Kamis, 21 Desember 2017

Anak Krakatau


"Alhamdulillah. Setelah sekian lama, akhirnya sore ini bisa lengkap juga." Pak Okin tersenyum menatap tiga santri bimbingannya satu persatu. Nida, Zulfa, dan Putri membalas senyum ramah Pak Okin.

"Sebelum kita bergelut dengan soal-soal lagi. Saya ada kabar gembira untuk teman-teman."

"Asiiiik," Zulfa bersorak. Girang.

Bola mata Nida membulat. Sumringah bercampur penasaran.

"Apaan tuh Pak?" Putri tak sabar bertanya.

"Proposal kita di-ACC kepala sekolah. InsyaAllah Minggu depan kita akan ada kunjungan ke pos pengamatan gunung api Anak Krakatau di Pasauran," Pak Okin menutup kalimatnya dengan senyuman.

"Yeee, jalan-jalan!" Zulfa mengangkat kedua tangannya.

"Alhamdulillah," lirih Nida pelan. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya sendiri. Gestur pertanda gembira.

"Pak Okin dan kita-kita aja yang berangkat? Atau gabung dengan cabang olimpiade lainnya juga?" Putri bertanya.

"InsyaAllah nanti kita akan gabung juga dengan tim olimpiade kebumian," jelas Pak Okin.

"Asiiik!" Seru Zulfa.

"Kita ngapain aja di sana Pak?" Tanya Putri.

"Banyak," jawab Pak Okin. "Kita akan mengamati Anak Krakatau dengan teropong. Kita akan melihat alat pencatat gempa."

"Seismograph?" Potong Zulfa.

"Ya. Pokoknya kita akan belajar banyak di sana." Lanjut Pak Okin. "Kita akan melihat lebih dekat gunung api yang disebut-sebut sebagai pemilik letusan terdahsyat dalam sejarah manusia modern."

Putri, Nida, dan Zulfa menatap Pak Okin. Letusan terdahsyat?! Pertanyaan serupa terlantun di kepala ketiga santri perempuan itu.

Mendapati tatapan ketiga santri bimbingannya seperti itu. Pak Okin tak sabar untuk melanjutkan tuturannya tentang gunung api yang bersemayam di selat Sunda. Laut sempit antara pulau Jawa dan Sumatra.

"Ya. Sampai sejauh ini. Letusan anak Krakatau pada tahun 1883 merupakan letusan terdahsyat di era manusia modern. Menurut bukti-bukti tertulis. Letusannya terdengar hingga ke Australia dan Afrika. Dentumannya sampai pada telinga seperdelapan penduduk dunia. Abu vulkaniknya mengelilingi dunia. Menutupi atmosfer bumi. Karenanya, dua tahun Eropa tidak menjumpai musim panas. Sebab sinar matahari hanya remang-remang saja akibat terhalang debu. Suhu global turun satu koma lima derajat saat itu."

"Selepas letusan dahsyat itu. Diikuti juga dengan bencana tsunami yang menelan korban lebih dari 36.000 jiwa. Jumlah yang sangat banyak ketika itu. Tidak terbayang jika letusan itu terjadi hari ini. Mungkin korbannya akan jauh lebih banyak dari angka itu."

Nida meringis mendengar penjelasan Pak Okin. Zulfa menyipitkan mata. Putri mengernyitkan dahi.

"Kira-kira nanti akan meletus lagi gak ya?" Zulfa bertanya lirih. Keningnya melipat.

"Tidak menutup kemungkinan itu akan terjadi lagi," Pak Okin menjawab pertanyaan cemas Zulfa. "Sampai hari ini ukuran gunung api Anak Krakatau terus bertumbuh." Tambah Pak Okin.

"Pak," Putri mengangkat tangan. "Saya penasaran kenapa namanya harus Anak Krakatau? Kenapa tidak Krakatau saja?"

Pak Okin tersenyum.

"Sebelum letusan 1883. Gunung api ini bernama Krakatau. Tapi karena letusan dahsyat yang saya tuturkan tadi. Massa gunung itu hancur. Dan empat puluh tahun pasca letusan. Dari kawah yang tersembunyi di dasar laut, muncul gunung baru. Gunung ini terus bertumbuh sampai hari ini. Pertumbuhannya sekitar lima meter pertahun. Gunung api Inilah yang sekarang kita sebut sebagai Anak Krakatau."

"Perlu teman-teman ketahui. Pada saat letusan dahsyat 1883. Gunung Krakatau tingginya sekitar 800 meter. Sekarang, Anak Krakatau tingginya sudah mencapai lebih dari 200 meter. Ingat. Tinggi ini adalah di atas permukaan laut ya. Anak Krakatau adalah Gunung api bawah laut. Jika kita ukurnya dari dasar laut, tingginya pasti akan jauh dari angka itu."

"Iiih, takuuut," Zulfa melirik Putri dan Nida.

"Hehe," Pak Okin tertawa renyah.

