Jumat, 11 Februari 2011

Kakak Komersil


Haha. Barusan, aku melihat pemandangan yang sering terjadi di asrama darussalam, namun, meskipun peristiwa itu terjadi hampir setiap hari, tawa ini tidak kuasa untuk tidak keluar. Tempat kejadian peristiwa (TKP) untuk permasalahan ini adalah toilet. Jika peristiwa ini sedang terjadi, tedapat tiga jenis manusia penghuni darussalam. Pertama adalah tipe munyeku(muka nyengir kuda). Orang-orang yang termasuk kedalam tipe ini adalah bukan aktor utama, melainkan hanya sebagai penonton. Jika pertunjukan sedang terjadi, maka orang yang bertipe ini hanya menonton dan sesekali mengeluarkan tawa karena merasa terhibur. Dan kali ini, aku termasuk kedalam tipe yang satu ini. Mengapa aku mengatakan demikian? Hal ini karena, setiap orang tidak mutlak hanya menyandang satu tipe saja, terkadang, pergantian dari satu jenis ke jenis lain itu bisa terjadi hanya dalam jangka waktu yang cukup singkat.



Jenis selanjutnya adalah golongan mucat (muka pucat). Disebut tipe muka pucat karena jika peristiwa sedang terjadi, orang-orang yang bertipe ini wajahnya pasti pucat dan tidak memiliki warna. Nafasnya naik-turun seakan nyawanya hanya tinggal beberapa detik lagi. Tangan kiri memegang-megang pantatnya seperti sedang menahan sesuatu yang akan keluar, dan tangan kanannya meremas-remas wajahnya sendiri. Tipe orang ini adalah satu dari dua aktor utama atau yang ditonton oleh tipe munyeku. Selain memegang pantan dan meremas-remas wajahnya, tindakan lain yang bisa dilakukan tipe mucat adalah menggedor-gedor pintu toilet sekencang dan sesering mungkin.

DOR DORR DORRRR DORRRRRRR

“ Wooooiiiii, cepetan, sudah diujung nih..... aku gak tahan lagi....,” teriak mucat sambil menggedor-gedor pintu toilet.

“ NgngnnNANTI..... ngngnnNANGGUNGng.... ngngnnPERUTKU ngMASIH ngnMUAL, ngngnnn... ngngnnn.... eeeeeuuhhhh. Ngngngnnn,” jawab orang di dalam toilet sambil ngeden-ngeden.Orang didalam toilet ini adalah aktor utama selanjutnya, tipenya adalah mungis(muka meringis), disebut tipe mungis karena wajahnya pasti meringis-meringis sesaat setelah keluar dari toilet. Wajah mereka meringis karena resepsi pengeluaran racun dari dalam tubuhnya belum sempurna karena diganggu oleh spesies orang mucat. Tidak jaranggolongan mungis langsung berubah menjadi spesies mucat karena masih merasa ingin buang hajatnya. Belum satu menit mucat berada di toilet, istilahnya baru saja mereka jongkok, pintu toilet langsung digedor lagi oleh mungis yang telah bermetamorfosa menjadi spesies mucat.

Ada satu orang di asrama yang memiliki hak istimewa atau yang diistimewakan oleh para penghuni lainnya. Jika orang ini sedang berada di dalam toilet, tidak ada satu orangpun yang berani untuk menggedor-gedor pintu meminta segera keluar. Orang ini adalah pembimbing kami di asrama, dia adalah ustad Hamdani, penanggung jawab asrama darussalam. Sebenarnya masih ada tiga orang lagi yang diistimewakan, namun, tidak seistimewa perlakuan kepada ustad Hamdani, mereka adalah para mudabir, baik itu mudabir program pesantren mahasiswa (PPM), akhlak plus wirausaha (APW) ataupun dauroh qolbiah (DQ).

Omong-omong masalah toilet, buang hajat dan ketidak tenangan, aku teringat kejadian beberapa tahun lalu di rumahku, tepatnya di ruang keluarga. Ketika itu jam dinding yang tertempel di ruang tengah menunjukan angka sembilan. Di rumah sedang tidak ada siapa-siapa selain aku dan adik perempuanku, Dini. Malam semakin larut, erikan jangkrik di halaman semakin mengeras, membuat suasana terasa lebih angker dari biasanya, karena kebetulan –sebenarnya bukan kebetulan, karena semuanya telah diatur oleh Sang Maha Pengatur, yaitu Allah SWT-- beberapa meter di seberang jalan depan rumahku terdapat pemakaman umum.

Untuk mengurangi rasa takut, aku membaca novel yang sebenarnya telah aku baca. Sementara adikku sedang asyik mengoperasikan hape, entah apa yang dilakukannya, mungkin sedang SMSan dengan temannya, atau sedang bermain game ular, satu-satunya game yang ada di hapenya.

Jarum jam menunjuk pada angka setengah sepuluh malam. Tiba-tiba Dini memintaku agar mengantarnya ke toilet untuk buang hajat.Memang, adikku yang satu ini sering seperti itu. Jika ingin buang hajat pada malam hari, dia pasti minta untuk dianterin, karena toilet dirumahku berbeda dengan toilet di rumah-rumah lain yang terdapat di dalam, toiletku adanya diluar, berpisah dengan rumah. Biasanya, kalau ada bapak, pasti bapak yang antar. Namun, karena kali ini tidak ada bapak, akulah yang menjadi sasaran Dini.

“ Cepet, A, aku sudah ‘gak tahan nih,” pinta Dini.

“Ogah, lagi pewe nih,” jawabkusambil melihat buku yang sedang kubaca.

“ Ayo, A, sebentar doang, sudah diujung nih,” paksa Dini sambil meringis dan tangannya memegangi pantatnya.

“ Sendiri masa ‘gak berani?!!Lagian sekarang masih jam setengah sepuluh, masih sore kan?!!”

“ Please, A, aku ‘gak tahan lagi.”

Aku menggelengkan kepala dengan pandangan tetap pada buku yang kupegang.

“ Cepet anter aku, A,aku sudah ‘gak tahan lagi nih,aku kasih duit deh.”

Mendengar ucapan itu, aku mulai berhenti membaca buku,kupalingkan wajahku yang dari tadi melihat buku kearah Dini.Kami saling beradu pandangan. Kulihat wajah adikku penuh harap. Wajahnya pucat tidak berwarna karena terlalu lama menahan BAB. Seakan tahu apa yang kupikirkan, Dini langsung angkat bicara,

“ Seribuya !!!?” tawar Dini.

Mendengar tawaran itu, aku tertawa kecut dan kembali membaca buku.

“ Lima ribu !” tawar Dini lagi.

Aku menggelengkan kepala dengan dibumbui tawa kecut.

“ Sepuluh ribu!! mau ya, A???” tawar Dini sambil memegangi pundakku.

Aku kembali menggeleng, namun tanpa tawa.

“ Lima belas ribu aja ya???” Dini menggoyang-goyang pundakku.

Gelengan kepalaku mulai melemah.

“ Ayo sih, A, anter aku, udah ‘gak kuat nahan lagi nih. Bapak sih, kenapa kali bangun toiletnya pisah dengan rumah, aku jadi takut kan, kalau mau BAB malam,” Nampaknya otak Dini sudah mulai kacau karena kelamaan menahan BAB. Dia marah kepada Bapak, meskipun bapaknya sedang tidak di rumah.

“ Oke!!! dua puluh ribu deh, mau ya?!!” tawar Dini dengan nada meninggi. Kulihat wajah adikku, mukanya semakin tidak berwarna. Kasihan juga aku melihat adikku pucat seperti itu. Lagian, numayan juga ‘kan dua puluh ribu, buat beli pulsa. Akhirnya hatiku luluh pada titik dua puluh ribu.Kututup buku, kemudian kuletakan di atas meja. Namun, ketika aku akan berdiri hendak mengantar, tiba-tiba muncul pikiran yang entah darimana datangnya.

Nanti dulu ah, kayaknya jasa antar-mengantar ini bisa berharga lebih dari dua puluh ribu. Dini ‘kan lagi kepepet. Orang yang kepepet itu biasanya berani bayar berapapun.


“ Lima puluh ribu!!!!” ucapku reflek sambil mengacungkan kelima jari tangan kananku.

“Apa?!! Itu kebanyakan, A, uangku minggu ini udah menipis.”

“ Pokoknya lima puluh ribu, itu harga mati, kalau ‘gak mau yaudah, BAB sendiri sana! awas lho ada genderuwok,” aku menakut-nakuti supaya Dini berani membayar lima puluh ribu.

“ yaudah, dua puluh lima ribu aja ya? heu.., heu..,” tawar Dini lagi dengan sedikit merengek.

“ ‘Gak mau!!” tolakku tegas. Aku duduk lagi dan membuka buku kembali. Dini tetap merengek dan aku tidak mau kalah, akupun tetap menolak. Ditengah-tengah pertempuran sengit itu, tiba-tiba ada suara salam dari luar, bapak masuk rumah, kemudian diikuti oleh ibu dan Adam yang masih kecil ketika itu.

“ Ada apa ini ribut-ribut?” tanya bapak dengan wajah ramahnya. Sementara ibu dan Adam langsung masuk kamar.

“ Aa ni Pak, gak mau anter Nini ke toilet,” jawab Dini manja.

Bapak langsung duduk di sofa. Beliau menarik nafas panjang-panjang, pertanda sedang merasa kelelahan. Beliau melihatku, tatapannya mengisyaratkan agar aku segera mengantar Dini. Apa boleh buat, kali ini bapak yang menyuruhku. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mengantar dan menunggui adikku ke toilet. Dengan hati sedikit terpaksa, akhirnya aku mengantar adikku.

“ Dek, gakpapa, dua puluh lima ribu juga...” bisikku di telinga Dini. Aku tidak mau rugi.

“ GAK MAU !!!!” jawab Dini tegas. Suaranya dikeras-keraskan, seakan agar bapak mendengarkannya.

“ Lho, kok gak mau? Gak dianterin nih!” ancamku dengan suara pelan.

Sekonyong-konyong Dini berbalik badan menghampiri bapak,” Paaaaakk..... Aa nya tuh gak mau nganter Nini....” manja Dini pada bapak. Tidak sepatah katapun yang bapak ucapkan selain memelototiku. Sekali lagi, dengan berat hati, aku terpaksa mengantar Adikku. Dia tersenyum merayakan kemenangannya.

Kami berjalan menuju pintu belakang. Dini meluncur menuju toilet dengan kecepatan yang luar biasa. Dia BAB dengan pintu WC tetap terbuka lebar-lebar. Sementara aku, harus rela nongkrong sendiri di pintu belakang sambil menunggui adikku. Aku tidak rela. Aku sungguh tidak rela dengan kekalahan ini. Aku harus membalas, pokoknya, bagaimanapun caranya, aku harus segera membalas. Apapun risiko yang akan aku terima, aku akan menghadapinya. Aku tidak rela kehilangan uang dua puluh lima ribu begitu saja.

BROT, BRROOTT, BRROBBOOTTT, BRRREEEETTT.

Penderitaan ini bertambah parah, karena harus rela mendengarkan bom-bon nuklir yang dikeluarkan Dini.

BBBRRRRRROOOOOOOTTTTTTTTTT

Secara diam-diam aku meninggalkan adikku yang sedang ngeden-ngeden di WC. Aku meluncur menuju kamar dengan kecepatan yang melebihi kecepatan cahaya. Pintu kamar aku kunci. Sayup-sayup aku mendengar suara teriakan Dini.

“ Aaaaaaa...... bapaaaaak..... Aa ninggalin...... BROTTT.”

Sejurus kemudian, aku mendengar suara seorang bapak-bapak, sepertinya itu suara bapakku sendiri.

“ Niko..... tungguin adikmu......”

Aku hanya bisa diam terpaku di dalam kamar. Listrik segera aku matikan. Aku tutup telingaku rapat-rapat.

“ NIKO......” teriak bapak. Sepertinya bapak murka kepadaku. Aku mulai merasa takut. Saking takutnya, aku tidak bisa lagi membedakan mana suara Adikku, mana suara bapak, dan mana suara bom nuklir.

“ Bapaaaaakkk.... Niko.... Aaaaaaaaaaa.... NIKO...... Bapaaaaaaakkk.... Nini takuuuuut..... Awass kamuuu...... LIMA PULUH RIBU... ia, mauuuu....... AA...... BRRRROOTTTT..... BBBRRRROOOOOTTTTTTTT.”

4 komentar: