Selasa, 23 Januari 2018

Botol Mimpi


NGIIIK NGIIIK NGIIIK

Suara spidol yang bergesekan dengan papan tulis.

TUKKK

Dentuman suara hasil tekanan spidol yang membuat titik pada akhir huruf yang saya tulis. White board yang tadi mulus. Kini sudah ada beberapa tulisan huruf, angka, dan gambar.

BAYU DWI NUR WICAKSONO

MUHAMMAD ALAWI ABDURROHIM

NCP

Di bawah tiga baris nama itu ada gambar sebuah pohon rindang. Lalu tepat di samping pohon ada angka yang dikurung sebuah garis kotak.

8-3

"Apa itu Stadz?" Tanya seorang santri.

"Siapa itu Stadz?" Tanya santri yang lain.

Saya tidak menjawab. Hanya memberi senyum saja.

"Apaan itu Stadz?" Tanya santri yang lain lagi.

"Dulu," ucap saya pendek. Lalu diam lagi. Para santri serius melihat saya.

"Dulu. Saya pernah seperti teman-teman sekarang. Saya nyantri. Belajar di pesantren. Tidur bareng dengan banyak orang dalam satu kamar."

Beberapa santri merapatkan badannya ke meja. Menyimpan tangan di atas meja. Guna menopang tubuhnya yang condong ke depan.

"Saat itu menjelang pesantren usai. Mas Bayu, Alawi, dan saya sepakat untuk mengikat janji. Janji untuk berkumpul pada setiap tahun di suatu tempat yang hanya kami bertiga saja yang tahu."

"Kami tuliskan seratus mimpi pada sebuah kertas. Mas Bayu satu lembar. Alawi satu lembar. Juga saya." Saya goreskan ujung telunjuk kanan saya ke telapak tangan kiri. Menguatkan kalimat yang saya ucapkan.

"Setelah selesai. Kami gulung ketiga kertas itu. Lalu kami masukkan pada sebuah botol. Dan botol itu kami kubur di bawah pohon besar yang ada di sebuah taman di kampus UPI."

"Botol itu kami kubur sore hari. Pada tanggal delapan Maret."

"Semenjak itu. Setiap tanggal delapan pada bulan ketiga. Kami wajib bertemu di bawah pohon tempat terkuburnya botol mimpi-mimpi kami. Pada hari itu kami keluarkan botolnya. Kami keluarkan juga tiga buah kertas di dalam botol. Kami ambil mimpi kami masing-masing. Kemudian kami coret beberapa tulisan mimpi yang sudah kami wujudkan. Terakhir. Kami tambahkan beberapa tulisan mimpi terbaru kami. Lalu botol kembali dikubur pada tempat yang sama."

"Begitu terus setiap tahunnya. Pada tanggal delapan di bulan ketiga. Kami berkumpul untuk mencoret mimpi yang sudah mewujud. Lalu menambahkan mimpi-mimpi baru. Kemudian botol dikubur lagi. Dan akan kembali digali pada tahun berikutnya."

Saya melihat wajah para santri. Semuanya. Tanpa terkecuali. Wajah mereka cerah merona. Senyum melengkung. Mata mereka berkerlip seperti bintang di malam cerah.

"Sekarang," saya memberi jeda. "Mas Bayu sudah menjadi dosen D3 jurusan penerbitan di UI. Alawi menjadi ustadz di Bandung."

"Waaah," gumam para santri lirih.

"Dan saya. Alhamdulillah berhasil mencoret salah satu mimpi terbesar saya. Sekarang saya berdiri di tanah kelahiran saya."

"Saat kuliah. Saya berjanji pada diri. Apapun yang terjadi. Setelah lulus nanti. Saya harus kembali ke daerah. Mengabdi pada tanah kelahiran. Apapun peran saya nanti. Pokoknya saya wajib kembali."

"Mimpi besar itu terwujud. Dan sekarang saya bisa bertemu dengan teman-teman di dalam kelas ini." Saya tutup kalimat saya dengan sebuah senyuman.

"Cieee," lirih santri berjamaah.

"Kemarin saya sudah menghubungi Mas Bayu dan Alawi. Sekedar mengingatkan tentang perjumpaan kami pada angka delapan dan tiga. Yang insyaAllah hanya tinggal hitungan dua bulan saja."

"Kalau lagi pada sibuk gimana itu Stadz?" Celetuk seorang santri.

"Sebisa mungkin kami utamakan harus pada tanggal itu. Tapi jika memang tidak bisa. Kami mundurkan beberapa hari. Kami cari hari Sabtu atau Minggu yang berdekatan dengan tanggal delapan Maret."

"Oooh."

"Dan sekarang!" Saya memberikan penekanan pada ucapan saya. "Adalah waktunya untuk teman-teman!"

Saya melangkah ke dekat meja guru.

"Saya akan bagikan sebuah kertas pada semuanya. Silahkan tuliskan semua mimpi yang teman-teman miliki. Semakin banyak semakin bagus. Jika sudah selesai. Kumpulkan kertasnya ke saya. Nanti saya akan cari botol untuk tempat menyimpan kertas mimpi teman-teman. Kemudian kita cari sebuah tempat di NF yang sekiranya tidak akan berubah hingga tahun-tahun yang akan datang. Kita tanam botol mimpi teman-teman di sana."

"Oke!"

"Sekarang tanggal berapa?" Saya bertanya.

"Tiga belas Januari." Jawab beberapa santri serempak.

"Nanti. Tahun depan. Atau tahun-tahun berikutnya. Entah itu tiga tahun. Lima tahun. Atau sepuluh tahun kedepan. Siapapun diantara teman-teman yang ingin melihat, mencoret, atau menambahkan mimpi. Harus pada tanggal yang sama dengan sekarang. Botol mimpi boleh digali hanya pada tanggal tiga belas bulan kesatu saja. Hanya pada tanggal itu!"

"Teman-teman banyak orang. Akan sangat sulit bagi teman-teman bisa berkumpul pada hari itu. Ingat! Peraturannya hanya satu saja. Siapapun yang kelak merindukan botol mimpi. Silahkan datang ke tempat rahasia teman-teman pada angka tiga belas dan satu. Silahkan gali. Lihat. Coret. Dan tambahkan lagi mimpi. Kemudian harus dikubur lagi. Wajib!"

"Sepakat?!"

"Sepakaaat!"

"Untuk teman-teman kita yang masih di Jordan. InsyaAllah mimpi-mimpi mereka akan menyusul masuk botol pada tahun depan."

"Stadz. Sebentar lagi bulan Maret. Ustadz akan ke Bandung lagi dong?"

"Ya."

"Gimana kalo bentrok dengan ngajar?"

"Saya akan izin. Jika tidak diberi izin. Seperti apa yang saya katakan tadi. Akan kami mundurkan pada hari Minggu setelah tanggal tiga."

"Ya yaaa." Santri yang tadi bertanya manggut-manggut.

"Sepertinya pertemuan tahun ini akan sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya."

"Kenapa Stadz?"

"Karena Mas Bayu dan Alawi sudah ada gandengan. Istri-istri mereka mungkin akan diajak. Hehe."

"Jiaaaaaaah. Jomblo. Nasib nasib. Haha."

"Hahahahahha!" Santri lain ikut terbahak.

Terkadang. Pada momen-momen tertentu. Anak-anak saya berubah menjadi anak yang menyebalkan. Seperti hari ini. Ah sialan! Hahaha.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar