Jumat, 31 Desember 2010

Kentut (Penghuni Kamar Tiga Belas)


Di Pondok Pesantren (ponpes) Daarut Tauhiid (DT), tempat aku menuntut ilmu agama sekarang, terdapat beberapa program santri. Program-program tersebut adalah sebagai berikut:

1. Santri siap guna (SSG)
Program ini waktu pelaksanaannya adalah empat bulan. Akan tetapi tidak empat bulan penuh, pelaksanaannya hanya dua hari dalam satu minggunya, yaitu hari Sabtu dan Minggu. Jadi, dalam satu periodenya, hanya tiga puluh dua hari yang terpakai.

Sabtu pagi, ba’da solat subuh, para santri berkumpul di depan mesjid DT, seharian itu mereka mendapatkan materi sampai menjelang adzan magrib. Malam harinya mereka menginap di aula darul hajj atau darul ilmi, yaitu tempat yang biasa digunakan para santri untuk belajar. Namun, ada juga sebagian santri ikhwan yang tidur di masjid DT. Esoknya mereka memulai hari seperti biasa, yaitu ada materi sampai waktu magrib tiba. Ba’da magrib, para santri pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing.

2. Dauroh Ramadhan (DR)
Pelaksanaan program ini hanya satu kali dalam satu tahunnya, yaitu pada bulan Ramadhan. Program ini berawal dari satu minggu sebelum bulan Ramadhan, dan berakhir sekitar satu minggu sebelum idul fitri.

3. Dauroh Qolbiah (DQ)
Sama dengan DR, program ini juga pelaksanaannya hanya satu bulan, akan tetapi yang membedakannya adalah, pelaksanaan dalam setiap tahunnya. Jika DR itu hanya satu kali dalam satu tahun, program DQ ini bisa beberapa kali pelaksanaan.

4. Tahfidz Qur’an (TQ)
Program ini lebih ditekankan untuk penghapalan Al-qur’an. Waktu pelaksanaannya adalah empat bulan penuh.

5. Akhlak Plus Wirausaha (APW)
Waktu pelaksanaan program APW adalah empat bulan penuh. Sesuai dengan nama programnya, materi-materi yang diajarkan lebih ditekankan pada perbaikan akhlak dan kemampuan berwirausaha.

6. Program Pesantren Mahasiswa (PPM)
Program ini adalah program santri yang aku ikuti. Pelaksanaannya satu tahun penuh atau sesuai dengan satu tahun pembelajaran di kampus. Waktu belajar yang disediakan, menyesuaikan dengan waktu belajar mahasiswa.

Identitas Santri
Untuk membedakan satu program santri dengan program yang lain, pengelola pesantren menggunakan syal. Syal ini harus digunakan jika para santri keluar dari asrama. Setiap program yang berbeda memiliki warna syal yang berbeda pula. Untuk program DQ dan DR, syalnya berwarna biru muda. Program TQ menggunakan syal biru tua. Program APW, syalnya berwarna kuning. Sedangkan program yang aku ikuti (PPM) diberikan syal warna ungu. Untuk program SSG sedikit berbeda, karena kelas yang sering digunakan adalah kelas alam (out door), identitas mereka tidak menggunakan syal, tetapi kaos olahraga tangan panjang yang dibelakangnya terdapat tulisan “Santri Siap Guna, Daarut Tauhiid”.

Asrama Santri
Ada tiga asrama santri di ponpes DT: dua asrama akhwat dan satu asrama ikhwan.Nama dari asrama ikhwan adalah “Asrama Darussalam”, sedangkan untuk asrama akhwat, yang pertama bernama “Asrama Ulul Azmi”, dan untuk asrama yang satunya aku lupa, alias tidak ingat. Pada tiap tahunnya, pengelola ponpes mengadakan award asrama, pemenang award ini diperuntukan kepada asrama yang kondisinya paling bersih. Asrama yang paling banyak menggondol award ini adalah asrama akhwat Ulul Azmi. Tidak heran, karena penghuninya adalah orang-orang yang notabene rajin bersih-bersih, yaitu akhwat. Padahal asrama akhwat kanada dua, kenapa Ulul Azmi yang menang?Iya benar, asrama akhwat memang ada dua, tapi, mungkin karena jumlah penghuni Ulul Azmi lebih banyak dari asrama akhwat yang satunya, jadi lebih banyak sumber daya yang bekerja. Jika kualitas kerjanya sama, maka kuantitas yang menentukan Ulul Azmi lebih bersih dari asrama yang satunya.

Ghurfah tiga belas
Batinku tidak keruan ketika mendengar namaku mendapatkan jatah tidur di kamar nomer tiga belas. Dilema antara gembira dan sedikit takut. Gembira karena kamar tiga belas letaknya berada di bawah, posisi kamar yang aku inginkan ketika survei asrama sebelum masuk PPM. Jendela kamar ini sangat besar, jadi pertukaran udara bagus, juga pencahayaannya sangat baik. Selain itu juga, tepat di depan kamar ini, terdapat sebuah lapangan futsal yang biasa digunakan para santri untuk berolah raga. Dan sedikit takut karena nomer dari kamar ini adalah tiga belas, nomer yang banyak orang sebut-sebut sebagai angka sial. Benarkah???

Aku ditempatkan dengan lima santri lainnya, mereka adalah:
1. Achmad Faqihudin
Panggilannya adalah Faqih. Dia santri yang berasal dari kota udang Cirebon. Faqih kuliah di kampus yang sama denganku, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia. Dia mengambil konsentrasi pada jurusan pendidikan agama islam. faqih adalah jebolan sebuah ponpes modern Al-Urwatul Wutsqo di Indramayu.

Kebiasaan yang sering dia lakukan adalah duduk berlama-lama di depan laptop kesayangannya. Jika aku perhatikan, laptop itu ibarat kekasih hati bagi seorang faqih. Sepertinya dia tidak bisa hidup dengan tenang jika tidak ada laptop yang menemani di sisinya. Pengetahuan ilmu agamanya adalah yang terbaik di kamar tiga belas, bahkan mungkin juga terbaik di asrama. Tidak jarang dia menjadi sumber jawaban bagi santri yang kebingungan dalam persoalan fiqih ibadah.Namun, bukan manusia namanya kalau memiliki kesempurnaan. Faqih juga memiliki banyak kekurangan, yang paling kentara sekali adalah ketergodaannya dengan yang namanya akhwat. Kami, penghuni kamar tiga belas lainnya memaklumi kekurangan sahabat kami yang satu ini, hal ini karena selama enam tahun dia hidup di ponpes, yang mana hubungan antara ikhwan dan akhatnya itu sangat dijaga. Menurut riwayat, dia belum pernah merasakan apa yang namanya pacaran. Oleh karena itu, ketika melihat akhwat-akhwat PPM yang cantik-cantik, faqih laksana Jaka Tarub yang baru melihat bidadari turun dari kayangan.

“ SubhanAllah, bidadariiii, saya akan lamar dia kelak,” ujar Faqih ketika melihat akhwat PPM bercadar kesukaannya. Ketika itu kami dalam perjalanan menuju asrama hendak pulang selepas materi malam di Darul Hajj. Wajahnya seperti wajah Scobi doo yang baru menemukan makanan lezat setelah sebulan penuh tidak makan dan tidak minum.

Kami biasa menyebutnya sang aktivis. Dia mengikuti sebuah organisasi ekstra kampus yang pengaruhnya numayan besar di negeri ini. Faqih sangat bersemangat jika ada teman satu organisasinya yang mengajak berdemo. Dia sangat mengagumi seorang aktivis yang mati di atas puncak gunung karena menghirup gas beracun, yaitu Soe Hok Gie. Tidak terhitung berapa kali dia menonton film tentang aktivis pujaannya itu. Jika kuperhatikan, ekspresi wajahnya tidak pernah berubah ketika dia melihat film Gie, meskipun dia telah beberapa kali menonton, dia seperti orang yang baru pertama kali melihatnya.

Akhir-akhir ini Faqih sedikit berbeda, dia terlihat lebih sensitif. Mungkin penyebabnya karena laptop kesayangannya yang rusak. Iya, sudah satu bulan ini dia tidak berinteraksi dengan kekasihnya (baca: laptop). Sebenarnya masih ada satu orang lagi yang memiliki laptop di kamar nomer tiga belas, dia adalah Arahmat Jatnika dari Tasikmalaya. Namun, karena Arahmat juga seorang mahasiswa yang memiliki segunung tugas, jadi, Faqih tidak bisa leluasa meminjam laptop untuk menyelesaikan tugasnya.

2. Zulkifli
Kami biasa memanggilnya kang Zul, karena dia adalah santri paling tua di kamar tiga belas. Kang Zul berasal dari Bekasi. Satu daerah dengan Ustad Mardais Al-Hilal, penanggung jawab PPM, beliau adalah orang paling disegani oleh santri PPM di ponpes DT setelah Aa Gym.

Kang Zul adalah pindahan dari program APW. Dia pindah sekitar dua bulan lalu. Alasan kepindahannya adalah karena sekarang kang Zul berkuliah di Al-imarot, mengambil jurusan bahasa arab. Jika dia tetap mengikuti program APW, dia akan kelabakan mengatur waktu antara belajar di Al-imarot dengan di APW, karena di APW belajarnya terkadang seharian penuh. Sedangkan di PPM, kang Zul dapat dengan leluasa mengerjakan kedua hal tersebut dengan tidak mengganggu satu sama lain, karena kegiatan belajar mengajar di PPM itu disesuaikan dengan jam perkuliahan. Namun, meskipun begitu, kang Zul adalah salah satu santri yang sering absen dalam materi PPM.Apa penyebabnya??? Mari kita bahas bersama-sama!!

Jam kuliah kang Zul di Al-imarot selalu siang hari. Dimulai dari jam satu dan berakhir sebelum waktu isya. Meskipun kuliahnya siang, kang Zul tidak pernah bisa menyembuhkan virus kesiangannya. Dia selalu kesiangan. Mungkin ini karena lokasi kampus yang sangat jauh dari asrama DT. Untuk bisa mencapai kampusnya, kang Zul harus menempuh perjalanan selama empat puluh lima menit, itupun jika jalannya lancar, jika macet, bisa mencapi satu jam kang Zul melamun di dalam angkot.

Kebiasaan buruk kang Zul adalah selalu bangun kesiangan. Salah-satu peraturan yang ada di ponpes DT adalah bangun beberapa menit sebelum waktu subuh. Untuk membisakan hal tersebut, sang mudabir selalu membangunkan santri sekitar tiga puluh menit sebelum adzan subuh berkumandang. Tidak jarang, karena saking susahnya kang Zul dibangunkan, sang mudabir menggunakan media air untuk membangunkannya. Namun, dalam permasalahan ini kang Zul tidak sendirian, Karena kang Zul memiliki teman yang sering dibanjur air juga karena permasalahan yang sama.Dia adalah Adit, mahasiswa STBA (Sekolah Tinggi Bahasa Asing). Penjelasan lebih jauh tentang Adit, insyaAllahakan dipaparkan berikutnya.

3. Arrahmat Jatnika
Panggilannya adalah Mamat. Dia mahasiswa ilmu komputer, Universitas Pendidikan Indonesia.Dia sangat mahir dalam hal teknologi informasi (TI). Hanya ada satu orang di asrama Darussalam yang dapat menggungguli kehebatan Mamat. Dia adalah Miftahul Fadli dari Samarinda, Kalimantan Timur. Tidak heran, karena Fadli mengambil jurusan teknik informatika di Institut Teknologi Telkom, Bandung. Selain itu juga, Fadli lebih awal mengenal dunia informatika dibandingkan dengan Mamat. Fadli mahasiswa angkatan 2008, sedangkan Mamat baru masuk tahun 2010 ini.

Mamat memiliki kebiasaan yang sama dengan Faqih, yaitu sering berlama-lama berduaan dengan komputer.Yang membedakan dia dengan Faqih adalah programyang digunakannya. Kalau Faqih lebih sering menggunakan program office, karena dia sering menulis sesuatu yang berhubungan dengan keilmuannya. Sementara Mamat, aku tidak faham program apa yang sering dia gunakan, karena ilmuku belum bisa menjangkaunya. Namun, ada satu program yang aku ketahui, hal ini karena hampir setiap hari Mamat menggunakannya. Program itu adalah game “Super Mario Bross”.

Ada satu kebiasaan jelek Mamat yang tidak disukai oleh penghuni kamar tiga belas lainnya, dia sering kentut diam-diam. Memang, volume kentutnya tidak besar, akan tetapi racun yang ditimbulkannya itu ibarat radiasi dari bom nuklir,bahkan bisa lebih.Biasanya, setelah memproduksi racun, Mamat hanya tersenyum sendiri sambil menatap layar laptopnya. Sementara penghuni kamar lainnya kabur keluar kamar. Ada yang lari ke toilet, ini biasa dilakukan oleh Adit. Ada yang lari ke warteg di depan asrama, kang Zul yang sering melakukan hal ini,entah apa alasannya.Faqih lebih ekstrem lagi. Dia seolah-olah berubah menjadi orator dalam sebuah demonstrasi. Biasanya Faqih berdiri tegak menghadap ke kamar kami yang ada Mamat di dalamnya. Faqih mengacung-acungkan kepalan tangannya. Dengan nada keras dia berorasi,” Ini adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Permasalahan ini harus ditindak. Keluarkan Saudara Mamat dari kamar tiga belas, keluarkan Mamat dari kamar tiga belas, keluarkan Mamat dari kamar tiga belas,” Faqih ucapkan berulang-ulang. Sampai-sampai penghuni kamar lalinnya keluar karena keributan ini. Sementara aku, yang kulakukan hanyalah menghirup udara segar sebanyak-banyaknya dengan maksud menetralisir racun dari dalam tubuh. Aku biasa melakukannya di kursi tamu sebelah kamar mudabir. Sambil menghirup udara, aku ketawa-ketawa sendiri melihat tingkah-polah Faqih yang mendemo Mamat, sementara Mamat hanya menanggapinya dengan sebuah tawa yang ringan.

4. Nevian Rizki Ahadiat
Kami biasa memanggilnya Vian. Dia adalah satu dari beberapa santri yang masuk ponpes DT atas kehendak orang tuanya.Selain Vian, di kamar tiga belas ada satu orang lagi yang masuk DT atas perintah orang tua, dia adalah Adit, lengkapnya Aditia Sam Kamarulloh. Adit lahir di Pekan Baru, Riau, akan tetapi Adit dibesarkan di Cimahi.

Vian berbeda dengan Adit. Selain tampangnya yang berbeda, sifat kedua orang ini juga berbeda. Meskipun mereka sama-sama diperintah orang tua, Vian tidak menampakan kemalasannya dalam mengikuti peraturan-peraturan ketat ponpes DT. Vian terlihat selalu bersemangat dalam mengikuti semua rangkaian kegiatan dari subuh sampai menjelang tidur.Terbukti, dia merupakan satu dari beberapa santri yang tiba paling awal pada waktu subuh di masjid DT.

Selain dipanggil Vian, ada beberapa santri lain yang memanggilnya dengan sebutan “bule”, mungkin ini dikarenakan oleh kulitnya yang putih untuk ukuran seorang laki-laki.Selain itu, tampang Vian adalah satu dari beberapa santri yang numayan ganteng. Aku sedikit minder jika berjalan melintasi akhwat berbarengan dengan laki-laki yang satu ini. Namun, beberapa waktu yang lalu, kami, para santri mendapat kabar kalau Vian keluar dari PPM, mengenai alasan keluarnya, kami belum mengetahuinya. Mungkin karena dia memiliki kesibukan lain di luar, atau juga karena sudah tidak tahan dengan racun yang diproduksi oleh PT. Kentut Arrahmat Jatnika. Hanya Allah yang mengetahuinya.

5. Aditia Sam Kamarulloh
Santri yang mendapatkan ekstra perhatian dari penanggung jawab PPM, ustad Mardais Al-hilal. Santri yang paling akhir masuk kelas, baik itu materi pagi ataupun materi malam. Satu dari dua santri yang sering dibanjur mudabir (kang Hakmal) karena susah untuk dibangunkan subuh. Santri yang paling sering pulang kampung, hampir setiap minggu dia pulang ke rumahnya di Cimahi. Dialah Adit, mahasiswa jurusan sastra Inggris di STBA, Bandung.

Hanya ada dua hal yang bisa membuat Adit merasa senang, yaitu mendengarkan ceramah Aa Gym dan bermain futsal di lapangan olahraga asrama Darussalam. Entah kenapa, Adit selalu bersemangat pada jadwal ceramah Aa, sedangkan pada jadwal yang lainnya kurang atau bahkan tidak, apalagi ketika jadwal tahsih Alqur’an yang diajar oleh ustad Suherman, padahal, sepengamatanku, metode mengajar ustad yang satu ini sangatlah mudah dicerna. Entah apa alasannya???

Seperti yang sudah dijelaskan di muka, paling tidak, satu minggu satu kali Adit pulang ke Cimahi. Biasanya, waktu pulang ke asramanya lagi itu agak sedikit terlambat. Satu atau dua materi yang Adit lewatkan (tidak masuk). Hanya ada satu penyebab yang bisa membuat Adit balik ke asrama tepat waktu. Apa itu??? Jawabannya adalah pertandingan futsal antar ghurfah (kamar).

“ Kapan pertandingannya, Ko??? Oke, satu jam lagi saya sampe ke asrama. Ayo kita bantai lagi kamar-kamar lain. Thanks Ko infonya,” ujar Adit via hape. Adit langsung telfon hanya beberapa detik saja ketika aku SMS dia. Dua puluh menit kemudian Adit sudah ada di asrama. Padahal, perjalanan normal dari rumah Adit di Cimahi ke asrama bisa memakan waktu sekitar empat puluh lima menitan.

Namun, akhir-akhir ini Adit ada sedikit perubahan, yaitu dia lebih sering mencuci bajunya, berbeda dengan ketika masa awal dia masuk asrama. Kuperhatikan,sekarang hampir setiap hari Adit mencuci baju. Pagi hari dia merendam pakaian kotornya yang digunakan kemarin. Satu kali nyuci paling hanya satu atau dua potong pakaian. Banyak air yang dia gunakan. Dia bilas bersih pakaiannya. Dia kucek-kucek. Dibilas lagi. Dikucek lagi. Kemudian dia banjur lagi. Waktu terus berjalan, hingga tiba waktu subuh. Diwaktu ini, giliran Adit yang dibanjur oleh kang Hakmal karena susah bangun.

Tragedi Sore Hari
Jam dinding kamar nomer tiga belas menunjukan pukul setengah lima. Tidak biasanya, sore ini penghuni kamar sedang ada semua. Jarang-jarang momen seperti ini ada, karena biasanya mereka termasuk didalamnya juga aku, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, yaitu mengerjakan tugas kuliah.

Kang Zul tertidur pulas di pojokan dekat jendela. Dia tidur dengan hanya mengenakan kolor, badannya dia biarkan tidak tertutup baju. Posisi tidurnya terlentang. Mulutnya mangap-mangap. Di pojokan dinding seberangnya, Adit sedang asyik mengembara ke alam mimpinya. Berbeda dengan kang Zul, Adit tidur dengan menutupi semua tubuhnya dengan selimut tebal berwarna merah kesayangannya. Bergeser sedikit ke tengah, ada Faqih dan Mamat yang sedang mengerjakan pekerjaan yang berbeda. Faqih sibuk mencatat tugasnya di sebuah buku, karena laptop yang biasa dia pinjem untuk mengerjakan tugasnya sedang dipake oleh yang punya, yaitu Mamat. Sementara Mamat duduk mematung di depan laptopnya. Sedangkan aku, yang kukerjakan adalah menuliskan ide-ide untuk menulis cerpen pada sebuah buku ide berukuran kecil yang sering kubawa kemanapun aku pergi. Ilmu ini kudapatkan dari beberapa penulis novel terkenal. Salah-satunya adalah Gola Gong, aku biasa memanggilnya Mas Gong. Dia guruku dalam dunia tulis-menulis. Ketika masih di kampung dan belum kuliah ke Bandung, jika punya uang, aku sempatkan untuk berangkat ke Rumah Dunia asuhannya Mas Gong. Disana aku dan teman-teman Forum Lingkar Pena (FLP) cabang Banten diajari Mas Gong bagaimana cara menulis yang baik dan benar.

Balik lagi ke kamar tiga belas. Kang Zul bangun. Dia mengejang-ngejangkan badannya seperti yang biasa dilakukan “Wati” jika bangun tidur. Wati adalah kucing belang-belang yang ada di asrama. Dia piaraannya salah-satu santri PPM asal Balikpapan, yaitu kang Afgan. Kang Zul berdiri kemudian berjalan keluar menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian kembali ke kamar dan langsung mengerjakan solat Ashar. Melihat kang Zul sedang solat, Mamat mematikan instrumen musik yang diputer di laptopnya. Suasana berubah menjadi hening. Saking heningnya, suara lembaran buku yang dibolak-balikan Faqih bisa terdengar dengan jelas. Desah nafas Adit yang sedang pulas tidur seperti bersahutan dengan suara keyboard yang ditekan-tekan Mamat.

CEESSSSSSSSS

Tiba-tiba terdengar suara aneh di kamar, namun kami semua tidak menghiraukannya. Secara mengejutkan, Faqih menutup buku berukuran tebal dihadapannya dengan keras. Aku mengarahkan pandangan kepadanya. Dengan cepat Faqih merubah posisi tubuhnya yang tadi telungkup menjadi duduk sila. Matanya melirik kesana-kemari, dahinya dikernyitkan. Hidungnya seperti mencoba untuk mencari bau sesuatu, layaknya hidung anjing pelacak yang mencari jejak penjahat. Faqih berdiri, namun hidungnya masih mencari bau sesuatu.

“ Limbah beracun muncul lagiiiiiiiii……….” Teriak Faqih sambil mengarahkan pandangannya kepada Mamat yang menahan-nahan ketawanya di depan laptop. Bergegas Faqih lari ke luar. Masya Allah, dadaku serasa sesak karena menghirup kentut Mamat. Tanpa banyak pikir lagi, aku langsung keluar mengikuti Faqih. Di luar, Faqih muntah-muntah. Dan ajaib, Adit yang tertidur pulas langsung bangun Karena menghirup kentut Mamat. Adit keluar dengan muka ngantuknya. Selimut merah masih membalut tubuhnya. Di kamar hanya tinggal ada Mamat dan kang Zul yang masih solat, dari jendela, aku melihat wajah kang Zul tidak keruan, pucat dan tidak berwarna. Kasihan kang Zul, entah apa yang dirasakannya sekarang. Namun, dibalik bencana ini aku mendapatkan temuan baru. Nanti, temuan ini akan aku tulis dalam bentuk proposal dan disrahkan kepada sang kang Hakmal selaku seorang mudabir. Inti dari isi proposal itu adalah, menggunakan jasa kentut Mamat untuk membangunkan Adit dan kang Zul yang susuah dibangunkan untuk solat subuh.

Jumat, 17 Desember 2010

Sang Mudabir (Bukan Senyum Biasa)


Alhamdulillah, satu lagi daftar mimpi yang tercoret di agendaku. Tiga bulan lalu aku resmi menjadi santri mukim di pesantren Daarut Tauhiid (DT) asuhannya Kyai Abdullah Gymnastiar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Aa Gym. Masih jelas dalam ingatan, batapa berharapnya dulu aku untuk menjadi santrinya Aa. Dulu, jika aku mengetahui, aku tidak pernah melewatkan ceramah Aa di televisi. Ceramah-ceramah Aa sangat menyentuh hati. Konsepan ceramahnya adalah manajemen qalbu, bagaimana cara kita untuk mengelola hati kita dengan baik.

“ Didalam tubuh manusia itu terdapat segumpal daging. Jika daging itu baik, maka baik pula perangainya, dan jika daging itu buruk, maka buruk pula perangainya. Ketahuilah, sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati,” ujara Aa dengan semangat di atas mimbar. Tangannya diangkat-angakat dengan tegas. Sorban putih terikat di kepalanya, membuata Aa terlihat lebih elegan saja. Ketika itu aku melihatnya di salah-satu stasiun televisi kenamaan Indonesia.

Dulu, yang aku tahu, ponpes DT itu berada di daerah yang bernama Geger Kalong, Bandung. Dan setahuku lagi, ponpes DT itu letaknya bersebelahan dengan sebuah Universitas yang ingin aku masuki, yaitu Uniersitas Pendidikan Indonesia.

SubhanAllah, DT bersebelahan dengan UPI !!! Ini benar-benar menarik. Jika nanti aku kuliah di UPI, aku akan nyantri di DT,” ucapku ketika masih tinggal di kampungn halaman, sebelum aku benar-benar mewujudkannya.

Setahun yang lalu, aku lolos SNMPTN masuk UPI, namun karena satu dan lain hal, aku urungkan terlebih dahulu untuk menjadi santri DT. Namun Alhamdulillah, tahun ini aku baru bisa mewujudkan salah-satu dari sekian banyak cita-citaku itu.

Ketika masa awal menjadi santri, aku sedikit kaget dengan peraturan DT. Bagaimana tidak, yang dulu numayan banyak waktu luang, sekarang hampir jarang aku mendapatkan waktu luang tersebut. Beberapa menit sebelum waktu subuh tiba, seluruh santri dibangunkan untuk persiapan sholat. Ba’da sholat subuh, ada materi sampai dengan jam enam pagi. Sehabis materi, kami langsung menuju asrama. Bagi santri yang jadwal kuliahnya jam tujuh, mereka berebut mendapatkan kamar mandi. Kamar mandi di asrama santri mukim ikhwam hanya ada lima kamar saja, bandingkan dengan jumlah santri yang mencapai lima puluh orang lebih. Bagi mahasiswa yang jadwal kuliahnya agak siangan, jam Sembilan atau sepuluhan, mereka mengerjakan pekerjaan yang lainnya, mencuci baju misalnya, namun, ada juga mahasiswa yang menggunakan waktu luangnya itu dengan hanya berleha-leha saja, aku pun pernah melakukan hal ini. Untuk jam kembali ke asrama, para santri memiliki waktu yang berbeda, bergantung kepada kesibukan mereka. Ada yang balik siang, ada yang balik sore, bahkan ada yang pulang hanya beberapa menit sebelum materi malam dimulai.

Malam harinya, ba’da sholat isya, ada materi sampai jam Sembilan malam. Materi yang diberikan berbeda-beda pada setiap malamnya. Ada materi tentang fiqih, wawasan keislaman, leadership, dan materi lainnya yang berhubungan dengan keislaman. Selepas materi, ada yang langsung tepar di atas kasur busa lipat karena kelelahan setelah beraktivitas, ada juga yang bergelut dengan tugas-tugas kuliahnya. Dalam seminggu, waktu libur yang kami dapatkan hanya satu hari saja, yaitu hari minggu, namun, tidak jarang kami tidak merasa benar-benar dalam hari libur karena menggunungnya untuk mengerjakan tugas-tugas dari peantren dan dari kuliahan. Ada banyak macam tanggapan dari para santri terkait hal ini. Ada yang bersyukur karena peraturan yang ketat seperti ini, mereka bisa disiplin dalam menggunakan waktu dan kesempatan yang dimiliki, ada yang kaget dan merasa sedikit keberatn, ada juga yang angin –anginan, kadang setuju, kadang juga tidak setuju dengan peraturan yang ada. Sejauh ini, sudah ada dua santri yang keluar. Mengenai alasan mengapa mereka keluar, aku tidak mengetahuinya, mungkin karena mereka ada kesibukan lain di luar.

Untuk perijinan, disini sangat-sangatlah tidak mudah. Harus jelas terlebih dahulu alasannya, dan itupun harus benar-benar penting. Jika memang masih bisa ditunda, jangan harap bisa dapat perijinan. Biasanya, setelah santri menyelesaikan pembicaraannya bermaksud meminta ijin, sang mudabir (pembimbing santri) mengulurkan tangannya sambil berkata,” Mana surat ijin dari lembaga/ organisasinya?”. Kalupun kita sudah memiliki surat ijin, proses perijinan belum selesai sampai disana. Sambil merogoh hape dari saku celananya, sang mudabir berujar,” Akang minta nomer hape pimpinan antum (kamu) !”. Setelah mendapatkan nomernya, sang mudabir langsung menelepon yang bersangkutan. Jika sudah ada penjelasan langsung dari pimpinan, perijinan pun langsung diberikan.

“ Silahkan akang memberi ijin kepada antum. Dan jangan lupa oleh-olehnya ya !” pinta Kang Hakmal (sang mudabir) sebelum santri pamit keluar kamarnya.

Ia, sang mudabir itu adalah kang Hakmal, nama lengkapnya Hakmal Purnama Sultan. Selain menjabat sebagai sang mudabir, beliau juga memiliki kesibukan yang sama dengan para santri, yaitu kuliah. Beliau kuliah di almamater yang sama denganku, dia mengambil jurusan kepelarihan olahraga. “ Akang ingin menjadi pelatih Persib, gemas rasanya melihat persib mainnya kalah mulu, akang akan angkat citra persib kembali seperti zaman keemasannya dulu,” ujar kang Hakmal ketika aku tanya mengapa dia memilih jurusan kepelatihan olahraga.

Pernah suatu hari, aku ijin meninggalkan asrama selama tiga hari karena ada rapat kerja nasional organisasi yang aku ikuti, yaitu Ikatan mahasiswa geografi Indonesia (IMAHAGI) yang bertempat di Yogyakarta. Setelah terlebih dahulu melakukan sedikit perdebatan, akhirnya kang Hakmal memberikanku ijin. Aku keluar kamar kang Hakmal dengan perasaan gembira karena telah mengantongi perijinan. Beberapa langkah dari kamar, aku berpapasan dan dikagetkan oleh sesosok makhluk yang tubuhnya ditutupi sebuah sarung kumal. Sarung itu menutupi tubuhnya. Orang itu terlihat seperti orang kampung yang kedinginan karena meronda menunggu maling.

“ Astagfirulloh…” ucapku reflek karena kaget. Kami hampir saja bertabrakan. Untuk beberapa detik kami terdiam saling memperhatikan wajah satu sama lain. Ternyata dia adalah Asoy, santri PPM (program pesantren mahasiswa) juga. Raut mukanya tidak keruan, seperti rasa dari permen nano nano, manis, asam, juga asin, pokoknya rame rasanya. Mimiknya seperti sedang sakit, tapi di sisi lain, seperti sedang pura-pura sakit juga. Entah mana yang benar, hanya Allah dan Asoy lah yang mengetahui.

Asoy adalah sebuah nama panggilan akrab dari Asep Yoga Nugraha. Entah bagaimana sejarahnya hingga dia dipanggil Asoy. Tapi, menurut pemaparan orangnya langsung, Asoy adalah sebuah akronim dari nama panjangnya. “ Asoy itu akronim nama saya kang Niko, ‘ Asep Yoga Nugraha’, AS-nya dari kata Asep, sedangkan OY-nya dari kata Yoga,” Asoy menjelaskan dengan gamblang. Aku mengernyitkan dahi. Kok bisa seperti itu ya??! Seandainya memang benar apa yang dikatakan Asoy, seharusnya kan bukan “Asoy”, tetapi “Asyo”. Tapi aku tidak mau ikut campur terlalu jauh, itu hak Asoy yang memiliki nama. Mau itu dipanggil Ujang, Utun, Kacong, Robet, David, Juned, Stepen, atau apapun, itu hak Asoy, aku tidak berhak ikut campur.

“ Mikuuuuumm….” Ucap Asoy sambil mengetuk pintu kamar kang Hakmal dengan keras. Sang mudabir mempersilahkan Asoy masuk. Asoy masuk masih dengan sarung kumal yang menutupi tubuhnya.

Aku penasaran dengan maksud Asoy menemui kang Hakmal. Oleh Karena itu aku urungkan niat untuk segera kembali ke kamar. Diam-diam aku duduk di kursi tamu yang letaknya tidak jauh dari kamar mudabir. Aku bermaksud mendengarkan pembicaraan mereka. Tidak jelas yang dapat aku dengar. Beberapa menit menunggu, akhirnya Asoy keluar juga. Wajahnya tampak cerah. Senyum lebar tersungging di bibirnya. Tangannya dia kepalkan. Mulutnya menggumamkan sesuatu, tidak jelas apa yang dia ucapkan, tapi, jika dilihat dari gerakan bibirnya, sepertinya dia mengucapkan kata “yes”.

Tanpa menutup pintu kamar terlebih dahulu, Asoy berjalan menghampiriku. Dia duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi yang aku duduki. Asoy duduk membelakangi kamar mudabir. Tanpa diminta, Asoy menceritakan kaberhasilannya bernegosiasi hingga mendapatkan perijinan untuk tidak masuk materi dari kang Hakmal.

“ Kalau masalah lobi melobi, Asssoy rajanya…..” ujar Asoy membanggakan diri. Tangannya dia tepuk-tepukan pada dada yang dibusungkan. Asoy bercerita dengan menggebu-gebu, namun dia tetap menahan-nahan suaranya agar tidak kedengaran oleh kang Hakmal. “ Apalagi lawannya hanya kang Hakmal, kecil…..” Asoy manambahkan. Bersamaan dengan mengucap kata “kecil”, Asoy mangadukan kelingkingnya dengan ibu jari.

Asoy melihat-lihat suasana sekeliling. Dari tingkahnya, sepertinya dia akan membocorkan rahasia besar kepadaku. Badannya sedikit dicondongkan padaku. Jari telunjuknya ditempelkan di depan bibirnya. “ SSsssstttt… jangan bilang siap-siapa ya kang! Rahasia besar ini hanya akang yang saya beritahu,” bisik Asoy.

Asoy lebih mencondongkan tubuhnya padaku. Dia bersiap untuk mengucapkan sebuah rahasia besar. Namun, MasyaAllah, tiba-tiba kang Hakmal keluar dari markasnya. Dia melihat aku dan Asoy dengan tatapan curiga. Kang Hakmal mengisyaratkan aku untuk tetap diam dengan jari yang ditempelkan pada bibirnya. Aku bingung dengan apa yang akan aku lakukan. Memberi tahu Asoy tentang keberadaan kang Hakmal kah, atau diam saja menuruti isyarat dari sang mudabir. Kang Hakmal berjalan mendekat, posisinya sekarang tepat berada di belakang Asoy. Dia berdiri tenang sambil melipatkan kedua tangan di dadanya.

“ Was wes !@$#os was^%%& wes&^%$%^ woss&**^%%s WEEWS#@&^%***,” Asoy berbicara panjang lebar. Aku tidak bisa mendengarkan apa yang sedang Asoy ceritakan. Aku tertekan karena kehadiran kang Hakmal. Tapi, aku masih tatap bisa membaca emosi yang sedang Asoy rasakan. Sepertinya dia sedang merasa gembira.

“ He he he he…” Asoy tertawa. Kepalanya mengangguk-ngangguk. “ Was %^^#*((() Wos **&^*^%%%#@,” Asoy melanjutkan ceritanya, namun aku tetap masih belum bisa mendengarnya. Raut wajah kang Hakmal berubah menjadi merah. Kang Hakmal memegang pundak Asoy. Sambil terus bercerita Asoy menyingkirkan tangan yang memegangi pundaknya.

“ Was(**&##%% Wes %^$##@!@@@ wos,” semakin semangat Asoy bercerita. Kang Hakmal kembali memegangi pundak Asoy. Asoy kembali mencoba menyingkirkan tangan di pundaknya, namun kali ini tidak bisa, karena tangan kang Hakmal dengan kuat mencengkeramnya. Asoy memutarkan kepalanya seratus delapan puluh derajat ke belakang bermaksud melihat siapa orang yang ada di belakangnnya. Kedua orang itu saling menatap satu sama lain. Aku tidak bisa melihat bagaimana mimik muka Asoy, yang bisa aku lihat hanyalah wajah kang Hakmal yang tersenyum melihat wajah Asoy. Namun, senyumnya ini bukan senyum biasa. Senyumnya tidak bisa ditebak. Misterius. Emosi apa yang sedang dirasa kang Hakmal.

Asoy memutar kembali kepalanya. Kali ini aku bisa menatap jelas wajah Asoy. Wajahnya pucat tidak berwarna, seperti wajah scoby doo yang sedang melihat dedemit. Kang Hakmal mengisyaratkan Asoy untuk masuk kamarnya. Tanpa memiliki kekuatan untuk menolak, Asoy berjalan dengan lesu menguntit kang Hakmal menuju kamar. Asoy berjalan dengan tatapan menunduk. Dia menutupkan kembali kepala dengan sarung kumalnya yang tadi terlepas. Aku terus memperhatikan Asoy, sampai dia masuk kamar dan pintunya tertutup.

Sabtu, 09 Oktober 2010

Jakarta Tinggal Kenangan, Yogyakarta Berikutnya


Dulu, aku sangat anti dengan yang namanya organisasi. Ketika masih SD, SMP, dan SMA, aku acuh terhadap organisasi. Organisasi mengganggu sekolah, kerjaannya rapat melulu, menghabiskan waktu, pikirku waktu itu. Namun, sekarang, ketika aku sudah dan sedang mengecap pendidikan di perguruan tinggi, aku baru merasakan dampaknya. Dampak dari anti-patinya aku dengan organisasi.

Dari semua teman-teman yang kumiliki, orang-orang yang menjadi pionir itu pasti selalu jebolan dari organisasi, organisasi apapun itu. Dan, orang –orang yang hanya menjadi follower atau pengikut, mereka adalah orang yang satu tipe dengan diriku. Aku menyesal, aku sangat menyesal dulu tidak aktif di organisasi.

Namun, aku tidak ingin merasa rugi untuk yang kedua kalinya. Aku harus bercermin kepada kehidupanku terdahulu. Aku harus belajar dari pengalaman-pengalamanku. Dengan berbekal pepatah yang berbunyi,” lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” dan,” tidak ada kata terlambat untuk belajar,” dengan kedua pepatah itu, aku mencoba untuk berubah. Aku tidak mau sisa waktu hidupku hanya dihabiskan dengan menjadi pengekor. Aku ingin menjadi pionir. Aku ingin menjadi pemimpin peradaban. Untuk itu, sekarang aku mulai terjun ke dunia organisasi, baik yang intra kampus maupun yang ekstra kampus. Dan, Alhamdulillah, seiring berjalannya waktu, jiwa kepemimpinan yang aku inginkan itu mulai tumbuh. Jiwa follower terkikis sedikit demi sedikit bak tanah yang tererosikan oleh air.

Salah satu organisasi ekstra kampus yang aku ikuti adalah Imahagi (Ikatan Mahasiswa Geografi Indonesia). Imahagi adalah organisasi semua mahasiswa jurusan Geografi, baik yang kependidikan ataupun yang non kependidikan. Ada dua jenis keanggotaan di Imahagi. Pertama adalah anggota biasa. Semua mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Geografi di semua universitas se-Indonesia, mereka terdaftar sebagai anggota Imahagi. Dan yang kedua adalah anggota pengurus. Hanya beberapa mahasiswa saja dari setiap universitas yang menjadi pengurus. Untuk di kampusku, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia, ada empat mahasiswa yang menjadi pengurus Imahagi. Pertama adalah kang Adit, nama lengkapnya Aditya Permana. Dia mahasiswa angkatan 2008. Dalam kepengurusan himpunan jurusan pendidikan Geografi (HMG) UPI periode tahun ini, dia menjabat sebagai ketua. Kang Adit adalah pengurus pusat Imahagi. Amanah dia sebagai staff bidang penelitian dan pengembangan (Litbang). Yang kedua adalah teh Nurul. Sama dengan kang Adit, mereka berdua angkatan 2008. Amanah teh Nurul adalah sebagai staff bidang Litbang. Yang ketiga dan keempat adalah mahasiswa angkatan 2009. Mereka bernama Yoga Septian dan Niko Cahya Pratama, yang tidak lain adalah penulis sendiri. Yoga Septian diamanahi sebagai ketua bidang organisasi, sedangkan amanahku adalah sebagai staff bidang infokomtek (informasi, komunikasi dan teknologi).

Aku, yoga dan teh Nurul, lingkup kepengurusannya berbeda dengan kang Adit. Karena kang Adit pengurus pusat, jadi tanggung jawabnya adalah se-Indonesia. Sedangkan kami (aku, Yoga dan teh Nurul), lingkup kepengurusannya adalah Imahagi wilayah II, yang mencakup daerah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten.

Beberapa hari yang lalu, Imahagi wilayah II menyelenggarakan rapat kerja (raker), yang bertempat di Universitas Muhammadiah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Jakarta. Sebagai pengurus, maka kami wajib mengikuti raker itu, karena salah-satu agenda yang akan dibahas adalah program-program kerja semua bidang. Kami berangkat hanya bertiga saja, karena teh Nurul sedang sakit waktu itu. Dengan berbekal Bismillah dan sedikit uang hasil mengajukan proposal ke pihak jurusan, Hari Sabtu pagi kami meluncur menuju ibu kota. Kami datang ke UHAMKA sedikit terlambat. Pihak tuan rumah menyambut kami dengan hangat, mereka memperlakukan kami bak keluarga mereka sendiri.

Masih jelas dalam ingatanku, betapa tajamnya tatapan sahabatku, Yoga Septian, ketika dia melihat mahasiswi UHAMKA berkerudung hitam.

“ Nik, Nik, lihat arah jam dua belas, Nik, yang pake kerudung hitam, cadas, Nik,” ujar Yoga Sumringah. Tangannya menggoyang-goyang tanganku, namun matanya tetap memandangi mahasiswi berkerudung hitam itu.

“ Nik, lihat tuh, Nik,” paksa Yoga kepadaku. Dia menggoyang-goyang tanganku lebih keras. Aku melipat kertas promosi buku-buku Geografi terbitan erlangga yang diberikan panitia raker. Aku mengangkat wajah hendak melihat mahasiswi yang dimaksud Yoga. Dan, Masya Allah, tidak salah apa yang dikatakan Yoga. Mahasiswi berkerudung hitam itu memang cantik. Dia terlihat anggun dengan balutan kerudung hitam itu. Sejenak aku sedikit tergoda. Ada getaran-getaran aneh di dadaku. Namun, tiba-tiba aku teringat dengan bidadari syurgaku. Aku merasa berdosa kepada dia, meskipun diantara kami masih tidak ada ikatan, tapi aku yakin dengan sorot mata itu, aku yakin dengan tutur katanya.

Dalam undangan, tertulis acara raker ini akan berlangsung selama dua hari. Hari pertama acaranya adalah seminar yang bertemakan tentang kegeografian, dan hari berikutnya adalah pelaksanaan raker Imahagi wilayah II. Di hari pertama, seminar berjalan dengan lancar. Panitia menjalankan tugasnya dengan baik. Banyak sekali pertanyaan dari peserta seminar. Setiap mahasiswa dari universitas yang berbeda beradu memberikan pertanyaan terbaik yang dimiliki. Adu gengsi sangat terasa sekali. Harga diri kampus dipertahankan di seminar ini. Pun dengan kami, kami tidak mau kalah. Pertanyaan-pertanyaan berbobot kami layangkan kepada pemateri. Bagian yang paling panas dan yang paling aku ingat adalah ketika kami beradu jawaban dengan mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Kejadian itu bermula ketika pemateri memberikan kesempatan kepada hadirin untuk menjawab pertanyaan dari Mahasiswa UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Dengan tanpa mengambil tempo, salah-satu mahasiswa Universitas Indonesia mengacungkan tangannya. Pemateri mempersilahkan mahasiswa UI untuk menjawab. Mahasiswa UI berdiri. Dia membetulkan jas almamater warna kuning kebanggaan UI. Bisikan-bisikan kagum pecah dikalangan peserta seminar. Mahasiswa itu menjawab dengan suara tegas dan lancar. Tepuk tangan pecah untuk mahasiswa UI itu. Pemateri tersenyum mendengar jawaban sehebat itu.

“ Baik, jawaban yang bagus dari mahasiswa UI, ada yang ingin mencoba menjawab lagi?” pemateri menawarkan lagi kepada hadirin. Sepertinya dia sengaja melakukan hal ini, supaya seminar berjalan dengan seru dan tidak monoton.

Aku melihat Yoga menggerak-gerakan kepalanya memperhatikan peserta seminar. Dia melihat ke depan, ke samping kanan, ke samping kiri, kemudian ke belakang, lalu balik lagi melihat pemateri. Dia menarik nafasnya dengan panjang, kemudian mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

“ Iya, dari UPI Bandung ingin mencoba menjawab, silahkan,” pemateri mempersilahkan Yoga untuk menjawab. Pemateri itu tersenyum, mungkin dia sedang merasa gembira karena telah menghidupkan suasana seminar.

Seorang panitia laki-laki berjalan menghampiri Yoga. Dia memberikan sebuah mikrofon. Yoga berdiri, dia merapihkan jas abu-abu kebanggaan kami. Sepintas aku melihat Yoga melirik ke arah mahasiswi UHAMKA berkerudung hitam yang duduk tidak jauh dari meja kami. Yoga memberikan sebuah senyuman. Wanita berkerudung hitam itu membalas senyum Yoga. Laksana Popeye yang baru makan bayam. Aura Yoga menjadi berbeda dari sebelumnya. Seperti ada kekuatan misterius yang membelai jiwa Yoga. Tidak pernah aku sangka-sangka sebelumnya, Yoga memberikan jawaban spektakuler layaknya jawaban para ahli Geografi. Jangankan para peserta seminar, pemateri yang bertitel profesor pun memberikan aplaus meriah untuk Yoga. Sebelum duduk, sekali lagi aku menangkap basah Yoga sedang melirik wanita berkerudung hitam. Jika aku boleh menilai, citra UPI meningkat setelah seminar ini.

Pada hari berikutnya, rapat kerja dimulai. Tempatnya masih sama dengan tempat seminar kemarin, yaitu di auditorium FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Namun, hari ini tata ruangnya terlihat sedikit berbeda, terlihat seperti ruang sidang DRP yang sering kulihat di layar TV. Meja kursi dibariskan lurus berdasarkan fraksi perfraksi. Di bagian depan, meja pimpinan sidang terlihat megah, palu sidang tersimpan rapih di atasnya. Poster bapak presiden RI dan wakilnya tertempel di dinding belakang meja pimpinan sidang. Di sebelah kanan meja, berdiri sebuah bendera merah putih, di sebelah kirinya adalah bendera Imahagi.

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, terpilihlah saudara Haris dari UNJ sebagai pimpinan sidang I, saya sebagai pimpinan sidang II, dan Lila Amalia Faramadina dari UHAMKA sebagai pimpinan sidang III. Lila itu tidak lain dan tidak bukan adalah mahasiswi berkerudung hitam yang cantik jelita.

Rapat kerja ini dibuka pada pukul delapan kurang sedikit, dan diawali dengan pemaparan program kerja setiap bidang, kemudian dilanjutkan dengan tanya-jawab dari anggota Imahagi lainnya kepada setiap bidang perihal gambaran program kerjanya masing-masing. Pasca sesi tanya-jawab itu, ada proker yang dihapus dan ada proker yang ditambahkan. Tentunya proses dalam mencari kesamaan suara terkait proker yang dihapus dan ditambahkan itu tidak mudah. Perdebatan-perdebatan panas terhadir diantara komisariat antar universitas. Lagi-lagi, jika aku boleh menilai, citra UPI semakin meningkat pasca raker ini.

Jam dua siang lebih sedikit, rapat kerja selesai. Semua komisariat dikumpulkan panitia di taman kampus. Acaranya adalah coolling down, setelah sebelumnya panas-panasan di meja sidang. Selain pendinginan, kami juga membicarakan tentang raker nasional Imahagi yang akan dilaksanakan pada tanggal 16-17 oktober 2010, di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Semua pengurus Imahagi wilayah II diharuskan untuk hadir, tanpa terkecuali.

Menjelang waktu ashar, kami berjalan berbondong-bondong menuju mesjid kampus UHAMKA guna melaksanakan solat berjamaah. Kang adit didaulat sebagai imam solat. Selesai solat, semua komisariat tamu pamit pulang kepada komisariat tuan rumah. Disela-sela itu, aku dan kang Adit kebingungan mencari Yoga.

“ Niko, si Yoga kemana?” tanya kang Adit sambil bersalaman dengan mahasiswa lain. Aku dan kang Adit sepakat untuk berpencar mencari. Aku ke taman kampus dan kang Adit menuju mesjid. Sesampainya di taman, aku mengarahkan pandangan ke sekeliling. Di bangku panjang yang menghadap ke sebuah kolam ikan, aku melihat seorang wanita mengenakan jas hijau dengan seorang lelaki yang memakai jas warna abu-abu. Mereka duduk berdampingan, namun tetap ada jarak. Karena merasa penasaran, aku mencoba lebih mendekat. Setelah aku perhatikan dengan seksama, ternyata yang mengenakan jas hijau itu adalah mahasiswi berkerudung hitam dan yang duduk disampingnya, ajaib, ini sungguh ajaib, lelaki itu adalah sahabatku. Dia adalah Yoga Septian.

Adiknya Sahabatku



Aku sedang ada jam kuliah di ruang sepuluh, lantai empat, gedung fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial. Jadwal sekarang adalah mata kuliah Geografi tanah. Hari ini yang masuk adalah pak Hendro. Beliau adalah asistennya Prof. Dede Rohmat, salah-satu guru besar di jurusan Pendidikan Geografi. Pak Hendro menjelaskan tentang Pedogenesis atau pembentukan tanah. Sedang asyik menikmati penjelasan pak Hendro, tiba-tiba telepon genggam (hp) yang tersimpan di saku kananku bergetar. Diam-diam aku merogoh saku, sesekali melirik pak Hendro. Ku simpan hp di atas buku tulis. Di layar hp tertulis kata “my sister”, ternyata ini adalah SMS dari adik perempuanku.

(a, wahyu-nya teh yanah,)

sejenak aku berpikir. Wahyunya teh Yanah??? Oh, teh Yanah yang rumahnya hanya dipisahkan beberapa rumah saja dengan rumahku. Tiba-tiba pikiranku berputar-putar, kemudian berhenti pada salah-satu folder yang tersimpan di otakku.

Ipul, ya, kepada Ipul-lah pikiran ini tertuju. Dia adalah saudara tuanya Wahyu, yang barusan tertulis di layar hpku. Nama aslinya adalah Saiful Basri Siregar. Bapaknya berasal dari Medan, namanya Usman Siregar. Sementara ibunya berasal dari kampung Cipacung, yang tidak lain adalah kampungku juga. Namanya adalah Yanah.

Ipul menghabiskan masa kanak-kanaknya di negeri bapaknya. Namun, ketika dia duduk di kelas tiga SD, keluarganya memutuskan untuk hijrah ke kampung ibunya. Ipul memiliki dua orang kakak, satu laki-laki dan satu perempuan. Kakak yang tertua adalah Rahmat. Sekarang dia menetap di Lampung mengikuti istrinya. Kakak yang kedua adalah Lia, tidak berbeda dengan kakaknya yang pertama, Lia menetap di tempat suaminya. Selain kakak, Ipul juga memiliki satu adik laki-laki, namanya adalah yang sudah dijelaskan di muka, yaitu Wahyu, lengkapnya Wahyu Pranata Siregar. Sekarang Wahyu duduk di kelas dua SMP.

Wahyu dan Ipul memiliki kesamaan hobi. Mereka sama-sama sangat menggilai sepak bola. Karena itu, untuk menyalurkan bakat adiknya, Ipul memasukan wahyu ke sekolah sepak bola (SSB) Anyer Pratama, SSB yang dulu menjembatani Aku dan Ipul bisa mengikuti kompetisi nasional tingkat usia di bawah delapan belas tahun.

Ada dua hal yang mengakrabkan aku dan Ipul. Pertema adalah sepak bola dan yang kedua adalah saung di bawah pohon mangga di halaman rumahku. Di saung itu kami sering mengobrolkan tentang masa depan kami. Sering kami lupa waktu jika sedang membicarakan cita-cita masing-masing.

“ Aku ingin masuk tim nasional, Ko. Aku ingin menjadi pemain sepak bola profesional,” ucap Ipul penuh semangat.

“ Mungkin, satu atau dua tahun ini, aku akan mencari klub sepak bola di sekitar daerah kita saja dulu. Aku ‘gak mau jauh-jauh dulu, kasihan ibu ‘gak ada yang jaga. Kamu tahu sendiri kan, Ko, adikku masih kelas dua SMP. Nanti, kalau Wahyu sudah besar, paling tidak sudah kelas dua SMA lah, aku berani untuk meninggalkan ibu ke luar kota,” jawab Ipul, ketika aku bertanya hendak mencari klub sepak bola dimana.

Ipul sangat menyayangi adiknya. Apapun yang Wahyu inginkan, selama itu berhubungan dengan sepak bola, jika Ipul sedang memiliki uang, Ipul pasti memenuhi permintaan adiknya. “ Aku ‘gak ingin adikku merasakan apa yang kita rasakan dulu, Ko. Kamu tahu sendiri kan, bagaimana sedihnya ketika kita tidak mendapatkan sepatu manakala sepatu bola kita rusak,” Ipul membuka kenangan kami, ketika berjuang bersama-sama.
********

“ Jadi, untuk mengambil sampel tanah undisturb itu kita harus menggunakan ring sampel,” ujar pak Hendro dengan logat jawanya yang medok. Wajar, karena beliau berasal dari Yogyakarta. Pak Hendro membalikan badannya ke white board. Beliau memunggungi kami. Tangannya dengan cekatan menggambar sebuah ring sample. Bersamaan dengan itu, aku melihat layar hp lagi. Aku baca ulang SMS dari adik perempuanku.

(a, wahyu-nya teh yanah,)

Karena ada koma, aku berhenti sejenak, kemudian melanjutkan membaca terusan tulisan SMSnya.

(mati.)

APA??!! Hatiku tersentak setelah membaca lanjutan SMS dari adikku. Hanya kata itu yang tersisa, yaitu kata “mati”. Aku merasa benar-benar kaget. Aku baca ulang SMS itu.

(a, wahyu-nya teh yanah, mati.)

Innalillahi waa innalillahirooji’uun, lirihku dalam hati. Wahyu meninggal di usia semuda itu !!! memang, azal itu ditangan Allah, baik tua maupun muda, jika sudah sampai azalnya, pasti akan mati. Tapi, aku masih benar-benar merasa kaget dan tidak menyangka. Padahal, hanya sekitar dua minggu yang lalu aku dan Wahyu mengobrol perihal sepak bola. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Ipul. Dia pasti merasa terpukul karena kejadian ini.

Ada beberapa hikmah yang bisa aku ambil dari kejadian ini. Pertama, azal itu adalah takdir, ketetapan Allah Yang Maha Kuasa. Setiap orang memiliki jadwal kematian masing-masing, kapan dan dimana mereka akan meninggal. Tidak mengenal tua ataupun muda, di tempat ramai ataupun sepi, sedang berbuat baik ataupun maksiat, siang ataupun malam hari, jika waktu itu telah tiba, maka tidak akan pernah ada yang bisa mencegahnya. Begitupun dengan azalku, kapan dan dimananya? Ini masih misteri Illahi. Aku harus mempersiapkan segalanya, agar kelak, jika waktu itu telah tiba, aku sudah siap untuk menghadapinya.

Kedua, yang sedang dirasakan Ipul sekarang, setiap orang pasti pernah atau akan merasakannya. Oleh karena itu, aku harus membahagiakan keluargaku. Aku harus membahagiakan bapak, ibu, dan adik-adikku. Aku harus melakukan yang terbaik bagi mereka. Aku tidak boleh mengecewakan mereka. Aku harus membahagiakan mereka. Harus, harus, dan harus.