"Jika Anak Krakatau meletus kira-kira tsunaminya sampai ke kita gak ya? Sekolah kita kan lumayan tinggi dan jauh dari pantai." Nida melihat Pak Okin. Lalu melirik Zulfa dan Putri. Entah pertanyaan ini untuk Pak Okin atau untuk kedua teman di sampingnya. Atau mungkin untuk semuanya.

"Mungkin saja bisa sampai." Jawab Pak Okin. "Kenapa? Takut ya?"

Nida mengangguk.

"Hehe. Jangan takut. Kita semua pasti akan mati. Hanya saja: waktu, tempat, dan cara bagaimananya saja yang masih menjadi rahasia. Entah itu karena letusan Anak Kakatau atau bukan. Kita tidak akan pernah tahu. Dan sesungguhnya bukan itu yang perlu kita khawatirkan. Yang harus kita khawatirkan adalah dalam kondisi bagaimana kita meninggal nanti. Dalam kondisi baik atau tidak. Guru saya di pesantren dulu pernah bilang bahwa kita sering berdoa minta hidup enak dan baik. Tapi justru kita lupa untuk meminta mati dalam keadaan baik. Karena itu, teruslah berdoa meminta supaya kelak kita bisa meninggal dalam kondisi baik."

"Tapi tetap saja lumayan takut Pak, hehe." Putri tertawa kecil. "Semoga saja Anak Krakatau gak akan pernah meletus lagi. Aamiin."

"Aamiin." Ucap Zulfa dan Nida bersamaan.

"Lagian kalau meletus kan kasian Pak Okin-nya belum menikah, hehe." Ujar Putri bercanda. "Oya, omong-omong Pak Okin kenapa sih belum menikah? Saya pikir dengan usia Pak Okin sekarang sudah sangat layak untuk menikah. Dua kakak laki-laki saya saja sudah menikah semua lho Pak. Kakak yang pertama mungkin seusia dengan Pak Okin. Kakak saya yang Kedua lebih keren lagi. Dia menikah hanya selang satu minggu setelah sidang skripsinya."

"Gak. Pak Okin nikahnya nanti saja dua atau tiga tahun lagi. Nunggu angkatan kita lulus sekolah dulu," tukas Zulfa melirik Putri. Lalu Nida.

"Yeeey." Sahut Putri membalas.

Nida diam saja.

"Padahal guru-guru jomblo di sini cantik-cantik lho Pak Okin. Mungkin saja kan satu di antaranya ada yang suka pada Pak Okin, hehe." Putri menggoda.

"Gak boleh!" Ucap Zulfa.

Putri mengabaikan Zulfa. Ada senyum di bibirnya.

"Ibu Hilda cantik tuh Pak. Saya pikir cocok banget dengan Pak Okin, hehe." Putri menggoda Pak Okin lagi. "Tanda-tanda jodohnya sudah ada. Vespa Pak Okin dan motor maticnya bu Hilda sama-sama berwarna kuning. Hehe."

Pak Okin diam saja. Hanya sebuah senyum yang dia berikan.

"Kok senyum doang? Hayo ngaku. Pak Okin suka ya ke Bu Hilda?" Putri menyerang lagi.

"Pak Okin tahu tidak apa yang pernah Ayah saya katakan pada kedua kakak laki-laki saya sebelum keduanya menikah?" Putri bertanya. Tapi pertanyaan yang sesungguhnya tidak butuh jawaban Pak Okin. Sebab dijawab ataupun tidak. Putri akan kembali melanjutkan kata-katanya.

"Ayah bilang begini. Jika ada laki-laki yang sudah cukup usia tapi belum menikah juga. Maka itu menandakan bahwa laki-laki itu tergolong kedalam laki-laki yang lemah. Lemah dalam hal apa? Pertama adalah lemah iman. Biasanya alasan mereka belum menikah karena belum punya harta yang cukup. Mereka lupa bahwa Allah itu Maha Kaya. Allah telah menjamin akan membuka rezeki bagi siapa saja yang telah menikah. Ini janji Allah."

"Kedua adalah lemah mental. Mental mereka lemah dengan terus beralasan bahwa mereka belum yakin ataupun belum siap hati. Tapi sejatinya itu tiada lain dan tiada bukan hanya karena mental mereka saja yang sudah seperti tempe. Lembek."

"Ketiga adalah lemah komunikasi. Komunikasi dengan siapa? Yaitu komunikasi dengan orang tua. Yang lebih parah adalah mereka mengatakan belum dapat restu orang tua. Padahal ngomong saja belum."

"Dan yang terakhir. Ini adalah yang paling mengkhawatirkan." Putri menghentikan kalimatnya. Dia beranjak dari duduknya. Melangkah ke samping Nida. Sedikit menjauh dari kursi beton. Posisi berdirinya seperti sedang bersiap untuk melangkah.

"Dan yang terakhir," Putri melanjutkan kata-kata yang dulu pernah dikatakan Ayah untuk kedua kakaknya. "Kenapa seorang laki-laki belum juga menikah padahal sudah mencapai usia menikah? Adalah mungkin karena laki-laki itu," Putri menatap Pak Okin. Tersenyum. "Adalah mungkin karena laki-laki itu lemah syahwat. Hehe. Maaf Pak Okin. Saya hanya mengatakan apa yang Ayah saya katakan saja." Putri bergegas melangkah. "Saya izin ke toilet dulu ya Pak," Putri minta izin sambil melangkah cepat. Kemudian dia tertawa lepas.

