Minggu, 06 Maret 2011
Banjir Air Mata di Darussalam
Malam Minggu, ba’da isya di aula asrama darussalam adalah jadwal untuk muhadoroh (belajar khutbah) para santri PPM ikhwan. Dari malam Selasa sampai malam Sabtu kami mendapatkan materi dari asatidz ponpes DT. Malam Minggunya, giliran kami para santri yang saling memberi ceramah kepada teman-teman santri PPM lain. Setiap satu pertemuan, biasanya hanya dua atau tiga santri yang kebagian berceramah, sisanya menunggu pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Setelah semua santri kebagian berbicara, muhadoroh dimulai lagi dari santri pertama yang berceramah, kemudian dilanjutkan sesuai urutan yang telah ditentukan. Setelah semua sudah lagi, diulang lagi dan diulang lagi sampai periode belajar di PPM selesai. Orang yang menjadi pembimbing santri ikhwan dalam muhadoroh ini adalah kang Hakmal, sesekali, ustad Hamdani hadir membimbing kami. Sepatah atau dua patah kata dia sampaikan di akhir acara, yang pada intinya adalah memberikan masukan untuk perbaikan public speacing kami kedepannya.
Namun, pada malam Minggu ini, untuk sementara muhadoroh ditiadakan dan diganti dengan evaluasi semester pertama. Iya, tidak terasa waktu terus berlalu, sudah setengah tahun ini kami tinggal di darussalam. Terdapat banyak sekali kenangan, baik itu yang manis, pahit, ataupun yang kecut-kecut asem. Seperti biasa, ba’da isya, kami, para santri dikumpulkan di aula. Setelah santri berkumpul, tidak begitu lama, ustad Hamdani selaku penanggung jawab asrama datang dengan menggunakan pakaian kebesaran yang biasa dia kenakan, yaitu baju takwa putih, celana hitam dan dipadukan dengan peci haji warna putih. Beliau membuka forum dengan mengucapkan lafadz basmalah kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan salam. Para santri menjawab salam ustad dengan kompak dan berbarengan. Ustad Hamdani mengawali pembicaraan dengan sedikit lawakan-lawakan ringan. Sesekali para santri tertawa renyah. Setelah ustad Hamdani merasakan kondisi psikologi para santri sudah siap untuk mendengarkan pembicaraan inti, beliau langsung mengutarakannya. Suasana yang tadinya cerah-ceria, yang sesekali ada sedikit bisikan-bisikan dari para santri, kini berubah menjadi hening, tidak ada suara selain ucapan ustad Hamdani. Situasi dan kondisi ruangan terasa angker, kami serasa berada di sebuah perkampungan terpencil yang belum terjamah oleh aliran listrik pada jam dua belas malam di malam Jum’at kliwon. Sunyi dan senyap.
Ustad menyebutkan satu persatu kesalahan dan kekurangan-kekurangan apa saja yang sering dilakukan oleh para santri, dimulai dari seringnya kami lupa waktu jika sudah bermain futsal hingga pada akhirnya ada beberapa santri yang tidak solat magrib berjamaah di mesjid karena kelamaan antri mandi. Susahnya para santri untuk dibangunkan subuh, sampai-sampai tidak sedikit santri yang tidak mendapatkan takbiratul ikhram solat jamaah subuh.Terlalu seringnya kami tidak segera mencuci alat-alat yang dipake setelah memasak di dapur hingga alat-alat masak kotor tersebut menumpuk dan tidak enak dipandang. Ketika ustad Hamdani membicarakan semua itu, tiada tindakan lain yang bisa dilakukan santri selain menundukan kepala, begitupun dengan diriku. Aku, mungkin juga teman-teman lain merasa malu dengan persoalan ini. Bagaimana tidak? Kami hidup di pondok pesantren, memang tidak selayaknya kami masih melakukan tindakan-tindakan semacam itu.
“ Bagini sahabat-sahabat, mohon diperhatikan! Ada berapa jumlah mahasiswa yang berkuliah di sekitar lingkungan DT? Ribuan, bahkan puluhan ribu!” Ustad Hamdani menjawab sendiri pertanyaan yang dia berikan pada kami.
“ Dari sekian banyak jumlah mahasiswa, hanya nol koma sekian persen yang mesantren di DT. Ingat!!!! Jatuhnya setangkai daun itu bukan kebetulan, semuanya sudah diatur oleh Allah Subhanahuwata’ala! Semuanya telah tertulis di kitab lauh mahfudz! Pun, dengan belajarnya sahabat-sahabat di PPM ini, itu sudah diatur oleh Allah,pasti ada maksud, kenapa Allah menakdirkan sahabat-sahabat berada di sini. Entah, mungkin ada saja yang kesini karena disuruh oleh orang tunya, atau karena itung-itung ngekos karena biaya pesantren sedikit dibawah biaya jika ngekos diluar.”
“ Sahabat-sahabat seharusnya merasa rugi, tinggal di pesantren tapi kelakuannya sama saja dengan yang tidak mesantren. Kalau seperti itu, apa bedanya sahabat-sahabat dengan yang lain!” tegur ustad Hamdani kepada kami, santri PPM. Kami menunduk semakin dalam. Tidak hanya wajah, hatipun ikut menunduk.
“ Coba lihat buku muhasabah harian ini!” ujar ustad Hamdani sambil mengacungkan buku muhasabah harian para santri. “ Berapa kali dalam seminggu sahabat-sahabat solat malam?” ustad Hamdani menambahkan.
“ Cobalah dibiasakan untuk solat malam. Bukan untuk siapa-siapa. Bukan untuk saya, bukan untuk Aa, bukan juga untuk yang lain, semua ini untuk kebaikan diri sahabat-sahabat sendiri,” suara ustad Hamdani mulai bergetar. Sepertinya dia merasa sedih dengan kejadian ini.
“ Sebelumnya saya mohon ma’af, bukan maksud saya untuk membanding-bandingkan. Saya sangat terkesan dengan santri waktu angkatannya kang Hakmal,” ucap ustad Hamdani sambil menunjuk kang Hakmal. Pandangan semua santri ikut-ikutan mengarah pada kang Hakmal.
“ Mungkin kang Hakmal masih ingat, bagaimana para santri mengisi malam-malamnya. Pada sepertiga malam terakhir hampir semua santri melakukan solat malam. Dan yang membuat saya kagum adalah mereka solatnya tidak di kamar, mereka mencari tempat-tempat yang sepi di luar. Tidak jarang saya melihat santri menangis tersedu-sedu diantara do’a-do’anya. Pernah suatu malam saya mendengarkan suara tangisan orang di halaman belakang, ketika saya hampiri, ternyata itu adalah tangisan santri yang sedang solat malam. Sekali lagi saya tekankan, bukan maksud saya untuk membanding-bandingkan sahabat semua dengan santri angkatan kang Hakmal, semata-mata hanya untuk memberikan gambaran kepada sahabat-sahabat semua, kalau angkatan kang Hakmal saja bisa, mengapa sahabat-sahabat tidak bisa!” tegas ustad Hamdani.
Entah virus baik apa yang menjangkiti Adit dan kang Zul, malam ini mereka duduk di posisi paling depan dan dekat dengan ustad Hamdani. Biasanya mereka duduk paling belakang. Mereka duduk bersebelahan, Adit di samping kiri kang Zul dan kang Zul di samping kanan Adit. Posisi itu semakin sempurna karena di samping mereka ada Faqih dan Mamat. Faqih di sebelah Adit dan Mamat di sebelah kang Zul. Formasi itu best formation dari ghurfah nomer tiga belas, belum lagi ditambah diriku yang duduk tepat di belakang kang Zul.
“ Sekali lagi, saya tidak bosan-bosan untuk memperingatkan sahabat-sahabat semua supaya membiasakan solat malamnya. Tapi awas!! yang wajib jangan ditinggalkan. Jangan sampai ada santri yang solat malamnya jam satu, setelah itu tidur lagi, terus susah untuk dibangunkan subuhnya, sampai-sampai ketinggalan takbiratul ikhromnya.” Ustad Hamdani memperingatkan, matanya menyisir para santri. Aku menundukan wajah ketika pandangan ustad sampai pada diriku.
“ Nih, terutama para santri yang tidur di kamar nomer tiga belas,” mata elang ustad Hamdani tertuju pada kami, para penghuni kamar nomer tiga belas. Para santri lain ikut-ikutan menatap kami, membuat kami semakin tertekan saja.
“ Adit!!!” ucap ustad Hamdani. Adit menoleh ke sumber suara. “ Jangan susah dibanguninnya ya!!” tambah ustad Hamdani.
“ InsyAllah ustad,” jawab Adit dengan nada ragu-ragu, setelah itu Adit menundukan wajahnya kembali. Kang Zul, Mamat, Faqih, demikian juga aku, tanpa ada komando terlebih dahulu, kami serempak melihat Adit yang sedang menunduk lesu.
“ Zul juga nih !!! jangan susah dibanguninnya ya!!!” kang Zul tersentak kaget.
“ Ia, ustad,” jawab kang Zul. Dia menunduk mengikuti Adit. Mamat dan Faqih saling berpandangan satu sama lain.
“ Mat !!!”
“ ia ustad,” jawab Mamat reflek karena kaget.
“ Kurangi main game nya ya !!”
“ Baik ustad,” Mamat ikut menunduk.
“ Faqih !!! jangan terlalu sering ijin meninggalkan materi ya! Jangan terlalu sering ikut demo lah, materi lebih penting,” nasihat ustad Hamdani kepada Faqih. Berbarengan dengan mengucap kata iya, Faqih menundukkan kepalanya. Segera aku ikut menunduk mengikuti rekan-rekan satu kamarku, sepertinya sebentar lagi aku juga akan kena nasihat ustad Hamdani.
“ Niko !!! jaga pandangan ya!!!!”
“ Baik ustad,” jawabku dengan tidak melihat wajah ustad Hamdani.
Hampir semua santri dinasihati oleh ustad Hamdani. Kami tahu, semua itu semata-mata demi kebaikan kami juga. Muhasabah berakhir pada pukul setengah sebelas malam. Para santri langsung menuju kamar masing-masing, kemudian langsung tidur. Para penghuni kamar nomer tiga belas, tidak ada sepatah katapun obrolan, kami langsung membuka kasur lipat, menarik selimut, mematikan listrik, kemudian tepar.
Besoknya, sepuluh menit sebelum adzan subuh berkumandang, para santri sudah ada di mesjid DT. Ada yang tilawah Alquran, ada yang berdzikir, ada yang i’tiqaf, ada juga santri yang sedang tiduran di pojok dinding atau di dekat tiang-tiang mesjid. Ba’da solat subuh, kami mendengarkan MQ ON AIR sampai jam enam. Setelahnya langsung meluncur menuju asrama darussalam.
Jam sembilan pagi, cuaca tampak cerah, langit seperti sebuah payung raksasa warna biru yang menyelimuti bumi. Cahaya matahari Bandung terasa hangat membelai kulit. Semua penghuni darussalam sudah memilih tempat yang sesuai dengan hati mereka. Ada yang di halaman belakang, ada yang di dekat dapur, ada yang di teras kamar, ada yang di lapangan futsal, ada yang di aula, ada juga yang tetap memilih di kamar masing-masing. SubhanAllah, sebuah keajaiban muncul di darussalam, tidak ada seorangpun yang tidak meneteskan air mata. Sungguh, kami tidak kuasa untuk menahan air mata ini tidak meleleh. Santri yang paling banyak mengeluarkan air mata adalah bang Afgan. Beberapa kali aku melihat bang Afgan menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Ada peristiwa apa gerangan di darussalam, hingga membuat semua penghuninya tidak kuasa menahan air mata utnuk tidak keluar???? Jawabannya adalah ada pada kalimat penutup yang diisyaratkan ustad Hamdani kepada seluruh penghuni darussalam, tidak hanya para santri, para mudabir dan bagian logistik pun diwajibkan mematuhinya. Apa gerangan yang diperintahkan ustad Hamdani tersebut????
“ Begini sahabat-sahabat semua, sebelum kita tutup forum ini, saya ingin, besok kita semua gotong royong untuk membersihkan asrama tempat tinggal kita ini. Mari kita terapkan konsep BEBASKOMIBA untuk besok. Semua barang-barang yang sekiranya tidak terpakai dan layak pakai, kita sedekahkan kepada yang membutuhkan, dan barang yang tidak bisa digunakan lagi, kita bakar. Oh ya, satu lagi, untuk Arif (bang Afgan), tugasnya jangan kemana-mana, Arif harus tetap di dapur, masaklah makanan yang paling enak untuk kita,” wasiat ustad Hamdani. Tawa renyah pecah di kalangan santri.
Barang-barang yang dibakar cukup banyak, hingga menghasilkan asap yang tidak sedikit. Kang Rudi dan kang Asep (bagian logistik ponpes DT), membakar barang-barang itu di halaman belakang. Asapnya menjalar kemana-mana, tidak ada sedikitpun ruang yang tidak terjamah oleh asap tersebut, karenanya, semua orang yang sedang ada di darussalam, matanya merasakan pedih, kemudian mengeluarkan air mata. Apes bagi bang Afgan, selain matanya pedih karena asap, ditambah lagi dengan pedihnya cipratan air bawang merah yang sedang dia iris-iris.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
subhaanallaah,,,,
BalasHapussemoga bisa menjadi pelajaran untuk semuanya,,, termasuk ana,,,,, ^_^
Aamiin........
BalasHapus:-)