Kamis, 10 Februari 2011

Ingin yang Pintar Bikin Sambal Terasi


Sepertinya aku akan semangat lagi dalam menjalani rutinitas perkuliahan yang sudah dimulai ini. Akhirnya, setelah hampir setengah dasawarsa, aku menginjakan kaki kembali di kampung halaman kakekku, yaitu Cicalengka. Aku disambut hangat oleh keluarga di sana. Mereka menyambutku bak seorang raja, mungkin pula lebih dari sekedar itu. Kalimat ini mungkin bisa sedikit mewakili, yaitu, aku disambut laksana seorang anak yang telah lama hilang kemudian diketemukan kembali oleh kedua orang tuanya.

Seperti biasa, orang yang paling antusias menyambutku adalah Teh N’eng. Dia adalah anak pertama Bi Euis. Tidak ada saudara lain yang menyambutku se-ekstrim dia. Aku diperlakukan seperti anak kecil saja. Pipiku dicubit, hidungku dipencet, rambutku diacak-acak olehnya.



Si Aa... tambah kasep bae... naha ayeunamah jadi putihan? Nuju alitmah kan hideung!” teriak teh N’eng sambil memeras-meras pipiku. Saudara yang lain hanya bisa tertawa melihatku diperlakukan seperti itu oleh teh N’eng. Setelah diinterogasi dengan beberapa pertanyaan, Bi Euis langsung mengajakku makan. Kebetulan hari itu keluarga kakek sedang kumpul semua.

Sengaja bibi SMS saudara-saudara ti Cicalengka supaya kumpul di rompok bibi, bibi nyariosna bade aya penyambutan meriah kanggo calon propesor... tadi malem, bibi ditelfon ku Uwa Lilis, saurna Aa bade ka dieu, Uwa Lilis seueur nyarita tentang Aa, saurna Aa bercita-cita palai jadi propesor...” cerita Bi Euis dengan logat khas orang sundanya. Aku hanya manggut-manggut menanggapi cerita bibi.

SubhanAllah, sambal terasi bi Euis memang enak. Aku makan dengan lahap, sampai-sampai nambah dua kali. Meskipun makannya nambah, aku tidak terlalu merasa malu, karena ada seseorang yang menemaniku ikut-ikutan nambah. Memang sedari dulu, dia adalah partnerku dalam urusan makanan. Namanya Rizal, dia anak bungsunya bi Euis. Usia kami sama, hanya berbeda beberapa bulan saja, lebih tua diriku. Rizal tidak melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, dia lebih memilih bekerja.

Hanya ada seorang di dunia ini yang bisa membuat sambal melebihi enaknya bikinan bi Euis. Orang itu adalah Ibuku sendiri. Ibuku nomer satu dan bi Euis nomer dua. Tapi, mungkin, beberapa tahun lagi posisi bi Euis akan tergeser menjadi nomer tiga, nomer duanya diisi oleh istriku tercinta, Aamiin.Nomer satunya tetap dipegang ibuku.

Mangga A, nambah deui, tong era-era... “ tawar bi Euis.

muhun A, tong era-era, mangga dicekapkeun emamna, soalna engkin siang urang bade mancing ikan di tambak aki utek... buh... lauk emas na ageung-ageung pisan... bahkan aya anu sa ageung Aa...” teh N’eng menambahkan dengan sedikit canda, yang lain tertawa renyah, sementara Rizal sibuk sendiri dengan makanan-makanannya.

Setelah makan, kami berkumpul di teras depan rumah bi Euis. Acaranya adalah melanjutkan introgasi yang tadi sempat terputus. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan kepada diriku, sampai-samapai aku kebingungan untuk menjawabnya. Hari itu aku ibarat seorang pemain sepak bola terkenal dunia yang sedang dikelilingi banyak wartawan.

Kabogohna urang mana A....? geulis teu...?” celetuk Rizal. Dia hanya nyengir, seakan tidak memiliki dosa, padahal pertanyaannya itu lebih dari cukup untuk membuatwajahku menjadi merah.Aku hanya menjawab dengan sebuah senyuman, senyuman yang membuat wajah-wajah yang melihatku penuh dengan tanda tanya.

Tidak berbeda dengan adiknya, teh N’eng ikut-ikutan memojokan diriku.

Entos Aa mah nikahna sareng urang Cicalengka bae nya! Urang dieumah gareulis... Aa palai anu tipe kumaha?anu pinter ngaosna? teh N’eng kin nu milihkeun...”tanya dan tawar teh N’eng. Jiwaku semakin tertekan saja. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menggaruk-garuk kepala. Hampir semua perhatian orang tertuju padaku.

Beberapa saat aku bengong. Teh N’eng senyum. Bi Euis senyum, yang lain juga ikut senyum menunggu jawabanku. Aki Utek meluruskan peci hitamnya yang miring, sementara Rizal, tiada bukan yang dia kerjakan selain mengunyah makanan.

Kumaha A... palai anu kumaha???” desak teh N’eng.

“ Mmmmm..... Euuuuuuuuuu.... mmmmmMMMMM.. palai anu hebat ngadamel sambel terasi na !!!!”jawabku sekenanya. Semua yang menatapku penuh dengan kebingungan. Namun, apa yang dilakukan oleh Rizal???? Dia tetap konsentrasi penuh kepada kue-kue yang tersaji didepannya.

4 komentar:

  1. Beudueh Si A Niko keur sosonoan yeuh...

    Sae pisan euy tulisanna, terus tulisan kang, nu zaman urang SMP atuh geura... rame-rame ja caritaanna geh...

    diantos nya

    BalasHapus
  2. He...
    siap boss....
    diantosan wae heula nya....
    ayeuna nuju proses pembuatan krangkanya dulu....
    F4 (Dzikri, Apriady, Fauko, dan Niko, he....)

    BalasHapus
  3. apa mungkin bakal ada sayembara cari pasangan dg buat sambel terasi????!!! hufth...

    BalasHapus
  4. sangat mungkin Nair, he....
    nanti jadi EO nya ya? mau ya! he...

    BalasHapus