Rafi.
Ustad Rafi adalah kakaknya bapak Sabil. Beliau adalah satu dari beberapa ustad
yang ada di kampung Kepuh. Beliau tidak punya pondok pesantren. Ustad Rafi
lebih fokus untuk mengajar anak-anak usia sekolah dasar membaca Al-Qur’an.
Waktunya yaitu setelah magrib dan selepas subuh. Pada dua waktu itu, teras
depan rumah ustad Rafi ribut oleh celotehan anak-anak yang membaca kitab suci
umat islam.
Waktu tujuh tahun sudah lebih
dari cukup bagi Sabil untuk menjadikan kampung Kepuh sebagai tanah air kedua
setelah kota kelahirannya, yaitu kota Serang. Tujuh tahun lalu, saat Sabil
duduk di kelas tiga SMP, dia pindah sekolah ke MTS Kepuh. Sebuah sekolah yang
berdiri tidak jauh dari rumah pamannya, yang Sabil panggil dengan sebutan “Abi Rafi”.
Waktu itu Sabil tidak pindah sendirian. Dia ditemani oleh adik perempuannya
yang masih kelas enam SD. Dian namanya. Bersama Dian, adiknya, Sabil dididik
dengan ilmu agama yang baik. Lingkungan pesantren membuat Sabil dan Dian tumbuh
menjadi sosok anak yang tahu aturan. Itulah memang tujuan utama mengapa kedua
orang tua Sabil meminta sang kakak, Ustad Rafi untuk membantu mendidik kedua
anak terakhirnya. Sabil empat bersaudara. Dia dan Dian adalah dua anak terakhirnya.
Bersama dengan Fajar, Sabil
berkuliah pada jurusan pendidikan agama islam di IAIN Banten. Sekarang mereka
sudah menginjak mahasiswa tingkat akhir. Bersama dengan Fajar pula, meskipun
kedua mahasiswa ini belum lulus, mereka sudah dipercaya untuk menjadi guru
bantu di MA yang dulu tempat mereka menuntut ilmu. Yaitu MA Kepuh.
Dian, sang adik, sekarang baru
menginjak mahasiswa tingkat satu di kamus yang sama dengan sang kakak. Dian
mengambil jurusan ekonomi syari’ah.
Sedangkan Fajar, sang sahabat
karib Sabil, dia adalah anak Kepuh tulen. Semenjak berojol dari perut ibunya,
hingga detik ini, dia tidak bisa lepas dari kampung Kepuh tercinta.
Fajar adalah keponakan dari
ustad Ipun. Bapaknya Fajar adalah kakak dari ustad Ipun. Rumahnya hanya
terpisah tiga rumah dari pesantren sang paman. Beberapa bulan terakhir ini,
saat Akang sudah mondok di pesantren ustad Ipun, Fajar lebih sering menginap di
pondok. Di kamarnya Akang lebih tepatnya. Akhir-akhir ini, Fajar memang terlihat
akrab dengan sang santri baru itu.
Fajar adalah anak sulung dari
dua bersaudara. Adik satu-satunya yaitu Rani. Selepas lulus dari MA Kepuh, Rani
tidak melanjutkan kuliah. Dia lebih memilih untuk membantu mengajar ngaji di
rumah ustad Rafi. Sekalian akan lebih fokus untuk menuntut ilmu di pesantren
sang paman. Rani bercita-cita menjadi ibu rumah tangga seratus persen. Itulah
jawaban yang selalu dia berikan jika ada seseorang yang menanyakan tentang
cita-citanya.
“Rani ingin jadi ibu rumah
tangga,” jawab Rani yakin. Jawaban ini terlontar sekitar lima tahun lalu. Saat
Rani masih duduk di kelas dua MTS.
“Kenapa?” sang penanya bertanya
sekali lagi.
“Karena ibu rumah tangga adalah
sebuah profesi yangpaling mulia untuk kaum hawa,” jawab Rani dengan ciri khas
remaja sekolah menengah pada umumnya.
“Oooh...” Sabil yang waktu itu
masih remaja awal manggut-manggut. Waktu itu dia sedang main ke rumahnya Fajar,
yang tidak lain rumahnya Rani juga.
***
Jam bulat yang menempel di
sebelah atas papan tulis pada dinding sebelah depan majelis menunjukan pukul
setengah enam lewat sedikit. Semua santriwati sudah keluar majelis. Gerombolan
santri laki-laki mulai mengekor keluar.
Fajar dan Sabil gotong royong mengangkat
hijab. Hijab kayu yang terbungkus kain warna hijau itu mereka simpan di dekat
dinding sebelah kanan majelis. Kemudian kedua santri itu melangkah keluar.
NGEEEEEK
DRRUUUGG
Fajar menutup pintu majelis dari
luar. Ia kenakan sandal jepit birunya. Sabil sudah beberapa langkah di depan
Fajar. Fajar mengikuti langkah Sabil.
“A...!” seru Dian pada sang
kakak.
Sabil menoleh. Fajar ikut
menoleh. Pandangan kedua santri itu mendarat pada Dian yang sedang berdiri di
depan rumah ustad Ipun.
Dian menghampiri sang kakak.
“Ini, A. Makasih ya,” Dian menyodorkan
hape milik kakaknya yang tadi siang dia pinjam. Ia nyengir cengengesan. Seperti
anak kecil yang ketahuan telah melakukan sebuah kesalahan.
Sabil menatap curiga. “Jangan
katakan kalau pulsa Aa abis?”
Dian nyengir lagi.
Sabil mengecek pulsanya.
“Tadi Adek udah minta ke Bapak,
nanti malam katanya diisi lagi,” belum hilang wajah bersalah tapi tidak ingin
disalahkan itu. “Adek duluan ya. Dadah!” Dian meleos. “Mari, A Fajar,”
santriwati ini menyempatkan untuk menyapa sang sahabat kakaknya.
“Iya,” Fajar mengangguk.
Dian berucap salam saat tubuhnya
telah sempurna berbalik. Sabil dan Fajar menjawab pelan dan bersamaan.
Kedua sahabat itu melanjutkan
langkahnya yang sempat terhenti. Mesjid adalah tujuan mereka. Sore ini,
hamparan awan yang siang tadi berwarna kelabu, berubah menjadi jingga karena
terpaan mentari sore.
***
Pengajian malam. Ustad Ipun
sudah duduk di depan. Beliau duduk sila mengahadap sebuah meja kecil. Tangannya
dengan lembut membolak-balik kitab yang sedang beliau baca. Sepertinya sang
guru itu sedang mencari bab yang akan diterangkan pada pengajian bada isya kali
ini.
Akang baru tiba. Ia merapihkan
sandal jepit miliknya. Kemudian segera masuk. Di dalam, sudah banyak santri
yang tiba. Namun belum semua.
Akang melangkah menuju kumpulan
santri laki-laki. Saat melangkah, entah sengaja atau tidak, kedua bulatan hitam
mata Akang melirik pada barisan santriwati. Bulatan hitam itu fokus menatap
sang santriwati yang pada malam ini mengenakan gamis warna biru muda. Akang
hanya melihat bagian punggungnya saja. Punggung milik santriwati yang Akang
tahu bernama Anita.
Akang melanjutkan langkah.
Menyadari ada yang datang. Ada
yang berdiri di balik hijab setinggi pinggang orang dewasa, Anita reflek menoleh.
Pusat matanya mendarat tepat di wajah Akang yang bersiap untuk duduk. Segera,
Anita memalingkan kembali wajahnya.
Ustad Ipun membaca ta’awudz dan basmallah. Pertanda pengajian akan dimulai.
***
Biasanya Fajar dan Sabil yang
mengangkat hijab ke dekat dinding. Selepas ustad Ipun menutup pengajian, Sabil
izin untuk pulang duluan. Oleh karenanya, kali ini Akang yang menggantikan
posisi Sabil.
DRUKKK
Hijab dari kayu yang dibungkus
kain hijau itu membentur keramik numayan keras.
Tidak ada santri tersisa di
dalam majelis, kecuali Akang dan Fajar. Mereka melangkah menuju pintu. Fajar
duluan yang keluar. Akang masih di dalam menarik pegangan pintu.
“Fajar!” seorang santriwati yang
beberapa menit lalu berdiri menunggu sang sepupu di depan rumahnya memanggil
Fajar. Kedua tangannya memeluk sebuah novel. Bergegas ia melangkah hendak
menghampiri sang sepupu.
NGEEEK
DRRUUGGG
Akang menutup pintu dari luar.
Ia mencari sendal jepitnya.
Langkah sang santriwati terhenti.
Maksud hati ingin balik lagi. Tapi apa daya Fajar sudah menyadari keberadaannya.
“Teh Anita. Ada apa, Teh?” Fajar
menghampiri Anita.
Mendengar nama Anita telinga
Akang seperti bergerak. Ia menoleh pada sang santriwati itu.
“Ini novelnya, Teteh udah
selesai,” Anita menyodorkan novel yang tiga hari lalu dia pinjam dari Fajar.
“Oh iya,” Fajar menerima novel
yang disodorkan Anita.
Akang melangkah pelan
menghampiri Fajar. Lebih tepatnya hendak langsung pulang ke pondokannya. Sebab
Fajar dan Anita berdiri di dekat gang, Akang seperti hendak menghampiri mereka
berdua.
“Akang duluan, Jar ya,” Akang
seperti tidak menghiraukan isi perbincangan kedua sepupu itu.
Fajar menoleh. Ia menarik lengan
Akang. “Eh nanti dulu. Buru-buru amat, Fajar kan mau ke kamar Akang juga.”
Akang menurut saja apa kata
Fajar. Sebentar ia melihat Anita. Anita juga demikian. Mereka saling memberi
senyuman. Senyuman bernada malu-malu.
“Oh ya, kenalin dulu nih, Kang.
Ini Teh Fatimah, dia teteh sepupu saya,” terang Fajar pada Akang. Tangannya
terbuka mengarah pada Anita.
Mendengar ucapan Fajar, Anita
kaget. Kedua matanya memicing. Tidak berbeda dengan Anita, Akang juga ikut
heran. Kening Akang membentuk beberapa lipatan.
Fatimah?
“Teh Fatimah. Ini sohib Fajar,
namanya Kaka Ali.”
Ali?
Kedua mata Anita berubah
membulat. Tapi kulit dahinya yang tadi datar, sekarang menjadi bergelombang.
Kali ini mata Akang yang
menyipit, menatap Fajar aneh.
“Lho, Teh Fatimah dan Kaka Ali
wajahnya kok pada berubah jadi aneh gitu sih?”
Fajar memasang wajah datar.
Seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
“Kenapa?” Fajar mengangkat bahu.
“Memang Fajar salah sebut nama ya?” kemudian diakhiri dengan seringai bibirnya.
“Bukannya teteh ini adalah Teh
Anita?” ucap Akang lirih. Entah untuk Fajar ataukah untuk Anita.
Fajar menyeringai lagi.
“Teteh tahu ini siapa?” Fajar
menunjuk Akang.
Anita sedikit menunduk. Sudut
mata atasnya tetap melihat Akang. “Aa Akang kan?”
Fajar manggut-manggut riang. Ia
melihat Anita, lalu berganti menatap Akang. “Oooh, ternyata Akang dan Teh Anita
itu sudah saling tahu tho?” Kepala Fajar masih bergoyang. “Mmmmh.”
Tawa Fajar pecah. Melihat
kebingungan dua orang di depannya, mau tidak mau dia harus segera menjelaskan
semua kejahilannya. Kejahilan yang ia perbuat kepada dua orang yang ada di
hadapannya itu.
Fajar minta maaf atas
kelancanganya barusan. Ia menjelaskan bahwa semua itu hanya untuk menghangatkan
suasana malam yang masih lembab karena hujan kecil tadi sore. Fajar tertawa
lagi.
Akang dan Anita hanya bisa diam
sambil menatap Fajar. Jangankan untuk tertawa, tersenyum saja tidak bisa. Terlebih
bagi Akang. Peristiwa malam ini semakin memperbesar kemenangan Fajar atas
dirinya. Skor sementara, Fajar menang dua-kosong.
Selepas itu, Anita pamit untuk
undur diri. Ia masuk rumahnya lewat pintu depan. Akang dan Fajar melangkah
berbarengan melewati gang.
Setibanya di kamar Akang, Fajar
nitip hape pada Akang. Ia letakan alat komunikasi itu di meja kerja Akang yang
berukuran kecil. Sedangkan sang pemilik meluncur menuju toilet.
Belum satu menit Fajar keluar,
hapenya berdering. Sebuah pesan masuk. Tidak sengaja Akang melihat layar hape
Fajar yang menyala. Tertulis sebuah kata pesan masuk, dan di bahwahnya tertera
nama “Dian”.
Akang menghiraukan pesan masuk
itu.
Tidak lama, Fajar datang.
Akang juga diam. Tapi sesekali
sudut matanya melirik Fajar.
Fajar duduk satu meter di
samping Akang. Ia melihat hapenya. Kedua ujung bibirnya melebar. Manis sekali
senyuman itu.
Sudut mata Akang masih melirik
Fajar.
Fajar mengetik pesan balasan.
Tidak lama, pesan balasan masuk
lagi pada hape Fajar. Ia tersenyum lagi. Senyuman itu masih sangat manis. Belum
pernah Akang melihat Fajar tersenyum dengan rasa yang lebih manis dari malam
ini.
Fajar menyergap novel yang
barusan diberikan oleh Anita. Ia beranjak. “Saya kedepan sebentar, Kang. Assalamu’alaikum!”
Akang tetap saja duduk. Tapi
matanya mengikuti kepergian Fajar, hingga tubuhnya hilang terhalang tutupan
pintu. “Wa’alaikumussalam.”
Akang masih duduk di tempat yang
sama. Pikirannya mencoba menerka-nerka.
Lima menit berjalan.
Fajar tiba. Novel yang tadi ia
bawa sudah tidak ada di tangannya. Gurat wajahnya penuh keceriaan. Senyum
dibibirnya belum hilang. Masih manis seperti sebelum kepergiannya. Ia kembali
duduk satu meter di samping Akang.
Sudut mata Akang kembali melirik
Fajar. Belum hilang senyuman manis itu.
“Jar,” ucap Akang tiba-tiba.
“Iya,” Fajar menoleh.
“Waktu kuliah di Bandung, Akang
punya teman. Namanya Dian,” sambil berucap kalimat ini, Akang menatap lekat
bola mata Fajar. Dia ingin tahu seperti apa reaksinya.
Fajar masih menatap Akang. Ada
nada curiga dari tatapannya.
“Paras teman Akang yang bernama
Dian itu sangat cantik,” Akang masih memperhatikan gerakan bulatan hitam mata
Fajar.
Kecurigaan Fajar mulai berlipat.
“Hanya saja, Akang tidak tahu
lebih cantik mana antara Dian teman Akang dengan Dian adiknya Sabil.”
Mata Akang berpaling dari Fajar.
Sengaja.
Lima detik. Akang melihat Fajar
lagi. Santri itu masih belum bergerak. Juga belum berucap. Ia masih melihat
Akang dengan tatapan curiga berbalut sedikit malu.
“Tapi, jika Akang ingat-ingat
lagi. Sepertinya lebih pantas Dian yang ini kalau untuk Fajar.”
Pandangan Akang meninggalakan
wajah Fajar lagi. Akang tersenyum. Sebuah senyum beraroma kemenangan.
Oke. Saat ini saya memang masih kalah. Tapi setidaknya skor
berubah menjadi dua-satu!
Akang tersenyum.
Fajar masih menatap wajah Akang.
Sejak detik ini, dia mewasitkan pada dirinya sendiri. Mulai malam ini, saya
harus lebih berhati-hati dalam menjahili Akang. Sebab sekarang, Akang sudah memegang
jurus pamungkas untuk melawan kejahilan saya.
Fajar tersenyum dingin. Ia
menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
***