Zulfa terbahak.

Nida membekap mulutnya menyembunyikan tawa.

Pak Okin hanya tersenyum saja. Entah perasaan apa yang ada di dadanya. Mungkin sedikit merasa tersentil. Atau mungkin juga merasa geli. Yang pasti tatapnya kini mengarah pada tumpukan kertas yang berisi soal-soal olimpiade geografi satu tahun yang lalu. Senyumnya belum mau pergi.
***

Jam lima lewat lima menit. Pak Okin sudah duduk di jok vespanya. Vespa warna kuning yang Pak Okin beri nama Si Mamat. Kenapa Si Mamat? InsyaAllah akan saya kisahkan asal mulanya nanti. Mungkin di episode berikutnya. Atau berikutnya lagi.

Nida, Zulfa, dan Putri berdiri bersisian menghadap vespa Pak Okin.

"Makasih untuk hari ini Pak ya," ujar Putri.

Pak Okin tersenyum. Lalu mengangguk.

"Maafkan saya soal yang tadi Pak. Itu niatnya cuma becanda saja, hehe." Tambah Putri.

"Iya. Kamu jahat Put," ucap Zulfa.

"Gak papa kok. Justru karena kalimat Ayah Putri itu saya jadi lebih sadar bahwa memang sepertinya saya harus segera menikah."

"Yeeee. Alhamdulillah," Putri bersorak. "Pak Okin tahu tidak. Pas umroh kemarin, saya menyelipkan sebuah doa untuk Pak Okin."

Pak Okin menggeleng.

"Di depan Kabah saya berdoa agar Pak Okin bisa mendapatkan istri yang baik dan cantik. Nurut pada titah Pak Okin." Bibir putri melebar. Tersenyum merekah. Kedua tangannya menggenggam tali tas hitam yang dia gendong.

Zulfa melihat Putri. Nida juga. Nida semakin erat memeluk buku-buku yang dia rengkuh di dadanya.

Bulatan mata Pak Okin berbinar. "Alhamdulillah. Makasih Putri. Semoga demikian juga dengan Putri nanti," Pak Okin balas mendoakan. "Semoga demikian juga dengan Nida dan Zulfa nanti. Aamiin."

Awan kelabu berarakan. Pelan-pelan menutup langit sore.

Pak Okin melihat langit. "Sepertinya akan hujan. Hayu kita pulang," ajak Pak Okin.

JGRES GRES. JGRESS GRESS.

Pak Okin menyalakan mesin vespanya.

GRENG GRENG GRRENG

Pak Okin memainkan gas.

"Saya duluan ya. Jangan lupa terus ulik semua soal-soalnya."

"Iya Pak. Hati-hati ya," ucap Putri.

Zulfa menoleh pada Putri. Nida diam saja. Menunduk. Erat memeluk buku.

"Assalamualaikum," Pak Okin pamit.

GRENG GRENG GRENG

Vespa kuning meluncur. Meninggalkan Nida, Putri, dan Zulfa.

Belum jauh Si Mamat meluncur. Gerimis berhamburan. Perlahan butiran air yang tertumpah dari langit menderas. Baju dan celana Pak Okin basah.

Si Mamat masih meluncur. Hujan bertambah deras. Sepertinya harus berteduh dulu. Pikir Pak Okin dalam hati.

Melihat saung di depan salah satu asrama santri perempuan. Pak Okin meminggirkan vespanya. Bermaksud berteduh di sana.

Vespa berhenti. Di standarkan. Buru-buru Pak Okin menuju saung. Tatapnya menunduk melihat jalan. Setengah berlari.

Alhamdulillah. Aman. Pak Okin mengkibaskan kemejanya. Juga celana. Bermaksud menghilangkan butiran air yang menempel.

Pak Okin melihat Si Mamat. Lalu pandangnya bergeser beberapa derajat ke sebelah kiri. Ada sebuah motor matic di sana. Motor matic warna kuning.

Pak Okin melirik ke saung bagian belakang. Ada seorang perempuan berdiri. Mematung. Adalah ibu Hilda. Pandang Pak Okin bertabrakan dengan tatap ibu Hilda. Reflek keduanya saling melempar senyum. Namun belum ada kalimat ataupun kata.

Pak Okin kembali melihat vespanya. Tangannya dia lipatkan di dada. Mencoba mengusir dingin. Jiwa Pak Okin perlahan menggigil. Entah tersebab hembusan angin yang menabrak tubuhnya. Atau entah karena isi dadanya yang penuh tanya. Kalimat apa yang harus dia keluarkan untuk menyapa seorang perempuan yang saat ini sedang berdiri tidak jauh di belakangnya.

Pak Okin masih mematung. Hujan bertambah deras. Cipratannya semakin besar membelai tubuh Pak Okin. Hembusan angin juga menguat.

WUSSSSSHHHH

Pak Okin menggigil.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar