Kamis, 21 Desember 2017

Semangat Itu Menular

Dulu, saat status masih sebagai mahasiswa tingkat awal. Ketika semangat berprestasi sedang membara. Tidak sedikit seminar dan kajian pelecut berprestasi yang saya ikuti. Dari yang free hingga yang berbayar. Pada beberapa seminar itu. Ada satu kalimat yang sering saya dengar. Sebuah kalimat yang sama tapi diucapkan oleh para pemateri yang berbeda-beda. Adalah: Semangat itu menular. Ya. Bahwa semangat itu menular. Katanya.

Lantas? Apakah benar semangat itu bisa menular? Jika boleh saya menjawab. Maka jawabannya adalah YA. 

Oke. Saya akan bercerita dua buah kisah tentang semangat yang menular ini. Keduanya nyata. Begini.

Kisah pertama. Saya punya seorang teman. Namanya Yoga. Asal Subang, Jawa Barat. Akan sangat panjang jika kisah kami saya ceritakan semua. Saya akan berbagi sepenggalnya saja. 

Beberapa hari yang lalu. Hape saya berdentang. Ada sebuah WA masuk. Dari Yoga. Begini isinya:

Ko. Kamu sahabat pertama saya yang mengenalkan dan memotivasi saya tentang sebuah mimpi. Waktu itu saya hanya menulis lima mimpi saja. Saya lihat tulisan mimpi kamu banyak, Ko. Lebih dari lima. Saya lima saja mikirnya lama banget. Saking gak punya mimpinya. Saya jadi penasaran untuk menulis banyak mimpi juga. Saya contek mimpi-mimpi kamu saat itu, Ko. Bangun tidur. Jam tiga pagi. Saya tulis seratus mimpi yang sama dengan mimpi yang kamu tulis. Begitu mengalir. Banyak. Dan Alhamdulillah. Perlahan satu persatu mimpi-mimpi itu tercoret, Ko. Sampai kemarin. Takdir-Nya saya mencoret mimpi saya lagi. Yaitu mimpi ingin punya rumah di Bandung. Mungkin ini adalah mimpi yang tidak terbayang bisa saya wujudkan. Tapi Allah menakdirkan saya mampu mewujudkannya. Terima kasih kawan. Kamu telah menginspirasi saya dengan mimpi dan harapan yang selalu kamu sampaikan kepada saya dengan menggebu-gebu. Jika nanti ke Bandung. Silahkan datang ke saung saya. Tidak begitu besar memang. Tapi cukup untuk sekedar bercerita tentang masa lalu kita yang sangat indah. Saya gemetaran menulis ini, Ko. Sampai-sampai saya keluar air mata. Hayu kejar terus mimpi kita! Yakin kita akan coret semuanya!
***

Dulu. Saya sering berkata kepada teman-teman saya. "Jika tidak ingat bahwa saya ini laki-laki. Mungkin saat ini saya akan menangis". Saya ucapkan jika sedang menemui momen yang cukup mengharukan. Tapi perlahan saya sadar. Bahwa laki-laki juga adalah manusia. Dengan berat hati. Saya ingin jujur. Air mata saya meleleh selepas membaca kalimat demi kalimat yang dikirimkan sahabat lama saya. Yoga. 

Terima kasih, Kawan. Semangat dan kebahagiaanmu yang telah Kau ceritakan, membuat lentera mimpi-mimpi saya yang mulai redup kini insyaAllah membara kembali. Sungguh benar. Bahwa semangat itu menular. 

Kisah kedua. Waktu itu saya pernah menulis catatan harian guru. Judulnya "Mimpi". Tulisan yang bercerita tentang mimpi saya dan mimpi anak-anak saya di kelas X IPS 1. Tidak lama setelah saya membagikan tulisan sederhana itu. Seorang santri perempuan (tholibah) kelas X IPS 2 menodong saya.

"Stadz, saya ingin difoto juga!" Tembaknya.

Kening saya mengkerut. "Foto?"

"Iya, Stadz. Foto yang bareng tolib itu. Yang ada kertas tulisan cita-citanya." Dia menjelaskan.

"Iya. Kami juga ingin difoto seperti mereka Stadz. Supaya cita-cita kami bisa dilihat dan didoakan banyak orang." Ucap tholibah lain.

"Oh...," saya mulai paham maksud mereka. 

Saya duduk di kursi guru. "Oya, teman-teman tahu darimana foto dan tulisan itu?"

"Dari hape ayah saya. Pas saya lihat hape ayah, ada foto ustadz dan tholib anak-anak Ustadz, hehe." Ujar seorang tholibah putrinya seorang ustadz di tempat saya mengajar. 

"Oh...," Saya manggut. "Oke. InsyaAllah nanti kita foto ya. Tapi sebelumnya teman-teman harus tuliskan dulu mimpi teman-teman di kertas. Tulisannya yang besar dan berwarna." 

"Oke Stadz!" Jawab mereka berbarengan. 

"Teman-teman sudah punya cita-citanya kan?!"

Sebagian tholibah menjawab sudah. Namun sebagian sisanya hanya menggeleng saja. 

"Lho. Katanya mau
foto mimpi. Kok mimpinya belum punya?" Saya tujukan pada yang menggeleng.

"Masih bingung Stadz, hehe."

"Pokoknya saya tidak akan mulai foto jika semuanya belum ada tulisan cita-citanya!" 

"Iya deh Stadz. Nanti kita mikir dulu cita-citanya."

Saya beranjak dari kursi. Berdiri di depan kelas. Diam sejenak. Menggaruk kepala belakang. Mencoba berpikir. 

"Saya boleh minta dua buah kertas." Pinta saya pada tholibah.

"Buat apa Stadz?" Tanya seorang tholibah.

"Sini minta dulu. Nanti akan saya jelaskan untuk apanya." 

Rencananya. Saya akan sampaikan juga simulasi pentingnya memiliki mimpi yang pernah saya sampaikan pada anak-anak saya (X IPS 1) kepada mereka. Semoga setelahnya mereka tidak bingung lagi dalam menentukan cita-cita. Lalu berusaha keras untuk bisa mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Aamiin.
***

"Oke. Semuanya lihat ke kamera dan bilang CIIIRS!" Titah saya.

"CIIIIIIIIIIIIIIIIIRRRRRSSSS!!!!" 

Hari itu. Saya disadarkan lagi. Bahwa semangat itu memang menular. Benar-benar bisa menular. Karenanya. Selalu perhatikan dengan siapa kita berteman. Sayyidina Umar bin Khotob ra pernah berkata. Ceritakan kepada saya dengan siapa dia berkawan. Maka saya akan tahu orang seperti apa dia. Wallahualam.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar