Rabu, 13 April 2011
Misi Rahasia
Sedikit terlambat memang, tapi ini harus dan pasti terjadi. Adalah pergantian kamar dan teman sekamar. Seharusnya ini dilaksanakan pada akhir semester pertama, namun, karena ada satu dan lain hal, baru sekarang (pertengahan bulan ke tujuh, atau awal semester kedua) baru bisa dilaksanakan. Sontak, semua penghuni darussalam merasa kaget bukan kepalang. Mengapa tidak, enam bulan penuh, tidur, makan, becanda dan berantem di satu atap yang sama, bukan hal yang mudah untuk dipisahkan satu sama lain. Begitupun dengan diriku. Meskipun teman-teman satu kamarku tidak ada yang waras, atau dengan kata lain orangnya sinting semua (pengecualian diriku, he...). Tapi kami sudah ada ikatan. Ikatan yang tidak kasat mata dan hanya bisa dilihat oleh mata hati. Para aktivis sering menyebutnya dengan nama “ukhuwah”.
Ada dua tipe kamar di asrama darussalam. Pertama adalah tipe hangat. Disebut tipe hangat karena suhu di kamar ini terasa sangat hangat, tidak heran, karena letak kamar-kamar tipe ini adalah di sekitar aula. Kamar-kamar ini layaknya kamar-kamar dirumah pada umumnya, yaitu terletak di dalam rumah. Tipe yang kedua adalah tipe segar. Dinamakan tipe segar karena suasananya segar dan menentramkan jiwa, bagaimana tidak, karena jendela tempat lalu-lintas udara ukurannya sangat besar. Kamar dengan tipe ini berbeda dengan tipe yang sebelumnya. Kamar ini dibangun diluar, pisah dengan rumah atau asrama utama. Bangunan kamar ini berdiri berderet-deret menghadap lapangan futsal, kamar ini layaknya kamar di pesantren-pesantren pada umumnya. Satu dari beberapa kamar dengan tipe seperti ini adalah kamar nomer tiga belas, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kamarku sendiri.
“ InsyAllah, kemungkinan besar, tidak ada seorang santri pun yang akan tidur satu kamar lagi. Semua santri akan tidur dengan teman yang berbeda dari sebelumnya. Hal ini dimaksudkan agar semua santri dapat saling akrab dengan santri lainnya, dan tidak hanya dengan satu, dua, atau beberapa santri saja,” pengumuman kang Hakmal di aula darussalam, pada malam minggu. Para santri yang tidur satu kamar, saling pandang satu sama lain, entah apa yang ada dipikiran mereka, karena tidak satu patah katapun yang keluar dari mulut mereka. Pun dengan diriku, aku sendiri tidak faham dengan apa yang sedang aku pikirkan.
“....... dan, kemungkinan besar juga, santri yang pada semester awal menempati kamar di atas, atau kamar di sekitar aula, semester berikutnya, atau semester ajar sekarang akan ditempatkan di kamar bawah, yang menghadap pada lapangan futsal. Begitupun sebaliknya, santri yang tadinya menempati kamar bawah, sekarang akan ditempatkan di kamar atas,” ujar kang Hakmal lagi.
Tidak. Untuk pengumuman yang kedua ini aku tidak setuju. Mungkin, kalau pengumuman yang pertama, walaupun sedikit berat dalam menerimanya, aku ikut-ikut saja, karena alasannya itu dapat dicerna oleh akal, yaitu untuk mendekatkan dengan santri yang lainnya, walaupun sebenarnya kami, para santri PPM sudah dekat secara pribadi satu sama lain. Tapi, untuk yang kedua ini, aku tidak mau. Aku tidak rela dipisahkan dengan kamar bawah. Kamar yang sirkulasi udaranya lebih bagus, dan kamar yang penerangan cahaya matahari langsungnya sangat baik. Sepertinya aku harus memutar otak untuk mencari cara agar aku tetap mendapatkan kamar bawah. Walaupun aku tidur dengan santri yang berbeda, itu tidak mengapa bagiku. Asal aku tetap bisa tidur di kamar bawah. Dan, kata kunci dari misi ini adalah kang Hakmal. Iya, kang Hakmal kata kuncinya.
Beberapa saat selepas pengumuman perpindahan kamar, ketika para santri kembali ke kamar masing-masing, secara diam-diam aku menyelinap masuk kamar kang Hakmal, tujuannya adalah bertanya keadaan kabar kang Hakmal, apakah baik, buruk, atau sedang-sedang saja. Namun, yang tadi disebutkan hanyalah tujuan sampingan saja, bahasa negosiasinya adalah hanya sebagai “umpan”. Sedangkan tujuan utamanya adalah membujuk kang Hakmal agar tetap menempatkanku di kamar impianku, yaitu kamar bawah.
“ Setuju dengan alasan yang tadi saya kemukakan kan Kang?” harapku pada kang Hakmal. Kang Hakmal menanggapi permohonanku itu dengan hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“ Niko...... Niko.......” ujar kang Hakmal masih dengan senyum dan gelengan kepalanya.
“ Ya kang ya.....?!” pintaku lagi.
Kang Hakmal terdiam sejenak. Dia melihat kertas yang tergeletak tepat di hadapannya. Kang Hakmal membuka tutup pulpen, kemudian meletakan tutup pulpen itu di bagian belakang pulpen tersebut. Dia mencoret dan menuliskan sesuatu di kertas yang ada di hadapannya itu. Selepas mencoret dan menulis, kang Hakmal mengarahkan wajahnya padaku, “ Baik, akang penuhi permintaan antum, tapi baik-baik ya! Kalau antum membuat kasus, akang tidak segan-segan untuk langsung memindahkan antum ke kamar yang atas!” wasiat kang Hakmal padaku.
“ Siap bossssss.......” jawabku senang. Alhamdulillah, akhirnya misiku berhasil.
Aku keluar kamar kang Hakmal dengan perasaan gembira. Segera aku meluncur ke kamarku, yang mungkin beberapa hari kedepan sudah bukan kamarku lagi. Kamar yang mungkin akan aku tempati adalah antara kamar nomer sebelas, dua belas, empat belas, lima belas atau enam belas. Yang manapun itu, tidak lagi jadi masalah bagiku, karena yang penting, sudah tetap berada di kamar bawah saja cukup untukku. Sesampainya dikamar, aku mendapati teman-teman satu kamarku sedang berembuk, sepertinya mereka sedang membicarakan suatu hal penting. Dan ternyata memang benar, mereka sedang merencanakan untuk membuat film pendek sebagai kenangan kami. Selain itu juga kami berencana untuk ada makan bareng sebelum perpisahan itu terjadi. Sedikit berlebihan memang, karena walaupun kita tidak satu kamar, namun, sejatinya kita masih tinggal di satu asrama yang sama. Tapi, itulah yang dinamakan “ukhuwah”. Indah.
Esoknya, kami makan besar di warung makan dekat asrama. Kang Zul, kami undang sebagai tamu kehormatan.
“ Assalamu’alaikum, kaifahaluk, yaa akhi Zul?” ujar Faqih lewat hapenya.
“ Wa’alaikumussalam, antum Faqih?” suara kang Zul terdengar jelas karena hape Faqih di loud speaker.
“ Na’am, akhi Zul.”
“ SubhanAllah, ana bi khoir, akhi.”
Satu jam kemudian setelah ditelfon, kang Zul tiba di warung makan yang telah dibicarakan. Kami sambut kang Zul sebaik yang kami bisa. Dia tampak gembira. Kami merasa senang. Seharian itu kami habiskan waktu untuk kebersamaan kami. Kami saling membuka kenangan yang telah terjadi di kamar nomer tiga belas. Dari A sampai Z, tidak ada yang terlewat. Kenangan-kenangan itu tergambar jelas di otak kami. Kenangan itulah yang mungkin akan kami rindukan pada suatu hari kelak.
Kami solat magrib berjamaah di darul hajj (mesjid sementara DT). Setelah solat, kami dan kang Zul berpisah. Kang Zul pulang ke kosannya, sedangkan kami menuju asrama. Sesampainya di asrama, kami (Adit, Faqih, Mamat juga diriku), dikagetkan dengan perkumpulan santri PPM di aula asrama. Kami segera ambil bagian. Selidik punya selidik, sengaja kami dikumpulkan di aula, karena akan diumumkan komposisi santri pada setiap kamar. Dalam hal ini aku santai saja, karena aku sudah tahu akan ditempatkan di kamar bawah. Tapi tidak tahu dengan santri yang lain. Aku tidak mengetahui apa yang ada di pikiran mereka masing-masing.
Kang Hakmal mulai mengabsen para penghuni kamar per kamar. Ada beberapa tanggapan dari para santri. Ada yang gembira, ada yang sedikit kecewa karena tidak mendapatkan kamar yang sesuai dengan yang mereka inginkan, ada juga yang dingin-dingin saja, karena mereka tidak mengambil pusing dengan perpindahan kamar ini.
“ Sekarang giliran kamar bawah, yang nomer lima belas,” tangan kang Hakmal sambil menunjuk ke arah kamar bawah. Seperti terbius, kepala kami semua menoleh ke arah yang kang Hakmal tunjuk.
“ Penghuninya ada lima orang, empat santri dari PPM empat dan satunya PPM lanjutan. Mereka adalah sebagai berikut: pertama, Iqbal Firmansyah. Kedua, Hanif Amalia Jundi. Ketiga: Niko Cahya Pratama. Keempat, Asep Yoga Nugraha(Asoy). Dan yang terakhir, dari PPM lanjutannya adalah Muhamad Ibnu Farhan. Silahkan kepada nama-nama yang tadi disebutkan untuk pedekate, atau saling mengakrabkan satu-sama lain,” nasihat kang Hakmal.
Aku, Adit, Faqih dan Mamat saling pandang. Mereka mengangguk dibumbui dengan senyum padaku. Mereka seperti menguatkan diriku. Setelah itu aku pandangi wajah rekan-rekan kamar baruku, kami saling memberikan senyum terbaik. Segila apa dirimu, makna dari senyuman kami
Senin, 28 Maret 2011
SMS dari Kawan Lama
Jum’at malam. Yang paling aku ingat di Jum’at malam adalah Komunitas Bismillah (KB). Komunitas Bismillah (KB) merupakan organisasi remaja di kampungku. Anggotanya adalah semua orang dikampungku yang masih belum menikah. Anggota paling banyak adalah anak usia SMA. Usia SD dan SMP juga ada, tapi tidak sebanyak usia SMA. Yang sudah lulus SMA juga ada, tapi sedikit, mungkin hal ini karena banyak dari mereka yang melanjutkan study atau bekerja ke luar daerah. Pemuda tersisa adalah mereka yang mendapatkan pekerjaan di daerah sekitar, atau beberapa yang belum mendapatkan pekerjaan.
Kegiatan rutin KB adalah pengajian remaja pada Jum’at malam, setiap minggunya. Ustad yang paling sering mengisi materi adalah Kak Andi dan Kak Ipi, mereka berdua adalah pembina KB. Sesekali, paling tidak satu bulan satu kali, kami mengundang ustad dari luar untuk mengisi materi pengajian.
Sebelum aku kuliah di UPI Bandung, aku menjabat sebagai Sekertaris Umum (sekum) di KB. Ketika itu ketuanya adalah Kang Yudi Firmansyah, dia mahasiswa tingkat akhir di IAIN Serang. Karena Kang Yudi sibuk dengan skripsinya, dia mengamanahkanku untuk menghandle KB selama dia menyusun skripsi. Dengan menghujamkan bismillah ke dalam hati, aku berusaha untuk menyetir kendaraan KB agar tetap berjalan dengan baik. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah, KB berjalan dengan normal.
Mungkin, ketika aku menghandle KB, orang yang paling sering berinteraksi dengan banyak orang adalah diriku. Bagaimana tidak, karena ketika itu aku adalah pucuk pimpinan di KB, setiap kebijakan untuk mengambil keputusan di serahkan kepadaku, dengan proses musyawarah terlebih dahulu tentunya. Alhasil, aku jadi mengenal banyak orang dan akrab dengan mereka, baik dari pihak ikhwan ataupun akhwat, tanpa terkecuali. Karena kedekatan itu, tidak sedikit orang yang meminta waktuku untuk mengobrol dengan mereka. Mulai dari memperbincangkan perkembangan organisasi, bahkan ada juga yang curhat tentang persoalan pribadi mereka. Aku tidak faham kenapa mereka meminta saran dariku, karena aku merasa tidak pantas untuk itu.
“ Berikan saja pendapat Niko tentang penyelasaian permasalahan yang mereka tanyakan. Berikan semampu Niko. Dan Ingat! jangan sampai merasa malu muntuk mengatakan ‘tidak tahu’ jika Niko benar-benar tidak mengetahui persoalan yang mereka tanyakan,” Nasihat Kak Andi di ruang tamu rumahnya, ketika aku bersilaturahmi ke rumah ka Andi untuk meminta saran terkait hal ini.
Pasca mendengarkan nasihat dari Kak Andi, aku sedikit lebih berani dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang meminta saranku. Tidak jarang aku mengatakan tidak tahu, karena aku merasa ilmuku belum sampai ke sana (pertanyaan yang mereka utarakan). Jika aku merasa sudah mentok, aku menyarankan mereka untuk datang dan meminta saran kepada Kak Andi atau Kak Ipi.
Satu dari beberapa orang yang paling sering curhat adalah Tria. Dia seorang akhwat. Usia kami hanya terpaut tiga tahun, lebih tua diriku. Perawakannya proporsional, ideal untuk seusianya. Jika diperhatikan lebih jauh, dia adalah akhwat yang termasuk kedalam kategori remaja di kampungku yang paling rajin mengiktui pengajian jum’at malam KB.
Biasanya, persoalan yang sering dia tanyakan padaku tidak jauh-jauh dari kebingungannya dalam mengambil keputusan di persimpangan jalan. Salah-satu contohnya adalah ketika dia kebingungan untuk memilih melanjutkan kuliah atau bekerja. Memang, tidak hanya itu, ada juga jenis saran lain yang dia minta.
Pun, dengan malam ini, barusan hapeku bergetar. Ada sebuah SMS yang datangnya dari kawan lama, tiada lain adalah Tria. Awalnya kami hanya saling bertanya kabar dan bagaimana keadaa masing-masing, juga apa kegiatan yang sedang dilakukan. Sampai sebuah SMS itu datang.
(ko, tria boleh tanya sesuatu gak????)
Aku sedikit dikagetkan oleh SMS Tria. Suasana hati yang tadinya agak santai, kini berubah menjadi serius, karena aku tahu, Tria akan meminta saran atau bertanya sesuatu hal yang mungkin penting pada diriku.
(boleh tria, selama saya bisa jawab, insyallah saya akan jawab. mau tanya apa tria?)
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya datang juga balesan SMS dari Tria.
(apakah hukum karma di dunia ini ada????)
Balesan SMS dari Tria singakat dan padat. Namun, walaupun singkat, cukup untuk membuatku kebingungan dalam mencari jawaban yang dibutuhkan. Disatu sisi aku belum faham dengan hukum karma, tapi disisi lain, aku ingin juga memberikan sebuah solusi pada permasalahan yang sedang di alami kawan lamaku ini. Aku tahu, meskipun dia hanya bertanya apakah hukum karma itu ada, namun, dibalik pertanyaan itu, tersimpan sebuah permasalahan berat yang sedang dia alami. Aku tahu itu, karena tidak sekali dua kali dia bertanya kepadaku.
Untuk sesaat aku termenung memamdangi langit-langit kamarku. Dalam hati aku berdo’a meminta petunjuk Yang Maha Memeberi Petunjuk. Tiba-tiba pikiranku tersetting untuk mengingat kembali ceramah-ceramah Aa Gym. Dari sekian banyak ceramah itu, tersaring satu persatu, hingga akhirnya hanya tersisa sebuah ceramah Aa. Ceramah itu terjadi di darul hajj, mesjid sementara Daarut Tauhiid, karena mesjid DT sedang di renovasi. Ketika itu aku duduk diantara kerumunan jama’ah.
“ Ketika seseoarang berbuat tidak baik, itu ibarat dia sedang menaruh ranjau di depannya, yang pasti dia akan menginjaknya. seseorang pasti akan mendapatkan apa yang telah di perbuat. ‘Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. Az-Zilzal ayat tujuh dan delapan,” ujar Aa Gym pada materi ba’da subuh.
Aku mencoba membahasakan ceramah Aa itu dengan bahasaku sendiri. Aku tuangkan apa yang ada di otakku pada layar hape, kemudian aku kirim ke sebuah nomer hape yang tersimpan di memori sim card ku. KB Tria, 08XXXXXXXXXX, itulah nomernya.
Sembari tiduran, aku menunggu balesan SMS dari Tria, kalau-kalau ada pertanyaan lanjutan. Namun, balesan yang ditunggu itu tidak kunjung juga hadir. Sampai akhirnya aku tertidur. Aku terbangun dari tidurku beberapa saat sebelum adzan subuh berkumandanag. Teman sekamarku masih asyik berpetualang di alam mimpi mereka masing-masing. Aku melihat di layar hapeku ada sebuah SMS. Ketika kulihat, SMS itu datang dari Tria.
( syukron ya ko….:-) )
Selasa, 15 Maret 2011
Baik-Baik disana
Di kopontren lantai tiga. Seketika para santri terdiam membisu, padahal beberapa detik yang lalu, celotehan masih keluar dari mulut kami. Barusan, ustad Mardais memberitahu kami, bahwa ada seorang santri ikhwan PPM yang dikeluarkan dari ponpes DT. Mungkin, orang yang merasa paling terpukul adalah Adit, Faqih, Mamat juga diriku, yang tidak lain adalah para penghuni kamar nomer tiga belas. Bagaimana tidak, santri yang dikeluarkan itu adalah sahabat kami, sahabat satu kamar kami. Dia adalah Dzulkifli (kang Zul). Setelah ustad Mardais mengumumkan hal ini, tanpa ada komando sebelumnya, kami, penghuni kamar nomer tiga belas, saling memandang satu sama lain. Aku dapat membaca raut wajah teman-teman satu kamarku, wajah mereka penuh dengan rasa tidak percaya. Mungkin merekapun demikian kepadaku.
“ Dzulkifli telah melakukan kesalahan yang tidak bisa kami tolerir lagi, ini sudah melampaui batas !” ujar ustad Mardais disela-sela pengumuman.
Minggu, 06 Maret 2011
Banjir Air Mata di Darussalam

Malam Minggu, ba’da isya di aula asrama darussalam adalah jadwal untuk muhadoroh (belajar khutbah) para santri PPM ikhwan. Dari malam Selasa sampai malam Sabtu kami mendapatkan materi dari asatidz ponpes DT. Malam Minggunya, giliran kami para santri yang saling memberi ceramah kepada teman-teman santri PPM lain. Setiap satu pertemuan, biasanya hanya dua atau tiga santri yang kebagian berceramah, sisanya menunggu pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Setelah semua santri kebagian berbicara, muhadoroh dimulai lagi dari santri pertama yang berceramah, kemudian dilanjutkan sesuai urutan yang telah ditentukan. Setelah semua sudah lagi, diulang lagi dan diulang lagi sampai periode belajar di PPM selesai. Orang yang menjadi pembimbing santri ikhwan dalam muhadoroh ini adalah kang Hakmal, sesekali, ustad Hamdani hadir membimbing kami. Sepatah atau dua patah kata dia sampaikan di akhir acara, yang pada intinya adalah memberikan masukan untuk perbaikan public speacing kami kedepannya.
Langganan:
Postingan (Atom)